Jam menunjukan pukul tujuh. Yumna tak berkutik. Ia menatap nanar pada jam weker diatas nakas. Jantungnya sudah mulai bereaksi. Berdetak begitu keras sampai tertangkap jelas di telinganya sendiri. Sesaat ia hampir lupa bernapas. Membuatnya menghirup udara susah payah. Cukup terengah seolah baru menyelesaikan lari marathon.
Hanya dengan Membayangkan kemarahan yang dalam sekian detik akan segera Yumna terima. Perasaannya jadi kacau. keringat dingin sudah mengalir deras di pelipis. Telapak tangannya berubah dingin seperti di masukan kedalam freezer semalaman. Ahh Citra tak pernah dengan mudah mengabaikan kesempatan ini. Mama nya itu pasti sudah menunggu di meja makan. Siap dengan lontaran kata kata tajam yang pasti mengoyak hatinya.
Yumna sangat yakin. Pagi ini bukan sarapan makanan yang akan diterimananya. Melainkan sarapan dengan segala sikap Citra yang lebih seperti pisau. Dari tatapan mata yang tajam hingga lidah yang tajam pula.
Mau bagaimana lagi?. Yumna tak punya pilihan lain kecuali menerima. Karena melawan atau lari dari Citra sama saja mengajukan diri untuk diusir. Oh ayolah... Gadis seperti dirinya tak mungkin bertahan lama di luar sana.
Yumna masih duduk di pinggiran ranjang. Ragu untuk keluar kamar. Padahal biasanya ia akan turun sendiri. Selain karena takut menemui Citra. Stamina gadis itu juga lebih lemah efek dari kehujanan kemarin. Ia bahkan sampai demam.
Desi sebagai ART begitu panik kemarin. Karena Yumna sama sekali tidak bangun dari pingsan. Gadis itu juga seperti mendapat mimpi buruk. Pasalnya Dalam kondisi tak sadar itu. Yumna malah bergerak brutal tak terkendali dengan ekspresi ketakutan. Seperti melihat sesuatu yang menyeramkan.
Jika Diva tidak menyuntikkan obat penenang pada Yumna. Mungkin Desi akan memanggil ustadz saat itu juga. Mengira majikannya kesurupan sudah dikuasai roh jahat.
Apapun itu, yang pasti sekarang Yumna sudah merasa lebih baik. Rasa pusing itu tidak datang lagi. Satu yang belum pulih. Tenaganya. Untuk sekedar berdiripun ia tak bisa lama lama.
Tok tok tok...
Deg!. Yumna membeku seketika. Ia makin gusar saat gagang pintu mulai bergerak turun. Bayangkan saja kau tahu kapan kau akan mati. Itu yang Yumna rasakan. Dan waktunya sekarang.
Klek!.
Kreeeeet... deritan pintu terdengar horor.. pikiran Yumna sudah menjerit sedari tadi. Namun ia hanya bisa mengekspresikan kepanikannya dengan membulatkan mata maksimal.
"Mba Yumna...dah bangun?." Dalam sekejap atmosfer mencekam itu berubah absurd. Desi yang melongok dengan raut polos memang tetap mengejutkan. Ia lebih mirip kepala yang muncul tanpa badan. Yumna segera mengkondisikan ekspresinya saat tau kalau itu cuma kepala Desi.
Desi mendorong pintu dengan bahunya. Mungkin karena sesuatu yang Ia bawa. Yakni nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. Setelah dirasa pas. Desi segera menutup pintu dengan pantat.
Kreb! Desi nyengir puas saat pintu itu benar benar tertutup rapat.
Yumna menautkan alis heran. 'Buat apa Mba Desi bawa makanan kesini?. Mama mana?. issh...Mba Desi kaya gak tau aja siih.. Mama bisa marah kalo kaya gini.' Yumna beralih menatap pintu gusar. Masih Deg deg an takut Citra muncul tiba tiba. Bagaimanapun Wanita itu selalu melarang Yumna merepotkan asisten rumah tangga. Apalagi sampai mengantar sarapan ke kamar.
Sejak insiden kucing yang buang kotoran di selimut Yumna, Citra begitu sensitif dengan perlakuan gadis itu terhadap pembantu di rumah. Sampai sekarang.
Desi menaruh nampan itu keatas laci meja.
"Maaf mba..". Desi memeriksa suhu Yumna dengan punggung tangan. lalu manggut manggut tersenyum lega. Sudah turun panasnya. Yumna pasti banyak berkeringat tadi malam. Apalagi Desi dengan cekatan memakaikan jaket, sarung tangan, dan kaus kaki pada Yumna. Hmm bahkan sepagi ini anak majikannya itu juga sudah berkeringat.
