"No!" Seorang wanita membentak kasar karena terkejut.
Wanita itu segera melepaskan pelukan lelaki yang baru beberapa menit lalu membawanya pada puncak kenikmatan surga dunia. Dia bangkit dari terlentangnya. Lalu duduk bersila di atas kasur, sebelah tangannya refleks menarik selimut biru bergambar bunga mawar besar. Selimut itu dipakainya untuk menutup tubuh bagian depannya yang tanpa busana.
Raut wajahnya seketika tegang dengan rona merah padam. Dua bola mata indahnya terbelalak menatap tajam wajah lelaki yang terlentang di depannya. Lelaki itu bahkan membiarkan tubuh telanjangnya terekspose. Dua bola matanya teduh dan tenang membalas tatapan sangar sang wanita.
Tak ada sepatah kata pun yang terlontar dari keduanya. Beberapa saat berikutnya keadaan menjadi hening. Hanya deru napas sang wanita yang terdengar jelas dari dada yang turun naik tak beraturan.
"Apa yang merasukimu, Rayan?" tanya wanita itu dengan nada tertahan. Rona wajahnya masih memerah, tampaknya darah di sekujur tubuhnya masih mendidih terbakar emosinya.
"Dhena, sabar dulu, Sayang." Lelaki yang dipanggil Rayan itu membalas dengan tenang, berbanding terbalik dengan dengan keadaan wanita yang dipanggilnya Dhena.
Wajah Dhena tampak masih sangat tegang. Rambut hitam berkilau sepunggung yang dibiarkan acak-acakan tampak beberapa bergerak saat dia menggelengkan kepalanya pelan.
"Kamu sehat, Rayan?" Dhena memastikan kondisi mental lawan bicaranya dengan suara sedikit bergetar. Tampaknya dia masih tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Hehehe, sabar dulu, Sayang." Rayan mencoba menenangkan Dhena.
"Sabar apaan, Rayan? Aku ini istrimu bukan pelacurmu!" sergah Dhena geram.
"Dhen, karena kamu istriku, makanya aku berani memintanya," jawab Rayan di balik senyum ganjilnya. Senyum aneh yang belum pernah dilihat sebelumnya oleh Dhena.
"Pantaskah seorang suami meminta istrinya selingkuh?" tanya Dhena dengan intonasi rendah namun terdapat sedikit penekanan di akhir kalimat.
Laki berusia 32 tahun itu bangkit dari telentangnya. Ia pun duduk bersila seperti isrinya sambil memeluk bantal untuk menutupi auratnya. Sorot matanya tetap teduh dan senyuman misterinya kian asing dirasakan istrinya.
Tangan Rayan mencoba meraih tangan istrinya, tetapi Dhena segera menepiskannya dengan kasar. "Dhen, mari kita bicara dengan kepala dingin," ajak Rayan, "itu hanya usulan demi kebaikan hubungan kita. Bukan pemaksaan," lanjutnya.
"Demi kebaikan katamu? Kebaikan yang mana, Rayan?" sergah Dhena. "dia masih sangat muda. Apakah kamu tega menghancurkan masa depannya?" Intonasi Dhena kembali melengking untuk saja hanya ada mereka berdua di rumahnya.
"Ssssttt." Rayan meletakan telunjuknya di bibir Dhena yang sedang murka. Lalu dia tersenyum dan melanjutkan ucapannya. "Yang mau ngancurin masa depannya siapa? justru dia setuju bahkan sangat senang dengan usulan itu." Rayan kembali tersenyum.
"Senang katamu? Dia setuju? maksud kamu dia mau disuruh selingkuh sama kamu?" Mata Dhena makin membesar.
"Sebenarnya dia sudah lama menaruh hati sama kamu, Dhen." Rayan kembali memegang lembut tangan istrinya.
"Bulshit!" bentak Dhena seraya kembali menepiskan tangannya, "kamu mau menjebakku, Rayan?" tanyanya tak bersahabat.
Suasana seketika menjadi tegang. Aura pertentangan batin menyelimuti segenap jiwa pasangan suami istri di kamar tidur yang semestinya menjadi tempat ekslusif yang romantis dan nyaman. Seprei, kelambu dan gorden yang didominasi warna marun ala Timur Tengah, sama sekali tak mampu meredam segala ketegangan.
"Sayang, tak mungkin juga aku mencelakakan kalian. Aku rela kamu selingkuh dengan dia, demi kelanggengan rumah tangga kita." Rayan berusaha meyakinkan.
"Oh my God!" dengus Dhena seraya mengusap wajahnya. Kedua matanya menatap tajam wajah suaminya yang tampak tetap tenang dan teduh.
"Aku ini istrimu! Dan dia saudaramu! Kenapa harus jadi ribet begini?" Dhena melebarkan kedua tangannya, "kalau kamu sudah tidak mencintai istrimu, bahkan membiarkan selingkuh dengan lelaki lain, kenapa tidak diceraikan?" tegas Dhena.
"Sayang, dengar dulu penjelasanku.".
"Aku tak butuh penjelasanmu! Hanya suami gila yang menyuruh istrinya selingkuh atau berzina."
"Dhen, hampir seluruh waktu Uda tersita untuk kerja dan si kecil, Aliya. Mungkin akan sangat jarang bisa datang ke sini. Uda takut kamu selingkuh dengan lelaki lain." Rayan berusaha tetap tenang dan sabar.
"Kenapa takut selingkuh? Bukankah kamu menyuruhku selingkuh dengan Rafly?"
"Lelaki lain tidak sungguh-sungguh menyayangimu, Dhen. Mereka hanya akan memoroti kita. Sedangkan Rafly sudah sangat menggantikan tugas Uda, melindungimu dalam segala keadaan." Rayan menjelaskan.
