"Diam!" bentak orang yang menyergap Cil, selain menduduki punggung, kali ini orang itu membekap mulut Cil untuk tidak bersuara dan Cil mengenali pemilik suara itu adalah Yunus. "Kalau kamu memberontak dan keluar dalam keributan... Sudah bisa dipastikan kamu akan dibantai perampok-perampok itu!"
Sekuat apa pun Cil berusaha, ia tetap tidak bisa melawan karena Yunus lebih kuat darinya. Tapi Cil tidak mau putus asa karena tidak bisa menolong ibu. "Aku harus menolong ibu! Lepaskan aku!"
"Aku diminta salah satu pengawal rumahmu untuk membawamu ke hutan dekat air terjun. Ini untuk keselamatanmu!"
Mendengar perkataan Yunus yang berusaha menenangkan ternyata cukup sukses. Cil berhenti melawan dan rasanya lebih menyakitkan tidak bisa melepaskan keinginan untuk bertarung meski Cil kalah dari para perampok itu dibanding berkelahi dengan anak desa yang pernah mengganggunya. Dadanya terasa sesak, tidak bisa menahan diri dari emosi.
"Kamu mengerti?" tanya Yunus.
Cil diam menahan sesak karena tidak mampu menyalurkan emosinya. Yunus masih membekap mulut Cil agar tidak bersuara dan membahayakan mereka berdua. Setelah yakin tidak akan membuat sesuatu yang akan menarik perhatian barulah Yunus melepaskan Cil. Membawa masuk ke dalam hutan melalui jalan pintas yang sangat diketahuinya menuju air terjun. Letak air terjun itu sangat jauh di dalam hutan. Cil pernah sekali mendatangi air terjun itu bersama Encik Muar dan pengawalnya. Tiga jam berjalan kaki dengan jalur yang menanjak menuju air terjun yang tersembunyi.
Tapi kenapa harus sejauh itu hanya untuk bersembunyi dari perampok. Apa lagi pengawal Encik Muar banyak dan semuanya ahli menggunakan pedang dan tombak. Pasti sangat mudah untuk mengalahkan perampok-perampok itu. Namun menurut Cil, Encik Muar dan ibu pasti teringat kejadian yang membuat ayahnya meninggal tak lain adalah karena ulah perampok. Ya, pasti karena mewaspadai itu mereka menyuruh Yunus membawa Cil pergi ke hutan sebelum memastikan semuanya aman.
Baru setengah jalan memasuki hutan Cil sudah merasa lelah. Yunus sudah jauh berjalan di depannya penuh semangat. Membuat Cil seolah berjalan sendiri di dalam hutan yang begitu menakutkan karena sudah sangat jauh dari rumah. Cil berhenti sesaat untuk mengatur pernapasan dan meyakinkan diri jika di dalam hutan tidak ada yang namanya monster atau pun hantu.
Kalau pun takut Cil meyakinkan diri sendiri jika ia masih kecil, jadi ada sedikit kewajaran untuk takut memasuki hutan. Takut kepergok harimau yang lagi jalan-jalan sendiri dan berharap harimaunya sedang mencari cemilan seperti kelinci dan bukan menu utama.
***
Setengah jam sebelumnya.
Encik Muar sedang berjalan keliling di taman samping rumah utama, memperhatikan beberapa bunga yang ia tanam sendiri karena sangat menyukai tanaman yang berbunga indah dan harum. Sama halnya dengan istrinya yang menyukai bunga. Hanya saja sejak melahirkan anak keduanya, istri Encik Muar mulai sering sakit-sakitan dan tidak bisa merawat bunga bersama-sama seperti sebelumnya.
Senyum Encik Muar melebar ketika melihat istrinya berjalan bersama Puan Pong yang menggandeng tangan istrinya di teras rumah utama menuju bangku taman. Encik Muar berharap agar istrinya bisa kembali sehat seperti dulu, sehingga mereka bisa merawat bunga-bunga kesukaan mereka bersama-sama. Dan keponakannya Puan Pong juga bisa menikmati hari-harinya merawat anak kesayangannya, melupakan kejadian yang pernah membuatnya mengungsi ke desa terpencil.
Puan Pong masih sangat muda, cantik, terpelajar dan begitu anggun. Encik Muar juga pernah berjanji akan membuat Puan Pong bahagia dengan mencarikan calon suami yang baik, bisa dipercaya serta taat kepada Tuhannya untuk Puan Pong dan anaknya mendapatkan pendidikan yang layak dan mendapatkan kembali statusnya.
Ketika Puan Pong dan istri Encik Muar baru duduk di bangku taman yang di susul Encik Muar, seorang pengawal mendatangi Encik Muar. Mengabarkan jika ada pedagang kain sutra yang datang menawarkan produknya dan membawa contoh kainnya langsung.
"Apa kalian berminat?" tanya Encik Muar kepada dua perempuan di hadapannya.
