Burung-burung berkicau merdu saling bersautan. Mereka beterbangan untuk mencari makan. Fajar twilight yang kini mulai terbit dari ufuk timur telah menyinari seluruh kota Jakarta. Sinar mentari menyeruak masuk melalui celah-celah jendela berventilasi. Menyinari tiap insan yang masih betah di atas tempat tidur mereka. Menandakan bahwa pagi telah tiba.
Berbeda dengan seorang anak laki-laki dengan mata elangnya yang tajam, yang tiap pagi hari sudah berkutat di dapur juga sedang membersihkan tempat tinggalnya sebelum fajar naik ke peraduannya. Di tambah lagi, ia memiliki tanggung jawab karena harus mengurus seorang bayi yang tak lain adalah adiknya Yuna.
Meskipun demikian, hal itu tak menyurutkan semangatnya tiap pagi tiba. Yifan juga tidak mengeluhkan keterbatasannya tanpa kedua orangtua dan kedua kakaknya. Bahkan ini semua ia anggap sebagai suatu pembelajaran dan pengalaman kehidupan yang sangat berharga bagi dirinya di masa depan.
Masih mending dia membersihkan rumah tempat tinggalnya yang hanya berukuran minim. Coba saja kalau dia masih tinggal di rumah lamanya. Yang harus membersihkan rumah sederhana dengan ukuran terbilang cukup besar itu.
"Oeekk!! Oeekk!!"
Yifan tersentak bangkit dari halaman teras ketika mendengar tangisan Yuna. Dia lalu dengan cepat berlari mengambil botol susu milik Yuna di dapur dan menghampiri adiknya di dalam kamar yang sudah bangun dan merasa lapar hingga membuatnya menangis.
"Ah... Selamat pagi Yuna. Maaf ya, kak Yifan sedang nyapu tadi." Ocehnya sambil memegangi botol susu Yuna yang dengan cepat habis setengah. Sekilas Yuna terkikik lalu tertawa menanggapi ucapan Yifan.
Seolah-olah ia bisa membalas tiap perkataan yang di ucapkan oleh kakaknya. Hal itu menyebabkan Yifan tersenyum simpul dengan binar cerah melihat wajah ceria sang adik.
Draapp.. Draapp..
Seseorang datang dan membuat Yifan seketika menoleh ke arah pintu kamar saat telinganya tak sengaja mendengar derap langkah kaki mendekati kamarnya.
Sreett!!
Pintu kamarnya terbuka menampilkan sosok wanita paruh baya bersurai hitam kelam tengah tersenyum ke arahnya.
"Seharusnya Tante Diana tidak perlu repot-repot kemari, Tan. Kamu pasti juga sedang repot menyiapkan sarapan untuk keluargamu sendiri."
Diana menghela nafas masih menampilkan senyum hangatnya dan mendekati Yuna juga Yifan. "Tante sudah selesai menyiapkan semuanya. Sekarang bersiaplah untuk pergi ke sekolah. Biarkan Yuna Tante yang mengurus." Diana segera mengambil alih tubuh mungil Yuna tanpa permisi dari tangan Yifan lalu menggendongnya.
"Hm." Yifan hanya bergumam tanpa daya. Dia kembali bangkit, memasuki kamar mandi untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah.
Karena hari ini adalah hari pertamanya masuk ke sekolah baru.
Selama Yifan mandi, Diana menimang Yuna. Tetapi tidak butuh waktu lama untuk Yifan bersiap. Anak itu sudah memakai seragam sekolah barunya langsung setelah keluar dari kamar mandi. Yifan juga tidak memasak berat untuk menu sarapannya. Dia hanya menyediakan sandwich isi sayur saja meski dia sebenarnya masih bisa memasak yang lain.
"Yifan, kamu sudah bersiap? Kita berangkat sekarang?" Tukas Raka yang muncul secara tiba-tiba di depan pintu kamarnya.
"Ah, ya."
"Ma. Kami berangkat." Pamit Raka pada Diana.
Sebelum berangkat, Yifan menyempatkan diri untuk mencium kening juga mengecup pipi gembil merah Yuna hingga membuat bayi itu tertawa girang sembari mencoba menggapai wajah Yifan dengan jari-jari yang membuka-tutup.
