Chereads / I Love You, My Brother! / Chapter 3 - Kamu Adalah Malaikat Kecilku!

Chapter 3 - Kamu Adalah Malaikat Kecilku!

7 Tahun kemudian..

I've been staring at the edge of the water

'Long as I can remember, never really knowing why...

I wish, I could be the perfect daughter,

But I come back to the water, no matter how hard I try...

Every turn I take, every trail I track

Every path I make, every road leads back

To the place I know, where I cannot go

Where I long to be..

Terdengar suara alunan lagu yang tengah di nyanyikan oleh suara khas anak kecil dari luar sebuah kamar, di mana di sana terdapat seorang pria remaja berusia kisaran 18 tahun. Pria itu masih melingkar dan meringkuk di balik selimut tidurnya.

Dalam tidurnya, kening pria itu mengernyit merasa jika tidur nyenyaknya tengah terusik oleh suara yang terdengar samar-samar di indra pendengarannya. Mata pria remaja itu mengerjap perlahan mencoba untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke dalam retinanya. Ia mengusap wajahnya kasar lantas bangkit dari tidur.

Duduk sebentar, surai dark brown-nya yang berantakan akibat baru bangun tidur tidak mengurangi kadar ketampanannya. Di tambah dua alis tebal yang menukik bak Angry bird menyatu.

Hal luar biasa darinya saat baru bangun tidur adalah, kamu bisa melihat wajah tampannya yang masih terlihat alami khas bangun tidur. Karena wajah yang biasanya terpancar darinya lebih terkesan menunjukkan pribadi yang dingin dan misterius dari pemiliknya karena tertutupi oleh sebuah ekspresi datar namun dingin.

Pria remaja itu bangun dengan keadaan linglung. Dia kembali mengernyit mencoba mempertajam pendengarannya dengan mata masih terpejam, mengernyit.

See the line where the sky meets the sea

It calls me

And no one knows, how far it goes

If the wind in my sail on the sea stays behind me

One day I'll know 

If I go there's just no telling how far I'll go

Oh oh oh, oh, oh oh oh oh, oh oh oh, oh oh

Oh oh oh, oh, oh oh oh oh, oh oh oh, oh oh

'Lagu ini..' Batinnya. Pria tersebut kemudian menoleh kanan dan ke kiri setelah matanya benar-benar terbuka. Lalu dengan malas, dia beranjak dari tempat tidurnya. Langkahnya terhuyung dengan mata masih sedikit perih.

I know, everybody on this island seems so happy on this island

Everything is by design

I know, everybody on this island has a role on this island

So maybe I can roll with mine

I can lead with pride, I can make us strong

I'll be satisfied if I play along

But the voice inside sings a different song

What is wrong with me?

Lagi. Ah, sepertinya dia tahu suara siapa itu. Pria remaja itu lantas masuk ke dalam kamar mandi yang tidak jauh dari kamarnya untuk mencuci mukanya sejenak, sebelum keluar dari rumah.

Sreekk!!

Drap   Drap   Drap..

Derap langkahnya menggema di lantai yang terbuat dari kayu super pilihan. Dia terus berjalan menuju ke halaman belakang rumahnya. Mengikuti arah dimana suara itu berasal.

See the light as it shines on the sea

It's blinding

But no one knows, how deep it goes

And it seems like it's calling out to me, so come find me

And let me know 

What's beyond that line, will I cross that line?

Semakin pria itu berjalan, semakin dirinya mendengar suara yang tadinya samar-samar kini terdengar sangat jelas di gendang telinganya. Pria tersebut semakin menarik sudut bibirnya membentuk sebuah senyuman tipis. Saat sampai di ambang pintu belakang rumahnya, terlihatlah sosok gadis kecil yang memiliki postur tubuh mungil dengan tinggi badan yang hanya sekitar 100 centimeter. Dia memiliki dua pipi yang bulat seperti bakpao, dengan surai dark brown sepanjang punggung dan lurus. Anak perempuan itu memakai dress pink soft dengan hiasan bunga peony di ujung dressnya.

