Julia masuk ke kamarnya. Ia sudah lelah dan ingin segera membaringkan tubuhnya di pembaringan empuk yang dilapis bed cover karakter. Sesuai instruksi adik iparnya, Julia tidak boleh mengunci pintu kamarnya.
Satu hal yang tidak diketahui Aldo, kamar itu memang tidak bisa dikunci. Damian tidak mengizinkan Julia memegang anak kunci kamar itu. Alasan konyol, hanya karena laki-laki itu khawatir ia pergi membawa barang-barang lewat jendela.
Julia baru saja keluar dari kamar mandi hanya memakai handuk. Ia lupa membawa jubah mandinya, sehingga terpaksa ia memakai handuk kecil yang tidak menutup semua bagian tubuhnya. Di waktu yang sama, Damian masuk ke kamar itu.
Glup!
Istrinya berdiri dengan canggung sambil menarik ujung handuk agar tubuhnya tertutup. Namun, percuma saja. Ketika ujung yang satu ditarik, maka ujung lainnya tersingkap. Pemandangan tubuh indah sang istri itu membuatnya menelan saliva berkali-kali.
"A-ada perlu apa, Tuan?" tanya Julia dengan wajah bersemu merah.
"Apa yang kau bicarakan dengan adikku?"
"Kami … hanya ngobrol saja, Tuan," jawab Julia dengan gugup. Ia takut laki-laki itu marah dan menyerangnya seperti saat ia mabuk kemarin malam.
Damian melangkah maju mendekati Julia. Membuat wanita itu mundur ketakutan, hingga punggungnya menabrak ke sudut lemari pakaian. Laki-laki itu menaruh kedua tangannya di samping kepala wanita itu.
Tatapan mata laki-laki itu menyala. Julia merasa sekujur tubuhnya menggigil kedinginan dengan tatapan tajam sang suami yang seolah-olah menguliti tubuhnya. Keringat dan air sisa mandi tadi, bercampur, menetes di lehernya.
Laki-laki mana saja jika melihatnya pasti tergoda, tidak terkecuali dengan Damian. Namun, ia masih gengsi untuk menyentuh wanita itu. Ia telah berjanji untuk tidak akan menyentuh istrinya.
"Kalau hanya ngobrol, kenapa harus seakrab itu? Ingat posisimu di sini! Kau, tidak diperbolehkan untuk terlalu dekat dengan adikku. Mengerti!"
"Sa-saya mengerti, Tuan," jawabnya dengan wajah menatap ke samping. Ia tidak berani menatap wajah suaminya.
"Bagus!"
Damian segera keluar dari kamar Julia. Pandangannya tertunduk ke bawah. Sesuatu yang telah lama tertidur itu kini memberontak.
Tubuh Julia membuat si kecil itu menggeliat bangun. Terpaksa, ia harus berendam di air dingin untuk menenangkan si kecil. Seandainya, pernikahan mereka tidak didasari hutang piutang, mungkin Damian tidak akan menahan diri seperti itu terhadap sang istri.
Selesai mengganti handuknya dengan gaun tidur, Julia melemparkan tubuhnya ke tengah tempat tidur. Baru memejamkan mata selama lima menit, Damian memanggilnya. Kesal, marah, tapi tidak bisa membantah.
"Ada apa, Tuan?"
"Buatkan kopi dan bawa ke ruang kerjaku!"
"Baik." Julia membuat secangkir kopi untuk Damian. Saat ia hendak membawa kopi itu ke ruang kerja, Aldo keluar dari kamarnya.
"Kak! Tolong buatkan kopi susu," pinta Aldo.
"Sebentar ya! Aku bawakan kopi punya kakakmu dulu," jawab Julia dengan nada ramah.
Dari dalam ruang kerja, Damian merasa kesal mendengar suara istrinya yang begitu ramah menjawab adiknya. Saat menjawab perkataan atau perintah darinya, Julia selalu berbicara tanpa ekspresi ramah. Ia tidak pernah melihat senyum wanita itu.
Tok! Tok! Tok!
"Masuk!" sahut Damian.
"Ini kopi Anda, Tuan." Julia menaruh secangkir kopi itu di meja kerja Damian. Ia berbalik hendak pergi membuat kopi susu untuk Aldo.
"Mau kemana, kamu?"
"Membuat kopi susu untuk Tuan Aldo."
"Siapa yang mengizinkan kamu pergi? Aku tidak memerintahkan kamu untuk keluar. Bantu aku merapikan berkas-berkas di rak buku itu," tunjuk Damian ke arah rak buku di samping meja kerjanya.
