Chapter 2 - Chapter 02

Aradea Orla de Luen adalah nama dari pemilik tubuh ini. Seorang anak perempuan pertama dari keluarga Baron Luen. Berumur 23 tahun dan sudah menyelesaikan pendidikannya di akademi bangsawan dengan hasil yang memuaskan. Karena beberapa hal, ia baru putus hubungan dengan tunangannya. Untuk menghibur diri, Aradea bergabung dengan klub petualang dan berlibur keliling kota. Sayangnya terjadi kecelakaan di tengah perjalanannya. Itulah yang menyebabkannya terluka dan kehilangan ingatannya. Begitulah kira-kira informasi yang berhasil kudapatkan dari para pelayan di mansion ini.

Tiga bulan sudah berlalu sejak aku bangun di tubuh ini. Aku sudah mulai bisa menyesuaikan diri dengan sekitar. Sudah kupastikan pula bahwa ini bukanlah mimpi atau sekedar keisengan teman-temanku belaka. Aku benar-benar masuk ke dunia lain. Aku tidak tahu apakah jiwa pemilik asli tubuh ini juga ikut tertukar dengan tubuhku di duniaku, atau hanya aku saja yang terbawa kesini. Aku akan mencari tahu cara untuk kembali.

"Nona, ini buku-buku yang Anda minta", Elise pelayan utamaku membawakan beberapa buku tentang sihir.

"Iya, terimakasih Elise"

"Kenapa Nona tiba-tiba tertarik dengan sihir?"

"Ah tidak, aku cuma penasaran saja. Siapa tahu ingatanku bisa pulih kalau dengan sihir, hahaha"

"Ah Nona, itu tidak mungkin. Di jaman sekarang ini, penyihir dan hal-hal berbau sihir sudah tidak ada, itu hanya legenda ratusan tahun yang lalu saja"

"Hahaha, iya juga ya"

Awalnya kupikir aku masuk ke dunia fantasi yang penuh dengan sihir, hewan-hewan mitologi, dan ras-ras lain seperti ada di dalam buku dan film-film. Ternyata tidak, dunia ini pun sangat normal. Tidak ada sihir atau makhluk fantasi lainnya. Hanya saja dunia ini belum mengenal listrik dan teknologi canggih seperti pada tempat asalku. Lima buku yang dibawakan Elise pun mulai kubaca satu per satu.

.

.

.

"Nona, Tuan Besar dan Nyonya memanggil Anda untuk makan siang bersama", Elise memanggilku. Tidak terasa waktu berlalu dengan cepat. Aku segera keluar dari ruang baca dan menuju ruang makan.

"Selamat siang Ayah, Ibu"

"Ayo duduk, Nak"

Hidangan mulai dihidangkan. Sambil menyantap makanan, kami berbincang ringan. Setelah makanan penutup dikeluarkan, akhirnya Ayah membuka pembicaraan serius.

"Ara, apakah sudah kamu pertimbangkan untuk bertunangan lagi? Beberapa teman Ayah punya anak laki-laki seumuran denganmu, mungkin salah satu di antara mereka ada yang cocok"

"Belum, Ayah. Aku masih belum ingin bertunangan, aku masih butuh waktu..."

"Tidak apa-apa, Nak. Kami mengerti, kami tidak akan memaksa. Ayah hanya khawatir saja denganmu", ibuku berusaha menghiburku.

"Iya, Ayah hanya menawarkan saja, bukan memaksamu untuk segera bertunangan. Yang penting sekarang adalah kesehatanmu dulu"

"Minggu depan ada festival musim panas di ibu kota, bagaimana kalau kamu berlibur kesana? Adikmu di Akademi juga pasti sangat ingin bertemu denganmu", Ibuku memberi saran yang membuatku tertarik.

"Oh ya? Bolehkah?"

"Tentu saja, bawalah Elise juga. Selama kamu bersama Elise, kamu bisa pergi mengunjungi festival dan tempat wisata disana. Oh iya, ayah akan menyewa pengawal tambahan untuk menemanimu selama disana"

"Tidak usah, Ayah. Aku dan Elise saja sudah cukup, tidak perlu menyewa pengawal tambahan. Aku tidak ingin terlihat terlalu mencolok di ibu kota, hahaha"

"Tidak, ini untuk keselamatanmu juga. Ayah akan menyewa pengawal tambahan untuk mengawal kalian pergi dan pulang nanti. Jika kamu tidak ingin didampingi selama berlibur, mereka cukup menemanimu selama perjalanan saja"

"Jika nanti kamu merasa perlu pengawal, minta Elise untuk mencarikan pengawal sementara di ibu kota. Nanti ibu dan ayah akan bicarakan ini dengan Elise", Ibuku menambahkan.

"Baik Ayah, Ibu! Terimakasih!", usai makan siang, kami pun kembali ke kesibukan masing-masing. Aku kembali ke ruang baca ditemani oleh Elise.