Pria itu secara diam-diam mengamati kegiatan gadis kecil yang tengah menyiram tanaman hasil berkebun mereka selama beberapa tahun belakangan ini. Itu juga di karenakan sang gadis cilik itu ngotot ingin memiliki sebuah taman bunga sederhana di pekarangan rumah belakang. Pria itu bersandar pada tembok di samping pintu dengan tangan terlipat di depan dada dan kaki menyilang.

Anak perempuan itu melompat-lompat kecil seakan kedua kaki kecilnya sedang menari-nari, dengan selang mengucurkan air yang ia goyang-goyangkan, melambai lembut untuk meresapi tiap lirik lagu yang ia nyanyikan. Bahkan anak itu sama sekali tidak menyadari kedatangan seseorang yang kini tengah asik memperhatikannya.

See the line where the sky meets the sea

It calls me

And no one knows, how far it goes

If the wind in my sail on the sea stays behind me

One day I'll know, how far I'll go

Anak perempuan kecil itu lalu menutup sesi menyanyinya dengan kedua tangan yang merapat memeluk selang yang masih mengucurkan air dan di letakkan di sisi pipi kirinya. Tidak peduli jika sekarang tubuhnya sudah basah kuyub, dia bahkan memiringkan kepala dan menutup kedua matanya seakan menghayati kata-kata terakhir lagu itu, layaknya seorang penyanyi seraya berputar menghadap ke arah pria yang sedang mengamatinya.

Sejenak pria itu menatap lekat anak perempuan tersebut. Yang tak lain adalah adiknya sendiri. Tatapannya menyiratkan bahwa pria itu benar-benar sangat menyayangi adiknya. Adik sekaligus malaikatnya. Pelita hidupnya.

Prok  Prok  Prok

"Ah?!" Anak perempuan itu memekik dengn tubuh membeku kaku, membuat dirinya sontak refleks melepaskan selang air di tangannya secara spontan.

Anak perempuan membuka matanya sedikit melotot dengan mulut terbuka. Ia terbelalak ketika melihat sang kakak berada di depannya tengah tersenyum sembari bertepuk tangan. Meski pria itu tampak tidak sedang tersenyum, namun gadis kecil itu cukup tahu dari garis matanya yang tertarik membentuk keriput dan garis bibirnya yang sedikit melengkung.

Tiba-tiba darahnya berdesir naik dan memanas. Membuat cuping telinganya memerah juga kedua pipinya bersemu merah karena malu. Tentu saja pria itu melihatnya dan menyadari adiknya yang terlihat sedang malu-malu.

Pria itu semakin mendekat ke arah gadis kecil tersebut. Gadis kecil itu semakin gugup di buatnya. Kedua kelereng honey brown gadis kecil itu bahkan bergerak tak tentu arah asalkan tidak menatap bola berwarna sama milik pria itu. Mencoba menelan ludah kering untuk menutupi kegugupannya, gadis itu memilin ujung dressnya dan meremasnya keras kuat-kuat hingga lecek.

"Ka, kakak. A-aku.. Ee..?" suara lembut nan gugup dari gadis kecil berpipi bakpao itu tergagap. Bahkan ia masih tetap tidak berani mendongak hanya untuk menatap sepasang mata tajam milik kakaknya itu.

Pria remaja itu berjongkok mengangkat dagu anak itu menggunakan jari telunjuk kanannya. Menuntut pada anak itu untuk menatap matanya. Anak perempuan itu semakin bertambah gelisah. Bahkan ia sampai kesulitan hanya untuk menelan salivanya kembali. Wajahnya semakin memerah karena di tatap begitu intens oleh  sang kakak yang baginya sangat tampan. Membuat pria di depannya menyeringai geli.

"Mana kecupan selamat pagi untuk kakak, Yuna?"

Gleg!

Sebisa mungkin ia menelan salivanya demi mencari rasa ketenangan. Namun naas, dia justru malah semakin gugup. Iris matanya bahkan belum juga berhenti bergerak karena gelisah. Kaki kanan milik gadis kecil itu menginjak kaki kirinya, mengusap-usapnya menggunakan jari-jari mungilnya demi mengusir rasa canggung.

