Chereads / I Love You, My Brother! / Chapter 4 - Sisi Lain Yifan

Chapter 4 - Sisi Lain Yifan

Yifan berlari kecil saat menyeberang jalan melalui jembatan penyeberangan, seolah dia sedang di buru oleh waktu. Dengan langkah yang tergesa-gesa, dia berjalan ke arah shelter busway yang berjarak dua meter dari tangga jembatan penyeberangan. Beruntung saat dia hendak membeli tiket, itu lengang. Setelah membeli tiket busway, dia menunggu sejenak di bangku tunggu.

Walaupun dia sedikit gelisah, namun ekspresi pada wajahnya terlihat datar. Sembari memasang earphone di salah satu lubang telinganya, dia mengenakan kacamata ber-frame hitam lantas membaca buku yang sedari tadi di tentengnya.

Yifan mengenakan kaos putih polos, celana hitam yang di beberapa tempat terdapat sobekan-sobekan tipis, lalu di balut jaket jubah hitam berbahan flace tebal sementara bagian lengan tangannya di singkap. Ada sebuah wristband warna hitam di salah satu tangannya sementara tangan yang lain mengenakan accessories gelang dari tali berwarna senada. Dia mengenakan sepatu sneakers boots putih hitam dan juga topi snapback yang di balik.

Saat dia sedang menunggu kedatangan busway, beberapa gadis-gadis yang masih remaja dan beberapa wanita lajang diam-diam memperhatikannya. Mereka berbisik-bisik kagum dan memuji ketampanan yang di miliki Yifan sembari mencuri lihat.

Tentu saja, Yifan hanya akan mengacuhkan mereka yang menatapnya kagum penuh pemujaan dan memilih untuk menyibukkan dirinya dengan hal-hal yang penting.

Yifan memiliki kulit putih bersih tanpa noda hitam. Bibirnya merah seolah dia mengenakan lipbalm berwarna merah jambu. Itu alami. Abisnya yang tebal membuat orang-orang mengira dia adalah sosok yang kejam dan galak.

Saat pria itu di usia hampir remaja, Yifan sebenarnya memiliki kulit yang tidak begitu bagus dan wajah yang cenderung pucat juga kusam. Dia sering mengabaikan penampilannya sehingga lambat laun, dia memiliki warna kulit yang sedikit gelap karena perhatiannya selalu dia tujukan hanya untuk sang adik. Wajahnya tampak kusam setiap kali dia pulang dari bekerja.

Ya, ketika Yifan pertama kali menginjakkan kakinya di kota Jakarta pada hari itu, tujuan utamanya adalah mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.

Dia hanya mampu bekerja di tempat pencucian kendaraan bermotor, ataupun pencucian mobil yang besar. Namun karena pemilik usaha takut jika tertangkap oleh pihak yang berwenang, sebab ia yang mempekerjakan anak kecil di bawah umur, akhirnya Yifan hanya bisa menelan rasa kekecewaannya ketika dia di PHK saat itu.

Yifan tidak pernah putus asa. Jika perasaan keputusasaan itu menyerang dirinya, Yifan dengan segera mengingat kembali sosok Yuna sang adik yang masih bayi itu sedang menunggunya di rumah.

Yuna membutuhkan susu, sementara harga susu jauh lebih mahal dari harga beras. Dia tidak mungkin selalu mengandalkan harta peninggalan kakaknya yang jujur saja bisa menghidupinya selama lebih dari lima tahun mendatang.

Sebisa mungkin, Yifan berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan agar dia tidak selalu bergantung pada hal yang instan saja. Dia harus belajar untuk berdiri sendiri menggunakan kemampuannya. Belajar mandiri seperti sebelumnya tanpa menyusahkan bantuan orang lain.

Dari bekerja sebagai pencuci kendaraan, dia beralih ke tukang bangunan, lalu bengkel, belajar sedikit demi sedikit tentang teknik mesin dan otomotif saat dia berusia empat belas tahun.

Tidak hanya bekerja di bidang yang kasar, Yifan bahkan juga bekerja di sebuah toko kue sebagai kasir, menjadi waiters di cafe and resto, hingga menjadi seorang bartender di sebuah club and bar. Yifan sudah merasakan semua pengalaman itu meskipun dia hanya bekerja tidak terlalu lama. Paling lama adalah satu tahun, dan paling singkat adalah tiga bulan masa percobaan.

Meskipun hanya bekerja selama tiga bulan masa percobaan di setiap satu tempat ke tempat yang lain, Yifan tidak pernah menyia-nyiakan kesempatan itu untuk selalu belajar hal-hal baru dari pengalaman. Apapun itu, dan sesepele apapun pekerjaan itu, Yifan selalu berusaha agar tetap mengingat pengalaman itu di dalam benaknya.

Kelak suatu saat, pengalaman yang telah dia dapatkan akan berguna di masa yang akan datang.

