Bismillahirrahmanirrahim
Izinkan Aku Hijrah: Part 4
•••••
Semenjak malam itu Aku menjadi lebih aktif keluar malam. Berkumpul bersama teman-teman baruku dan bersenang-senang di club. Nyaman rasanya berada diantara orang yang yang menyayangiku.
"Khansa, malam ini nggak sama freya?" tanya Ezra menghampiriku dan duduk tepat di sampingku.
"Iya, Aku lagi pengen sendiri aja."
"Kalian nggak lagi marahan kan?"
"Ya enggak lah … kita juga punya jalan masing-masing yang harus ditempuh."
"Em, berarti masalah itu ada dalam dirimu sendiri?"
"Ya." Aku menghela nafas yang sesak.
"Mau?" Ezra menyodorkan sebatang rokok kepadaku.
"Aku belum pernah. Aku nggak bisa."
"Oke, buat Aku aja."
Aku duduk lama bersama Ezra membicarakan hal-hal yang absurd. Otakku tak menginginkan hal yang berbeda, pikiran-pikiran buruk itu Aku tak mau memikirkannya dan entah kenapa bersama Ezra seolah dia bisa memposisikan dirinya dengan benar di hadapanku. Aku nyaman berada disampingnya, tapi harapan kecil untuk berubah itu masih ada dan terus mendesakku seolah berkata, "Tempatmu bukan disini!"
Aku merasa frustasi. Di satu sisi ingin sekali rasanya menjadi wanita baik-baik dengan segala kehangatan islam, tapi di sisi lain justru merekalah yang menerimaku apa adanya sekarang. Sejak bertemu dengan Freya, seolah Aku memiliki keluarga baru.
"Aku harus bagaimana?" Dadaku sesak meratapi takdir yang terhenti di persimpangan ini entah sampai kapan.
•••••
Pagi hari di kampus Aku seperti orang kebingungan dan canggung bertemu orang-orang di kampus. Tidak sedikit orang yang tahu masa laluku dan seperti apa keadaanku sekarang. Seorang mahasiswi yang rajin keluar malam ke ruang penuh gemerlap lampu disko. Nyaris semua teman-temanku mengetahuinya, hanya saja mereka tak banyak menyinggung di depanku.
Tak seperti biasanya yang berjalan penuh percaya diri, kali ini Aku agak canggung. Aku ingin mencoba membuka diri dengan orang lain yang seakidah denganku. Pikirku mereka pasti bisa menerimaku karena Aku pernah mendengar bahwa islam adalah agama kedamaian, karenanya hari ini Aku memberanikan diri untuk bergaul dengan mereka. Aku merasa gugup merapikan pakaianku di depan cermin kamar mandi. Saat kurasa seluruh keberanianku sudah terkumpul, Aku pergi menuju ke kelas yang sebentar lagi akan dimulai, tapi langkahku tiba-tiba terhenti.
"Ya iyalah, cewek nggak bener gitu pantesnya gabung sama mereka yang selevel." Seorang mahasiswi berhijab biru, mengenakan celana jeans dan outer warna abu-abu sedang bergosip bersama kedua temannya, mereka membicarakanku.
"Emangnya nggak takut apa ya keluar malem-malem gitu?" tanya yang lain.
"Yaelah, dia mah udah biasa sama clubbing, digandeng om om juga nggak heran dong, udah biasa kali."
Ucapan mereka ternyata lebih tajam dari yang kuduga. Mereka mengatakan kebohongan tentangku. Dadaku semakin sesak. Akhirnya aku pergi meninggalkan kelas dan pulang ke kost Siapa sangka disana ada Freya yang menyambutku dengan baik. Sesak dalam dadaku mulai berkurang.
"Ada apa?" tanyanya memberiku segelas air putih
"Salah nggak kalau Aku pengen berubah?"
"For what?"
"Aku capek Frey, sama kaya kamu. Aku juga punya masalah sendiri. Aku cuma pengen berubah lebih baik lagi, pengen ngerasain islamku."
"Brrrtt, Uhuk, tunggu! Kamu serius? sebenernya ada apa sih, coba dong jelasin!"
"Ah, Aku nggak tau harus mulai dari mana, tapi intinya gue butuh hal yang berbeda aja."
"Oke, nggak masalah kalau kamu belum mau cerita sama Aku. Nanti kalau ada apa-apa telfon Aku, ya. Kamu pasti bisa lawan masalahmu," pesan Freya kemudian meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
Aku hanya bisa memendam semua kecemasan itu. Entah harus bagaimana lagi Aku melaluinya, seolah-olah Aku kehilangan diriku yang dulu sangat percaya diri di depan semua orang. Rasanya ingin mati saja. Beranjak dari tempat duduk dan menuju ke cermin besar di ujung lorong, kusisir rambutku dengan kasar karena kesal. Sambil memegang kepalaku dengan kedua tangan, tiba-tiba Aku teringat Ezra.