"Kakak berangkat dulu Yuna. Jangan nakal. Jangan merepotkan Tante Diana di rumah selama kak Yifan tidak ada, Ok?" Peringat Yifan pada sang adik. Dan Yuna hanya bisa tersenyum lebar ke arah sang kakak sebagai jawaban. Diana yang memperhatikan interaksi mereka ikut tersenyum karena gemas.
"Kami berangkat dulu Tante. Mohon bantuannya dan maaf harus merepotkan tante Diana lagi." Yifan berpamitan sejenak sebelum akhirnya meninggalkan tempat tinggalnya setelah mendengar respon Diana, lalu menyusul Raka yang sudah berada di depan rumah sedang nangkring di atas sepedanya.
"Hati-hati di jalan Raka, Yifan. Jangan ngebut." Seru Diana, lantas ia kembali ke rumahnya membawa beberapa pakaian juga popok untuk Yuna yang belum sempat di mandikan oleh Yifan.
"Nah, sekarang saatnya kita bermain dengan Rama, sayang."
Rala dan juga Yifan terus mengayuh sepeda mereka hingga tak ada yang bersuara selama perjalanan ke sekolah mereka. Keduanya hanya mengayuh pedal sepeda mereka secepat mungkin agar segera sampai di sekolah baru mereka. Sekolah kebanggaan kota Jakarta bagi orang-orang yang mampu.
Beruntung Yifan adalah salah satu dari banyaknya murid yang tidak mampu yang berhasil mendapatkan beasiswa karena merupakan anak berotak jenius meski anak itu tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku Sekolah Dasar sebelumnya sampai lulus. Dan bersyukurlah dirinya karena Reza dengan senang hati membimbing dirinya untuk mengejar ketertinggalannya dan mendapat ijasah Sekolah Dasar tanpa perlu bersusah payah meneruskan pendidikan di bangku sekolah selama dua tahun.
Sesampainya di halaman sekolah, mereka langsung memarkirkan sepeda mereka dan mengunci ban sepeda masing-masing. Keduanya masuk bersama menuju papan mading pengumuman di setiap sudut koridor untuk pembagian kelas mereka.
Barisan demi barisan nama-nama berderet di sepanjang kertas putih berukuran satu meter yang di tempel di papan mading. Mata honey brown milik Yifan bergerak-gerak liar menelusuri tiap baris demi baris deretan nama untuk pembagian kelas itu. Hingga tiba-tiba seorang gadis tersenggol oleh siswa lain dan membuat tubuh gadis itu limbung hampir tersungkur jatuh ke tanah jika saja Yifan tidak segera meraih pergelangan tangan gadis tersebut menahan beban tubuh gadis itu yang ternyata gadis tersebut sebelumnya adalah gadis yang diam-diam sempat memperhatikannya.
"Ah!! Ma-maaf. Maafkan aku." Pekik gadis itu malu.
"Hm." Jawab Yifan, acuh. Dia hanya bergumam menatap datar gadis itu sebelum kembali pada kegiatannya.
Sementara gadis itu terkesiap penuh kejutan ketika sadar siapa orang yang telah menolongnya. Dadanya berdegup kencang seketika, membuatnya berdiri mematung dengan wajah bodoh. Bahkan Yifan yang telah menolongnya terlihat acuh tidak perduli dan tidak sadar sedang di perhatikan oleh gadis yang ia tolong tadi.
"Ah, Yifan! Beruntung banget kita, ternyata kita di kelas yang sama. Ayo, kita di kelas 1-A. Aku sudah menemukan nama kita di papan itu." pekik Raka antusias. Dan tanpa sadar hal itu mampu menyadarkan lamunan dari gadis itu.
'Yifan? Jadi nama dia Yifan? Ah. Dia tadi di kelas mana?' Gadis itu berdecak sembari menggerutu kesal, segera kembali mencari nama Yifan sebelum dia juga mencari namanya sendiri. Dalam hati gadis itu terus merapalkan mantra yang sama berkali-kali dengan bibir komat-kamit.
'Semoga satu kelas dengan Yifan, semoga satu kelas dengan Yifan, semoga satu kelas dengan Yifan'. Terus seperti itu.
Seketika matanya membulat sempurna dengan binar mata secerah mentari ketika menemukan nama yang di carinya. 'Ketemu! Sekarang aku.' Dan ia semakin berbinar bahagia saat tahu doanya terkabul. Cepat-cepat gadis itu mundur dengan sedikit berjingkrak.
"Riana, kamu di kelas mana?" Seru seorang pemuda dengan rambut jabriknya ketika dirinya baru saja sampai.
