Karna merasa takut melihat sekelebat kehadiran Larasati, akhirnya Seruni memilih pergi dari ruangan Amara.
Dan sekarang tinggallah Amara sendirian di tempat itu.
"Dasar Seruni penakut!"
Amara mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam sakunya.
"Dengan air ini, aku bisa terbebas dari hantu Larasati."
Amara membawa sebuah botol kecil yang berisi air yang dia dapat dari seorang paranormal yang dia kenal.
Dan saat ini kemana pun Amara pergi dia selalu membawanya.
Dia menggunakannya sebagai jimat keselamatan.
"Hah, dengan benda ini kamu tidak akan lagi bisa mengganggu ku, Larasati! dan stop mengirimi ku dengan surat bodohmu itu! lebih baik kau tenang di alammu dan jangan menggangguku!" tukas Amara, dengan nada seolah menantang Larasati.
Sambil menyeruput teh hangat di mejanya, tiba-tiba dia merasakan aroma aneh dari cangkir teh yang dia minum.
"Aneh sekali rasanya."
Amara melihat isi dalam tehnya.
Dan seketika warna teh itu berubah menjadi merah darah.
"Ah sial!"
Kelontang!
Amara langsung melempar cangkirnya ke lantai.
Seketika cangkir itu pecah dan cairan darah mengalir menghiasi lantai keramik.
"Berani-beraninya kamu menggangguku! ayo keluar kau bedebah!" teriak Amara sambil bertolak pinggang.
Lalu sebuah vas bunga yang ada di hadapannya pun terjatuh dan pecah berhamburan.
Dari pojok tembok muncullah Larasati masih lengkap dengan seragam sekolah dan bersimbah darah.
Dan Larasati menatap Amara dengan mata melotot penuh amarah.
"Kenapa kamu melihatku begitu?! kamu sekarang berani ya denganku!?" tantang Amara.
Dan Larasati pun masih terdiam seribu bahasa tapi matanya tetap melotot tajam.
Dia seolah ingin meluapkan segala ketidak adilan yang selama ini dia rasakan.
"Kamu tetaplah, si Jelek dan Gadis Aneh, yang kukenal! dan kamu adalah seorang Pecundang yang artinya, selamanya kamu tetap menjadi pecundang! jadi jangan harap kamu bisa mengalahkanku! bahkan walau sudah menjadi hantu sekali pun!" Amara kembali berdiri sambil bertolak pinggang.
Mendengar ucapan Amara yang terus menghinanya itu, Larasati pun merasa tak terima, lalu perlahan dia mendekat kerah Amara.
Dengan tatapan mata tajamnya yang tanpa sedikit pun berkedip.
Larasati mulai mengangkat tangannya, dia hendak mencekik Amara.
Tapi Amara sama sekali tidak takut, dan dia seolah tetap menatangnya.
Amara merasa aman karna jimat yang ia miliki saat ini.
Dan ketika Larasati sudah tepat berada di hadapannya, tiba-tiba Amara mengeluarkan jimat air suci dari sakunya.
Dia membuka tutupnya lalu menyiramkan ke wajah Larasati.
Saat itu Larasati langsung berteriak histeris kepanasan.
Dan seketika hantu Larasati pun lenyap dari hadapan Amara.
"Haha! jadi itu saja keberanianmu! kamu pikir kamu bisa mengalahkanku!?"
Amara kembali memasukkan air suci itu ke sakunya.
Lalu dia melihat kearah gelas teh yang tadi dia lempar sudah kembali menjadi air teh biasa yang tumpah di lantai.
Padahal tadi jelas-jelas adalah darah.
Tapi dia tak peduli dan malah berjalan melenggang santai keluar dari ruangannya.
Dan saat itu dia berpapasan dengan Pak Parman penjaga sekolahan.
"Eh, Parman! tolong bersihkan ruanganku ya!" pinta Amara.
"Ah, baik Bu. " Tukas Parman sambil menganggukkan kepalanya.
Lalu Amara pergi ke perpustakaan, dia hendak menemui seseorang di sana.
Orang itu adalah salah satu guru di sekolah itu. Sekaligus orang yang sudah mengenalkan Amara dengan para normal yang saat ini membantunya.
Namun setibanya di perpustakaan, malah tidak ada siapa pun.
Suasana begitu sepi karna memang sedang jam masuk belajar.
"Ah, dimana sih, orang itu?" gerutu Amara.
Sambil menunggu guru itu datang, Amara pun melihat-lihat buku di dalam perpustakaan.
