Chereads / Sebuah Komitmen / Chapter 3 - Part 3

Chapter 3 - Part 3

Vira mengetuk pintu rumah Nino. Lalu, tidak lama pintu terbuka dan tampaklah Ibunya Nino yang membuka pintu.

Ibu Heni heran melihat seorang wanita seusia anaknya datang bertamu ke rumahnya.

"Siapa, ya?"

Vira mengenalkan dirinya.

"Aku Vira, pacarnya Nino, Tante."

Ibu Heni tambah terkejut mendengar penuturan Vira.

"Pacar?! Setau Tante, Nino gak punya pacar."

"Oh, soalnya, kita baru jadian kemarin. Jadi, mungkin, Nino belum mau cerita sama Tante."

"Kamu mau apa ke sini?"

"Aku mau main aja sama Nino, Tante."

Ibu Heni mempersilakan Vira masuk.

"Kamu duduk aja dulu, biar Tante panggilin Ninonya."

***

Ibu Heni sedikit berteriak memanggil Nino dari bawah tangga.

"Nino, ada pacar kamu datang!"

Tidak ada jawaban dari Nino.

***

Ibu Heni kembali menghampiri Vira dan meminta Vira untuk langsung menemui Nino di lantas atas.

"Kamu langsung aja ke atas. Dia lagi main game sama temen-temennya jadi gak denger saat Tante panggil."

Vira berdiri dan mengiyakan permintaannya.

"Baik, Tante."

***

Nino dan keempat temannya tengak asyik bermain game online seraya menghisap rokok. Mereka duduk di kursi bean bag, melingkar mengelilingi asbak besar dan beberapa botol minuman bersoda.

Vira langsung merasakan udara yang berbeda ketika berada di ruangan ini. Sedikit menyesakkan dada, namun coba ia tahan.

Salah satu teman Nino, Rius, menyadari kehadiran Vira. Lalu, menyenggol bahu kanan Nino.

"Heh, No, itu cewek siapa?"

Nino melihat ke arah Vira dan cukup terkejut dengan kedatangannya.

Vira menyapa mereka semua.

"Hai, Semuanya!"

Tampak teman-teman Nino agak malu-malu menyapa balik Vira.

"Hai!"

"Halo!"

Nino langsung berdiri dan menghampiri Vira dan mengajaknya untuk masuk ke dalam kamar.

"Kita ke kamar aja di sini banyak asap rokok."

Zein meminta Nino untuk menyelesaikan game-nya terlebih dahulu.

"Oy, lanjutin dulu ini game udah hampir menang, nih."

"Iya, bentar."

Namun, Nino memilih membawa Vira ke tempat yang lebih kondusif terlebih dahulu.

Vino membuka pintu kamarnya, lalu mempersilakan Vira masuk ke dalam.

"Kamu tunggu di dalam, aku mau selesai in satu game dulu sama temen-temen."

Vira masuk ke dalam kamar. Vino menyarankan Vira untuk membuka jendela kamarnya agar udara bersih bisa masuk.

"Buka aja jendelanya biar gak sesak udaranya."

Vira mengangguk.

"Iya."

Nino kembali menutup pintu kamarnya.

Vira membuka jendela kamar Nino. Lalu, menghirup udara bersih dari luar.

Vira melihat ke sekeliling kamar Nino yang cukup bersih dan minimalis. Namun, di bawah kursi ada beberapa pakaian yang berserakan. Vira mengambilnya dan memasukkannya ke dalam keranjang pakaian kotor.

Vira duduk di kursi dan menghadap ke meja belajar. Ada sebuah laptop yang terbuka dan sedang dicharge, namun dalam keadaan layar mati.

Telunjuk Vira menekan tombol spasi dan layar laptop menyala. Namun, laptop tersebut terkunci.

Nino kembali menghampiri Vira, dan langsung menutup pintu ketika sudah di dalam kamar.

"Kamu, kok, gak bilang-bilang dulu kalo mau ke sini?"

Dengan santai Vira menjawab pertanyaan Nino.

"Sengaja, biar surprise. Dan berhasil."

Nino mengangkat alis sebelah kanannya, sedikit bingung.

"Aku udah ngejutin Mama kamu dengan bilang kalo aku ini pacar kamu."

"Oh. Terus, tanggapan Mama gimana?"

"Mama kamu awalnya gak percaya, tapi setelah aku jelasin, akhirnya percaya."

"Iya, lah, Mama gak percaya. Dari awal kita deket aja, aku gak cerita sama Mama. Tau-tau kamu bilang gitu sama Mama, pasti bikin Mama terkejut."

Vira tertawa cekikikan.

Nino mendengar ada yang mendorong pintu kamarnya. Lalu, Nino mengajak Vira untuk pindah ke tempat lain. Agar tidak ada yang menguping.

"Kita pindah ke tempat terbuka aja, di halaman belakang. Di sini banyak setan yang nguping kita."

Vira kembali tergelak tawa.

"Baiklah."

***

Teman-teman Nino seketika berlarian dari arah pintu ke tempat semula, seraya panik ketika pintu kamar hendak membuka.

Nino menatap tajam ke arah mereka.

"Cih! Dasar, setan-setan mesum."

Tampak keempat temannya bertingkah seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada mereka.

Nino memberi jalan kepada Vira dan Vira berjalan lebih dulu.

"Kamu duluan."

***

Vira dan Nino sudah turun dari tangga. Lalu, Ibu Heni menghentikan langkah mereka.