"Ah, kita sekelas Vin. Ayo." Tanpa menunggu jawaban dari pemuda itu, Riana menggamit dan cepat-cepat menarik tangan Kevin, bergegas pergi menuju ke kelas tujuan mereka dengan wajah yang menyiratkan bahwa ia sedang bahagia.
Di kelas 1-A, Yifan dan juga Raka tiba. Yifan memisahkan diri dari Raka yang telah lebih dulu memilih tempat duduknya. Sementara Yifan sendiri berjalan dan memilih tempat duduk di dekat jendela.
Ada seorang pemuda bertubuh tegap berisi namun tidak gemuk juga kurus duduk seorang diri di sana.
"Ee... Hey, apa kamu duduk sendiri?" tanya Yifan, mencoba memberanikan diri bertanya.
"Ah, ya, ya. Duduk saja, aku tak keberatan." kata pemuda itu dengan linglung. Namun fokus pemuda itu tidak terarah kepada Yifan, melainkan pemuda itu kini tengah menatap lekat seseorang. Pemuda itu sedari tadi memperhatikan seorang gadis berambut panjang dengan gaya curly bermata dark brown.
Yifan hanya menggendikkan bahu acuh dan mulai mengambil tempat duduk di sebelahnya. Dengan cuek menopang dagu, dia menatap langit yang cerah dari jendela. Samar-samar ia tersenyum ketika melihat langit biru yang terlihat cerah. Ah, dia jadi merindukan adiknya yang bersurai honey brown.
"Oh, maaf. Namamu?" tiba-tiba pemuda yang berada di sebelah Yifan berseru kala sadar bahwa dia tidak duduk seorang diri lagi. Dia memperhatikan Yifan dengan sorot mata ingin tahu.
"Yifan. Dan kamu?"
"Aaah~...Yifan.." beonya, manggut-manggut mengerti. Dia lantas menyodorkan tapak tangannya mengajak berjabat tangan. "Aku Panji. Maaf, aku tidak sadar kalau kamu berada di bangku sebelahku. Oh! Benar. Salam kenal juga, Fan. Semoga kita bisa menjadi teman yang saling membantu di masa depan." ujarnya panjang lebar.
"Hm.. Mohon bantuannya."
Sementara Raka, dia duduk di bangku barisan kedua dari jendela, di mana itu berada di meja kedua dari depan. Pemuda itu juga baru mendapatkan teman baru. Namun sepertinya mereka sudah cukup mengenal satu sama lain sebelumnya.
Raka duduk bersama seorang pria dengan gaya rambut klimis. Itu seperti rambutnya di beri banyak sekali minyak rambut hingga menampakkan kilatan aneh, namun sebenarnya itu alami dan tidak menggunakan produk gel rambut ataupun minyak rambut. Pemuda itu memperkenalkan dirinya dengan nama Jalal.
Riana melangkah masuk dengan Kevin yang di seret ke dalam jelas. Saat dia masuk, hal pertama yang hendak dia lakukan adalah mencoba untuk menemukan keberadaan Yifan. Namun dia berusaha keras sebisa mungkin tidak memperlihatkan ketertarikannya pada Yifan di hadapan Kevin. Gadis itu lalu mengedarkan pandangannya untuk mencari targetnya, sebelum Riana langsung berjalan menuju bangku urutan ke tiga dari pojok jendela ketika akhirnya berhasil menemukan keberadaan Yifan di sana. Yang artinya Riana mengambil tempat duduk tepat di belakang Yifan dan bersebelahan dengan Kevin. Beruntung sekali dia karena bangku itu benar-benar tak berpenghuni.
"Hei, Riana. Apa kamu bawa kotak makan siang?" Tanya Kevin saat mereka sudah duduk di bangkunya.
"U-umb.. Kamu membawa juga, bukan?" timpal gadis itu. Diam-diam dia mencuri lihat punggung tegas Yifan dan sedetik berikutnya dia memperhatikan Kevin, takut jika dirinya tertangkap basah.
"Tentu saja." kata Kevin, tegas.
Teng.. Teng.. Teng..
Bel masuk berbunyi. Dan seketika itu, datanglah seorang guru dengan postur tubuh yang tinggi berkulit putih pucat dengan mata elang. Iris matanya tajam seperti ular.