Dan saat ini, di usianya yang sudah menginjak 18 tahun, Yifan telah berhasil masuk ke UI lewat jalur beasiswa. Dan saat ini, dia bekerja sebagai seorang bartender sekaligus seorang kasir di sebuah cafe tidak jauh dari kampusnya.

Cafe itu baru saja di buka tidak lama setelah Yifan masuk ke universitas. Dan saat Yifan tahu cafe itu membutuhkan seorang yang ahli di bidang tersebut, Yifan segera melamar.

Beruntung, bahwa pemilik cafe tersebut ternyata adalah kakak dari salah satu sahabatnya. Dan ketika pemilik cafe itu tahu bahwa Yifan bermaksud melamar, pemilik cafe tersebut dengan cepat menerimanya.

Yifan sangat beruntung karena gaji yang ia dapat di tempat itu hampir mendekati UMK kota Jakarta. Meskipun dia ragu, apakah ini karena dia adalah teman dari adik si pemilik cafe, atau memang real karena aturan di tempat itu.

Namun saat tahu bahwa jumlah gaji karyawan yang lain juga sama, Yifan akhirnya bisa menghela nafas dengan lega. Itu berarti, pemilik cafe tempatnya bekerja bertindak adil terhadap seluruh karyawannya.

Yifan bekerja sesuai dengan jadwal di kelasnya. Kesepakatan itu dia peroleh setelah ia berbicara pada kakak temannya itu. Dan jadwal yang dia dapatkan adalah bekerja di shift kedua. Dari pukul dua siang, hingga pukul sepuluh malam.

Busway datang sepuluh menit kemudian. Sebelum busway itu berhenti tepat di tempatnya, Yifan dengan cepat berdiri dan mendekat ke arah pintu.

Tentu saja, para gadis dan wanita-wanita yang sedari tadi memperhatikannya mengekor dengan cepat di belakang Yifan. Tepat saat Yifan tertimpa oleh udara yang keluar dari fentilasi AC busway, semua orang seperti baru saja mendapatkan udara segar yang damai.

Aroma yang ada pada diri Yifan menguar ke seluruh area busway. Itu memiliki aroma maskulin yang sangat khas. Dan terlebih, Yifan yang selalu memperhatikan penampilannya, jelas akan memakai parfum yang sesuai dengan karakternya.

Semua wanita di buatnya kerasukan di dalam busway, namun Yifan bahkan sama sekali tidak menggubris mereka yang selalu memperhatikannya. Dia hanya berjalam santai ke arah kursi kosong di dekat pintu. Masih mendengarkan musik dari earphone-nya, dan fokus pada buku tebal yang ada di tangannya.

Bagi kalian, mungkin membaca buku di dalam mobil atau kendaraan umum pasti akan menyebabkan kepala mendadak pusing dan membuat perut tiba-tiba terasa mual, bukan? Tapi bagi Yifan, itu tidak berlaku.

"Astaga... Bagaimana dia bisa melakukan itu?"

"Waahh... Kalau itu aku, pasti kepalaku langsung pusing, pengen muntah."

"Aiyo.. Jangan samakan dia dengan kita, kawan."

Halaman demi halaman, Yifan membaliknya tanpa bergerak. Dia hanya harus menggerakkan ibu jarinya dengan gerakan menekan ujung bawah kertas buku untuk membalik halaman dan dua bola matanya untuk membaca.

"Terlalu tampan...."

"Damage-nya, ugh! Ya Tuhan, tak tahan..." kata wanita yang lain.

Yifan sebenarnya mampu mendengar pembicaraan tidak berguna semua orang di sekitarnya yang selalu membahas tentang penampilannya. Namun karena terlalu seringnya mendengar, dan dia sudah terbiasa dengan itu semua, dia memilih untuk mengabaikan suara mereka. Seolah telinganya tuli dengan keadaan di sekitarnya.

"Tujuan UI di harapkan bersiap."

Yifan menarik kabel earphone-nya sambil mendongak untuk melihat keluar jendela dari sisi kirinya dan beranjak dari kursi dengan cepat.

"Oh... Dia dari kampus UI."

"Luar biasa."

Yifan melirik malas ke arah kanan hanya untuk melihat tujuannya tidak terlalu jauh. Namun saat semua orang melihat bagaimana caranya melirik, semua gadis hampir jejingkrakan dan menjerit nyaris histeris.

Wajah Yifan sangat tampan. Bahkan dia terlihat seperti keturunan dari bangsa Tionghoa yang berkulit putih, bermata sedikit sipit. Namun sebenarnya tidak. Dia memiliki tinggi badan hampir 190 centimeter. Kriteria yang sangat di idamkan oleh banyak sekali wanita sebagai pendamping hidup.

Busway berhenti tepat di shelter pemberhentian kampus UI. Saat pintu terbuka, Yifan dengan cepat melangkah dan sesegera mungkin meninggalkan shelter.