Yumna masih saja melirik pintu. Menumpukan semua harapannya pada benda persegi panjang itu. Please jangan kebuka...
"Tenang Mba, Ibu udah berangkat keluar kota kemarin sore. Mendadak." ucap Desi yang tahu isi pikiran Yumna. "Mending sekarang makan... biar cepet sembuh... udah turun siih panasnya. Tapi masih sedikit anget. Mba Yumna juga masih keliatan pucet. hmm... ini keringat dingin ya.?.." Desi mengambil tissue diatas nakas dan langsung menyapu bersih bulir bulir air di dahi sampai ke pipi gadis itu.
"Mba Yumna pasti takut ibu marah marah lagi....tenang aja.. Setahu bu Citra, Mba Yumna sudah dirumah pas beliau pulang. Jadi gak ada masalah.. " Desi meraih semangkuk bubur itu. ia menghela nafas berat. Lalu tersenyum pahit. Tatapannya berubah sendu kepada Yumna saat ia teringat dengan ucapan Diva dan Key kemarin.
"Makan ya mba... saya suapin.." ucap Desi.
Yumna tak bergeming. Masih diam dengan tatapan kosong. Di dalam hatinya, Yumna sibuk bersyukur atas sifat acuh yang dimiliki ibunya. Jika saja Citra adalah orang yang punya empati tinggi, pasti saat itu juga wanita itu akan memeriksa kamarnya untuk memastikan. Ahh Yumna bisa bernapas lega sekarang....Untung saja.
"Mba Yumna.... saya tahu saya salah... " Lirih Desi seraya meletakan mangkuk itu kembali. Tanpa aba aba Desi langsung bersimpuh di depan kaki Yumna. Tentu saja gadis itu kaget bukan main. 'Apa yang dia lakukan?' seru Yumna dalam hati.
"Saya tahu saya salah... tapi saya mohon... maafin saya..." ucap Desi dengan sungguh sungguh. Ia memegang kedua kaki Yumna dan menunduk begitu dalam.
Yumna belum menangkap secara jelas maksud pembantunya itu. Salah apa?? maaf untuk apa??. Jelas ia tak berpikir soal Desi sama sekali. Otaknya hanya siap sedia menyimpan semua hal tentang Ibunya. Ahh...tapi tidak untuk sekarang. Baru baru ini mimpinya selalu terganggu dengan kehadiran cowok minim akal. Ya! siapa lagi kalau bukan Zaky. Seberapapun ia mencoba pura pura lupa. Zaky akan tetap datang lagi dengan senyum yang menjengkelkan.
Yumna melepaskan tangan Desi. Ia tentu merasa risih dengan perlakuan macam itu. Ini berlebihan! bahkan untuk hal yang belum ia ketahui sama sekali.
"Maaf..." lirih Desy lagi. Ia membuat Yumna semakin jengah. Gadis itu tak suka suasana mendramatisir dadakan seperti ini. Ia lantas melihat bubur itu sekilas. Jujur, Ia tak selera sedikitpun. Matanya beralih kepada Desi yang masih menunduk. 'Untuk menghargainya, aku harus makan..biar dia cepet keluar juga.' batinnya
Yumna bergeser perlahan. Desi sepertinya tidak menyadari. Yumna memangku bubur itu.
'Kalau lagi sehat mungkin gak bakal se enek ini liat makanan' batin Yumna. Gara gara kondisinya yang buruk, lidah Yumna jadi terasa pahit seperti mengunyah obat. 'Aissh... kenapa aku jadi selemah ini? cuma gara gara air doang huh?.aku sampai demam?' gerutu Yumna dalam hati.
Yumna mulai menyendok sesuap bubur. Gadis itu menelan dengan terpaksa. Lidahnya tak bisa mengecap apa apa. Mati rasa.
"Tolong jangan musuhi saya lagi... berhenti mengacuhkan saya.... .maaf saya salah..saya yang bikin mba Yumna menderita."
Yumna tertegun saat mendengar uraian Desi. Ia sampai urung memasukan suapan keduanya. Gadis itu berusaha mencerna setiap kata yang diucapkan wanita yang bersimpuh didepannya. Namun akhirnya mencoba tak peduli dan mulai melanjutkan kegiatan sarapannya lagi.