"Selamat pagi semuanya. Nama bapak Wahyu Pramono, guru biologi sekaligus wali kelas kalian." melihat ekspresi sang guru sekaligus wali kelas mereka yang datar membuat nyali mereka menciut seketika. Firasat mereka mengatakan bahwa guru di depannya adalah seorang guru yang lembut namun menyimpan bahaya di dalamnya. Apalagi tatapan mata guru itu yang seakan mengatakan ingin memakan mereka hidup-hidup.
"Selamat pagi pak guru." Balas semuanya. Sebisa mungkin mereka tidak gugup. Meski keringat dingin mengucur keluar dari kelenjar minyak di kulit mereka masing-masing. Bagi siswa yang jenius mungkin tidak jadi masalah. Tapi bagi siswa yang hanya mengandalkan uang dari orangtua juga jabatan demi bisa masuk ke sekolah itu, tentu akan sangat merasa takut.
"Hari ini satu jam kita pergunakan untuk perkenalan dulu, Ok? " Pak Wahyu lantas mengambil buku panjang yang berisi deretan nama siswanya dan mulai mengabsen.
"Airin Fitriana!"
"Hadir pak." Gadis bernama Airin itu mengangkat tangannya tinggi.
"Panji Setya Adi." "Hadir!" pemuda di sebelah Yifan mengangkat tangannya tegas.
"Raka Pratama?" Raka menjawab. Lantas di lanjut dengan siswa yang lain.
"Yifan Ali Arshavin." "Hadir." Jawab Yifan dengan sikap datar.
Sejenak pak Wahyu memperhatikan Yifan dengan kernyitan dalam. 'Apa anak itu begadang? Tidak ada semangat-semangatnya.' Batinnya ketika melihat mata sayu bak orang kelelahan tidak tidur milik Yifan. Melihat gurunya mendesah setelah melihatnya, sontak saja membuat Yifan menjadi risih. Ia seakan tersangka yang sedang di hakimi.
Yifan mendesah lelah, dia memilih mengalihkan perhatiannya dan kembali menatap langit biru melalui jendela di sampingnya.
Pak Wahyu lekas menggendikkan bahunya acuh tak acuh. Tak masalah baginya, asal tidak mengganggu proses belajar mengajarnya nanti. Ia kembali dengan melanjutkan kegiatannya yang mengabsen murid-muridnya.
"Kevin." "Saya pak!" seru Kevin dengan lantang dan sikap bersemangat.
"Riana Rosalyn." "Hadir pak." Jawab Riana tidak kalah semangat. Matanya masih tak lepas juga dari sekedar curi-curi pandang ke arah Yifan.
"Baiklah, karena semuanya telah terabsen, maka saya akan menjelaskan beberapa peraturan penting yang harus kalian patuhi di sekolah ini."
Pak Wahyu menjelaskan semua peraturan dan visi misi di sekolah tempatnya mengajar itu. Setelah selesai, dia membiarkan murid-muridnya untuk berkenalan satu sama lain.
Yifan tidak terlalu antusias saat beberapa murid lain menghampiri dirinya dan mengajaknya berkenalan. Banyak di antara mereka yang setelah tahu bahwa Yifan adalah salah satu dari anak baru yang pendiam dan sombong, mereka mengurungkan niat mereka.
Namun tidak untuk Riana. Hatinya bahagia mendapati orang yang diam-diam ia perhatikan ada di depan matanya. Meski sedari tadi Kevin menggerutu ketika melihat bagaimana dinginnya sikap Yifan saat teman-teman sekelasnya berkenalan dengannya.
**********
"Kita lanjutkan pelajarannya hari jumat. Kelompok yang sudah bapak sebutkan namanya bisa berdiskusi untuk tugas kalian. Bapak harap tugas itu selesai sebelum waktu yang telah di tentukan. Sampai bertemu hari berikutnya, selamat siang." Pak wahyu membereskan buku-buku mengajarnya sebelum berlalu keluar meninggalkan kelas 1-A.
Hati Riana berbunga-bunga penuh sukacita. Bukan hanya doanya terkabul tetapi juga harapannya untuk bisa lebih dekat dengan laki-laki yang ia sukai terwujud. Ia lalu bangkit menghampiri Yifan yang hanya diam menunggu jam pelajaran selanjutnya di mulai sembari menyalurkan hobi barunya demi mengalihkan rasa rindunya pada sang adik.