"I,itu.. Emmb..." Yuna, gadis cilik itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal sembari menggigit bibirnya demi mendapatkan suara yang tidak gemetar karena malu. Lalu dia tiba-tiba menggaruk pipinya yang tidak gatal salah tingkah. Dan menghindari saling bertatap wajah kemanapun asal mata mereka tidak bertemu.

"Huh?!" Pria itu menggendikkan dagunya menatap mata Yuna dengan tampang polos namun menyiratkan tanda kejahilan.

"Yuna sudah memberikannya tadi. Waktu Yuna bangun lebih dulu dari kak Yifan, Yuna masuk ke dalam kamar kakak untuk membangunkan kakak tidur." Jawab Yuna lancar dan apa adanya. Namun ia belum berani untuk menatap mata tajam perpaduan hangat milik Yifan.

Memang benar, setelah Yuna bangun lebih dulu dari Yifan, dia akan selalu menyempatkan diri untuk mengecup kening kakaknya dan terakhir mengecup kedua pipi kakaknya baik itu ketika Yifan tidak dalam keadaan terbangun, atau hanya sekedar setengah tersadar. Sebuah kebiasaan yang selalu di ajarkan oleh Yifan dari ia masih balita hingga sampai sekarang.

"Kakak tidak sadar Yuna. Coba ulangi lagi." Titah Yifan. Dengan ekspresi wajahnya yang tanpa dosa, dia memajukan keningnya ke hadapan gadis cilik itu.

Sejenak Yuna ragu dan hanya bergerak gelisah dengan bola mata yang masih bergerak tidak tentu arah.

Dengan malu-malu, pada akhirnya mau tidak mau Yuna kembali mengecup kening pria remaja itu cukup lama, lalu kedua pipi Yifan untuk menyalurkan kasih sayangnya terhadap kakaknya. Diam-diam Yifan menyeringai jahil sebelum ia mendongak. Hal itu sontak membuat Yuna terkejut, kejadian berikutnya..

Chuup!

Yifan mengambil kesempatan untuk mengecup bibir merah cherry adiknya cepat. Hal itu membuat gadis kecil itu semakin merona karena malu. Yang bisa ia lakukan hanya mematung menatap sang kakak yang tersenyum lembut kepada dirinya tanpa merasa bersalah.

"Selamat pagi, Yuna." Sapa Yifan seraya tersenyum sumringah hingga membuat matanya menyipit dengan gigi putih rapinya terlihat.

Dan lagi, Yifan tampak lebih tampan hari ini meskipun dia belum mandi. Yuna bahkan hanya mendapat kesempatan untuk bisa melihat Yifan yang tersenyum hangat kepadanya hanya di saat berada di rumah, menghabiskan waktu luang berdua bersamanya. Karena pada saat itulah Yifan bertingkah alami di depan sang adik.

Sama halnya seperti saat ini. Yifan penuh kasih sayang, dan selalu memberikan senyuman indah yang jarang terlihat dari wajahnya di depan Yuna. Hal yang membuat mood-nya kembali hidup dan semakin bersemangat untuk menjalani kehidupan dan aktivitasnya sehari-hari.

Bukan hanya itu saja. Kebiasaan yang selalu dirinya lakukan di waktu Yuna masih balita masih menjadi rutinitasnya. Entah pria itu ataupun Yuna yang melakukannya, mereka akan selalu melakukan kebiasaan dengan kecupan sayang tiap kali mereka akan melakukan suatu aktivitas.

Meskipun Yifan ingin merubah kebiasaan tersebut karena usia Yuna yang sudah tidak lagi bayi, namun dia tetap kesulitan untuk menghentikannya. Karena semua yang ada pada Yuna bagaikan Narkotika yang merusak otaknya. Di mana mengecup Yuna sudah menjadi candu baginya.

Kakak macam apa dia? Dasar brengsek.

(ノ`□´)ノ⌒┻━┻

Tapi suatu saat nanti, dia harus menghentikan kebiasaan itu secepatnya. Suatu hari nanti, Yuna tidak akan berada di sampingnya lagi karena akan ada banyak laki-laki bodoh yang tentu saja ingin berebutan mendapatkan hati adiknya, sebelum akhirnya dia harus melepaskan adiknya untuk menikah. Haㅡah... Memikirkan masalah itu, ekspresi Yifan berubah sendu. Dan itu membuat moodnya tiba-tiba saja kesal.