"Ah, suasana perpustakaan ini kembali mengingatkanku dengan masa lalu! huh menyebalkan!" gumamnya.
Lalu tiba-tiba dia melihat buku usang yang turut terpampang di rak buku itu.
"Loh, buku ini kan buku...," Amara langsung meraih buku itu lalu melemparnya ke lantai dan menginjak-injak buku itu.
"Dasar buku sialan! bukannya aku sudah membakarmu! lalu kenapa kamu bisa muncul kembali di sini!?" teriak Amara sambil menginjak-injak buku itu.
Buku itu adalah buku milik Larasati yang sudah dia bakar tempo hari.
Namun anehnya buku itu malah sudah kembali lagi di rak buku perpustakaan sekolah.
Dan saat dia menginjak-injak buku itu, tiba-tiba terdengar suara tertawaan wanita yang memekik telinganya.
"Hi hi hihi!"
"Ah sial! masih saja berani mempermainkanku ya!" teriak Amara sambil menutup telinganya.
Namun suara itu malah semakin terdengar keras, bahkan semakin menusuk kendang telinga.
Amara merasa kesakitan karna mendengar suara itu.
Perlahan telinganya mengalirkan darah yang mulai membasahi kedua tangannya.
Dan menetes sampai ke pundaknya dan pakaian yang dia kenakan pun menjadi berubah warna karna tetesan darah itu.
Amara mulai merasa lemas dia sampai ambruk dan terduduk di atas lantai. Karna sudah tidak tahan lagi.
Suara tertawaan yang memekik telinga itu pun masih terus terdengar, bahkan darah dari telinganya malah semakin deras, sampai mengenangi lantai.
Dia duduk diantara genangan darahnya sendiri.
"Amara...." panggil Larasati yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Kamu!"
Amara langsung merogoh kembali air suci dari dalam sakunya, sambil menahan rasa sakit dia membuka tutup air suci itu, lalu menyiramkannya kearah Larasati.
Seketika hantu Larasati lenyap dari hadapannya.
Dan suasana yang mencekam itu kembali reda.
Serta darah yang tadi mengalir dari kedua telinganya perlahan menghilang dan lantai keramik perpustakaan kembali putih bersih.
Saat itu Amara merasa sangat lega dan dia melepas kedua tangannya yang menutup kedua telinganya.
Lalu datanglah seorang guru yang sedang dia tunggu.
Dari kejauhan guru itu tampak bingung karna melihat Amara yang duduk tanpa alas diatas lantai. Apalagi Amara terlihat sangat kacau dengan rambut yang berantakan.
"Bu, Amara! Bu Amara sedang apa?" tanya guru itu.
Namun Amara tidak menyahutinya. Lalu guru itu pun mendekat kearah Amara, yang terlihat sedang kebingungan.
"Bu, Amara baik-baik saja?" tanya guru itu lagi!"
Tapi Amara masih saja tidak menyahutinya.
Akhirnya guru itu menepuk pundak Amara.
"Bu, Amara tidak apa-apa?" tanyanya lagi, dan Amara pun langsung kaget, karna merasakan tepukan di pundaknya dari guru itu.
"Ka-kamu kemana saja? sejak tadi aku menunggumu!" tukas Amara dengan nada tinggi.
"Ah, maaf, Bu Amara. Tadi saya ada perlu sedikit dengan salah satu murid saya!" jelas guru itu.
Tapi Amara malah kebingungan, karna dia tidak tahu apa yang sedang dibicarakan oleh guru itu kepadanya, karna sama sekali dia tidak dapat mendengarnya.
"Kamu ngomong apa sih!? aku tidak dengar, kalau bicara yang jelas jangan hanya komat-kamit!" teriak Amara.
Lawan bicaranya pun tampak keheranan, dia merasa sangat aneh dengan Amara yang tiba-tiba menjadi tuli.
Lalu dia berinisiatif mengambilkan air minum untuk Amara. Serta dia juga membantu Amara berdiri.
"Mari saya, bantu berdiri, Bu!"
Lalu dia mengambilkan kursi untuk Amara
Dan setelah itu dia pergi mengambilkan segelas air putih untuk Amara, berharap setelah meminumnya Amara menjadi sedikit tenang.
Namun saat dia kembali, tiba-tiba sebuah rak buku yang berukuran sangat besar, dan tepat di belakang Amara mulai bergerak-gerak dan akan roboh.
Krekep... krekep!
"BU AMARA!" teriaknya dengan kencang namun Amara sama sekali tidak mendengarnya.
To be continued