Luna menyesal sudah membukakan pintu untuk wanita muda yang kini duduk tepat di depannya itu. Secangkir teh hangat memang ia seduhkan untuk menjamu kehadirannya senja ini. Kepulan asap masih tegas mengudara, menandakan bahwa ia baru saja datang beberapa menit yang lalu. Jika saja Luna tak membukakan pintunya tadi, maka ia tak perlu berhadapan dengan wanita seperti ini. Senjanya akan tenang dengan menyibukkan dirinya untuk menonton televisi atau semacamnya. Ia tak perlu menatap wajah orang menyebalkan seperti ini. Hatinya tak akan dongkol, perasannya juga tak akan hancur. Acap kali dirinya menatap wajah milik Alena Thalia, ia selalu saja mengingat pengkhianatan yang diberikan William Brandy untuknya. Hatinya benar-benar sakit kala itu. Bahkan sampai saat ini pun, Luna masih merasakannya.
"Boleh aku minum tehnya?" tanya wanita itu berbasa-basi. Ia tersenyum hangat pada Luna yang menatapnya dengan malas.