"Selamat pagi, kak Yifan." Balas Yuna yang sudah kembali sadar seperti semula lagi. Gadis kecil itu tersenyum begitu sangat cantik.

"Hm..." Yifan mengangguk sebagai respon. "Kamu sudah sarapan?"

Yuna mengangguk lucu dengan bulu mata lentik yang kadang berkedip manja. "Tentu saja. Tadi Yuna membuat roti dengan selai jeruk buatan kakak kemarin." Jari telunjuknya bermain ke dagu sebelah kanannya dengan kepala miring.

"Kalau begitu kita sarapan lagi sekarang. Kakak yang akan memasak untuk kamu."

"Tapi kak, tunggu. Baju Yuna basah. Apa kakak tidak lihat?" Yuna menunjuk dress pink soft miliknya yang basah kuyup karena bermain air ketika dirinya tengah bernyanyi seraya menyiram tanaman kesayangannya.

"Apa mau mandi bersama?" Goda Yifan mengerling ke arah Yuna. Dan kedua pipi bakpao gadis cilik itu langsung memerah karena malu.

"Yuna sudah besar, kakak. Yuna bisa mandi sendiri, kok." Yuna mempoutkan bibirnya seraya menggembungkan pipinya kesal, namun secara bersamaan merasa malu. Ia berusaha untuk mengelak dan mengalihkan wajahnya yang masih merona selayaknya kepiting rebus.

Yifan hanya bisa geleng-geleng kepala di buat gemas dan mengacak surai basah Yuna. Meski begitu, pria itu tampak senang. Penantiannya selama ini membuahkan hasil. Yuna merupakan sosok anak yang tergolong dalam otak yang cukup cerdas, dan gadis kecil itu memiliki sifat ceria yang membuat Yifan betah di rumah.

Padahal kebanyakan orang berotak cerdas cenderung bersifat introvert seperti dirinya. Namun untuk kasus Yuna sungguh berbeda. Yuna lebih banyak berbicara ketimbang dia. Menjadikan rumah yang dulu sepi kini berubah lebih berwarna dengan bertumbuhnya usia gadis kecil itu yang sudah menginjak usia 7 tahun.

Mungkin, sifat dewasa yang kadang muncul pada Yuna menurun dari sifat ayahnya. Yang dia ketahui memiliki pribadi yang tenang. Sedangkan sifat ceria dan ceroboh yang terkadang muncul, gadis itu dapatkan dari sifat ibunya.

Benar-benar perpaduan yang unik.

"Yuna mau mandi dulu." Celetuk gadis itu. Ia hampir saja melangkah pergi untuk masuk ke dalam rumah, tetapi Yifan dengan cepat telah menepuk pundak gadis itu dan..

Grep!!

"Ah!" Yifan mengangkat tubuh mungil Yuna di depan tubuhnya. Sehingga membuat Yuna lebih tinggi darinya.

Yuna berkedip-kedip lucu menatap Yifan yang tersenyum ke arahnya tidak mengerti. "Kakak yang akan siapkan air hangat untuk mandi."

Paham, gadis itu tersenyum lima jari lantas menyahut, "Ok kak."

Yifan membawa tubuh basah gadis itu ke dalam rumah, sebelum kemudian menyiapkan air hangat untuk mandi.

Tanpa di sadari oleh keduanya, dari balik jendela lantai dua di rumah tetangga mereka, berdiri seorang anak laki-laki yang terlihat seumuran dengan Yuna tengah menatap mereka dengan tatapan tidak suka. Bukan pada gadis kecil itu. Melainkan lebih kepada orang yang menggendong tubuh Yuna masuk ke dalam rumah tersebut. Ana k laki-laki itu menggeram marah, mengepalkan kedua tangannya mencoba untuk menahan emosinya yang hendak meluap dan meledak. Dia lalu berbalik, menghentakkan kakinya dan keluar dari kamar untuk pergi ke lantai dasar dengan wajah tertekuk masam.

