Aku tak tahu lagi harus bagaimana, hatiku hancur seketika.
"Kenapa Ezra meninggalkanku di Apartemen bersama pria cabul itu?"
Semua orang di sekelilingku tidak ada yang beres. Hatiku benar-benar membuncah, kepalaku ingin meledak, dadaku sesak. Kupikir Ezra berbeda dengan pria-pria lain di luar sana, hampir saja aku jatuh cinta padanya, nahas sekali nasib buruk menimpaku secara bertubi-tubi. Notif handphoneku berbunyi berkali-kali, panggilan tak terjawab dan beberapa pesan sudah menumpuk. Aku bahkan tak sadar aku sudah berada dimana, tapi beruntung handphone ku bisa diselamatkan.
"Sa, kamu dimana? … Ezra nyariin kamu," pesan dari Freya.
Aku tidak segera menjawab pesan itu, bahkan Ezra pun mengirimkan banyak pesan dan beberapa panggilan yang tak terjawab. Aku tak tahu lagi harus percaya pada siapa, jika aku terjatuh dari puncak gedung pun tidak akan ada yang peduli apalagi menangisi kepergianku. Hatiku kelu, mati rasa, muak dengan semua ini. "Ya Allah pengen mati aja, aku capek!"
"Sa, Khansa please angkat telfonnya! kamu dimana?"
Aku mengabaikan pesan dari Ezra.
Sekarang aku sendirian di atap gedung apartemen Ezra. Pikiranku sungguh kacau, seolah tak lagi memiliki kesempatan untuk di cintai di dunia ini. Aku memandang gemerlapnya malam dari ketinggian 500 kaki, dunia ini terlampau luas, sedangkan aku hanya makhluk kecil tak berdaya. Memohon kepada Allah pun tak akan semudah yang dibayangkan akan segera dikabulkan oleh-Nya. Ada jutaan orang di dunia dan mereka semua memohon, entah permohonanku berada di antrian ke berapa dan aku sadar bukan hamba yang baik, tentu saja Allah akan mempertimbangkan lebih dulu permohonan dari hambanya yang taat. Aku hampir menyerah dengan harapanku. Memandang gelapnya malam dari atap gedung seperti ini membuatku merasa semakin kecil dan sendiri. Hanya angin malam yang mengusap lembut wajahku, memelukku, menghiburku dengan sorotan cahaya reklame sebuah toko fashion.
Malam kian mencekam, entah sudah berapa lama aku disini, meringkuk meratapi nasib. "Andaikan aku pergi menemui Sang Pencipta, apakah aku akan bahagia di alam sana?" Untuk membayangkannya saja aku tak sanggup. Aku bukan muslimah yang baik, sudah pasti Allah akan menghukumku tanpa ampun karena dosa-dosaku belum terbayarkan. Bisa-bisanya aku berpikir untuk mengakhiri hidup hanya karena masalah seperti ini. Dari atas langit, bintang-bintang mungkin sedang menertawakanku yang lemah ini.
Brak!
Seseorang datang dengan terburu-buru, napasnya terengah-engah nyaris habis. Seorang pria mengenakan Hoodie hitam dan celana chinos muncul dari balik pintu darurat. Dia nampak kelelahan, meletakkan kedua telapak tangannya pada lutut sebagai tumpuan istirahat.
"Khansa!" Suara itu jelas memanggil namaku. Rupanya Ezra berhasil menemukanku disaat hatiku mulai tenang.
"Please jangan pergi lagi!" Ezra berjalan ke arahku dengan napas yang lelah, bersimpuh di hadapanku dan memohon. Akan tetapi, hatiku membisu tak dapat berkata apapun, entah apa yang sedang dilakukannya sekarang.
"Jangan mendekat atau aku akan lompat!" ancamku melangkah ke batas gedung.
"Jangan lakukan itu, Khansa. Masalah kamu nggak akan selesai dengan melompat ke bawah sana. Percayalah, kita akan selesaikan masalah itu bersama." Perlahan Ezra melangkah mendekatiku.
"Semua orang terlihat baik padaku, padahal semuanya hanya topeng. Semua yang terlihat baik berujung menjadi belati dan menusukku, kenapa kalian melakukannya padaku, apa salahku?" Satu langkah lagi kakiku mengudara dan terjatuh.
"Tak akan kubiarkan itu terjadi." Ezra berhasil meraih tanganku dan membawaku dalam peluknya.
"Hidupku begitu sulit, tapi kenapa mati pun sulit? kenapaaa?" teriakku kemudian mendorong Ezra. Aku tak memperdulikannya dan segera pergi meninggalkannya, namun langkah kedua kakiku terhenti sesaat ketika Ezra kembali meraih pergelangan tanganku.
"Tolong biarkan aku pergi!"
"Aku akan antar kamu pulang."
"Nggak."
"Khansa."
"Aku butuh waktu sendiri. Kalau kamu ikuti aku, aku pastikan hari ini adalah pertemuan terakhir kita." Tanpa menoleh ke arahnya, aku bergegas pergi dengan linangan air mata, menuruni setiap anak tangga dengan membawa sesak di dada hingga sampailah di tepi jalan.
Kulambaikan tangan untuk menghentikan taksi, berkali-kali taksi melintas di depanku tanpa berhenti, berlalu begitu saja. Kedua kakiku berbalik melangkah menyusuri trotoar, hingga sebuah taksi berhenti menawarkan tumpangan. Tanpa pikir panjang, aku pun masuk ke dalam taksi.
