Sudah jelas sekali, aku berdiri di halte ini untuk membantunya menemui Pak Adi.
Kenapa dia malah muncul dan memberikan tumpangan seakan-akan menjadi malaikat penolong.
"Masuk". teriaknya.
Tanpa menjawab omongannya aku berjalan membuka pintu dan duduk dikursi penumpang.
Langsung kupakai seatbelt ku.
"Sudah?".
Aku hanya mengangguk dan mobil yang dikendarai Pak Steven berjalan.
Sepanjang perjalanan aku hanya diam.
Kulirik arlojiku masih pukul delapan lewat empat puluh menit.
"Berkas nya kamu bawa?"
"Ia Pak".
Steven mengangguk, tangan kirinya dijulurkan dihadapanku meminta berkas itu, Aku merogoh tas ku mengambil berkas dan kusodorkan dihadapannya.
Dia mengambil berkas itu memegangnya sebentar lalu mengembalikannya kehadapanku.
"Mau nya Bapak Steven apasih?"
Sungutku didalam hati, saat mengambil kembali berkas itu dari tangannya.
Sepanjang perjalanan kami hanya diam.
"Turun"
"Bapak nggak ikut?"Tanyaku saat kami telah sampai tepat didepan gedung kantor milik Pak Adi.
"Saya ada urusan".
Aku menganguk,
"Satu jam lagi saya jemput di sini".
"Baik Pak."
Jawabku tanpa bertanya lagi dengan pelan kubuka sealtbelt dan keluar dari mobil mewah itu. Menutup pintunya dengan pelan dan tak lama kemudian mobil yang dikemudikan Pak Steven berjalan, hingga akhirnya menjauh dari pandanganku.
Aku berbalik, berjalan kearah pintu masuk kantor Adi Group.
"Selamat siang Bu, saya sekretarisnya Bapak Steven". Ucapku formal ke resepsionis.
"Dengan Ibu Davina?".
"Ia bu, benar itu saya".
"Oh ia, mari Bu saya antarkan menemui Bapak Adi".
Aku berjalan mengekori Resepsionist yang bernama Siska. Aku tau namanya dari name tag nya yang sempat kulirik sekilas.
"Mari ".
Aku menggaguk sopan mengikuti Siska.
Tok...tok...tok...
Siska langsung membuka pintu lalu masuk keruangan yang berada dihadapan kami. Aku tidak ikut masuk, aku menunggu diluar dengan diam.
"Permisi Pak, sekretaris Bapak Steven sudah tiba di kantor ini". Kudengar suara Siska didalam.
"Suruh masuk" .Suara laki-laki itu seperti suara Bapak yang telah berumur lima puluhan. Kutebak pasti dia yang bernama Bapak Adi. Kuhela nafas panjang dan menghembuskan pelan untuk mengurangi rasa takutku yang menjalariku.
"Semoga urusanku diperlancar, supaya bisa cepat kembali kekantor, Amin".
ucapku berdoa didalam hati.
"Silahkan Masuk Bu Davina".
"Oh ia. Terimakasih".
Kusunggingkan senyum ku. Siska ikut membalas senyumku, lalu pergi menunggalkanku sendirian.
Sembari merapalkan doa, aku memberanikan diriku untuk masuk.
"Ro..Robby?".ucapku pelan nyaris tanpa suara.
Cukup terkejut saat aku masuk keruangan ini .
Ada Robby disana, sepupu Sesil teman dekat ku dikantor. Dan disampingnya duduk seorang pria yang kuyakini sebagai Bapak Adi pemilik Adi Jaya Group.
"Hey Davina, apa kabar?".
"Ba..baik.".
Aku tersenyum antara bingung dan canggung dengan suasana disini.
"Kamu sekretaris Steven".
Aku mengangguk pelan.
"Saya Adi, pemilik Perusahaan ini". Bapak Adi bangkit dari tempat duduknya, menyodorkan tangannya kehadapanku yang kusambut. Kami berjabatan tangan untuk perkenalan.
"Selamat Pagi Pak. Saya Davina sekretaris Bapak Steven".
Bapak Adi tersenyum lalu melepaskan jabatan tangan kami.
"Silahkan duduk.".
Dengan patuh, aku duduk disofa, membuat aku berhadapan dengan Bapak Adi dengan Robby yang ada disebelahnya.
Aku melihat kearah Robby yang kini juga tengah menatapku. Jujur aku penasaran ada apa gerangan dirinya berada disini, apakah dia juga ikut andil dalam kerjasama ini? entahlah.
"Mana berkas yang harus saya tanda tangani?"
"Oh ia Pak ini".
Dengan sopan kusodorkan map itu tepat dihadapan Pak Adi.
"Robby, pinjam pulpen kamu".
Dengan santai nya Robby memberikan pulpen dari dalam saku jas nya. Apa hubungan mereka sebenarnya?
Pak Adi selesai membubuhkan tanda tangannya, lalu memberikan kembali map itu kehadapanku.
"Terimakasih Pak". Ucapku sopan.
"Pah, ini Davina temen Robby".
aku terkejut, mendengar pengakuan Robby.
