Chereads / My ice boss / Chapter 10 - Sepuluh

Chapter 10 - Sepuluh

Aku belum pulang ,masih memilih disini sudah kuputuskan untuk menunggu Pak Steven keluar dari dalam kamarnya. Aku ingin memperjelas ucapan Pak Steven mengenai gajiku yang katanya tidak akan diberikan di bulan ini.

Sudah hampir sepuluh menit aku berdiri disini, berdiri tepat di depan pintu kamar Pak Steven, menunggu batang hidungnya muncul dari dalam ruangan itu.

Hingga akhirnya Pak Steven keluar juga dari dalam kamarnya.

Dengan pakaian nya yang santai tapi rapi, Pak Steven menyeret sebuah koper kecil yang berwarna hitam. Mungkin ada beberapa barang yang ketinggalan di koper yang tadi pagi ku jemput dari rumahnya, sehingga Pak Steven kembali membawa satu koper kecil.

"Sini Pak, biar saya bantu angkat kebawah". Aku meraih koper itu, namun pergerakan ku sepertinya lebih dulu dibaca oleh Pak Steven.

"Tidak perlu". Ucap Pak Steven sambil mejauhkan koper itu dari jangkauan ku.

"Tidak apa-apa Pak, biar saya saja yang membawanya". Ucapku masih bersikeras meraih koper itu dari genggamannya.

Pak steven tidak menghiraukan ucapanku, dirinya masih menahan koper dengan kuat sehingga terlihat jelas urat tangannya yang menonjol.

"Pak saya saja yang membawa kopernya".

Aku menatap Pak Steven, tapi Pak Steven melihat dibelakangku, membuatku jadi ikut berbalik ingin melihat apa yang berada dibelakangku.

"Johan, tolong bawakan ini untuk saya".. Rupanya yang datang adalah Johan, supir yang tadi di telepon Pak Steven untuk mengantarnya kebandara.

"Baik Pak" dengan langkah sopan dan sedikit menunduk, Johan supir Pak Steven mengangkat koper yang berukuran kecil itu menuju mobil yang diparkir keluar.

Pak Steven berjalan menyusul dari belakang langkah Johan.

Aku yang melihat Pak Steven berjalan, membuatku langsung berinisiatif mengikuti langkah kakinya yang cukup panjang.

"Pak".

"Hem". Pak Steven hanya berdehem.

"Ada yang mau saya tanyakan Pak".

"Memgenai?".

"Mengenai gaji saya bulan ini Pak".

Pak steven menghentikan langkahnya, membuatku ikut menghentikan langkahku, lalu dia mengalihkan pandangannya kearahku.

"Kenapa?" tanyanya dengan tatapan yang tajam seakan ingin memakanku.

"Be..begini Pak, i.ituu....mengenai...".

"Saya lagi buru-buru sekarang. Bisa langsung to the point saja". Pak Steven langsung memotong ucapanku.

"Gaji saya Pak, apakah memang benar tidak akan diberikan bulan ini?".selesai mengucapkan hal itu, aku menunduk, takut memandang wajah Pak Steven.

"Benar".

Selesai mengatakan hal seperti itu Pak Steven memasuki mobil dan langsung menutup pintu mobilnya.

"Pak, maafkan keteledoran saya hari ini Pak".

Ucapku memohon sambil menyatukan kedua telapak tanganku dihadapannya.

"Saya akui saya yang salah Pak. Tolong maafkan keteledoran saya , tolong berikan gaji saya bulan ini Pak. Saya berjanji akan lebih giat dan rajin dalam bekerja Pak. Saya mohon."

Pak Steven menurunkan kaca mobilnya,lalu menatapku lekat. Aku yang ditatap dengan tatapan seperti itu jadi salah tingkah. Pak Steven hanya diam seperti tidak ada niatan untuk mengucapkan apapun..

"Pak". Aku menahan suaraku yang bergetar, sambil tersenyum berusaha menutupi kesedihanku. Pak Steven menghela nafasnya kasar lalu menatapku. tapi kali ini dengan tatapan malas.

"Percuma walaupun kamu meminta maaf, gaji kamu bulan ini tetap tidak akan saya berikan". ucap Pak Steven lalu membuang muka lagi.

"Jangan begitu dong Pak, saya sudah lembur hampir setiap malam demi menyelesaikan tugas-tugas yang Bapak berikan".

Steven kembali mengalihkan pandangannya kearahku, memandangku dengan tatapan malas.

"Tolong jelaskan kepada saya, kenapa Bapak bilang kalau bulan ini gaji saya tidak akan diberikan". Desak ku dengan suara bergetar menahan tangis.

