"kita pulaang...." teriak Zaky membelah jalan menuju gerbang sekolah.
***
"Kira kira kemana ya Bu Maira pergi..." Gumam Diva gusar. Matahari tidak seterik beberapa jam lalu. Tentu saja karena hari sudah sore. Ia dan Pandu baru saja meninggalkan pelataran masjid. Salat ashar sekaligus mencari wanita yang mereka cari.
Sayangnya, mereka belum juga menemui titik temu mengenai keberadaan Ibunya Pandu. Dari taman, pusat perbelanjaan, rumah makan, sampai ke masjid barusan pun tak menunjukan tanda tanda adanya Bu Maira.
Selama itu, Diva tak banyak bicara. Kegelisahan Pandu berhasil mengunci mulutnya. Rasa bersalah sepenuhnya mengekang Diva untuk berkata apapun pada Pandu. Apalagi setelah seorang perawat mengatakan bahwa Ibu Maira kabur untuk mencarinya. Ahh... dia benar benar masalah sebenarnya. Kalau saja pagi tadi ia menyempatkan ke rumah sakit dulu. Mungkin hal ini tak akan terjadi.
Ahh.. Mungkin kalau Zaky yang berangkat bersama Yumna pagi tadi. Semua bisa berjalan lancar. Ia bisa datang ke tempat kerjanya tepat waktu. Dan Yumna bisa sampai di sekolah tepat waktu juga.
Sekitar pukul 2 siang, Zaky memberitahu bahwa Yumna sudah tiba di rumah dengan selamat. Lalu kenapa ia meragukan adiknya sendiri untuk mengantar Yumna?. Inilah akibatnya. Ia langsung mendapat masalah dalam pekerjaannya.
Hmm Diva bingung menyimpulkan. Bagaimanapun Yumna juga tanggung jawabnya. Dan tentu saja pasien kabur itu juga. Lalu dimana egoisnya?. satu hal yang ia akui, caranya kali ini memang salah. Ahh.. Terlalu serakah untuk melakukan semua sendiri. Ternyata buruk.
"Maaf, Kita ke sekolah sebentar.. saya mau mengambil motor saya... saya akan melanjutkan pencarian sendiri... Dokter Diva bisa pulang saja..." Lirih Pandu, namun tertangkap jelas oleh pendengaran Diva.
'Pasti dia pikir aku nyusahin dan gak bisa bantu apa apa.' Batin Diva.
Benar saja, Pandu memberhentikan mobil di dekat gerbang SMA Berlian. Diva berkali kali ingin menahannya, Namun ia urungkan. dan membiarkan pria itu turun dan menghampiri gerbang. Seorang satpam tidak jadi menutup gerbang sekolah. Tampak mereka mengobrol sebentar. Lalu Pandu kembali melangkah cepat ke area parkir.
Perasaan tak enak menyelimuti Diva. Hingga beberapa menit lamanya Diva tak menyalakan mesin mobil. Menunggu hingga Pandu kembali dengan motornya.
Yang dipikiran Pandu kini hanya ibunya. Ia bahkan tak peduli dengan mobil yang masih diam di tempat yang sama. Pria itu melewati tanpa menyapa atau hanya sekedar membunyikan klakson motor.
"Dia bener bener marah ke aku.." Diva mengehela nafas berat. Baru sekarang ia merasa gagal melakukan pekerjaannya. Wanita itu menghempaskan badan kesandaran kursi.
"Hmm sebelum ujan pokoknya mesti ketemu ..semangaat.." Diva berseru dengan antusias. Awan kelabu yang menggantung tak menyurutkan niatnya. Ia akan tetap mencari pasien itu. Kalau bisa, harus menemukannya sebelum Pandu.
Dalam sekian detik mobil silver itu sudah kembali melaju. Dengan kecepatan sedang. Diva tak lelah untuk memeriksa sisi kanan dan kiri jalan. Hatinya tak henti membisikkan nama Bu Maira. Sesekali ia melirik jam di dashboard mobil dan jam tangannya bergantian. Mungkin karena rasa panik yang menguasai otaknya. Ia berharap detik berikutnya Bu maira akan muncul tiba tiba. Entah di manapun itu.
