Chereads / NEVER APART / Chapter 6 - BOOK 1 = 6 KEINGINAN GILA 1

Chapter 6 - BOOK 1 = 6 KEINGINAN GILA 1

# "Menjadi tak berguna bukan yang aku mau. Jika diperbolehkan memilih, aku ingin pergi saja. Ke mana pun. Cukup jangan pedulikan aku. Tapi, saat aku memalingkan wajah … mengapa kau tidak berhenti mendekatiku?" (Aleta)

.

.

.

Aleta selalu meremas celana piamanya sendiri setiap kali Lucas menyuruh Raymond dan Eve pergi. "Kalian bisa kembali ke tugas masing-masing," katanya. Lalu duduk di depan kursi rodanya dengan piring sarapan paginya.

Ini sudah hari ketiga dia begitu. Padahal Aleta selalu menolaknya. Dia tidak mau makan kalau disuapi oleh Lucas. Dia tidak suka. Dan seandainya dirinya bisa mendorong lelaki itu menjauh, Aleta pasti sudah melakukannya.

BRAKH!

"Terakhir kali kau juga menampar piringnya," kata Lucas sembari menghela nafas panjang saat melihat nasi dan lauk pauknya berceceran di atas lantai.

"Pergi!" bentak Aleta. "Aku mau Eve! Aku mau Eve saja!"

Pada pertama kali Lucas diperlakukan begitu, dia sempat marah kepada Aleta dengan mendengus kesal, berdiri, berjalan menjauh, lalu membanting pintu sebelum keluar rumah. Untuk kedua kali, Lucas mulai memerintahkan Eve untuk menyiapkan piring cadangan sebelum memanggil kepala pelayan itu untuk menyuapi Aleta seperti biasanya. Tapi kali ini, Lucas sendiri yang mengusapi ceceran lauk di bibir dan pangkuan gadis itu dengan serbet.

"Dengar, Aleta," kata Lucas. Padahal nafas gadis itu sudah dipenuhi dengan amarah. "Mulai sekarang jadwal makanmu harus bersamaku. Aku juga yang menanganimu. Siang kau hanya boleh meminum jus dan teh, lalu untuk malam kau harus menungguku pulang kerja dulu sebelum boleh menyantapnya."

Aleta masih belum banyak bicara. Gadis itu hanya menjerit saat marah, tapi jika sudah sangat kesal, dia hanya akan meneteskan air mata dan menerima suapan Lucas. Satu sendok, dua sendok. Lucas dengan telaten bangun pagi dan siap-siap sebelum melakukan rutinitasnya sehari-hari.

Aleta juga mulai terbiasa. Dia perlahan-lahan menerima suapan itu tanpa menangis, tapi hanya diam apapun yang dikatakan Lucas untuk memecah keheningan selama mereka duduk berhadapan.

"Kau tahu? Tadi pagi aku sudah memilihkan banyak baju untukmu. Piama juga, tapi bermacam-macam. Bahannya sengaja kuambil yang hangat karena ini mulai masuk musim hujan. Dan kau harus benar-benar menjaga kesehatanmu mulai sekarang. Jangan menolak kalau besok vitamin C pesananku datang untuk asupan tubuhmu."

"…"

"Dan bagusnya kondisi perusahaan ayahmu sekarang mulai membaik. Bukankah kau keterlaluan kalau mengabaikanku terus menerus?"

"…"

Aleta justru membuang muka setelah mendengarnya. Bukan menjawab kata-kata Lucas, tapi itu adalah tanda dia sudah kenyang.

Lucas pun menilik piringnya yang masih berisi tiga irisan wortel dan brokoli. "Tidak, kau harus menghabiskan sayurannya. Tinggal sedikit lagi," katanya. "Aku akan bilang sudah kalau memang habis."

Satu per satu, wortel pun disumpit dan didekatkan ke bibir kemerahan Aleta. Seperti biasa, Lucas pun menunggu beberapa saat sebelum gadis itu mau membuka mulut.

"Pintar sekali … kau juga harus begitu kalau sudah 6 bulan di kursi roda," kata Lucas. "Kalau perban kakimu juga sudah diperbolehkan dibuka, maka harus belajar berjalan juga dengan baik. Aku akan menghadirkan trainer untuk membantumu."

"Aku tidak mau."

DEG

Baru kali ini Aleta membuka mulut lagi.

Lucas pun menurunkan sumpitnya dan memilih untuk coba berkomunikasi.

"Kenapa?"

Mungkin Aleta sebelumnya memang menggila sampai sering sekali disuntiki dengan cairan bius. Tapi gadis itu kini sekarang menjadi lebih baik. Mungkin juga sudah berjanji kepada diri sendiri untuk patuh saja daripada membuat masalah yang lain? Tapi Lucas yakin, Aleta sebenarnya sadar akan segala hal yang dia lakukan dan hadapi. Bagaimana pun dulu dia hanya syok saat pertama kali kecelakaan. Tapi otaknya baik-baik saja.

"Aku bukan siapa-siapa di rumah ini," kata Aleta. "Aku bukan keturunan asli Papa dan Mama. Jadi, aku tidak perlu dirawat sejauh itu kan?"

Lucas berhenti bicara sejenak mendengarnya.

"Lagipula kau itu juga siapa," kata Aleta. "Kau adalah pamanku. Aku tidak tahu dari mana asalnya karena Papa dan Mama tidak pernah cerita. Tapi, aku yakin kau lebih berhak atas segalanya. Perusahaan, rumah, aset … kau hanya harus melepaskanku ke jalanan. Bukankah itu seharusnya sangat mudah?"

"Kau tidak ingin menjalani kehidupan normal lagi?"

"Aku ingin mati saja."

DEG