Aku tahu kondisi keluarga keuangan keluarga ini sedang tidak begitu baik. Kami sedang berhemat. Ayahku sedang dalam pengobatan, adik laki-lakiku menjalankan bisnis di kota tetangga, sementara adik perempuanku masih bersekolah di akademi bangsawan di ibu kota.

Beberapa tahun yang lalu kami sempat hampir bangkrut ketika ayah sakit parah. Beliau diserang oleh bandit ketika sedang dalam perjalanan pulang dari luar kota. Tebasan pedang dan pukulan keras benda tumpul mengenai tulang punggungnya. Luka yang diakibatkan menyebabkannya lumpuh dan kehilangan kemampuan untuk berjalan. Bisnis keluarga kami tidak bisa dijalankan dengan baik. Orang-orang licik memanfaatkan peluang ini untuk menjatuhkan usaha kami. Beberapa kali kami mengalami hal buruk, kami harus kehilangan banyak harta.

Beruntung, setelah dengan berat hati kami berhasil menjual sebagian besar tanah keluarga, akhirnya keuangan kami membaik. Kami bisa bangkit dari keterpurukan. Ayah bisa diobati dengan maksimal, dan sekarang beliau sudah bisa berjalan walaupun dengan alat bantu tongkat kayu. Namun kami tetap harus berhemat sampai kondisi keuagan keluarga benar-benar pulih. Kami terpaksa harus mengurangi jumlah pekerja dan pengawal di mansion ini. Begitulah yang diceritakan Elise dan kepala pelayan saat aku bertanya tentang kondisi keluarga ini.

.

.

.

Hari yang dinantikan pun tiba. Aku dan Elise berangkat ke ibu kota dengan kereta kuda ditemani dua orang pengawal sementara. Mereka adalah mantan pengawal yang pernah bekerja di mansion kami namun terkena perampingan. Ayah memanggil mereka kembali untuk bekerja sambilan menjadi pengawal kami. Mereka dengan senang hati menerima tawaran Ayah. Mereka sempat berkata kepadaku, jika kelak perekonomian keluarga kami sudah membaik, mereka ingin bekerja kembali di tempat kami.

Selama perjaanan, aku melihat pemandangan di sekitar, aku pun tenggelam dalam lamunanku. Bagaimana jika seandainya dunia yang kutinggali sekarang ini bukan sekedar dunia lain biasa? Bagaimana jika sebenarnya aku masuk ke dalam dunia yang pernah kubaca di komik atau novel? Mungkin akan menarik jika aku jadi salah satu tokoh di dalamnya dan terlibat dengan para tokoh utama. Tak kusadari, akupun tertidur lelap.

"Nona! Nona! Kita sudah sampai!"

"Uh..."

Aku terbangun oleh tepukan pelan pada pundakku. Kulihat matahari sudah mulai meredup, hari sudah sore. Kami akhirnya sampai di Ibu Kota. Aku berusaha mengumpulkan jiwaku agar segera bangun dengan penuh kesadaran.

"Nona, lihat itu! Sepertinya mereka sedang mempersiapkan pasar malam"

Aku melihat ke luar jendela kereta kuda. Banyak orang-orang berkerumun, mereka sedang menyiapkan barang dagangannya di kios-kios sementara. Ada juga yang sedang sibuk memasang hiasan-hiasan di pinggir jalan.

"Wah, nanti malam ayo kita kesana!"

"Baik, Nona!"

Sesampainya di penginapan, kami langsung menurunkan koper-koper dan barang-barang kami. Pak kusir dan para pengawal sementara berpamitan, mereka menginap di tempat terpisah. Mereka akan langsung kembali ke rumah besok pagi dan kembali lagi kesini untuk menjemputku seminggu lagi. Para pengawal sementara itu hanya bertugas pada untuk mengawal perjalanan pergi dan pulang saja. Aku tidak keberatan, selama ada Elise menemaniku aku rasa aku akan baik-baik saja.

"Nona, apa Nona mau dicarikan pengawal sementara disini?", Elise membuka pembicaraan sambil membereskan koper-koper dan barang-barangku.

"Hm? Sepertinya tidak perlu, tapi kalau sekedar mencari informasi dan menambah koneksi sih boleh saja untuk berjaga-jaga"

"Baiklah, nanti saya akan bertanya pada pemilik penginapan. Nona mau mandi atau istirahat dulu?"

"Aku mau istirahat dulu sebentar, kamu juga istirahat dulu saja Elise"

"Oke, barang-barang Nona sudah saya rapikan. Saya kembali ke kamar saya dulu ya, panggil saja saya kalau nanti Nona perlu sesuatu"

Elise kembali ke kamarnya. Ayah dan ibu memesankan dua kamar yang terpisah untukku dan Elise, jaraknya masih berdekatan. Kamarku cukup luas untuk sebuah penginapan biasa. Walaupun tidak mewah dan bukan penginapan khusus bangsawan, bagiku ini sudah lebih dari cukup.