"Ah, kenapa bayang wajahnya tiba-tiba muncul?"
Tanpa banyak berpikir Aku pun menghubunginya lewat Line. Kutanya kabarnya, keadaannya, dan apa yang sedang dia lakukan. Aku tak tahu kenapa di tengah kecemasan atas diriku sendiri dia bisa menyelinap ke dalam pikiranku?
"Khansa, kita ketemuan aja ya!" ajaknya dengan nada lembut. Dari awal Ezra selalu seperti itu, baik dan lembut. Mungkinkah jika Aku menaruh perasaan padanya? Aku tak tahu, semuanya Aku tak tahu, pikiranku sedang kacau. Kembali kuperhatikan diriku di dalam cermin dan menyandarkan tangan kananku ke dinding, tampangku seperti orang linglung yang tak tahu arah dan tujuan. Sedangkan Aku hanya bisa meratapinya, kedua mataku memerah seperti tertiup angin panas dan menguap menjadi butiran air yang mengalir di celah mataku.
"Khansa!" teriak Ezra dari mulut pintu apartemen. Aku buru-buru menyeka air mataku. Berharap lelaki berhidung mancung itu tak menyadari keadaanku yang sedang kacau.
"Eh, iya. Ezra kamu udah dateng— Aku siap-siap dulu ya, bentar," kataku segera masuk ke kamar dan berdandan sedikit feminim.
Kutarik nafas panjang di depan pintu kamar dan membukanya seolah tidak terjadi apa-apa hari ini. Ezra menatapku beberapa saat seperti melihat sebuah fenomena alam yang mengagumkan.
"Jadi berangkat nggak?" tanyaku mencoba menyadarkannya. Aku khawatir matanya membelalak selamanya.
"Oh, iya— jadi, Khansa— kamu hari ini— beda" ucapnya terbata-bata.
"Tingkah kamu hari ini juga aneh. Udah yuk jalan!"
Kami pun pergi meninggalkan apartemen. Hari ini Aku hanya ingin menenangkan diri, kemanapun Ezra membawaku pergi Aku tak peduli. Aku percaya padanya. Selama diperjalanan kami tidak banyak mengobrol, justru Ezra lebih sering menengok ke kiri untuk mencuri kesempatan supaya bisa melihatku. Aku tau dan Aku membiarkannya menatapku sesuka hati karena pikiranku pun tak bisa lepas darinya.
"Kenapa Aku jadi mikirin dia terus sih? Nggak mungkin kan Aku suka sama dia!" gumamku dalam hati.
"Udah sampai nih," kata Ezra buru-buru turun dari mobil dan membukakan pintu untukku.
Dia sangat perhatian dan tahu bagaimana memperlakukan wanita, tapi hal yang tak pernah terpikirkan olehku adalah atas dasar apa dia mengajakku ke circle land? Ayolah, ini taman hiburan anak-anak. Untuk apa dia mengajakku ke tempat ini?. Aku sedikit kecewa, tapi kucoba untuk tidak menampakkannya di depan Ezra.
Ezra meraih tangan kananku. "Sini duduk dulu!"
Tanpa membalas ucapannya, Aku mengikutinya duduk di kursi taman berwarna putih dengan sedikit karat di sandaran tangan. Suara riuh terdengar dimana-mana dan balon-balon air sesekali tertiup ke arahku.
"Khansa, maaf Aku bawa kamu kesini tanpa persetujuan kamu dulu, tapi kamu nggak bisa menyembunyikan luka itu sendirian. Aku tau kamu lagi ada masalah, makanya Aku ajak kamu ke sini. Katanya kalau lagi ada masalah itu harus kita keluarin, teriak sekenceng-kencengnya. Nah di sini kamu bisa puas-puasin teriaknya, biar nggak nyesek terus-terusan di pendam."
Aku tak bisa berkata-kata lagi, menahan sesak di hatiku. Selama ini Ezra tau semuanya. Aku hanya bisa mengangguk mengiyakan. Kami pun langsung menaiki wahana-wahana di sana. Aku puas berteriak dan menangis, sedangkan Ezra seperti seorang ayah yang sedang menemani anak rewelnya bermain tanpa henti.
____
Alhamdulillah part 4 selesai molor banget.
Semoga tulisan ini bisa memberikan manfaat.
Dukung saya dengan like, subscribe & komen krisar yang membangun ya... makasih... :)