Ponsel miliknya berdering dalam perjalanannya menuju ke arah Universitas. Setelah dia melihat siapa orang yang menelponnya, dia mengangkatnya setelah tiga kali bergetar.

"Ya. Aku dalam perjalanan." telepon di matikan secara sepihak oleh Yifan, lantas mempercepat langkahnya.

Lima orang mahasiswa sedang berkumpul di sebuah lapangan basket outdoor. Empat di antaranya tampak memperhatikan salah satu temannya yang sedang menelepon seseorang.

Saat telepon tersambung, pria itu hendak membuka suaranya, namun tiba-tiba suaranya tersendat di tenggorokan setelah pihak dari seberang memotongnya dalam satu kalimat.

Dan kejadian berikutnya yaitu, pria tersebut tampak mematung dengan wajah shock sembari menatap layar ponselnya yang sudah mati. Suasana hatinya mendadak mendung dan marah.

"Bagaimana?" yang lain bertanya.

"Lhat?! Kalian melihatnya sendiri, kan. Yifan cuma jawab teleponku dengan kalimat seadanya dan... Ahh!!" pria itu tampak kesal sambil memperlihatkan layar ponselnya setelah panggilan yang ia lakukan pada Yifan di matikan begitu saja ke arah keempat temannya. Dia mendesah frustrasi dengan ekspresinya yang berubah masam seketika.

"Yang sabar." kata pria yang lain. Saat tangannya mencoba untuk menepuk pundak sebagai bentuk simpatiknya, tangannya dengan cepat di tepis oleh pria yang sedari tadi bersungut. Namun dia tidak marah, dia justru terkekeh tipis menanggapi kekesalan temannya itu yang justru di anggapnya lucu.

Tidak lama setelah mereka berdebat, Yifan datang dengan mimik wajah datar.

"Nah, itu dia. Akhirnya datang."

Yifan berhenti tepat di samping pria kurus namun tampan.

"Sudahlah, Rell. Yifan juga sudah di sini." pria yang satunya lagi mencoba untuk menenangkan kekesalan dari temannya itu.

"Hmph!" namun pria yang bersungut bernama Farrell itu mendengus, membuang mukanya masih kesal.

Yifan tampak acuh melirik sekilas Farrell tanpa merasa berdosa, "Jadi? Apa pertandingan kita telah di sepakati?" 

"Hm.. Dosen olahraga sudah memberi kita izin secara tertulis. Surat dari mereka juga di setujui oleh rektor."

"Kapan pertandingannya?" Yifan bertanya tanpa basa basi.

"Sabtu depan. Sebelum pertandingan antar universitas di laksanakan bulan depan."

"Sebenernya masalahnya apa, sih? Sampai-sampai mereka anak-anak basket dari Universitas kota Bandung pengen nantang kita." Farrell tiba-tiba mengalihkan pembicaraan.

"Yang aku tahu, anak-anak basket dari Universitas kota Bandung sempat mendengar rumor tentang kampus kita, kalau di sini ada satu kapten tim basket yang namanya hampir terkenal di mana-mana karena skill mainnya. Jelas tahu dong, siapa kapten itu." semua orang dengan cepat mengalihkan pandangan mereka ke arah Yifan.

"Yah.... Aku juga tidak bisa pungkiri sih, kalau Yifan memang kapten basket terbaik di kampus kita." Farrell memuji dengan sedikit enggan. Yang lain mentertawakan sikapnya yang sedikit terkesan tsundere. Namun Farrell hanya bisa berdecak malas.

"Kalau begitu, Atur saja kapan kita bisa latihan. Tapi kalau besok, aku tidak bisa ikut dulu." Yifan berkata to the point.

Semua orang mengernyit bingung, "Memang kamu ada acara apa, besok?"

"Yuna akhirnya mau masuk sekolah."

"Eh.... Beneran? Yuna mau masuk sekolah?" mendengar bahwa adik Yifan一Yuna akan bersekolah, lima mahasiswa itu tampak berbinar antusias, terutama Farrell. Kemarahan dan kekesalannya terhadap Yifan seketika menguap.

"Hm." Yifan mengangguk singkat. Dia mengambil tempat duduk di pinggir lapangan basket outdoor.

Ada lima mahasiswa yang menjadi teman Yifan. Selain Farrell, empat di antaranya bernama Niko, Rangga, Aldo, dan Dion.

Mereka sudah pernah berkunjung ke rumah Yifan dan bertemu dengan Yuna. Saat melihat bagaimana menggemaskannya Yuna, kelimanya sering datang berkunjung hanya sekedar ingin bertemu dengan Yuna dan bukan Yifan. Meski begitu, Yifan tidak mempermasalahkannya.

Mereka berlima merupakan anggota tim inti basket di kampusnya, dan Yifan sendiri adalah kaptennya.