"Saya buatkan kopi untuk Tuan Aldo dulu. Nanti, saya kembali dan merapikan berkas-berkas itu, Tuan."
"Kau berani membantah perintahku? Aku bilang, jangan keluar dan laksanakan perintahku!"
Julia menarik napas berat. Laki-laki itu selalu saja menindasnya. Ia sudah sangat mengantuk, tapi masih diberi pekerjaan untuk merapikan ratusan kertas file di ruangan itu.
'Aku sangat mengantuk. Kenapa dia selalu saja, tidak bisa membiarkan aku hidup dengan nyaman. Oh, kasur empuk, aku harus rela untuk tidak menidurimu malam ini.'
Di depan pintu ruangan itu, Aldo tersenyum geli. Ia sengaja masuk ke ruang kerja untuk menambah kesal perasaan Damian. Dengan cueknya, ia merangkul pundak Julia.
"Kakak, kau ini pelit sekali. Aku ingin minum kopi susu buatan Kakak ipar. Ayo, Kakak ipar!" Aldo pergi membawa Julia bersamanya.
Pulpen yang sedang dipegangnya itu dipatahkan menjadi dua bagian. 'Dasar wanita murahan! Sudah tahu kalau aku melarangnya dekat-dekat dengan Aldo, tapi masih saja begitu akrab dengannya.'
Pluk!
Ia melempar pulpen itu ke dalam keranjang sampah di samping meja kerja. Pikirannya kacau dan tidak bisa dipakai untuk bekerja. Damian pergi ke dapur dan menunggu Julia selesai membuat kopi untuk Aldo.
"Sudah selesai 'kan? Cepat ikut dan kerjakan perintahku!"
'Masih berpura-pura? Tenang saja. Aku akan membuatmu mengakui perasaanmu, Kakak.' Aldo membawa secangkir kopi ke ruang keluarga. Menonton televisi ditemani secangkir kopi memang sangat nikmat.
Julia mengambil beberapa berkas dan membawanya ke sofa. Ia duduk, menyusun berkas-berkas itu sesuai tanggal, bulan, dan tahun. Baru sebagian kecil tumpukan berkas yang berhasil dikerjakan olehnya, tapi ia ketiduran di sofa.
Kening Julia berkerut dalam tidur. Lelah yang dirasakan wanita itu, membuat tidurnya tidak tenang seperti saat ia bersama ibunya di kampung. Ia menggelosor berubah posisi dari duduk menjadi berbaring.
Kakinya ditekuk, membuat gaun tidurnya tersingkap. Underwear yang dipakai gadis itu terlihat oleh Damian. Tak ayal, hal itu membuat si kecil memberontak kembali.
Damian bangun dari kursinya. Langkahnya begitu hati-hati. Ia mendekati Julia, tangannya terulur, menyentuh pelan bibir tipis yang merah merekah. Ia kecanduan untuk mengecup bibir itu setelah kejadian kemarin.
"Eng …." Julia menggeliat saat tangan suaminya menyentuh bibir. Namun, ia terlalu mengantuk dan tidak ingin mencari tahu apa yang bergerak di bibirnya.
Damian mendekatkan wajahnya. Ia mengecup bibir itu dengan lembut. Hasratnya semakin menggebu dan ia pun menjelajahi tubuh Julia dengan tangan nakalnya.
Kali ini, Julia tidak bisa melanjutkan tidurnya. Ia membelalak saat merasakan tangan Damian menyentuh bukit kembarnya. Seketika itu juga, ia mendorong Damian.
Gubrak!
"Tch! Bukannya sudah biasa dijual oleh ayahmu? Seharusnya kau bersyukur, bahwa aku masih memiliki hati untuk menyentuhmu," ejek Damian.
Harga diri Julia kembali direndahkan oleh suaminya. Entah kapan, kata-kata hinaan dari laki-laki itu akan sirna. Julia masih perawan hingga saat ini, tetapi Damian menghinanya seolah wanita itu adalah seorang pelacur yang sering tidur dengan laki-laki.
Julia keluar dari ruang kerja Damian dan berlari ke kamarnya sambil menangis. Sakit sekali rasa hatinya saat ini. Tuduhan itu lebih kejam daripada pembunuhan.
Mengapa Damian bisa menilai Julia serendah itu? Sungguh, Julia juga tidak mengerti. Mereka bahkan belum pernah berhubungan badan sejak menikah. Kenapa suaminya sudah menghakimi wanita itu sebagai wanita yang sudah tidak suci lagi?
*BERSAMBUNG*