Setelah memberi alamat tujuan pada sopir taksi, aku tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Pandanganku mengawang keluar, melamun tidak memperhatikan jalan sama sekali. Perjalanan pulang kali ini terasa lebih jauh tidak seperti biasanya, tapi rasa sakit hatiku terlalu dalam sehingga tidak terlalu menghiraukan keanehan itu, yang terpenting taksi ini mengantarku sampai kos.
Taksi yang aku tumpangi akhirnya berhenti. Setelah membayar dan keluar dari mobil, aku terperanjat melihat tempat yang kutuju ternyata bukan kos tempat tinggalku melainkan sebuah gedung kosong di tempat yang jauh dari keramaian kota. Perasaanku semakin tidak karuan, paranoid, tanpa berpikir panjang lagi, selama ada kesempatan kukerahkan kedua kakiku untuk berlari menjauh dari tempat itu. Sopir taksi yang melihatku berusaha kabur pun mengejarku tanpa ampun, entah dimana aku sekarang, tidak ada cahaya dan warga di sekitar sini. Aku hanya bisa meraba dalam kegelapan, jiwaku kian meronta dan menghujat Sang Pencipta skenario atas ketidakadilan ini.
"Kenapa takdirku seperti ini? jika benar engkau Maha adil dan bijaksana, kenapa engkau jatuhkan aku dalam jurang yang nista ini? aku tidak melihat keadian-Mu."
Meminta tolong pun tidak akan ada yang mendengar teriakanku yang nyaris kehabisan suara. Sopir taksi itu masih mengejarku hingga sampailah di jalan raya yang juga sangat sunyi, hanya ada satu lampu jalan yang menyala redup. Aku lelah dengan pelarian ini, dengan sisa tenaga yang kumiliki, aku berusaha membela diri. Beberapa kali aku berhasil menghajar dan menangkis serangan mereka, tapi sopir itu tidak sendirian, mereka berkomplot, aku kalah jumlah. Akhirnya aku tertangkap dan pingsan setelah wajahku di usapkan sebuah sapu tangan basah.
Aku tak sadarkan diri, entah apa yang terjadi padaku saat itu. Aku berserah diri sepenuhnya pada Yang Maha Kuasa, berharap Allah menjaga dan melindungiku saat lengah. Ketika aku terbangun, terlihat cahaya amat terang menyilaukan pandanganku yang masih kabur. Tubuhku mati rasa, lemah tak berdaya.
"Apakah aku sedang dibangkitkan dari kematian?" batinku menebak takdir.
Aku rasa tidak, perlahan pandanganku membaik, suara elektrokardiogram terdengar jelas di telingaku. Sunyi, tak ada suara lain di ruangan ini. Tubuhku seolah lumpuh, sedikitpun tak dapat kugerakkan, namun aku bisa merasakan hangat di tangan kananku. Seorang gadis yang belum lama kukenal, nampak begitu tulus dengan sebuah persahabatan. Freya menjagaku entah sejak kapan, dia terlihat lelah hingga tertidur disampingku.
"Freya…" Suaraku nyaris habis, dia tak mendengar panggilanku.
Aku hanya mampu meraba ingatanku malam itu, apa yang terjadi padaku hingga berakhir di tempat ini? Tak ada jawaban. Freya akhirnya terbangun, melihatku yang tengah berlinang air mata membuatnya panik. Aku, masih hidup.
"Khansa– kamu udah siuman, syukurlah." Freya beranjak hendak pergi memanggil dokter, dengan sekuat tenaga kucegah, menggenggam tangannya dan langkahnya pun terhenti, berbalik menatapku.
"Khansa, kamu akan baik-baik aja, oke. Aku panggil dokter dulu." Freya pergi melepaskan genggamanku dengan perlahan.
Tak berselang lama, Freya kembali bersama seorang dokter berhijab merah, senyumnya terihat sangat tulus menyapaku yang sedang terpuruk. Dokter itu sangat ramah, memeriksa keadaanku dengan sigap dan sangat tenang.
"Yang sabar ya, banyak istighfar dan dzikirnya. Semoga segera sehat." Dokter cantik itu kemudian pergi setelah menyelesaikan pemeriksaannya dan memberiku semangat.
Kembali ku menatap Freya, "Sepertinya semalam aku mimpi buruk."
"Sebenarnya, kamu udah hampir satu pekan nggak sadarkan diri."
"Apa yang terjadi?" tanyaku dengan bibir bergetar.
"Kamu harus sehat dulu, nggak usah mikir yang lain, nanti kalau udah sembuh baru kita cerita, ya," ujarnya menenangkanku.
"Thanks ya, aku cuma punya kamu satu-satunya keluargaku disini. Apa Ayahku tahu?"
Freya hanya menggelengkan kepala disusul dengan senyuman yang tulus, tapi di balik senyuman itu pun menyembunyikan banyak penderitaan. Gadis yang malang, sepertinya kami memiliki takdir yang sama tidak baiknya, terbuang dan memburu kasih di tempat asing.
"HP kamu pakai pasword jadi aku nggak bisa menghubungi keluarga kamu."
"Ting!" Handphone ku berbunyi, Freya mengambilnya untukku Ah, aku sedang diburu deadline tugas akhir semester. Kulihat riwayat chat yang sudah menumpuk, mengingatkanku pada malam terakhir ku berpisah dengan Ezra dan tiba-tiba dia muncul dari bilik kamarku, senyum yang awalnya nampak indah dari wajahnya berubah datar ketika menatapku, diam tak bergeming sama sekali, seperti menyembunyikan sesuatu dariku.
"Kenapa kamu menatapku seperti itu?"