"NO!" bentak Dhena, "Justru kamu yang sudah tidak menyayangiku, Rayan. Kamu... ha.. ha.. hanya hik... hik... hik..." Dhena tak melanjutkan kalimatnya. Tangisnya tak sanggup lagi dia tahan.
Rayan memeluk Dhena, membiarkan wanitanya menumpahkan air mata di dadanya. "Kamu suami laknat, Rayan.. hik... hik... hik..." Dhena bicara diantara isak tangisnya.
Sementara Rayan terus memeluknya mesra."Sayang, jangan dulu emosi," rayunya seraya membelai rambut Dhena.
"Rayan!" Dhena mendorong tubuh suaminya, sinar matanya tiba-tiba menjadi beringas. "Sekarang juga aku minta cerai!" tegasnya.
"Dhen, ingat janji kita pada papa dan mama." Rayan mengingatkan.
Sebuah kalimat sakti kembali terlontar dari mulut Rayan. Senjata ampuh yang selalu mampu meredakan tangis sekaligus membunuh kemarahan Dhena.
Seminggu sebelum menikahi, Dhena bersumpah dan berjanji di depan orang tuanya, jika pernikahannya dengan Rayan menjadi pertama dan yang terkahir. Apapun keadaannya dia tak berniat untuk mengingkari sumpah dan janjinya itu.
Beberapa jam kemudian, ketika malam terus beranjak dan Rayan pun telah kembali ke rumah istri mudanya, Dhena hanya terdiam dalam terlentang. Dan pada pukul 00.23. WIB Dhena masih anteng menatap langit-langit kamar yang membisu.
Merangkai kembali semua peristiwa silam yang pernah terjadi antara dirinya dengan sang suami. Rumah tangga yang dirasakannya semakin hari semakin janggal dan aneh.
Menjadi istri dari lelaki atas pilihannya sendiri ternyata tak selamanya indah dan berbuah manis. Cinta sang pujaan telah pudar. Kini dia bahkan tega mengabaikan dirinya hanya karena belum bisa memberikan keturunan.
Hancur dan remuk rendam perasaan Dhena. Dia seorang insan biasa yang harus berusaha lebih keras agar tetap kuat dan setegar batu karang di lautan dalam mempertahankan mahligai rumah tangganya. Cinta dan kesetiaannya sedang dalam ujian dan cobaan yang sangat dahsyat.
Kini segenap pikirannya Dhena kembali terlempar pada masa setahun yang lalu. Saat dirinya tersudut dalam dalam situasi sulit yang sangat menyakitkan. Ketika Rayan berterus terang dan meminta izinnya untuk menikah dengan wanita lagi.
"Mengapa kamu begitu ngotot ingin menikah lagi? Jika alasannya anak, mengapa tidak bersabar? Bukankah saat ini kita sedang sama-sama berikhtiar. Pernikahan kita bahkan baru dua tahun. Di luar sana banyak pasangan yang belum dikarunia anak hingga belasan tahun. Mereka tetap bersabar dalam ikhtiar."
"Uda tidak sesabar mereka, Sayang. Uda sudah lelah berlama-lama dalam kehampaan dan kesunyian hidup tanpa kehadiran anak."
"Jika benar kamu ingin segera punya anak, bukankah aku sering menawarkan untuk mengadopsi? Tidak sedikit pasangan yang hidup bahagia dengan anak adopsinya. Mereka tetap bisa mencurahkan cinta dan kasih sayangnya pada anak-anak itu walau bukan darah dagingnya!"
"Sayang, kalau bukan darah daging sendiri, tetep saja rasanya beda. Cinta dan kasih sayang yang dicurahkan tidak mungkin bisa seutuhnya. Mereka yang mengadopsi pun hanya berpura-pura bahagia. Uda yakin, jauh di lubuk hatinya, mereka tetap mendambakan hadirnya anak darah dagingnya sendiri. Anak kandung dalam perkawinan itu tidak bisa tergantikan oleh apapun."
"Jadi gimana, Yan?" Dhena bertanya pasrah.
"Uda sudah tidak betah di rumah ini tanpa kehadiran anak. Rasanya banting tulang usaha yang Uda lakukan menjadi sia-sia semata jika hanya kita yang menikmatinya."
"Kamu yakin calon istrimu bisa hamil dan melahirkan anakmu?"
"Sangat yakin!"
"Mengapa seyakin itu? Bukankah kehamilan itu kehendakNya yang tak bisa diduga-duga oleh siapapun. Jadi sangat mungkin calon keduamu nanti tidak bisa mengandung atau melahirkan."
"Dia sangat subur, Dhen. Bahkan kini sedang mengandung janin dari benihku."
"Allahu Akbar! Kamu serius Rayan?"
"Sangat serius, Dhen! Untuk itulah Uda meminta restu darimu untuk menikah dengan Elisa. Anaknya nanti kita asuh bersama, agar Dhena juga bisa merasakan nikmatnya menjadi ibu. Elisa sudah setuju jika anak kami nanti diasuh bersama. Dia darah daging Uda, jadi anggap saja darah daging Dhena juga."
Dhena hanya mampu ternganga. Tak banyak yang bisa diucapkan dan dilakukannya lagi. Tak ada pilihan lain kecuali terpaksa menurunkan ego. Sepahit apapun kenyataannya dia harus menghadapinya dengan sabar dan tawakal.
Demi kebahagiaan suaminya dan juga kelanggengan rumah tangganya.
Rayan sudah menghamili Elisa, salah seorang karyawan di tokonya. Janin dalam kandungannya wajib dipertanggung jawabkannya.
Kini air mata Dhena kembali mengembang dan mengalir membasahi bantal tidurnya. Tak menduga ternyata derita dan dilema itu akan berkepanjangan...
^^^