Sementara langit agaknya sudah tak kuasa menahan beban berat. Perlahan, Bulir demi bulir terjun bebas menyerbu bumi. Aroma khas hujan menyeruak ke indra penciuman Pandu. Pasrah dengan air hujan yang mulai memberi sensasi dingin di punggungnya. Terlebih ia memang tak menggunakan jas hujan. Hujan semakin deras.
Pandu mengusap kasar kaca helm yang mengembun. Mendongak sesaat menatap langit. Ia menghela nafas panjang. Sedikitpun ia tak berhenti. Motornya terus berjalan menembus hujan deras ini. Inilah yang justru mengkhawatirkan . Disaat hujan seperti ini, Apa ibunya aman?.
Baik Pandu maupun Diva tak menyerah barang sekejap. Mereka sama sama berdoa dalam hati. Doa yang sama. Dengan ketulusan luar biasa. Alis keduanya bertaut dirundung kecemasan.
Pandu memutuskan untuk duduk di kursi taman. Ia membiarkan badannya semakin basah kuyup. Tangannya mencengkeram erat tepi kursi besi itu.
"Astaghfirullah..." lirih Pandu. Ia berupaya menghilangkan kegelisahannya. Sambil mengamati tetes air yang terpecah ketika menghantam genangan air dangkal.
Cukup lama Pandu menunduk dalam diamnya. Hatinya terus beristighfar. Genangan air di depannya makin terisi penuh.
Byur!.. Pandu terkesiap saat seseorang tiba tiba sengaja meloncati genangan air itu. Cipratan itu sampai mengenai kemejanya. Untung ia sempat memasang lengan untuk melindungi wajah.
Siapa dia?. Mungkin dia tak melihat ada orang disini. Pandu membersihkan pakaian sebisanya. Menyapu cepat dengan tangan. Ia terlalu baik untuk berprasangka buruk pada orang lain. Beberapa saat ia memperhatikan langkah wanita tadi. Seketika nafasnya tertahan. Ibu?!. itu ibunya!. iya. Pria itu melangkah cepat mendekat.
Ternyata memang Bu Maira. Wanita itu berjalan malas di tengah hujan. Kepalanya tertunduk lemah tampak murung. Mulutnya terus bergumam memanggil nama 'Sinta' , yakni putrinya yang telah meninggal.
Namun setiap ada genangan air ia selalu meloncat di atasnya. Memunculkan senyum polos kebahagiaan seperti anak kecil. Namun itu tak bertahan lama. Dalam beberapa detik senyumnya kembali lenyap dan hanya akan muncul lagi ketika ada air yang bisa ia jatuhi lagi. Atau mungkin jika anak yang selalu ia sebut itu bisa datang di hadapannya sekarang juga. Pasti ia tak akan semurung ini. Meski begitu, pengidap skizofrenia memang susah di tebak. dan perlu kesabaran untuk menanganinya.
"Ibu... aku udah nyari ibu kemana mana.. ternyata ibu disini.." Tanpa sadar Pandu memeluk wanita itu sangat erat. Ia meluapkan segala perasaan leganya dengan pelukan sepihak itu.
Mata dan mulut Bu Maira membulat cukup lama. Ia tak tahu siapa yang memeluknya tiba tiba. Bahkan ia tak bisa melihat wajah orang ini. Perlahan Bu Maira mendorong secara halus badan Pandu.
"Hah....orang jahat...!." pekik Bu Maira ketika melihat wjah Pandu. Ia mundur cepat dengan raut ketakutan.
"Bu, ini Pandu...anak Ibu..." ucap Pandu dengan suara ditinggikan agar bisa mengalahkan bunyi hujan.
"Hussh...Pergi!..pergi...!...hussh!." teriak Bu Maira seperti mengusir kucing saja. Ia lantas berjongkok meraih apapun yang bisa ia lempar. Batu batu kecil menjadi alatnya untuk menyerang Pandu.
Pandu tak berani lebih dekat. Ahh kenapa ia baru ingat kalau ibunya mengira dia adalah Ayahnya. Lelaki yang selalu berbuat kasar pada keluarganya. Sampai kakak perempuan Pandu yang bernama Sintapun meninggal dunia sebab dikurung di kamar berhari hari tanpa makan dan minum. Dan Ayah nya sudah di penjara selama 10 tahun.
