Keana terus berjalan naik ke lantai dua. Kakinya terus mengarah ke kamar Bastian yang memang ia tahu jelas lokasinya.
Keana membuka kamar Bastian dengan amat santai layaknya rumah miliknya. Gadis itu bahkan langsung merebahkan dirinya di kasur empuk milik Bastian.
Keana menatap langit-langit kamar dengan amat nanar. Ingatannya berputar pada seluruh kalimat yang terlontar dari mulut Abian. Seseorang yang ia kira telah berubah menjadi sosok pelindung pengganti sang papa. Namun apa yang ia pikirkan ternyata hanyalah sebuah kesalahan yang baru saja terbukti kebenarannya.
Untaian kata yang telah terlontar dari mulut Abian sungguh terasa seperti pedang yang menusuk dengan amat tajam. Ribuan kali Keana berpikir mengapa? Mengapa Abian melakukannya seolah menjadi hal yang sia-sia.
Tak ada lagi kata persaudaraan yang tulus diantara mereka. Tak ada lagi momen manis yang nyata. Sebuah hanya rencana. Sebuah skenario untuk menjatuhkan Keana dan sang Bunda di hari berikutnya.