Yifan memang mengambil jurusan matematika. Namun dia memiliki bakat yang sangat banyak di bidang olahraga. Unit kegiatan mahasiswa sangat banyak di kampusnya. Terutama di UKM olahraga. Yifan memfokuskan dirinya pada permainan bola basket. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa dia juga akan mengikuti kegiatan lain, seperti memanah, berkuda, menembak, catur, renang, dan softball.

Seharusnya itu tidak mungkin di lakukan pada seorang mahasiswa yang mungkin hanya bisa mengambil satu kegiatan saja. Namun Yifan selalu ingin mencoba hal-hal baru yang menantang.

Pada awalnya dia mendapat penolakan berkali-kali, dan bahkan banyak sekali mahasiswa yang mengecam sifat keras kepalanya itu yang seakan memaksakan kehendak.

Ketika itu, seorang dosen yang menjadi pembimbing kegiatan olahraga, menyadari satu bakat alami yang di miliki oleh Yifan.

Dosen itu bertanya, apa yang Yifan inginkan? Apa dia mencoba untuk mencari jati dirinya melalui berbagai macam jenis kegiatan olahraga? Yifan mengatakan bahwa dia hanya ingin mengasah kemampuannya dan mencari lebih banyak lagi pengalaman. Kegiatan olahraga adalah hobinya. Dia menyukai segala macam jenis olahraga. Terutama olahraga yang dia sebutkan sebelumnya. Akan tetapi guru itu bertanya.

"Jika kamu mendalami itu semua, apa yang ingin kamu tunjukkan pada dunia? Kamu hanya bisa memilih satu macam jenis olahraga agar nanamu di kenal oleh banyak orang."

Dan Yifan dengan tegas menjawab, "Aku jatuh cinta pada permainan bola basket saat usiaku baru tujuh tahun. Dan saat itu aku mencoba untuk mendalaminya. Namun aku juga ingin mendalami segala macam jenis kegiatan olahraga selain basket. Dan bapak tenang saja. Jika kelak aku harus memilih, mana yang harus ku pilih, maka bola basket adalah pilihan utamaku."

Dosen itu menghela nafas lega, "Jika aku bisa mengajarimu semuanya, aku tidak mungkin mengajarinya sampai tuntas. Kamu mungkin hanya akan tahu teknik dasarnya saja setelah itu terserah pada kemampuanmu."

Dengan itu Yifan percaya bahwa dosen olahraga di hadapannya itu mengizinkan dirinya menguasai olahraga yang dia ingin pelajari.

Dari situlah, Yifan di kenal oleh semua orang di setiap universitas. Terutama di kenal sebagai kapten tim basket dengan skill dewa.

Pada awalnya, Farrell, Niko, Rangga, Aldo dan Dion, kelimanya memandang rendah kemampuan Yifan. Terlebih saat kapten tim basket sebelumnya tiba-tiba mengundurkan diri dan menunjuk Yifan secara langsung sebagai penggantinya tanpa meminta persetujuan dari anggota yang lain.

Namun ketika Yifan menunjukkan skill-nya dalam bermain bola basket, dan dia berhasil mengalahkan mantan kapten sebelumnya dengan skor lebih tinggi sepuluh angka, mereka yang memandang rendah dia sontak beralih kagum. Karena Yifan selalu berhasil mencetak skor three point bahkan tanpa melihat ke mana dia akan menembak.

"Yifan... Setelah menunggu selama dua tahun, Yuna akhirnya mau masuk sekolah. Apa yang kamu lakukan padanya sampai dia akhirnya mau?" Niko bertanya dengan penasaran.

Yifan mendesah kecil, "Tidak ada."

"Hah?" Farrell melongo dengan mulut terbuka tidak etis, menoleh ke kanan kiri saling pandang dengan keempat temannya yang juga speechless mendengar jawaban Yifan yang tidak jelas.

Seorang mahasiswi berlari kecil melewati jalan setapak menuju ke arah lapangan basket outdoor. Dia tersenyum tipis dengan rambutnya yang di ikat ekor kuda bergoyang ke kanan dan ke kiri seiring dengan langkah kakinya yang berlari.

Saat dia melihat orang yang ingin di temuinya ada di lokasi pencariannya, senyumnya semakin merekah ketika dia menatap ke arah lapangan basket yang sudah tidak jauh.

"Yifan!"

Kelima mahasiswa dan Yifan menoleh ke arah sumber suara berasal. Melihat siapa yang berseru memanggil, semua teman-teman Yifan melirik Yifan dengan senyum misterius seolah menggoda.

"Ciiee... Bidadari cantik datang untuk menemukan pangeran kuda lumpingnya." celetuk Farrell.

"Hahaha..." yang lain menimpali dengan tawa meledak renyah. Sementara Yifan masih menggunakan ekspresi datarnya, dia seperti anak polos yang melongo dengan mulut setengah terbuka tanpa merasa tersentuh oleh candaan dari kelima temannya itu.