"Kalian mau ke mana?"

"Aku mau ngajak Vira ke taman belakang, kalo di atas banyak gangguannya, Mah."

Vira kembali berjalan, sedangkan Vino masih ditahan oleh Ibu Heni.

Ibu Heni berbisik di telinga kanan Nino.

"Kamu apain anak orang sampe dia mau jadi pacar kamu?"

"Susah, Mah, kalo diceritain sekarang."

Nino berjalan menjauh dari Ibunya untuk menyusul Vira.

"Nanti, kalo ada waktu, bakal aku cerita in sama Mama."

***

Halaman belakang rumah Nino tidak begitu luas. Namun, terdapat banyak tanaman hias yang tertata rapi di sana. Mulai dari yang menggantung di langit-langit dekat pintu keluar rumah, maupun yang menempel di tembok pembatas. Yang tertanam langsung di tanah pun berjajar dengan rapi. Dan ada juga kolam kecil berisi beberapa ikan koi.

Vira terkesima melihat semua itu.

"Waah, indah banget tamannya."

Nino sedikit tertawa melihat reaksi Vira, seraya menutup pintu.

Vira bertanya kepada Nino.

"Ini siapa yang buat?"

"Mama. Soalnya, Mama suka sekali sama tanaman semenjak..."

Nino menjadi termenung saat akan menyebutkan peristiwa pahit tersebut.

"Papa meninggal."

Vira merasa bersalah sudah membuat Nino mengingat peristiwa tersebut.

"Maaf in aku."

Nino kembali berusaha tegar.

"Gak Pa-pa, aku udah ikhlas sama kepergian Papa. Cuman, kalo inget, ya pasti ngerasa sedih."

Vira kembali bertanya karena penasaran.

"Aku boleh tau, kapan dan karena apa Papa kamu meninggal?"

Nino menjawab pertanyaan Vira seraya kembali sedih.

"Papa meninggal setaun yang lalu, karena kecanduan ngerokok dari dulu, sebelum mengenal Mama. Sehingga paru-parunya rusak parah."

"Maaf ya. Tapi, kenapa kamu gak bercermin sama kematian Papa kamu? Dan apa Mama kamu gak ngelarang kamu buat ngerokok?"

Nino bersandar di dinding.

"Awalnya, aku gak terlalu suka ngerokok. Walau udah pernah ngerokok sejak SMA. Dulu, paling sebulan sekali aku ngerokok. Itu juga kalo lagi stres sama pelajaran."

Vira mencoba memahami setiap perkataan Nino.

"Dan saat Papa meninggal, aku gak ada pikiran buat berhenti ngerokok. Karena, saat itu aku jarang banget ngerokok.

Tapi, lima bulan lalu, saat aku mulai kerja di pabrik. Aku jadi suka ngerokok. Ya, kamu tau lah pergaulan di pabrik seperti apa."

Vira mengangguk memahami hal tersebut.

"Dan, saat Mama tau, Mama juga gak ngelarang aku. Mama cuman bilang..."

***

"Kamu boleh ngerokok, asal jangan sampai kecanduan banget kayak Papa kamu. Dan, jangan sampai ngeganggu orang lain."

***

"Maka dari itu, aku gak kepikiran buat berhenti ngerokok. Karena, gak ada yang nyuruh aku buat berhenti."

Vira memikirkan sesuatu. Lalu, mengutarakannya kepada Nino.

"Kalo aku yang minta kamu buat berhenti ngerokok, kamu mau ngelakuinnya?"

"Akan aku usaha in."

***

Vira membuka pintu. Lalu, menyapa Nino yang sudah menunggunya di samping sepeda motor.

"Hey, Pacar!"

"Halo, kesayangan."

Vira memperhatikan sekitar kaki Nino, dan ia tidak menemukan ada puntung rokok yang dibuang. Ia pun mengulas senyuman.

Nino memberikan Helm kepada Vira.

"Kali ini dompetku udah aku bawa."

Vira sedikit tergelak tawa mendengar penuturan Nino.

"Biar kamu gak harus nalangin lagi."

Vira sedang mengaitkan tali Helmnya, seraya tersenyum. Karena, tidak mencium bau rokok saat Nino berbicara.

***

Nino dan Vira duduk di bangku taman seraya asyik mengobrol.

"Saat mereka tanya, "kenapa lo berenti ngerokok?" aku jawab aja "ada bidadari yang harus gue jaga.""

Vira tertawa malu mendengar cerita Nino.

"Mereka gak ada yang percaya dan ngeremehin aku. Katanya, "nanti juga lo balik ngerokok lagi.""

Vira tersenyum tulus, karena bisa jadi alasan untuk Nino berhenti merokok.

***

Nino dan beberapa rekan kerjanya sedang beristirahat. Roni menawari rokok kepada Nino.

"Daripada bengong sambil main hape, nih, lo ambil sebatang."

Toni berkata seraya memegang rokok di tangan kirinya.

"Pacar lo gak bakal tau ini, kalo lo ngerokok."

Nino ingin mengambil rokok tersebut, tapi ia urungkan niatnya itu dan pergi ke tempat lain.

"Gak, ah. Mending gue jajan permen karet."

Saat berjalan, Nino merasakan kecemasan yang tidak beralasan. Tangannya terasa gemetar. Dan ia bingung kenapa ia bisa merasa cemas seperti itu.

"Ada apa ini? Kenapa gue jadi tiba-tiba cemas kayak gini?"