Puan Pong ragu menjawab karena ia biasa membeli dari pedagang yang datang setiap tiga bulan sekali. Selain itu Puan Pong juga merasa ada yang tidak beres dari pedagang sutra yang datang tiba-tiba. Bagaimana pedagang sutra itu tahu di mana letak kediaman rumah mereka yang terpencil jauh dari desa.
"Maaf kalau saya merepotkan. Pak Cik kenal banyak orang. Meski desa ini terpencil, tapi masih dekat daerah Johor-Riau. Saya takut mereka mata-mata."
Istri Encik Muar segera menggenggam tangan kiri Puan Pong. "Tidak apa-apakan untuk memeriksa sebentar?" ucapnya pada Encik Muar.
Encik Muar mengangguk, memahami ketakutan Puan Pong.
Akhirnya bersama pengawalnya, Encik Muar mendatangi pedagang sutra yang menunggu di luar gerbang rumah. Dua buah kereta yang berisi gulungan kain-kain beraneka warna yang cantik di tarik masing-masing dua ekor kuda terlihat berhenti di depan gerbang ketika terbuka.
Seorang laki-laki pedagang sutra bersama dua anak buahnya duduk di belakang kereta yang kosong, sepertinya sebelumnya sudah banyak kain mereka yang terjual, seorang lagi duduk di atas kereta yang satu lagi masih terisi penuh kain sambil memegang tali kendali kuda. Begitu Encik Muar terlihat, pedagang sutra itu segera berdiri menghampiri Encik Muar.
Encik Muar mulai bertanya-tanya tentang sutra yang di bawa pedagang itu sambil memperhatikan setiap gerak-gerik pedagang sutra dan anak buahnya yang tampak kekar, tidak seperti anak buah pedagang sutra pada umumnya yang bertubuh kurus namun selalu memancarkan sinar mata ceria setiap melihat kehadiran tuan pemilik rumah langsung menghampiri mereka di luar gerbang karena berharap sutra mereka akan laris.
Selain itu kuda-kuda yang menarik ke dua kereta itu juga terlihat lebih gagah. Lebih tampak seperti kuda perang dibanding kuda penarik kereta berisi sutra. Kecurigaan juga muncul karena bentuk kereta kuda yang aneh. Sepertinya ada ruang kosong di bawah tumpukkan sutra. Encik Muar melirik para pengawal yang juga merasakan kejanggalan itu dan terlihat dari tangan-tangan para pengawal itu yang menggenggam kuat gagang pedang di masing-masing tangan kiri dan bersiap mengayunkan pedangnya meski tetap berusaha tampak santai.
Saat itulah Encik Muar melihat kedatangan Yunus dari kejauhan yang juga di lihat pengawal lainnya. Encik Muar memberi isarat kepada salah seorang pengawal untuk menghampiri Yunus dan meminta Yunus untuk membawa Cil bersembunyi di hutan. Di air terjun. Yunus, anak kecil berumur sembilan tahun itu segera memahami apa yang terjadi lalu berlari kembali ke sungai kecil.
"Sutra-sutra yang bagus." Puji Encik Muar sungguh-sungguh setelah memeriksa contoh sutra sambil membalik badannya menghadap seorang pengawalnya yang membawa dua pedang lalu dengan cepat ia menarik salah satu pedang dari pengawalnya sambil berbalik dan mengucapkan. "Rencana yang bagus sebagai pedagang sutra, tapi sangat bodoh dalam penyamaran!" Encik Muar mengayunkan pedangnya langsung kepada pedagang sutra yang tidak siap, karena tidak menyadari penyamaran mereka terungkap dengan mudah karena menjadikan prajurit bertubuh besar sebagai anak buah pedagang sutra.
Darah mengucur dari bekas tebasan pedang Encik Muar, yang melintang dari bahu kiri dan turun di batas antara dada dan perut bagian kanan di tubuh pedagang sutra yang langsung terjatuh ke tanah.
Anak buah pedagang sutra yang duduk di belakang kereta segera mengambil pedang masing-masing melihat salah satu temannya menggelepar meregang nyawa. Pedang mereka ternyata hanya di sembunyikan di bawah sebuah gulungan sutra.
Dari bagian atas ke dua kereta juga tiba-tiba terbuka, membuat gulungan kain sutra berhamburan di tanah dan muncul masing-masing lima orang dari dalam ke dua kereta kuda yang langsung menyerang membabi buta bersenjatakan pedang. Jumlah penyerang yang menyamar menjadi pedagang sutra berjumlah lima belas orang, satu diantaranya langsung tewas oleh Encik Muar lalu menyusul tiga orang lagi yang di hajar pedang pengawal Encik Muar yang telah sangat curiga.
Madi kepala pengawal Encik Muar yang pedangnya di pakai Encik Muar, maju menyerang dengan tangan kanan seolah mencakar kehadapan seorang perampok yang mengayunkan pedang, namun segera menarik tangannya bersamaan dengan melayangnya kaki Madi ke arah siku perampok.