Dari lantai dasar, Diana sang ibu juga Raka sang kakak melihat anak yang tak lain adalah Rama itu dengan sorot mata bingung. Karena wajah anak bungsunya tampak kesal dan buruk.

"Kamu kenapa, Ram?" Tanya Diana ingin tahu.

"Tidak ada" Jawab singkat anak laki-laki itu.

Raka mengernyit heran. Ada apa dengan adik bodohnya itu? Adiknya seperti sedang kesal dengan seseorang. Tapi kesal pada siapa? Tidak mungkin dengan dirinya bukan? Ia bahkan tidak merasa membuat masalah dengan adiknya itu hari ini.

"Kapan aku mulai sekolah, Ma?" Tanya Rama akhirnya. Ia mencoba untuk sebisa mungkin tidak terlihat kesal lagi di depan keluarganya dengan cara mengalihkan pertanyaan sang ibu terhadap pertanyaannya sendiri.

"Besok bukan? Kamu sudah tidak sabar, ya?" Ujar Diana tersenyum menggoda.

"Yuna... bagaimana?" mendengar putranya menyebut nama gadis itu, Diana tersenyum sejenak.

"Dia juga akan mendaftar di sekolah yang sama denganmu. Kamu tahu sendiri bukan, Yuna hanya dekat dengan kamu?"

"Ya." Rama menyeringai tipis penuh arti.

Raka melirik Rama sambil menaikkan sebelah alisnya heran, tapi detik berikutnya dia sedikit mengerti. Ah, sepertinya karena Yuna-lah adiknya tiba-tiba menjadi kesal. Apa adiknya memiliki perasaan pada anak perempuan manis itu? Jika iya apa yang akan terjadi nantinya? Raka terkekeh singkat sebelum memilih untuk menyudahi sarapan paginya.

"Aku pergi dulu Ma. Ada yang harus aku urus dengan teman-temanku di kampus." Pamit Raka, lantas berlalu pergi setelah mencium pipi Diana sayang.

Ada yang tanya kenapa ayah Rama juga Rama tidak ada? Jawabannya karena sudah lebih dulu pergi ke kantor untuk bekerja. Sehingga waktu mereka untuk menghabiskan waktu keluarga hampir jarang tidak ada.

**********

Sementara Yuna sedang mandi, Yifan menyiapkan sarapan untuk mereka di dapur. Ia kini sudah mahir menggunakan alat-alat memasak juga saat mencincang bumbu ataupun bahan-bahan yang akan di masak karena seringnya ia melakukan itu hampir 12 tahun lamanya.

Semenjak Yuna beranjak usia, Yifan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah bersama adiknya itu. Hidupnya semakin berwarna tiap kali ia selalu teringat Yuna di manapun dan kapanpun dirinya berada. Yifan bahkan telah menjadi seorang mahasiswa sementer 4.

Pria remaja itu tidak mengambil jurusan management bisnis perkantoran seperti kebanyakan orang pada umumnya, namun Yifan justru lebih memilih mengambil jurusan pendidikan di bidang matematika. Dirinya ingin menjadi seorang guru sama seperti kakaknyaㅡReza.

Ceklek!!

"Kak Yifan, cepat mandi. Bukankah kakak harus kuliah pagi ini?" Kata gadis kecil itu, yang baru saja keluar dari kamarnya. Rambutnya masih basah dan belum ia keringkan. Hal itu menyebabkan tetesan air dari rambutnya yang panjang mengalir melewati leher jenjangnya.

Yifan yang masih berkutat dengan bahan-bahan sayuran yang akan di masaknya sontak terkesiap, melihat penampilan adiknya yang menurutnya sungguh indah. Shit! Godaannya terlalu indah.