"Mulai hari ini...saya gak bakal pake bahasa isyarat buat bicara sama mba Yumna. saya tau, cara saya sebelumnya pasti bikin mba Yumna sakit hati... sama aja saya menuduh mba Yumna Tuli." Desi tak berani mengangkat kepala nya barang sekejap. entah kenapa tiba tiba Ia meyakini Yumna akan memarahinya. meskipun tak terbayang bagaimana gadis pendiam macam Yumna bisa membentak seseorang. Faktanya, orang banyak mengatakan bahwa buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Citra saja sudah sangat mengerikan saat emosi. Apa kabar dengan anaknya yang selalu memendam kemarahan?. Pasti akan jauh lebih spektakuler.
Yumna baru sadar kalau sedari tadi Desi tak menggunakan bahasa isyarat sedikitpun. Satu persatu kata kata Desi mulai membuatnya mengerti. 'Apa aku lagi mimpi?. kenapa mendadak Mba Desi bicara soal ini?. dia tau dari mana?. dan untuk apa minta maaf..?' Batin Yumna terus bertanya tanya. meski begitu ia tetap mencoba sarapan sebagaimana mestinya.
"Selama ini mba Yumna selalu pura pura gak denger saya kan?. pasti Mba Yumna kesel ama saya... maaf...saya gak tau apa apa malah asal nyimpulin. saya malah ngasih saran bu Citra biar nyekolahin mba ke SLB tempat saya bekerja dulu. Akhirnya mba Yumna jadi makin ngebatin. Saya jelas dah dosa banget.. dosa banget.. dosa bangeet.." cerocos Desi mengutuki dirinya sendiri.
Deg!. Yumna kontan menatap Desi nanar. Ia bisa mengacuhkan apapun. Tapi tidak soal ini. perihal sekolah yang membuatnya merasa asing selama tiga tahun lebih. Yumna hampir setiap hari ingat dengan hari dimana Citra mendaftarkan dirinya ke sekolah anak berkebutuhan khusus itu. Hari dimana ia hanya bisa diam tanpa berkomentar. Hari dimana ia menangis semalaman sebab kecewa dengan Citra. Bagaimana mungkin dengan mudah ibunya itu percaya bahwa ia setara dengan siswa SLB. Itu adalah kesalahan terbesar Citra yang sulit di abaikan Yumna. Dan hari ini.... Ia dikejutkan dengan pengakuan Desi.
Tangan Yumna bergetar. Ia segera berpaling ke arah lain. Ia muak dengan ART yang sudah Ia percaya selama ini. gara gara perempuan ini Ia sudah ber prasangka buruk pada ibunya. Citra pasti terlalu putus asa menghadapi putrinya yang sulit dimengerti ini. sampai sampai ucapan pembantu pun ia dengarkan.
"Mba Yumna pasti punya banyak masalah waktu itu. Harusnya mba Yumna cerita... saya bakal dengerin mba... Bu Citra juga pasti mau dengerin... buktinya beliau jadi makin dingin sejak Mba Yumna jadi super pendiem waktu itu. Bu Citra terpukul sama keadaan Mba Yumna. saya yakin itu.." Desi mengatakan dengan penuh pengertian. Matanya yang sayu mulai memerah menahan buliran air yang mungkin akan segera turun sebentar lagi.
Hati Yumna melunak. Jika Ia mengambil dari sudut pandang orang lain. Jelas ia yang salah. Kenapa ia terlalu menutup diri. dan dengan sok paling sengsara, ia malah menuduh orang lain yang menciptakan penderitaannya.
" Segalak galaknya orang tua.. sebenernya mereka sayang... tapi terlalu gengsi mengakui. Saya yakin Bu Citra begitu... beliau sempet niat mau bikin Mba Yumna putus sekolah aja. karena gak ada SMP yang mau nerima... soalnya mengira Mba Yumna ini anak berkebutuhan khusus.. maaf.." Desi menghela nafas berat.
" Makanya saya saranin ke SLB.. apalagi perilaku Mba Yumna yang diam dan kaya gak bisa denger itu.. makin memperkuat dugaan saya dan Bu Citra. dan anehnya bu Citra setuju sama ide saya.. naah... dari itu jelas keliatan kan... kalau Bu Citra masih peduli dengan mba Yumna". Ucap Desi lirih.
Yumna tersenyum getir. Tak semudah itu percaya. Semua orang bisa berspekulasi sekenanya. dan sebelum ia mendengar sendiri dari lisan Citra. Semua hanya tampak seperti bayangan semu. Rasanya sampai kapanpun,, ia tak akan pernah bisa menafsirkan isi hati Ibu kandungnya itu.
"Sekali lagi saya minta maaf..." Desi menunduk beberapa detik. Dan setelah itu matanya langsung tertuju pada semangkuk bubur di pangkuan Yumna. " boleh saya suapin mba?." tawar Desi.
