"Ales, kapan gue pergi dari sini?" tanya Keana pada Ales yang sudah tak terhitung lagi seberapa banyak. Ia benar- benar ingin pergi dari sana. Namun apa daya, ia tak tahu arah untuk keluar dari markas mereka. Bahkan akal-akalan Keana untuk meminta traktiran kemarin pun sia- sia.
Ya, Keana minta Ales agar mau mengantarkannya adalah hanya untuk mengetahui jalan keluar dari tempatnya. Namun saat itu keadaan gelap gulita. Keana tak bisa melihat apa- apa. Bahkan lampu motor yang menyorot jalanan didepan pun tak membuat Keana paham dimana lokasinya.
Sudah banyak topeng yang Keana pasang sejak dirinya menginjakkan kaki dimarkas mereka. Keana bertingkah seolah olah ia adalah teman mereka. Hanya itu jalan keluar agar mereka tak ada yang berani untuk menyentuhnya.
Bodohnya ia karena kemarin menyetujui permintaan Ales untuk menjauh dari Abian yang mengejarnya. Bagaimana pun Abian telah kesakitan saat berlari kearahnya. Itu membuatnya tak tega.
Sedangkan puluhan bahkan ratusan pertanyaan yang sama telah ditanyakan pada Ales. Namun lelaki itu bahkan sama sekali tak menggubrisnya. Bahkan ia mengancam akan melakukan kekerasan padanya. Keana hanya bisa diam ditempatnya. Berharap seseorang akan datang untuk mengeluarkannya dari sana. Bagaimana pun juga Keana adalah tawanan mereka. Lagak seolah menjadi raja hanyalah topeng penyelamatan diri saja.
Keana termenung didekat jendela. Matanya terus menatap lurus memandang hamparan awan luas jauh disana. Pikirannya tak ada henti- hentinya untuk memikirkan sang saudara. Bagaimana keadaannya? Hanya itu kalimat yang dipikirkan Keana.
Mata Keana beralih menatap ke sekitarnya. Markas kotor yang kemarin ia datangi kini berubah menjadi markas bak istana. Kapan ia bisa pergi dari sana? Ia mengkhawatirkan Abian yang terluka disana.
Sama seperti Keana, Bastian pun tengah memikirkan sesuatu tentang hal yang sama. Bastian yang masih berada dirumah sakit hanya diam termenung diranjangnya. Pikirannya berlabuh tepat pada kejadian malam tadi. Apa maksud Abian?
Bastian memang mengakui kalau ialah yang telah menyerang markas mereka. Namun itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan temannya, Keana. Bahkan ia tak tahu kalau Keana ada bersamanya.
Dengan cepat, Bastian mengambil ponselnya. Mengotak- atiknya mencari nama Ales lalu segera mendialnya.
"Ya, ada apa?" tanya Ales dari seberang sana. Suaranya tampak santai seakan tak terjadi apapun disekitarnya. Bahkan terdengar suara kecapan makanan dari mulutnya.
"Keana dimarkas?" tanya Bastian langsung pada inti. Rahangnya mengeras menunggu jawaban dari sang wakil ketua. Ia tak terima jika sampai sahabat kecilnya ikut terlibat dalam pertikaian gengnya.
Sedangkan Ales langsung tersedak makan dari sana. Matanya melotot mengarah kepada Keana. Namun gadis itu masih dalam posisi yang sama. Sudah beberapa jam ia diam termenung di dekat jendela. Bagaimana bisa Bastian tahu? tanya Ales dalam hatinya.
"I- iya. Dia main aja kesini ka- katanya," jawab Ales terbata- bata. Sungguh berbohong bukanlah gayanya.
"Gimana Keana bisa tahu dimana markas kita kalau nggak lo yang bawa?!" tanya Bastian dengan emosi memuncaknya. Nada suara pun meninggi menyamai kian merahnya raut muka.
"Maaf." hanya satu kata itu yang bisa Ales ucapkan padanya. Ia tahu kalau membawa Keana ke markas sama saja dengan malapetaka. Bodohnya!
"Bangsat lo! Jemput gue sekarang, gue mau ketemu Keana!" ucap Bastian menghardiknya. Ia benar- benar takut Keana dalam masalah jika ia terus terlibat didalam kungkungan anak buahnya. Tanpa menunggu jawaban Ales, Bastian pun langsung mematikan panggilannya.
"Maaf Kean," ucap Bastian sambil termenung ditempatnya. Makian Abian beberapa jam lalu kian membuat rasa bersalahnya. Itu sama sekali bukan salah sahabatnya, namun itu adalah murni karena kebodohannya. Ia tak tahu kalau anak buahnya macam- macam dengan Keana.