Haㅡah... Dasar kakak berotak busuk. (눈_눈)

Yifan menggeleng keras mengenyahkan pikiran kotornya. Tidak, tidak, tidak. Walaupun dia tidak akan berdosa bila memiliki perasaan terhadap adiknya itu, namun melihat Yuna tumbuh dan menganggapnya sebagai seorang kakak tidak bisa merubah keputusan dan aturan apapun yang ada. Yuna akan tetap menganggapnya kakak dan juga walinya. Dan dia harus bisa merelakan hal itu. Dan kamu benar-benar harus menyingkirkan otak kotormu itu, Yifan.

Toh dia sendiri juga tidak tahu, apakah adiknya itu juga akan memiliki perasaan yang sama sepertinya atau tidak. Dia tentu tahu dengan sangat jelas bahwa perasaan semacam itu sangatlah mustahil ada pada Yuna.

Ya, seorang pria dewasa seperti Yifan Ali Arshavin, memiliki kelainan menyukai seorang bocah di bawah umur. Terbukti ketika saat teman-teman kampusnya mencoba untuk mengajak dirinya ke sebuah party gadis-gadis sexy nan erotis di sebuah bar, dia sama sekali tidak tergoda sedikitpun.

Tapi ketika matanya melihat adiknya maupun tubuh milik Yuna yang hanya memakai busana lengan pendek ataupun pants, hal itu justru membuat libidonya menjadi naik seketika. Dan dia bisa simpulkan bahwa dirinya adalah seorang pedophile. May be. (¯―¯٥)

Baiklah, otak pria ini benar-benar mengalami masalah.

(ノ`□´)ノ⌒┻━┻

Dia tidak tahu sejak kapan dirinya memiliki perasaan untuk adiknya. Tapi yang jelas, dia hanya tertarik dengan hanya melihat Yuna saja dan bukan orang lain.

"Ah, ya Yuna." Cepat-cepat Yifan menghampiri gadis kecil yang manis itu dan mengambil alih handuk dari tangan Yuna.

Yifan menarik tangan adiknya tersebut dan membimbing Yuna untuk duduk di sofa.

Lebih tepatnya gadis itu duduk di antara kedua pahanya dan pria itu mengapit kedua kaki Yuna. Ketika hendak mengusap surai basah Yuna, anak itu menggesek pantatnya untuk mundur agar bisa menyandarkan punggungnya pada dada bidang Yifan yang keras, namun tanpa gadis itu sadari, dia tidak sengaja menekan sesuatu yang bersifat privasi milik pria itu.

"Aaahh!! Shitt!" pekikan tertahan Yifan berhasil lolos akibat sesuatu di bawah sana mulai bereaksi, itu karena tidak sengaja di tekan oleh pantat sang adik.

"Huh?!" Gesek lagi, Yifan menggigit bibirnya tersentak. Ia mencoba menahan desahannya sembari menutup matanya tidak tahan. Gadis itu menelengkan kepalanya ke belakang seraya berkedip polos, ketika mendengar suara kakaknya yang tiba-tiba mengerang.

"Ada apa kak?" Tanya gadis itu, berkedip polos.

"Ah, tidak ada. Yuna, diamlah sebentar. Biar kakak keringkan dulu rambutmu yang basah." Tukas Yifan dengan suara serak susah payah. Pria itu bahkan tersenyum kaku seolah terpaksa.

"Ok. Oh ya kak. Besok kamu libur untukku, kan?"

"Tentu saja. Kakak sudah janji, kan?" Yifan mengusap lembut surai basah milik Yuna hingga kering menggunakan handuk di tangannya.

Sampai tiba-tiba Yuna kembali bergerak dan membuat Yifan semakin mengerang frustasi. 'Tenanglah sedikit Yuna, kamu mau kakakmu yang kamu anggap malaikat ini memakanmu hidup-hidup sekarang?!' Batinnya ironis.

"Terima kasih, kak. Aku menyayangimu."

Gyuutt!!

Tekan.

'Shit!!' Yuna kembali berulah dan kini tubuhnya berputar ke kiri menghadap pria itu. Membuat kedua pantat gemuk gadis kecil itu naik ke paha kanan Yifan dan menyebabkan sesuatu miliknya semakin bereaksi juga terasa sesak akibat terlalu banyak di gesek oleh sang pelaku yang terlihat masih polos.

Ia butuh pelepasan Tuhan. Harapnya.

Chuup!