"Emb.. Hey! Yifan, kan?" Sapa Riana, dengan suara lemah lembut, dia mencoba memberanikan diri untuk berinteraksi dengan pemuda di hadapannya. Ia tersenyum hangat ke arah Yifan yang tak bereaksi. Namun mata Yifan bergerak melirik Riana sebagai respon, lalu menarik garus bibirnya sesenti, tersenyum kecil.
Kevin yang sedang bercanda dengan teman di samping bangkunya tiba-tiba menoleh hanya untuk mendapati Riana yang mengajak bicara murid dingin itu. Sontak saja, Kevin tersulut oleh perasaan marah dengan ekspresi cemberut kesal.
"Aku Riana. Dan di belakangmu itu Kevin. Kita satu kelompok, kan? Bagaimana kalau kita diskusikan tugas biologi kita?" Tukas Riana, basa basi.
"Oh, ya. Tentu." Jawab Yifan singkat, setelah tahu maksud Riana yang tiba-tiba datang mengganggunya. Yifan lalu memutar badannya ke belakang dan Riana akhirnya kembali duduk seraya tertawa kecil.
Dengan wajah cemberut dan kesal, Kevin mau tidak mau harus menahan perasaan marahnya, menatap tajam Yifan penuh permusuhan, "Aku Kevin. Salam kenal."
"Yifan. Lalu bagaimana?" sahut Yifan, sembari bertanya.
Ctak!!
Sebuah perempatan imajiner muncul di pelipis Kevin karena di acuhkan oleh Yifan. Apa laki-laki dingin di depannya itu juga menyukai Riana? Batinnya. Dingin sekali sikapnya.
Kevin adalah seorang anak laki-laki yang merupakan kerabat dekat Raka. Mereka tidak sedarah, tetapi ayah Raka masih tergolong ke dalam keluarga ayahnya. Meski begitu, Kevin tidak begitu dekat dengan Raka. Bila keduanya bertemu, tidak akan ada pertunjukan akrab di antara mereka, di mana keduanya akan saling menyapa satu sama lain.
Kevin juga adalah teman semasa kecil Riana. Gadis dengan tahi lalat di sisi kanan pipinya itu berteman mulai dari mereka masih di bangku sekolah dasar. Meskipun usia mereka yang masih terbilang anak-anak, namun usia sembilan tahun jelas telah memasuki masa-masa pubernya. Tidak heran jika Kevin dan Riana mulai mengerti tentang arti tertarik dengan lawan jenis mereka. Tak terkecuali Kevin yang diam-diam menyimpan rasa suka pada Riana hingga sampai saat ini.
Anggap saja rasa suka yang di rasakan Kevin pada saat itu hanyalah ketertarikan yang ingin sekali menjadi seorang teman dekat dan tidak menyukai laki-laki lain yang mendekati gadis itu. Namun seiring berjalannya waktu, dan anak itu mengerti apa itu rasa suka yang lebih dari sekedar suka, mereka lalu memulai kisah cinta monyet menjadi cinta yang benar-benar tulus.
Kehadiran Yifan di tengah-tengah hubungan dekat mereka membuat dirinya merasa terancam karena tersaingi. Kevin bahkan tidak tahu bagaimana sifat asli dari Yifan karena ia hanya melihat Yifan seolah ancaman baginya.
"Bagaimana kalau kita mengerjakan tugas ini di rumahku?" Saran Riana, tiba-tiba. Gadis itu menatap Yifan dalam dengan binar penuh semangat.
"Setuju." Timpal Kevin semangat. Tentu saja Kevin akan setuju dengan keputusannya, tetapi Riana menunggu jawaban Yifan. Dia masih betah menatap Yifan untuk menunggu pendapatnya. Namun seketika senyumnya meluruh saat melihat ekspresi bingung namun tetap datar dan dingin dari pemuda itu.
"Sepertinya aku tidak bisa." Celetuk Yifan menyuarakan keberatannya.
Kevin tersenyum mencemooh, lalu mendengkus, "Hmph! Kamu mau bilang kalau kamu ingin lari dari tanggung jawab?!" Seloroh Kevin tersenyum miring.
"Kevin, jaga bicaramu." Peringat Riana tiba-tiba menaikkan nada bicaranya satu oktaf seraya menatap tajam pemuda itu. Sontak saja, pemuda itu menjadi salah tingkah dalam waktu singkat. Riana kembali menatap Yifan meminta penjelasan.