Ahh... fisik Pandu terlalu mirip dengan ayahnya. dan ibunya juga selalu mengalami delusi ini berkali kali. Salah mengenal seseorang.
Pandu merogoh saku dengan cepat. mengambil ponsel. Satu tangannya terus menahan serangan ibunya sendiri. Perawat rumah sakit pasti bisa membantunya.
"Assalamualaikum... saya sudah bertemu Ibu saya... tapi saya butuh bantuan...iya.. tepatnya di dekat taman bermain anak anak. Hah Dokter Diva?!." Pandu termenung. Apa dia harus merepotkan wanita itu lagi?!.
Bu Maira mengambil kesempatan itu untuk kabur. Ia melesat meninggalkan Pandu yang hanya bisa mengawasinya dari jauh. Ibu paruh baya itu lantas bersembunyi di bawah perosotan dengan berjongkok. Ia tak bisa lari lebih jauh lagi. Badannya bergetar hebat. Ia memeluk dirinya sendiri. Nafasnya terengah. Ia benar benar ketakutan. Dan juga mengigil kedinginan. Matanya tertutup rapat berharap orang yang ia pikir jahat itu tak menemukannya.
Pandu tahu dimana Ibunya pergi. Tapi di tempat ini pun cukup untuk menjaga jarak agar Ibunya tak semakin ketakutan.
"Hah apa? Dokter Diva sedang kesini?.. Tadi sudah saya bilang, tidak perlu..." Pandu mendesis sesal. Ya, ucapan perawat itu memang benar. Dengan adanya Diva, perawat pun tidak di butuhkan. Karena ibunya pasti akan dengan mudah di ajak pulang oleh Diva. Tapi, hal ini membuatnya jadi ketergantungan sekali dengan wanita itu. ahh... lagi lagi Diva akan repot. Dan ia semakin tak enak.
Pandu menghembuskan nafas pasrah. semoga ini yang terakhir. Dari ucapan perawat tadi. Katanya Diva tak jauh dari sini. Dokter itu ternyata masih mencari Ibunya. Hmm.. wajar. karena ini memang pekerjaannya. Kenapa Pandu yang berpikir tak enak.
"Pak Pandu..." teriak Diva . Suaranya membelah gemuruh hujan. Pria itu berbalik seraya meringis tersenyum kikuk.
Diva makin mempercepat langkah. Dahinya mengernyit menyadari pria di depannya basah kuyup. Ia segera meninggikan payung yang dipakainya. Memayungi pria itu.
"Apa yang dokter lakukan...?." Pandu reflek mundur selangkah.
"Anda pasti kedinginan..jadi pakai ini..." Diva maju selangkah lagi. Kembali memayungi pria itu.
"Dokter juga jadi ikut basah..." Ucap Pandu mendorong gagang payung agar menaungi Diva. Namun wanita itu malah maju lagi. Dan otomatis jarak mereka kurang dari lebar payung. Sumpah demi jutaan tetes hujan. Sudah lama Pandu tak pernah berhadapan dengan perempuan sedekat dirinya dengan Diva. Dan Wanita itu tampak biasa saja. lain dengannya yang merasa tak karuan. Panas dingin.
"Maaf..Pegang ini sebentar...." ucap Diva. Pria itu dengan terpaksa menerima. Diva membuka satu payung lipat. Sementara Pandu tak berani berkomentar. Ia mematung.
Karena sedikit alot. Ia berusaha keras untuk menarik gagang payung yang kaku itu. mungkin karatan. Diva mendengus sebal. ia tak menyadari dirinya bergerak terus hampir menghilangkan jaraknya dengan pria itu.
Pandu dari tadi memandang taman bermain anak kecil. Sengaja mengalihkan otaknya dari wanita itu. Posisinya kini sukses menguras energinya untuk berdiri. Ahh entahlah. Yang pasti, Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
Hingga siku Diva tak sengaja terdorong ke perut Pandu. Oops! Sentuhan itu berhasil menghentikan nafas pandu. "eh maaf..." Lirih Diva langsung menoleh ke pria itu. Masih memegang payung yang kini sudah terbuka. Kontan keduanya terpaku dengan tatapan terkunci. cukup lama.