Yifan berdiri, menatap wanita itu seolah menunggu.

"Fan, kamu dekati dia-lah... Masa iya, perempuan dulu yang menghampiri laki-laki. Malulah..." Yifan hanya melirik Niko sekilas tanpa melakukan apapun.

Wanita itu berjalan kembali dengan senyum masih tersungging di bibirnya. Tepat saat wanita itu berhenti tepat di depan Yifan, kelima temannya tiba-tiba menyingkir secara sadar memberi keduanya ruang untuk berbicara. Wanita itu tersenyum tampak mengucapkan terimakasih walau dia tidak berharap mereka akan menyingkir tanpa di minta.

"Hey, bisa tidak, temani aku ke bandara nanti sepulang kuliah?"

"Ada apa?" Yifan mengernyit.

"Kevin pulang dari London hari ini." Yifan ber'Oh ria sembari mengangguk-angguk seperti ayam mematuk biji dengan bibir sedikit terbuka.

Melihat Yifan yang meresponnya tidak peduli, wanita itu merengut dengan senyum cemberut. Dia memukul lemah lengan Yifan dan merajuk, "Ayolah... Sudah lama juga kan, kita tidak berkumpul bersama buat reuni." Riana, wanita itu tiba-tiba saja menggamit lengan Yifan dengan mata berkedip manja. Hal itu sontak membuat kelima temannya yang secara diam-diam mengintip interaksi mereka seketika terkesiap penuh kejutan.

Selama ini, tidak ada wanita yang bisa membuat Yifan seolah menurut dan menerima perlakuan manja dari seorang wanita saat mereka meminta tolong. Yifan bahkan akan dengan kejamnya menolak dan melepaskan tangan wanita yang sengaja menyentuhnya. Tapi saat ini, mereka melihat Riana si kembang kampus tiba-tiba saja menggamit dengan manjanya lengan seorang pria dingin tak tersentuh macam Yifan. Apakah dunia ini akan berakhir?

Kelima mahasiswa itu saling menatap satu sama lain dengan sorot mata tidak percaya dan melongo. Mereka semakin terkejut saat Yifan ternyata dengan mudahnya tanpa berfikir panjang tidak menolak permintaan Riana dan mengangguk lagi dan lagi tanda menyetujui permintaan wanita itu.

"Hey. Apa mataku tidak salah lihat? Apa dia Yifan yang kita kenal selama ini?" Farrell menyeletuk seolah kehilangan setengah jiwanya menatap tak percaya ke arah Yifan.

Yang lain menggeleng, "Entahlah. Aku bahkan tidak yakin." Niko menimpali Farrell, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Riana memekik girang semakin memeluk lengan Yifan manja.

"Yifan, terimakasih..."

"Hm."

"Oke, kalau gitu... Aku pergi dulu. Nanti aku jemput kamu di depan kelasmu setelah selesai kelas. Sampai jumpa nanti sore. Bye bye~..." Riana melambai sebagai ucapan perpisahan, dia berlari semakin riang meninggalkan Yifan seorang diri. Wanita itu bahkan melupakan keberadaan kelima teman Yifan yang masih berada di sekitar mereka.

"Hey, Yifan... Bagaimana kamu bisa kenal sama Riana?" kata Dion, bertanya saat mereka berjalan kembali mendekati Yifan.

"Dia teman sekolah satu angkatan di SMP." jawab Yifan apa adanya.

"Tapi bagaimana kamu bisa sedekat itu sama perempuan seperti Riana? Sementara perempuan yang selalu nonton kita main basket saja bahkan banyak yang lebih cantik dari Riana. Tapi kenapa kamu justru bisa memenuhi semua apa yang Riana mau? Atau jangan-jangan...kamu dan dia..." ucapan Farrell menggantung, menatap penuh curiga Yifan.

"Tidak penting." Yifan berucap acuh, mengambil tasnya dan berlalu meninggalkan keempat temannya.

"Hey, Fan. Kamu mau kemana?" Rangga tiba-tiba berseru setelah sekian lama memilih untuk tetap diam.

"Kelas!" seru Yifan, tanpa menoleh ke belakang.

"Bagaimana latihan basketnya?!" Rangga kembali berseru.

"Kamu yang atur saja."

Mendengar bahwa Yifan bersikap acuh, kelimanya hanya bisa bersikap pasrah. "Sebagai wakil kapten, Rangga. Kami serahkan semuanya padamu pertempuran besok."

"Apa sih, Rell. Jijik tahu!" Rangga menoyor kepala Farrell cukup keras dan hampir membuat Farrell terjungkal. Namun bukannya marah, Farrell dan semuanya tertawa garing mendengar candaan dramatis yang di lakukan oleh pria itu.