"Aku tidak bisa meninggalkan adikku sendirian." Riana terkesiap mendengar alasan Yifan.
"Hey, hey, itu bukanlah alasan yang tepat. Minta saja pada orang tuamu untuk menjaganya." Kembali Kevin bersuara dengan nada kesal.
"Sayangnya kami hanya tinggal berdua." tukas Yifan, datar.
"Eh?!" Kevin juga Riana tersentak karena terkejut. Apa mereka tidak salah dengar? Keduanya menatap Yifan mencari kepastian.
"Jangan bercanda." Cibir Kevin terkekeh meremehkan.
"Tidak." Dan jawaban terakhir dari Yifan yang menampilkan wajah serius membuat Kevin serta merta menatap Yifan lebih serius.
"Emb.. Kalau begitu di rumahmu saja. Apa boleh?" Dengan hati-hati Riana kembali membuka suaranya untuk memberi saran. Mendengar ucapan Riana, Kevin hanya bisa menatap gadis itu tidak percaya.
"Aku tidak masalah. Tapi kalian?" Tanya Yifan memastikan.
Riana tersenyum tapi tidak dengan Kevin yang semakin menekuk wajahnya berekspresi sebal. Riana mengangguk sebagai tanda setuju. Tak masalah jika Yifan tidak mau belajar kelompok di rumahnya alih-alih Yifan tahu tempat tinggalnya. Yang penting kini tergantikan dengan dirinya yang sebentar lagi tahu tempat tinggal pemuda itu.
"Kalian bawa sepeda atauㅡ" Yifan menggantungkan ucapannya menatap kedua teman yang menjadi kelompok belajarnya.
"Ya, tenang saja. Kita bisa pulang bersama nanti."
"Aku mengerti." kata Yifan sembari menganggukkan kepala.
*********
Sesuai kesepakatan mereka bertiga, akhirnya Riana dan Kevin pulang bersama mengikuti Yifan dari belakang. Raka sendiri, dia tidak pulang dengan Yifan karena memiliki tugas yang sama.
Kevin mengernyit ketika Yifan tiba-tiba berhenti di pekarangan halaman rumah yang baginya sungguh tak asing lagi.
"Yifan, kamu sudah pulang? Lho, Raka tidak pulang sama kamu?" Tanya suara lembut dari wanita paruh baya. Wanita itu hanya celingukan mencari sosok yang di maksud namun nihil. Sosok yang ia cari tidak ada di antara mereka.
"Ada tugas sekolah Tante. Raka mungkin sedang mengerjakan tugas kelompok dengan teman yang lain." Jawab Yifan sembari mendekati troly bayi yang di dorong oleh Diana. Di mana di sana Yifan dapat melihat adiknya sedang bersama Rama yang tertidur.
"Lho, Kevin! Kamu ternyata teman sekelas Yifan juga?" Ujar Diana pada Kevin yang berada tak jauh dari Yifan di belakangnya.
"Ya Tante. Dia tinggal di rumah sebelah Tante Diana?" Kevin menunjuk Yifan dengan sorot mata penasaran.
Diana tersenyum sambil mengangguk, "Ya, baru beberapa hari ini." Dan jawaban Diana mengakhiri rasa penasarannya.
"Aku pulang." Lirih Yifan, seraya mengecup kening sang adik seperti biasa. Seakan sudah menjadi candu baginya untuk selalu memberi kecupan sayang untuk sang adik.
Interaksi Yifan dengan Yuna tidak luput dari pandangan Riana yang semakin mengagumi sosok Yifan dan sementara Kevin sendiri yang menatap Yifan dengan tidak percaya.
Yuna tersenyum lebar dengan tawa kecilnya yang menggemaskan. Yifan semakin gemas untuk memanjakan adiknya itu.
"Terimakasih untuk bantuannya, Tante. Kalau begitu aku permisi dulu."
"Apa sebaiknya adikmu di biarkan di sini dulu, Fan? Biar kamu bisa belajar dengan tenang." Ujar Diana sedikit khawatir. Berharap masih bisa menghabiskan waktu lebih banyak lagi bersama Yuna dan putra bungsunya.
"Tidak apa-apa Tante. Dia termasuk adik yang pintar. Dia tidak akan mengganggu belajarku nanti." Diana hanya menghela nafas pasrah saja merelakan Yifan membawa masuk Yuna ke dalam tempat tinggalnya di ikuti Riana juga Kevin setelah sebelumnya berpamitan.