"Davina? Oh ternyata ini orangnya, Davina wanita yang sering kamu ceritakan itu ya?".
Robby mengangguk namun kini tengah memandangku. membuat kami saling bertatapan.
"Senang berkenalan denganmu Davina".
Pak Adi mengulurkan tangannya lagi, aku menyambutnya kami berjabatan tangan untuk yang kedua kalinya membuatku kikuk sendiri.
"ia..ia Pak Adi".
"Panggil Om saja. Karena kamu teman anak saya".
"Baik Om". ucapku sambil tersenyum kaku.
"Mau ikut ngopi bersama kami di kafe yang berada diseberang kantor ini"?
"Aku yang traktir kamu Davina". Itu suara Robby, membuatku menjadi tidak enak menolak ajakan mereka.
"Bo...boleh ".
"Ayo". Om Adi bangkit berdiri dan berjalan. Membuatku ikut bangkit dari tempatku duduk, mengekor dari belakang Om Adi.
"Hey". sapa Robby yang berjalan sejejer denganku.
"Kenapa lo nggak bilang kalau Om Adi itu orang tua lo".
Ucapku kesal dengan nada pelan takut terdengar Om Adi
"Kalau lo tau nya dari bibir gue, lo pasti berpikir gue sombong. Ya kan?"
Aku diam, karena benar juga kalau dipikir-pikir ucapannya Robby
Pasti aku akan langsung menjahuinya kalau Robby mengaku hal yang sebenarnya, kalau dia anak dari pemilik Adi Jaya Group.
Kami memilih duduk di sudut ruangan. Berdekatan dengan dinding kaca yang langsung memperlihatkan pemndangan jalanan.
"Mau pesan apa?"
Robby menanyaiku sambil menyodorkan buku menu kehadapanku.
"Air mineral saja".
"Kenapa Davina? Pesan saja semaumu biarkan Robby yang membayar".
"Bukan begitu Om, saya kebetulan baru selesai sarapan ketika mendatangi kantor Om, jadi saya masih kenyang Om.".
"Atau kamu mau minuman yang lain? Jus mungkin". Tawar Robby, aku menggeleng.
"Air mineral saja Robby". ucapku lembut.
Tak terasa sudah hampir empat puluh menit kami berada di kafe ini . Berbincang dengan Om Adi dan juga Robby ternyata tidak semenegangkan yang kubayangkan. Apalagi Om Adi, awal melihat wajahnya tadi ekspresinya sangat datar, dan menakutkan. Tapi aslinya saat diajak berbincang seperti ini sangat Ramah
"Maaf Om Adi saat harus kembali kekantor".
pamitku padanya.
"Oh ia ,Robby tolong kamu antar teman kamu".
"Tidak Om. Kebetulan saya sudah dijemput seseorang Om".
"Siapa?".
"Orang kantor ". Ucapku menjawab pertanyaan Robby, tidak mungkin kukatakan yang sebenarnya. Takut nantinya Pak Steven akan kembali memarahiku.
"Baiklah, boleh minta nomor ponsel kamu".
"Aku tidak punya ponsel, kemarin ponselku hilang karena kecopetan".
Robby hanya mangut-mangut, lalu merogoh dompetnya dan mengeluarkan sesuatu.
"Ini kartu namaku, kalau kamu sudah punya ponsel hubungi aku ya".
Aku mengangguk menerima kartu nama itu lalu menyimpannya kedalam tasku.
"Kalau begitu saya pamit Om, Robby".
"Mari saya antar".
Robby bangkit berdiri berjalan didepanku, aku mengekorinya dari belakang.
"Hati-hati".
Aku mengangguk. Kuedarkan pandanganku ternyata Pak Steven telah berada di sana di seberang jalan menungguku ku.
"Lama sekali".
Kalimat pedas yang pertama kali diucapkan Pak Steven saat aku duduk dikursi penumpang.
"Siapa dia? Pacar kamu". Kuikuti pandangan Pak Steven.
"Bukan Pak, dia teman saya".
Steven kembali bungkam lalu mengemudikan mobilnya.
"Seharusnya selesai tandatangan kamu kembali kekantor, tidak menerima ajakan mereka untuk nongkrong dikafe di jam segini, ini masih jam kerja. Paham?".
"Paham Pak". jawabku singkat setelah itu kami kembali diam, sampai akhirnya Bapak Steven menegurku kembali.
"Davina".
"ia Pak".
"Ambil plastik hitam yang ada dikursi belakang".
Aku berbalik memanjangkan tanganku, meraih plastik hitam itu.
"Buka".perintahnya.
Aku menurutinya dan membuka isinya, Aku terkejut saat membukanya tenyata isinya tas ku yang kemarin dicopet.
"Pak.. ini...ini..".
Aku bergetar sambil menahan tangis kubuka tas itu. Tidak masalah kalau tasnya kotor yang penting berkas-berkas penting ku masih ada didalam.
"Ma..makasih banyak Pak".
Air mataku tak terbendung lagi, jatuh membasahi pipiku.
"Kenapa memangis?".
aku menggeleng sambil mengusap air mataku sambil sesekali sesenggukan.
"Terimakasih Pak Steven".