Kelimanya melihat kembali ke arah di mana Yifan kini telah menjadi titik kecil sebelum benar-benar tidak lagi terlihat. Aldo berbalik, men-dribble bola basket di tangannya dan mulai men-shoot bola di tangannya ke dalam ring. Sinar wajahnya berbinar cerah saat pria itu mulai memainkan bola basket di tangannya. Melihat bahwa Aldo bersenang-senang seorang diri, semua orang tertawa gembira lantas mengikuti.

Dion hendak merebut bola dari tangan Aldo, namun Aldo dengan cepat mengelak dan menghindari tangan Dion. Dan pertandingan merekapun di mulai. Tidak peduli bahwa salah satu tim memiliki jumlah anggota yang berbeda, mereka tetap memainkan permainan bola basket itu dengan cara yang adil dengan hanya menggunakan satu ring.

Yifan masuk ke kantor dosen pembimbingnya. Saat seorang wanita kisaran usia empat puluh tahun melihat Yifan, wanita itu tersenyum ramah ke arah pria itu dan menghentikan pekerjaannya.

"Apa ada hal yang penting sampai kamu menemui saya, Yifan?"

Yifan hanya mengangguk sedikit malu. Tetapi orang tidak akan tahu bahwa dia saat ini sedang berekspresi malu karena dia memiliki wajah yang sedatar tembok.

"Katakan saja." ucap dosen itu.

"Saya mau mengajukan cuti untuk besok. Apa bisa di Acc, bu?" dosen itu mengernyit, mengambil selembar kertas form dari dalam laci sebelah kanannya.

"Ibu tentu saja bisa. Tapi.. Apa ada masalah?" dosen itu tampak cemas saat mendengar cara berbicara Yifan yang datar tetapi terkesan sedih.

"Tidak. Besok adalah hari pertama adik saya masuk sekolah. Dia meminta saya untuk menemani dia. Adik saya cuma memiliki saya. Jadi saya tidak mungkin mengabaikan pendidikannya."

"Ah, jadi begitu... Ibu kira ada apa." dosen itu menghela nafas lega mendengar alasan yang di berikan oleh Yifan. Wanita itu kemudian memberikan selebaran form kepada Yifan. "Nah! Kamu bisa mengisi formnya."

Yifan mengangguk singkat dan mengambil form itu. Dia membuka tasnya untuk menemukan pena.

"Oh ya, ngomong-ngomong. Berapa usia adikmu sekarang?"

"Tujuh tahun." dosen itu mengernyit bingung.

"Tujuh tahun?" dia membeo, Yifan hanya menatapnya sekilas, "Dia baru masuk sekolah SD?"

"Seharusnya dua tahun lalu. Tapi karena adik saya masih takut untuk bertemu dengan banyak orang, dan dia masih belum mau mengenal lingkungan di sekolah, mau tidak mau saya harus membiarkan dia terlambat masuk."

Dosen itu tampak terkesiap ketika mendengar ungkapan Yifan yang benar-benar di luar dugaannya. Apa harus membahas tentang adiknya baru Yifan bisa mengatakan sedetail dan sepanjang itu? Pikirnya.

"Tapi selama dua tahun ini, saya membiarkan dia ikut homeschooling bersama anak tetangga saya yang juga enggan bersekolah di sekolah umum. Jadi saya tidak perlu khawatir bahwa dia akan tertinggal."

"Oh... Lalu itu berarti..."

"Dia langsung ke kelas tiga."

"I see...." gumam dosen itu, akhirnya paham. Dan saat itu juga, Yifan selesai menyelesaikan formnya dan menyerahkan form yang telah dia isi ke dosen tersebut. "Baiklah..." dosen itu membubuhi form tersebut dengan cap stempel setelah menandatanganinya. "Ini. Serahkan ke bagian tata usaha."

"Terimakasih, bu."

"Tapi Yifan... Dua hari mungkin tidak akan cukup. Cutimu masih full dan belum ada satu haripun yang kamu ambil. Jadi saya memberikan tiga hari cuti di form itu. Mau kamu ambil tiga hari, silahkan, tidak juga tidak masalah."

"Tapi..."

"Tenang saja. Kamu tidak akan kehilangan beberapa cuti jika mengambil tiga hari. Saya yang menjamin." potong dosen itu cepat saat menyadari bahwa Yifan sedikit bibgung dan cemas.

Yifan tersenyum tipis, lalu membungkuk dan mengucapkan terimakasih sebelum undur diri.

Saat Yifan menuju ke ruang tata usaha, dia sangat beruntung bahwa cutinya mendapatkan persetujuan dengan cepat dan tidak di persulit.

Dia berjalan di setiap koridor kampus dengan penuh percaya diri. Namun dia membentengi diri dengan sikap dinginnya sehingga orang lain tidak mampu untuk menggapainya.