Setelah masuk ke dalam rumah, Yifan mulai mempersilahkan keduanya untuk duduk. Sementara dirinya mengambil gendongan untuk menggendong Yuna selama ia menyiapkan hidangan untuk kedua teman barunya.
"Kalian mau minum apa?" Tanya Yifan.
"Apa saja boleh." celetuk Kevin menyahut singkat seraya memperhatikan kediaman Yifan yang terlihat begitu sangat bersih. Kagum? Tidak bisa di pungkiri pemuda itu mulai kagum dengan sosok lain Yifan yang mandiri. Namun gengsinya terlalu tinggi untuk bisa membuat dirinya mau mengakui hal itu.
"Ah ya, Yifan. Kamu biarkan saja adikmu di sini. Aku akan menjaganya sementara kamu membuat minum." Riana memberi saran. Terlebih dia juga ingin mengenal adik Yifan.
Sejenak pemuda itu berfikir sembari memperhatikan wajah Yuna yang tertawa cekikikan dengan mainan di tangannya. Sebelum akhirnya ia memutuskan untuk menyetujui perkataan Riana.
"Baiklah. Tolong jaga adikku sebentar untukku, Riana." Yifan lalu meletakkan adiknya di karpet bulu ruang keluarga yang terhubung langsung dengan ruang tamu. Di temani oleh Riana dan juga Kevin yang langsung berbinar ketika melihat bayi itu tersenyum begitu manis dengan iris honey brown yang membulat senang. Untung saja Yuna tidak rewel ketika Yifan meninggalkannya bersama dengan kedua teman barunya itu.
'Pantas saja Yifan selalu menatap langit di luar jendela.' Batin gadis itu yang terhanyut ke dalam mata bulat Yuna yang cerah bak sinar mentari yang meneduhkan.
"Yifan, apa adikmu ini laki-laki?" Celetuk Kevin memainkan jari kecil Yuna.
Tanpa mereka sadari mimik wajah Yuna tiba-tiba menjadi tertekuk masam ketika Kevin mengatakan hal yang baginya itu tidak lucu.
"Bukan. Dia perempuan." kata Yifan, datar.
"Huh?!" Riana juga Kevin tersentak kaget hingga membuatnya sedikit berteriak mendengar jawaban Yifan karena tidak percaya. Dan Yuna menanggapi keterkejutan mereka dengan pekikan tawa seakan mengejek.
"Hahaha..." Yifan tanpa sadar tertawa geli mendengar adiknya tertawa. Sontak saja, Riana juga Kevin tiba-tiba mematung menatap Yifan tidak percaya dan terpesona saat melihat bagaimana Yifan yang mereka kenal sebagai pribadi yang dingin secara tidak terduga tertawa dengan lepasnya.
"Kenapa kamu tertawa?!" Desis Kevin tak terima setelah sadar.
"Tidak. Bukan apa-apa. Hanya saja adikku sedang menertawakan kalian karena kaget. Itu buat aku nggak bisa nahan ketawa."
Mendengar hal itu keduanya mengalihkan pandangan mereka menatap Yuna kembali. Memang benar, bayi itu kini tengah tertawa kecil seraya kadang menjulur-julurkan lidah runcingnya keluar seolah mengejek.
Riana dan Kevin benar-benar di buat terkesan dan takjub secara bersamaan. Mereka tertipu oleh penampilan bayi di hadapan mereka. Pasalnya, pakaian yang di kenakan oleh Yuna adalah baju bayi milik laki-laki dan bukan gaun cantik milik bayi perempuan. Mereka tidak tahu apa yang di pikirkan oleh Yifan ketika membelikan pakaian untuk adiknya.
Memang, wajah Yuna terlihat cantik dan manis layaknya perempuan. Dan rambutnya yang memiliki warna berbeda dari orang-orang pada umumnya membuat orang tidak bisa mengenali jenis kelaminnya. Namun tetap saja, jenis kelamin dari bayi mudah untuk di kenali hanya dari wajahnya. Tapi bagaimana bisa wajah Yuna di salah artikan sebagai bayi bergender laki-laki yang tampan? ('¬_¬)
Yifan tidak mengambil hati kesalahpahaman mereka dan meletakkan tiga gelas jus jeruk dengan satu botol susu kecil untuk adiknya. Dia kembali menggendong Yuna sementara dirinya mulai menyiapkan tugas yang akan mereka kerjakan sebagai tugas kelompok mereka. Yang memang sebelumnya sudah mereka bagi menjadi bagian bab masing-masing untuk di kerjakan.