"Sudah saya katakan percuma kamu minta maaf, keputusan saya tidak bisa diganggu lagi."

"Tapi setidaknya uang lembur saya Pak. Tolong Pak saya membutuhkan uangnya".

Steven tidak mengucapkan sepatah katapun, dia diam dan tetap memandangiku.

"Tidak apa-apa kalau gaji saya tidak bapak berikan. Tapi tidak dengan uang lembur saya, Bapak tidak berhak untuk menahannya, karena ". Suaraku semakin bergetar, kugigit bibir bawahku tidak sanggup untuk melanjutkan ucapanku, pandanganku juga mulai mengabur saat cairan bening itu sudah mulai mengumpul di kedua sudut mataku.

Belum selesai aku bicara, Pak Steven langsung menutup kaca mobilnya.

"Pak, Pak Steven"

Jujur ingin sekali kuteriaki, tapi tidak mungkin menggiat dia adalah atasan ku.

Kuketok pintu mobil itu sambil memanggil nama Pak Steven, aku tidak akan menyerah untuk memperjuangkan hak milikku, hingga diketukan yang kesepuluh kalinya Pak Steven membuka kaca mobilnya.

"Pak tolong".

"Sepulang dari luar kota saya akan menjelaskan nya".

"Tapi Pak. " Belum selesai aku berbicara kaca mobil itu kembali ditutup oleh Pak Steven.

Dan tidak perlu waktu yang lama mobil ditumpangi Steven berjalan keluar dari lingkungan rumah Pak steven dan bergerak menjauh dari ku.

"Pak..Pak Steven".Teriakku untuk yang terakhir kalinya hingga kulihat mobil yang membawa Pak Steven itu menghilang dibalik pagar yang menjulang tinggi.

Aku tertawa, tertawa dengan sangat keras.

Menertawakan diriku, menertawakan nasib sialku, menertawakan betapa tidak adanya keadilan untukku, menertawakan betapa kejamnya alam tidak berpihak kepadaku .

Kuakui memang aku yang salah perihal jadwal Pak Steven. Aku teledor hingga tidak tahu kalau hari ini ternyata akan ada jadwal perjalan keluar kota dan aku juga tau aku salah saat lupa memberitahukan mengenai pembatalan jumpa dengan klien saat makan siang.

Aku sadar aku teledor.

Tapi kalau untuk aku yang tidak bisa ikut perjalanan bisnis sore ini itu semua bukan karena keinginku. Aku kecopetan, semua barang-barang berhargaku diambil si pencopet. Seharus nya Pak Steven bisa memberikanku sedikit keringanan untuk hal ini. Seharusnya Pak Steven mau mendengarkan penjelasanku walau hanya sedikit saja. Apalagi kecopetan itu terjadi karena Pak Steven yang menelantarkanku di jalan sendirian.

Aku masih betah disini sejak kepergian Pak Steven beberapa menit yang lalu, duduk didepan teras rumah nya, sambil meratapi nasibku.

Kurogoh sisa uang yang tadi kupinjam dari Winda, rekan sekantorku.

"Bagaimana mungkin uang segini cukup membiayai pengeluaranku selama sebulan"

Sungguh sial sekali nasibku hari ini, kesialan yang menghampiriku sedari tadi pagi hingga sore tidak ada habisnya, sungguh sangat melelah kan.

Kuhela nafasku kasar untuk mengurangi dasa sesak yang menghimpit dadaku. Bukannya semakin rileks malah semakin sesak kurasakan. Dan tanpa kusadari butiran air bening yang sedari tadi kutahan itu mengalir juga dipipiku.

Aku menangis, menangis sekuat-kuat nya untuk melepaskan penat yang melilitku, bukan hanya fisikku tapi juga penat dihatiku.

"Aku harus menemukan barang-barang pentingku yang hilang, kalau semua uang ku diambil oleh si pencopet, tidak masalah, Tapi tidak untuk berkas-berkas berisi identitasku, dimana aku bisa menemukan si pencopet itu, dimana?"

Kulirik jam yang melingkar dipergelangan tangan kananku, sudah pukul empat sore lewat sepuluh menit. Itu artinya pesawat yang membawa Pak Steven telah berangkat.

Kuhela nafasku kasar, menghapus airmataku kasar. Toh percuma jika aku menangisi semuanya, karena kejadian yang telah terjadi tidak akan bisa berubah lagi.

Aku berjalan keluar dari pekarangan rumah Pak Steven.

Berjalan hampir dua puluh menit hingga menemukan sebuah halte. Aku berjalan menuju halte itu memutuskan untuk duduk disana, istirahat sejenak melepaskan penat, sambil menunggu bus yang bisa mengantarkanku pulang.