Tak menunggu lama, pintu kamar Bastian pun terbuka. Tampak Ales yang sudah berdiri diambang pintu sana. Dengan cepat, Ales datang menghampirinya. Lalu segera memapah Bastian untuk kembali ke markas mereka. Sesuai keinginannya.
*
"Abian, Keana gimana?" tanya Megalani seraya mengusap lembut tangan Abian yang tengah mengemasi barang- barangnya. Hari ini ia memutuskan untuk keluar dari rumah sakit walaupun dokter tak memperbolehkannya. Abian tetaplah Abian. Ia selalu melakukan apa yang ia suka sekalipum dilarang.
Abian hanya membuang napas kasar. Mulutnya tertutup rapat seolah tak mau menjawab pertanyaan. Mendengar nama Keana otaknya tak ada henti- hentinya untuk menghardik kelakuannya. Percuma ia susah payah mengorbankan dirinya kalau Keana sendiri mau pergi bersama dengan musuhnya.
Abian menatap Megalani yang masih setia menatap kearahnya. Perlahan tangannya bergerak melepaskan tangan sang bunda yang menghentikan pergerakannya. Tanpa sepatah kata, Abian langsung melangkah pergi dari sana. Meninggalkan sang bunda yang memandang dengan tatapan tak percayanya.
*
"Bastian!" teriak Keana berlari kearah ambang pintu. Tampak disana ada Bastian yang baru saja datang. Apakah ia akan membebaskannya?
Keana melentangkan tangannya bersiap menyambut Bastian datang ke pelukannya. Ia benar- benar mengkhawatirkannya. Sedangkan Bastian hanya tersenyum singkat menerima perlakuan Keana. Ia sudah menganggap Keana adalah adik kandungnya.
"Gue nggakpapa," ucap Bastian sambil mengacak rambut Keana dengan penuh kasih sayang. Senyuman Keana kian melebar disana. Syukurlah. Satu orang telah baik- baik saja didepannya. Kini tinggal Abian. Ia harus memastikan keadaannya.
"Bastian, gue mau pulang!" pinta Keana dengan mata berkaca- kaca. Ia berharap Bastian mau membantunya. Berada di markas Bastian memang bisa menjadi pengalihan pikiran Keana terhadap keluarga. Namun itu malah membuat Keana semakin merasa tak tenang berada disana.
"Lo yakin?" tanya Bastian sambil mengerutkan keningnya. Ia berpikir apa yang akan terjadi pada Keana nantinya. Ditambah lagi dengan kata- kata menohok yang belum lama Abian katakan padanya.
"Iya, gue mau pulang." jawab Keana terus meminta.
"Tapi disini lo bisa kabur dari masalah keluarga lo, Keana." ucap Bastian menghalangi Keana untuk kembali kesana. Istana bak penjara yang notabenenya adalah rumah Keana.
"Gue udah bikin Bunda khawatir," ucap Keana dengan memelasnya. Ia benar- benar merasa bersalah pada mereka.
Sedangkan Bastian mulai iba. Kepalanya pun mengangguk menyetujui permintaan Keana. Tatapan Bastian teralih menatap Ales dibelakangnya. Bastian meminta Ales untuk mengantarkannya.
"Ayo!" ucap Ales mengajak Keana. Namun baru selangkah Ales mengayunkan kakinya, tangannya telah dicekal oleh Bastian yang menghentikan dirinya.
"Kalau sampe ada masalah, lo yang tanggung jawab!" bisik Bastian tepat disebelah Ales. Ia benar- benar muak dengannya. Ales hanya mengangguk singkat lalu segera meninggalkan mereka.
Ales membawa motornya untuk mengantarkan Keana. Sama sekali tak ada percakapan diantara mereka. Keduanya hanya saling diam seolah menjadi orang asing seperti status mereka sebelumnya.
Motor Ales mulai memelan saat mendekat kearah rumah Keana. Keana segera turun dari motornya lalu melepaskan helmnya. Mulutnya pun telah terbuka bersedia mengucapkan kata terimakasih padanya. Namun belum sempat Keana mengatakannya, Ales telah berlalu melewatinya. Kenapa dia?
Keana berusaha untuk tak menggubrisnya. Langkah riang pun diambilnya karena bahagia. Kaki membawa Keana masuk kedalam rumahnya. Namun matanya tak sengaja menatap Abian yang baru keluar dari rumahnya. Raut mukanya tegang seakan ada banyak beban masalah yang dialaminya.
"Abian!" panggil Keana seraya berlari mendekat padanya. Tangannya pun terlentang bersiap memeluk sang saudara. Namun reaksi yang dilakukan Abian sungguh diluar ekspektasi Keana. Abian berjalan melaluinya.
Kenapa?