Dia tidak peduli apakah mereka memanggilnya atau hanya sekedar menggoda. Dia hanya harus berjalan seolah mereka hanyalah seekor semut yang lewat.

Yifan memasuki kelasnya untuk hari ini. Betapa beruntungnya dia bahwa dia tidak pernah mendapatkan musuh selama dia menyelesaikan setiap pendidikannya. Jadi dia bisa tetap fokus pada pendidikannya dan tidak terfokus pada hal-hal yang bersifat negatif.

Kelas berlangsung dengan lancar selama satu jam. Dan setelah menyelesaikan kelas yang ke lima, seperti yang sudah di katakan oleh Riana, wanita itu benar-benar datang dan berdiri di koridor depan kelas terakhirnya.

Aldo dan Rangga yang kebetulan saja melewati koridor kelas Yifan melihat interaksi keduanya sedang saling melempar senyum. Sedikit rasa penasaran bergelayut di hati mereka.

"Mau mengikuti mereka?" tiba-tiba Rangga menyarankan. Aldo terkesiap menatap tidak percaya ke arah Rangga. Seolah dia berkata, apakah orang ini adalah Rangga? Orang yang terkenal akan kepeduliannya pada privasi orang lain dan tidak akan pernah ikut campur meskipun itu adalah sahabatnya sendiri.

"Rangga? Kamu... Kesambet apaan? Kok.. Tiba-tiba...ngomong seperti itu." Rangga tersenyum kikuk merasa bersalah sembari menggosok beberapa kali tengkuk lehernya.

"Hanya sedikit penasaran." jawab Rangga sekenanya.

"Astaga... Eh. Tapi...boleh juga sih." celetuk Aldo pada akhirnya setuju. Rangga merasa terhibur dengan respon positif Aldo.

Keduanya lantas menyusul Yifan dan Riana secara diam-diam.

Yifan masuk ke dalam mobil milik Riana. Sementara Riana duduk di kursi passengers, dan Yifan duduk di kursi driver. Walaupun Yifan tidak memiliki mobil, namun dia bisa mengendarainya.

Raka sebagai tetangga dan teman baiknya yang cukup dekat akan membantunya belajar mengendarai mobil maupun sepeda motor saat mereka memiliki waktu senggang. Diana meminta putra sulungnya agar mau memberikan kesempatan kepada Yifan untuk belajar.

Rangga mengambil alih posisi menyetir sementara Aldo duduk di belakangnya. Mereka fokus pada mobil merah milik Riana. Bahkan Rangga berusaha keras agar tidak sampai tertinggal jauh dari jarak mobil mereka dan dia. Apalagi saat mereka terjebak rambu-rambu lalu lintas.

"Mau kemana mereka?" Aldo bertanya dengan ekspresi penasaran. Rangga tidak menyahut. Namun sorot matanya mengunci plat nomor Riana segera.

Tidak lama setelah mobil yang di kendarai oleh Yifan berjalan kembali, mobil itu masuk ke area bandara.

"Bandara? Siapa yang mau mereka jemput?"

"Ayo kita lihat." Rangga menimpali. Dia masuk ke area khusus kendaraan roda dua. Sementara Aldo bertugas untuk terus mengawasi mobil Riana berjalan ke arah lain.

Cepat-cepat Aldo dan Rangga turun dari motor setelah mendapatkan tempat parkir. Mereka berlari menuju ke arah bandara dan mencari keberadaan Yifan dan Riana.

Yifan dan Riana terlihat sangat dekat sampai-sampai Aldo dan Rangga bahkan di buat terkejut saat mereka tidak sengaja menangkap moment Yifan yang sedang tersenyum menanggapi Riana.

"Ngga, kamu lihat tadi tidak?"

Rangga bergumam "Hm.." sebagai jawaban. Sorot mata mereka tetap lurus memperhatikan Yifan dan Riana yang berdiri diam di ruang tunggu lobi bandara.

"Wah... Gimana bisa seorang Yifan senyum seperti itu? Sangat! Sangat langka!" pekik Aldo, sembari mendecakkan lidah beberapa kali.

Di sisi lain, Riana tampak cemas.

"Kenapa dia belum keluar?" Riana berjinjit sembari mendongakkan kepalanya, dia celingukan ke dalam bandara.

"Memangnya jam berapa seharusnya dia sampai?" Yifan bertanya dengan ekspresi acuh tak acuh.

"Hm..." Riana tampak berfikir, dia melirik jam tangannya dan berdecak, "..seharusnya sekarang."

Yifan menoleh ke belakang, di mana seharusnya para penumpang akan berjalan keluar dari bandara.

"Tunggu saja." Yifan mengambil ponselnya dan mengetik beberapa angka di layar ponselnya hendak menelpon.

Namun setelah beberapa kali tidak ada jawaban, dia menyerah. Hingga tiba-tiba Riana memekik dan melambaikan tangan dengan sangat antusias, Yifan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku jaketnya dan berbalik.