"Hehehe.." Cengiran Yuna membuat mata Yifan kini menggelap di penuhi oleh kabut nafsu ketika gadis itu berhasil mengecup pipi kanan milik pria tersebut.

"KYAA!! Kakak!!" Jerit Yuna saat tiba-tiba tubuh mungilnya di angkat oleh Yifan dan di tindih di bawah tubuh kungkungan pria tersebut.

"Ah! Haha.. Kakak, geli. Hentikan, haha!!" pekikan lolos dari bibir merah tipis milik Yuna di sertai tawa saat Yifan secara jahil menggelitiki tubuh Yuna di bagian yang sensitif.

"Nakal kamu, ya? Huh? Rasakan ini. Rasakan!" ujar Yifan, terus menggelitiki perut dan ketiak Yuna.

"Haha.. Yuna salah kak, hahaha, Aww! Geli. Kakak, hentikan. Hentikan! Haha..." Kini tak ada lagi kakak yang bak malaikat. Tetapi kini iblis yang menyerupai seorang kakak.

"Haㅡah... Kak Yifan." Panggil Yuna dengan suara lelah.

"Ya, Yunaku yang cantik." Jawab Yifan menatap mata gadis itu yang menyayu karena kelelahan. Sejenak ia berhenti dari kegiatannya untuk membalas tatapan adiknya.

Sungguh. Dia benar-benar menginginkan Yuna. Tapi dia harus sadar akan posisinya saat ini. Apa yang ia lakukan kini salah. Perlahan di kecupnya seluruh bagian wajah Yuna penuh sayang. Di mulai dari kedua pipinya, hidung, dagu, lalu kedua kelopak mata gadis itu hingga membuat Yuna menggelinjang geli. Yifan kembali menatap iris honey brown Yuna intens, dan gadis itu tersenyum sangat polos ke arahnya. Pria itu menghela nafas berat, lantas mengecup kening adiknya lama. Setelahnya Yifan menempelkan keningnya pada kening Yuna dan menyatukan hidungnya yang mancung ke hidung Yuna.

"Kakak? Ada apa?" tanya gadis itu dengan sorot mata polos. Yifan tersenyum tipis, hanya menggelengkan kepalanya.

"Tidak ada." dengan lembut, pria itu menarik tubuh Yuna ke dalam dekapannya. Memeluknya sangat erat. "Kakak hanya merindukan orangtuamu, Yuna."

Mendengar tentang orangtuanya, mimik wajah Yuna berubah menyendu. Menundukkan pandangannya dalam dan berusaha untuk membayangkan sosok kedua orangtuanya.

Dirinya tidak tahu bagaimana sosok ayah dan ibunya. Meskipun Yuna telah melihat bagaimana wajah ayahnya dan wajah ibunya, tapi dia jelas tidak tahu bagaimana pribadi mereka. Hanya tahu dari bibir kakaknya saja ketika sedang menceritakan keduanya.

Yifan tersadar sangat cepat, menyadari bahwa dirinya telah salah karena lagi-lagi dia membahas tentang Reza dan Anggita di depan Yuna. Tidak seharusnya dia kembali membicarakan mereka.

Yifan cepat-cepat menghentikan pelukannya, tersenyum menatap wajah adiknya yang masih tampak bersedih. Iris bola mata milik gadis itu bertemu dengan iris bola mata milik Yifan. Pria itu tersenyum simpul, namun gadis itu masih bergeming.

"Kita lupakan saja. Ayah dan juga ibumu pasti akan bersedih bila melihat wajah putrinya seperti ini. Tersenyumlah." kata pria itu mencoba menghibur. Yifan mencubit sekilas ujung hidung Yuna dengan mata menyipit lucu.

"Hehe... Kakak benar. Aku tidak boleh membuat Ibu dan ayah bersedih di atas sana." melihat mood gadis itu kembali ceria, Yifan semakin tersenyum lega. Seperti ini saja sudah membuatnya bahagia.

"Kakak menyayangimu, Yuna. You're my little angel. and it was for forever." Katanya, sembari memeluk adiknya kembali.

.

.

.

.

To be Continued...