Yumna tak bergeming. Masih ragu dengan semua ucapan Desi.
Desi menghembuskan nafas pasrah. Ia jadi bimbang dengan pernyataan Diva kemarin sore. Sejauh ini setelah ia sudah mengatakan banyak hal. Yumna masih saja acuh tak acuh. Ekspresinya pun sulit diterjemahkan. Majikannya itu memang sempat terlihat marah, tapi ia belum bisa memastikan. Yumna marah karena risih atau karena kata katanya.
"Di acuhkan itu sakit kan?...jadi jangan acuhin orang lain...segala sesuatu itu ada balasannya. ingat karma itu berlaku. bisa kebalas kediri kita sendiri atau ke keluarga kita. Ya.. orang tua berarti termasuk.. balasannya gak main main lho... bisa sampai bikin orang mati. . ." ucap Desi. Yumna menoleh cepat. 'bagaimana bisa mba Desi berani mengatakan itu?.' pikirnya.
"Naah gitu donk... noleh... hehe...". Desi terkekeh. ia kembali diam saat tahu Yumna menatapnya tanpa ekspresi.
"Ahh..itu bukan kata kata saya mba... tapi kata ustadz ganteng yang ngisi pengajian ibu ibu. huu pantesan ibu ibu pada rajin dateng.. wong ustadznya model keturunan kerajaan gitu. masih muda pula. kalo liat beliau tuh.. rasanya pengen saya sakuin trus bawa ke penghulu biar langsung dinikahin...hehe.." Desi bercerita dengan sangat antusias. apalagi Yumna juga tampak mendengarkan dengan cermat.
"Iya serius deh mba.. dua rius malah..." Desi menunjukan dua jarinya sunguh sungguh.
"Tapi saya siih tau diri. saya cuma pembantu yang ilmu agamanya masih cetek. ustadz begitu pasti nyari jodohnya yang sholehah. ahh aku mah apa atuhh... aku mesti gimana dong mba.....huaaa...." Desi malah curhat tak terkendali pada Yumna. Dan gadis itu hanya menggeleng prihatin. yaah.. untuk pertama kalinya Yumna merespon ucapan Desi.
"Rumit banget ya kisah cinta saya mba... cinta dalam diam. cinta tak terbalas...hmm..sini mba sekalian makan..." Desi meraih mangkuk dipangkuan Yumna. disaaat seperti itupun ia masih mengoceh tentang drama yang ia buat sendiri. Tentang dirinya yang diam diam menyukai seorang ustadz tampan.
"Kadang tuh saya pengen banget penyetin ibu ibu yang kecentilan itu. hissh.. Mba aaa..." Desi gregetan sendiri sambil menyuapi Yumna. Majikannya itu nurut saja disuruh membuka mulut.
Yumna tersenyum tipis. Lain dengan hatinya yang sudah mentertawai Desi habis habisan. Ia baru tahu. ternyata pembantunya ini cerewet juga.
"Saya pernah tuh sengaja samperin tu ustadz... sok nanya soal agama... eh tiba tiba saya ditubruk dua ibu ibu gendut... astaghfirullah... saya salah apa coba..." Desi mendengus sebal. "lagi mba aaa.." ia kembali menyuapi Yumna.
"Ternyata enak ya kalau punya masalah tu di ceritain... plong rasanya..." ucap Desi sambil mengaduk aduk bubur.
"Eh..maaf mba jadi curhat..." Desi baru sadar kalau dia sudah menjadikan Yumna sebagai teman curhatnya.
"Tapi saya emang pengen punya temen dari dulu...tapi gak pernah dapet dapet... maaf kalau saya lancang... " Desi mengangguk kaku.
Yumna menarik senyum terpaksa. ia bingung mau menanggapi dengan apa.
"Jadi mba mau jadi teman saya?."
Yumna hanya meringis bingung. namun Desi sudah terlampau senang.
"Makasih mba... kalau mba mau cerita ke saya .... saya siap nerima... saya ini orang yang paling memahami mba Yumna lho..hehe." Desi terkekeh seraya menyuapkan bubur lagi. Yumna tersenyum aneh menghadapi Desi yang tiba tiba berubah bawel seperti ini. Namun... jujur ia merasa lebih nyaman.
Meski demikian, Yumna tiba tiba jadi penasaran. 'Gimana bisa mba Desi tiba tiba berubah pikiran tentangku?. pasti ada orang lain yang ngasih tau dia?. apa pengirim paket itu yang ngasih tahu?.. ahh maksudku Zaky... Tapi belum tentu kan.. yang ngirim paket itu Zaky...' Yumna terus berdebat dalam hatinya.