Kevin sendiri memilihkan pertanyaan yang sulit untuk Yifan, berniat mengerjai. Namun justru membuat Yifan malah lebih dulu menyelesaikan tugasnya. Sementara Kevin mengerang frustasi seraya menjambak rambut miliknya kesal karena tidak juga menemukan jawaban yang benar, padahal bab yang dia pilih sendiri terbilang masih cukup mudah untuk di pahami.
Melihat tingkah absurd Kevin, Riana tertawa kecil di ikuti Yuna yang ikut tertawa seakan mengejek pemuda itu. Riana jelas sangat tahu tabiat Kevin yang suka meremehkan kemampuan orang lain dan suka membesar-besarkan kemampuannya yang padahal, pemuda itu memiliki kapasitas otak untuk berfikir rata-rata. Tidak jenius, dan juga tidak bodoh.
Hampir saja Kevin melempar tempat pensilnya ke wajah bayi itu kalau dia tidak ingat bahwa Yuna masih bayi. Yifan cukup senang melihat interaksi adiknya yang tidak rewel bila di ajak bercanda dengan orang lain. Itu tanda bahwa kelak adiknya akan menjadi anak yang akan mudah bergaul dan banyak di kagumi orang-orang di sekitarnya. Membayangkan hal itu membuat Yifan tidak sabar lagi menanti hari itu tiba.
Sebagai penutup belajar bersama mereka, Yifan telah menyiapkan makan malam untuk mereka bertiga saat dirinya berhasil menyelesaikan bagian tugasnya sendiri. Riana cukup terkejut mengetahui bahwa Yifan tidak hanya pandai mengurus adiknya yang masih bayi, namun juga ahli dalam memasak dan mengurus rumah seorang diri. Hal itu semakin membuat gadis itu terkagum-kagum melihat nilai plus dari sosok seorang laki-laki seperti Yifan.
Kali ini Kevin mau tidak mau harus mengakui kehebatan kemampuan Yifan yang baginya sungguh mustahil dilakukan untuk anak seusia mereka dalam mengerjakan semuanya seorang diri. Mungkin jika itu terjadi langsung pada dirinya, dia sudah tidak mungkin sanggup.
Tapi tentu saja berbeda bagi Yifan. Di sela-sela belajar mereka saja, Yifan masih bisa mengerjakan hal lain setelah tugasnya benar-benar telah sempurna selesai. Anak macam apa, Yifan itu? Bagaimana bisa Yifan memiliki otak sejenius itu?
"Yifan, Aku tidak menyangka kalau kamu bisa memasak seenak ini." Tukas Kevin tulus di sela-sela makan lahapnya.
"Benarkah?" jawab datar pemuda itu, membuat Kevin shock dan menyesali bibirnya yang telah mengakui kehebatan pemuda itu di depannya.
"Ya. Apa kamu ingin menjadi seorang Koki?" Timpal Riana ingin tahu.
"Koki? Tidak. Sudah seharusnya aku bisa memasak, kan? Tinggal seorang diri di temani adik yang masih bayi memang apa yang bisa di harapkan?" Ujar Yifan, membuat keduanya kembali terkesiap untuk yang ke sekian kalinya.
"Kamu benar." kata Riana setelah dia berdehem nyaris tanpa suara.
*********
"Terima kasih untuk semuanya, Fan. Kami pulang dulu. Sampai jumpa besok."
"Hm. Hati-hati di jalan, maaf tidak bisa mengantarkan kalian." Gumam Yifan sebagai respon singkat.
Sepeninggal kedua temannya pulang, Yifan melirik adiknya yang sudah tertidur di atas karpet bulu berwarna coklat muda. Ia tersenyum lalu mengunci semua pintu juga jendela, menutup semua gorden lalu mematikan semua lampu dan bersiap untuk tidur.
"Selamat malam Yuna. Kakak mencintaimu." Ia mengecup pelan kening juga bibir cherry sang adik agar tidak terbangun. Dan ia memeluk adiknya di dalam dekapannya namun masih dalam genggaman longgar. Takut adiknya tidak bisa bernafas. Kedua matanya mulai menyayu hingga menutup sempurna di belai mimpi.
.
.
.
.
To be Continued....