Kulihat hiruk pikuk ibu kota dari dalam jendela kamarku. Besok aku akan bertemu dengan adik perempuanku. Lebih tepatnya, adik perempuan Aradea. Selain dari lukisan di rumah yang dibuat beberapa tahun lalu, aku sama sekali tidak terbayang seperti apa wajahnya sekarang. Pemilik tubuh ini tidak meninggalkan ingatan untuk kuintip. Semoga aku tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenal Aradea di kota ini, karena aku tidak tahu harus bagaimana menjelaskan kondisiku kepada mereka.

.

.

.

Malam tiba, setelah aku mengganti pakaianku dengan yang lebih tebal, aku dan Elise segera menuju pasar malam. Kami mencicipi banyak kuliner yang tersedia. Aku membeli beberapa souvenir untuk oleh-oleh. Elise memenangkan beberapa kios permainan dan mendapat banyak hadiah, ia memberikan boneka dan souvenir yang didapatnya untukku.

Malam semakin larut, aku dan Elise memutuskan untuk kembali ke penginapan.

"Hahaha, Elise, kamu hebat sekali! Kamu selalu dapat juara pertama di kios-kios perlombaan tadi"

"Tentu saja, Nona! Di desaku dulu juga sering ada pasar malam. Dulu aku terkenal sebagai juara bertahan di banyak kios permainan, hahaha!"

"Hahaha, Elise memang hebat! Oh ya, apa kamu sudah membeli oleh-oleh untuk keluargamu dan teman-temanmu?"

"Tentu saja sudah, Nona juga sudah membeli untuk Tuan dan Nyonya Besar kan?"

"Iya sudah, aku juga sudah membeli souvenir untuk adik-adikku. Semoga mereka suka"

"Mereka pasti suka, Nona! Ngomong-ngomong, tadi sebelum pergi, saya sempat bertanya pada pemilik penginapan. Katanya setiap malam ada petugas keamanan yang mampir ke kedai untuk beristirahat. Mereka Knight dari pusat yang bertugas di ibu kota ini, mungkin kita bisa coba bertanya pada mereka"

"Bagus! Terimakasih untuk informasinya Elise, kamu memang bisa kuandalkan!"

"Hehehe"

Tidak seberapa jauh dari penginapan, aku berpapasan dengan seorang Knight. Wajahnya cukup kukenal tapi aku tidak tahu siapa orang itu.

"Aradea? Kamu Aradea kan!"

"Eh?"

"Ini aku, Vinze!"

Laki-laki itu menyapaku. Sepertinya dia temanku. Sayang sekali aku tidak bisa mengingat siapa dirinya. Aku bingung harus bereaksi bagaimana.

"Sayaaang! Kenapa lama sekali, ayo cepat kemari!"

Aku mendengar suara seorang perempuan memanggilnya dengan keras dari jauh. Laki-laki itu terlihat panik, ia harus segera pergi tapi ia terlihat masih ingin berbicara denganku.

"Kalau besok pagi kamu ada waktu, jam 10 kutunggu di kedai penginapan itu ya!"

Aku hanya mengangguk saja untuk membalasnya, tempat yang dimaksudnya adalah tempat dimana aku menginap.

"Baiklah sampai nanti!"

Dengan tergesa-gesa ia pergi menuju arah pasar malam, tak jauh dari tempatku. Kulihat ada seorang perempuan yang menunggunya.

"Nona? Knight tadi itu temanmu?"

"Mungkin..."

"Mungkin?"

"Elise... Aku tidak ingat..."

"Ah, maaf Nona, saya lupa kalau ingatan Nona belum pulih. Ayo segera kita masuk"

Aku masih diam di tempat memperhatikan pemuda itu dan pasangannya. Sosok perempuan yang ada di dekatnya terlihat sangat familiar. Apa mungkin ia juga temanku?

Sebentar.

Sepertinya aku memang mengenalnya.

"HAH!?", mataku terbelalak ketika wajah perempuan itu terlihat dengan jelas. Wajah seseorang yang tidak akan pernah bisa kulupakan. Wajah pelaku yang mendorongku jatuh, membuatku terjebak di dunia ini. Tubuhku gemetar menahan berbagai macam perasaan yang bercampur aduk. Jantungku berdegup kencang, keringat dingin mulai membasahi tubuhku.

Mata kami sempat bertemu, ia menatapku dan tesenyum. Senyuman khas yang kubenci. Sambil menarik tangan pemuda itu, ia membalikkan badan dan menghilang diantara lalu-lalang orang-orang.

"Nona? Anda kenapa?"

"Aduh", kepalaku berdenyut.

"Nona!", melihatku yang kesakitan, Elise segera membantuku berjalan dan memapahku menuju penginapan.

***