Ada seorang pria yang memiliki wajah baby face sedang tersenyum ke arahnya sambil menarik koper dan tangan yang lain memegang sejenis jaket.

Yifan masih tidak berekspresi, namun pria itu mengunci sesuatu yang di pegang erat-erat oleh pria yang mereka tunggu dengan penasaran. Riana yang berada di sampingnya dengan cepat berlari dan melompat ke arah pria muda itu. Pria itu tampak terkejut sehingga dia harus berhenti dan segera menangkap tubuh Riana.

Sontak, Yifan memperhatikan barang yang baru saja terjatuh dari tangan pria itu dan menggelinding di atas lantai tanpa berkedip.

Mendengar tawa renyah bahagia dari Riana, pria itu melembutkan ekspresinya dan tersenyum hangat.

"Riana."

"Selamat datang kembali, Kevin." kata Riana setelah dia melepaskan diri dari Kevin. Pria itu menatap Riana penuh kasih sayang dan kerinduan, lantas tersenyum sembari mengangguk.

"En. Aku pulang." timpalnya dengan suara halus.

Yifan datang mendekati keduanya. Setelah berada dalam dua langkah berhadapan dengan mereka, senyum Kevin sedikit melebur, menatap Yifan tampak seolah dia tidak berharap bahwa pria itu akan datang untuk menyambutnya juga.

Dengan ekspresi dingin, dia berkata mendengus, "Kenapa kau datang juga?!" Kevin mendecih malas sambil melengos.

"Selamat datang." Kevin kembali menatap Yifan, memperhatikan bagaimana penampilan Yifan saat ini. Dan saat dia menilai bagaimana penampilan Yifan saat ini, wajahnya semakin bertambah kesal.

"Riana. Aku bahkan tidak mengharapkan dia datang menjemputku. Kau tahu benar aku tidak menyukainya." rajuknya pada Riana.

Yifan mendengus geli menanggapi rajukan Kevin yang terdengar seperti anak-anak.

"Sudah, sudah. Kevin, hentikan ocehanmu itu. Lagi pula kita juga sudah lama kan, tidak kumpul-kumpul bersama."

"Dengar, Ini karena Riana! Ingat itu." Yifan hanya terkekeh dan dengan tiba-tiba, dia menarik bahu Kevin. Keduanya berpelukan dan saling menepuk bahu mereka masing-masing.

Rasa kesal dari wajah Kevin seketika menguap sirna, di gantikan oleh senyuman hangat dari seorang kawan terhadap kawan seperjuangan.

"Thanks, Fan. Sudah jaga Riana untukku."

"It's okay. Tidak masalah bagiku."

"Rangga, apa mataku yang salah lihat, atau... Mereka memang...?" jeda sesaat, "Apa dia masih Yifan yang sama dengan Yifan yang kita kenal selama ini?" Aldo benar-benar kehilangan kata-katanya seketika.

Sifat Yifan terhadap mereka benar-benar berbeda dengan sifat Yifan ketika berinteraksi dengan pria yang baru saja muncul dari dalam bandara itu. Mereka tidak tahu, apa yang salah selama ini dengan mereka sehingga Yifan bahkan lebih memilih bersikap acuh tak acuh ketika menanggapi candaan di antara mereka dan tidak akan mau mengurusi apa yang mereka lakukan.

Seolah, apa yang mereka lakukan, tidak pernah ada hubungannya dengan Yifan. Jika di perhatikan, sifat Yifan pada pria itu jauh lebih hangat dan terbuka di bandingkan dengan ketika Yifan berinteraksi tertutup dan dingin kepada mereka.

Iri, tidak bisa di pungkuri bahwa mereka memang iri dengan perlakuan baik Yifan terhadap pria itu. Namun mungkin ada alasan lain kenapa Yifan tampak begitu sangat akrab dan terbuka pada pria tersebut.

Saat mereka memutuskan untuk membuntuti Yifan dan Riana sebelumnya, mereka berfikir bahwa mereka akan menemukan sesuatu yang di sembunyikan oleh Yifan tentang hubungannya dengan Riana. Bagaimana bisa seorang Yifan luluh pada Riana, tentu saja mereka ingin tahu.

Siapa yang akan menyangka bahwa Riana akan berlari dan memeluk pria yang baru saja keluar dari dalam bandara dengan begitu mesranya, bahkan tepat di depan mata Yifan. Jika keduanya memiliki suatu ikatan dalam sebuah hubungan, Riana tidak akan mungkin begitu saja memeluk pria lain di depan kekasihnya sendiri. Jika demikian, itu berarti bahwa Riana dan pria itu sebenarnya memiliki hubungan yang jauh dari ekspektasi mereka tentang hubungan Riana dengan Yifan.

Ini masih menjadi misteri.

.

.

.

To be Continued...