'Hmm...kenapa leherku susah digerakin... iya aku tau dia kelihatan ganteng sekarang... tapi...ini malu maluin banget...' Ratap Diva dalam hati. Seolah ada dua suara yang berdebat dalam pikirannya. Ahh gadis itu sepenuhnya setuju bahwa Pandu memang sangat good-looking. Tatapannya yang dalam dan teduh juga sangat menyejukan. Selalu ada rasa nyaman saat menatap mata pria itu.
Ia sebenernya rela berlama lama mendongak demi dalam pose ini. Ahh tapi sisi profesionalnya muncul tiba tiba. "Maaf Pak.." ucap Diva spontanitas seraya bergeser sedikit.
"Eh iya...". Pandu langsung memalingkan wajah. Memejamkan mata sebentar. Merutuki sikapnya barusan. Ia baru pernah gagal menguasai diri seperti ini.
"Jadi saya pakai ini saja..." ujar Diva menarik diri. Ia tersenyum dipaksakan. Menutupi rasa grogi yang masih melapisi perasaannya. Sembari memutar mutar gagang payung. Ia juga mengalihkan pandangan agar tak ketahuan betapa malunya dia sekarang. Seolah wajahnya penuh dengan coretan hitam pantat panci. Huh! Ia makin kehilangan harga diri disini.
"Oh iya..dimana bu Maira?." tanya Diva. Pura pura sibuk mencari.
"Disana.. dibawah...prosotan..."
"Oh..baik..saya akan kesana...permisi..." ucap Diva menunduk sopan.
"Tunggu..." Pria itu membeku saat Diva kembali memandangnya.
"Iya ada apa?.."
"Terimakasih.." Pandu menarik senyum walau sedikit sulit. Ia dibuat makin tersiksa dengan balasan senyum Diva yang entah kenapa tampak lebih cantik dari biasanya. Wanita itu kembali melanjutkan langkah. Tak mau berlama lama di hadapan pria yang meresahkan hatinya itu.
"Astaghfirullah... Maafkan hambamu ini ya Allah... saya khilaf..." Pandu meraup wajahnya frustasi. Ia sungguh lepas kendali jika di depan perempuan bernama Diva itu. Padahal ia selalu berusaha menjaga pandangan.
Diva menjemput Bu Maira. Ia mempercepat langkah saat mendapati pasiennya itu tampak meringkuk di bawah wahana bermain anak anak.
"Bu...." panggil Diva. Sontak Bu Maira menyipitkan mata meneliti kedatangan Diva takut takut. Saat jelas itu Diva, Ia langsung menghambur memeluk psikiater itu.
"Sinta...kamu dari mana...Ibu nyariin kamu dari pagi..Ibu takut...tadi ada Ayah mau nangkap ibu..hiks hiks..." Bu Maira makin mempererat pelukan. Bahunya berguncang seiring isak tangis.
"Yang penting Ibu sekarang selamat...kan ada Div....eh ada sinta disini..." Diva membalas pelukan itu seraya menepuk nepuk punggung Bu Maira. Ia akan terus mengaku sebagai Sinta selama bisa membuat pasiennya ini tenang. Entah kenapa, Hatinya ikut terluka membayangkan betapa sakit ujian yang di hadapi bu Maira. sampai sampai jiwa wanita ini terguncang. Ahh pasti berat... Diva jelas tersentuh dengan keadaan ini. Ia juga takjub dengan usaha Pandu dalam menjaga Ibunya. Padahal pria itu di benci mati matian oleh ibunya sendiri.
"Kita pulang ya... Ibu udah makan?.." tanya Diva sembari merenggangkan pelukan.
"Belum... " Bu maira menggeleng.
"Kalau gitu ayo kita makan bersama ya bu..." Diva tersenyum manis. Lantas menggandeng wanita paruh baya itu meninggalkan taman bermain.
Pandu segera bersembunyi saat mereka hendak melewati jalan tadi. Hatinya menghangat melihat kebahagiaan yang terpancar di wajah ibunya. Entah apa yang mereka bicarakan. Diva tampak pandai sekali mengukir senyum di wajah Bu Maira. Dengan ucapannya yang lemah lembut. Diva memang sukses menarik hati siapapun.
"Terimakasih...." Lirih Pandu seraya tersenyum samar mengamati kepergian dua wanita itu.