Suara berderak terdengar diiringi pekik perampok. Pedangnya jatuh. Sebelum pedang itu menjejak tanah, Madi menendang gagang pedang yang antara sengaja dan tidak ke seorang perampok lain yang langsung menembus dada. "Maafkan saya tidak sengaja." Ucapnya santai yang pasti tidak terdengar perampok yang mati seketika bahkan sebelum tubuhnya jatuh ke tanah.
Seorang perampok lain geram melihat Madi yang terlihat sangat lemah di antara pengawal lain, tapi sepertinya sangat beruntung mengalahkan dua rekannya. Perampok itu menebaskan pedang pada Madi yang segera berguling menghindar. Menusuk ketika Madi berhenti berguling, namun... KRAKKK!!! Terdengar ketika Madi menendang selangkangan perampok yang tumbang seketika, mengerang sekali lalu dengan mulut berbuih perampok itu meregang nyawa. "Itu akibatnya main curang menyerang orang tak pakai senjata."
Perampok yang tangan kanannya patah, merangkak berusaha menjauhi kerumunan namun segera tersungkur ketika tubuh perampok yang baru saja dipecahkan Madi kentangnya jatuh tepat di hadapan perampok itu. Melihat adegan di hadapannya perampok itu mengangkat tangannya yang masih sehat. Menyerah.
Madi tersenyum melihat hal itu.
Meski pengawal Encik Muar sangat ahli mengayunkan pedang, tapi tetap saja karena kalah jumlah yang hanya delapan orang pengawal dan sisanya enam orang lagi sedang istirahat makan siang terlambat datang membuat seorang pengawal tewas di tempat dan empat terluka.
Kedatangan tambahan enam tenaga dari pengawal yang meninggalkan waktu istirahatnya cukup membuat kewalahan para penyerang. Hingga akhirnya tujuh orang penyerang berhasil di tangkap dan sisanya tewas.
Setelah semua penyerang itu diamankan di belakang gudang, terjemur di dua buah tiang besi yang pada bagian atasnya di beri tambahan besi yang tampak seperti tiang gawang, disitulah tangan ke tujuh penyerang itu di rantai. Hampir tergantung karena hanya menyisakan ujung-ujung jari kaki yang kesulitan mencari pijakkan di tanah.
Encik Muar mendatangi tahanan itu bersama Madi yang diikuti empat pengawal, setelah memastikan para pengawalnya yang mendapat luka ringan dan berat telah di obati. Encik Muar yang hanya mendapat memar di lengan kirinya memperhatikan setiap wajah tahanannya itu dan menemukan satu di antarnya pernah ia kenal sebagai orang kepercayaan Laksemana Megat Sri Rama.
"Apa lagi mau kalian? Membunuh perempuan yang lemah?" geram Encik Muar tidak sabar namun tetap berusaha tenang dalam berbicara.
Seorang laki-laki yang di rantai menggunakan pakaian penyamaran pedagang yang sempurna, tapi fisiknya tidak memadai karena bertubuh besar, berotot. Pantaslah ia sembunyi menyadari kekurangannya dan mengingat Encik Muar akan mengenalinya. "Kami tahu Encik Pong hamil dan melahirkan seorang penerus."
Encik Muar diam, ekspresi wajahnya mengeras karena ingin menggorok leher orang dihadapannya karena telah berani menyerangnya.
"Percuma Tuan menyembunyikannya. Di desa seperti ini, anak itu pasti sangat mencolok. Berumur sekitar tujuh tahun sejak peristiwa pembantaian itu, pastinya berkulit putih dengan pakaian yang bagus dari anak kebanyakan. Karena statusnya dan darah yang mengalir di tubuhnya menjadi ancaman suatu saat nanti, maka anak itu harus segera di habisi..."
Encik Muar tertawa mendengar perkataan laki-laki itu. "Sungguh konyol." Ucap Encik Muar menatap rendah laki-laki itu lalu lanjutnya. "Kalian takut kepada seorang anak kecil yang belum tentu ada."
"Dan saya tak hanya sekedar mengancam."
"Bersihkan mereka semua!" perintah Encik Muar tanpa peduli ancaman laki-laki itu yang sudah pasti di mengerti para pengawalnya, yang tak lain adalah bunuh semua tawanan dan kubur dengan layak sesuai ajaran kepercayaan.
"Siap Tuan!" jawab Madi yang segera memerintahkan anak buahnya untuk melaksanakan perintah tuan mereka.
Dua orang pengawal segera bersiap-siap. Membersihkan semua tawanan yang baru tertangkap dengan mengayunkan pedang ke arah leher masing-masing tawanan begitu Encik Muar memalingkan tubuh untuk memberi laporan kepada Puan Pong yang sedang harap-harap cemas.