Setelah matahari terbenam, pasar malam dibuka. Pengunjung mulai berdatangan. Aku dan Elise pergi mencari sebuah kedai terbuka yang menjual makanan ringan khas festival musim panas. Adikku memesan meja khusus untuk kami disana. Tidak butuh waktu banyak untuk mencari tempat itu. Kulihat banyak pengunjung mengantri untuk memesan makanan disana, meja-meja pun sudah terisi penuh. Di salah satu meja itu ada adikku Aremia bersama dengan pelayan utamanya Melissa.
"Kakak! Sebelah sini kak!", Aremia berdiri dan melambaikan tangannya. Ia adalah seorang remaja perempuan yang manis. Rambutnya berwarna coklat terang, terurai sebahu dengan ujung bergelombang sepertiku. Warna matanya lebih gelap dari warna mataku.
"Kakak~ Akhirnya kita bertemu juga!", adikku memelukku dengan erat.
"Iya, tidak apa-apa, yang penting sekarang kita sudah bertemu", aku tersenyum dan membalas pelukan hangatnya. Kami duduk di satu meja yang sama, sementara Elise dan Melissa mendapat meja terpisah yang sudah dipesankan khusus di sebelah kami.
"Kak, aku sudah dengar soal kondisi kakak dari surat Ibu... Apakah benar kakak masih belum bisa mengingat banyak hal?"
"Iya..."
"Apa kakak tidak ingat dengan masa kecil kita?"
".... Mia, maafkan aku... Aku-"
"Huwaaaaa! Kakak!", Aremia menangis keras dan memelukku. Orang-orang di sekitar melihat kami. Aku yang kebingungan berusaha menenangkannya. Kulihat Elise dan Melissa berdiri untuk mendekatiku, namun kuberi tanda agar mereka tetap disana.
"Huhuhu, kakak! Aku sedih kak! Kenapa kakak bisa jadi begini? Ini semua salah orang itu!"
"Ssssh, sudah sudah, tidak apa-apa. Kelak ingatanku pasti akan kembali lagi. Ini bukan salah siapa-siapa"
"Hik hik, iya kak, semoga ingatan kakak cepat kembali lagi. Aku akan mencari cara supata ingatan kakak cepat pulih!", sambil terisak, adikku menggenggam erat tanganku. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya.
"Iya, terimakasih Mia, sudah jangan menangis lagi ya", kupeluk dan kuusap punggungnya agar ia tenang. Adikku membalas pelukanku, ia lalu mengeluarkan sapu tangan dan menyeka air matanya.
"Baiklah! Aku akan berusaha! Kak, kalau ada yang ingin kakak tanyakan soal masa lalu kakak, aku akan bantu menjawabnya!", Aremia kembali bersemangat. Ia sangat ekspresif menunjukkan suasana hatinya, berbeda denganku.
"Tentu saja, ada banyak yang ingin kutanyakan", aku pun mulai bertanya mengenai hal-hal dasar tentang keluarga Luen, tentang adik-adikku, dan masa laluku.
"Oh iya kak, apa Kak Ather dan 'orang itu' sudah tahu soal kondisi kakak?", Atherion atau Ather adalah nama adik laki-lakiku yang tinggal terpisah di kota lain.
"Sepertinya Ibu sudah memberitahunya juga, 'orang itu' yang kamu maksud siapa ya?"
"Orang itu... Maksudku mantan tunangan kakak, ah aku malas menyebut namanya"
"Ooh... aku tidak tahu, sejujurnya aku juga tidak ingat tentangnya..."
"Syukurlah! Orang seperti dia memang pantas dilupakan, kak! Aku tidak akan membahas soal orang itu lagi, biar kakak tidak perlu mengingatnya. Nanti juga kakak akan bertemu dengan orang yang jauh lebih pantas!", adikku menunjukkan rasa ketidaksukaannya pada mantan tunanganku itu.
Dari yang pernah diceritakan Elis, hubunganku dengan laki-laki bernama Sergio Anthony de Hirz itu tidaklah baik. Gio adalah anak dari Count Hirz, penguasa daerah utara yang terkenal memiliki tanah yang luas dan kekayaan berlimpah. Aku dan Gio bertemu di akademi, pada awalnya kami hanya berteman biasa. Pemuda itu terkenal dengan ketampanannya, membuatnya menjadi populer dan diidamkan banyak perempuan di akademi.
Sayang tidak ada yang tahu sifat aslinya selain orang yang sangat dekat dengannya, perlakuan Sergio kepadaku tidak sebaik perlakuannya pada teman-temannya. Sifatnya berubah ketika kami bertunangan. Ia menjadi posesif dan selalu berusaha untuk mendominasi. Entah apa yang diajarkan di keluarganya, Gio ingin agar aku selalu patuh padanya dan menuruti keinginannya. Ia merasa posisiku ada di bawahnya karena beranggapan bahwa posisi suami adalah pemimpin yang harus selalu dihormati oleh istri. Hubungan kami adalah hubungan yang tidak sehat.
"Kak, lihat! Ada yang sedang bertengkar disana", Mia memberi kode untuk melihat ke arah belakangku. Aku memutar setengah badan dan melihat dua orang yang kukenal beberapa meja dari tempat kami, Vinze dan Alizia. Terlihat Alizia membentak dan memarahi Vinze di depan banyak orang. Vinze berusaha membujuk dan menenangkan Alizia untuk kembali duduk di kursi mereka, namun Alizia menolak dan melempar gelas di mejanya. Tidak lama kemudian Alizia pergi meninggalkan tempat itu disusul oleh Vinze yang mengejarnya.
"Memalukan sekali ya kak, bertengkar di depan umum seperti itu", komentar pedas adikku membuatku merasa tidak nyaman karena aku mengenal mereka berdua.
"Sepertinya... aku mengenal mereka. Itu Vinze dan Alizia..."
"Eh? Kedua orang itu teman kakak?", Mia terkejut mendengar pernyataanku, tapi itu tidak membuatnya berhenti untuk bergossip tentang mereka.
"Iya, Vinze teman lamaku dulu, waktu itu kamu masih sangat kecil. Dia pernah tinggal di Luen sebelum akhirnya pindah ke Garland. Aku tidak begitu dekat dengan pasangannya itu"
"Pasangan? Kukira mereka sekedar pelayan dan putri bangsawan majikannya. Kalau diperhatikan penampilan laki-laki nya itu aneh sekali, kak!"
"Aneh? Aneh bagaimananya?"
"Dia memakai seragam Knight, tapi postur dan bentuk tubuhnya tidak seperti seorang Knight. Badannya terlalu kurus, postur tubuhnya juga tidak tegap, perilakunya tidak seperti Knight yang ku kenal. Ini aneh sekali untuk seorang Knight yang bekerja pada bangsawan. Kakak ingat Sir Marcus dan Sir Edmont?"
"Uh... Tidak, bisa tolong ceritakan tentang mereka?", aku menggelengkan kepala. Aku kagum dengan kemampuan observasi adikku, mungkin kelak kemampuannya ini bisa membantuku.
"Jadi dulu ada dua pasukan Knight yang bekerja di keluarga kita, dipimpin oleh Sir Marcus dan Sir Edmont. Mereka gagah dan keren sekali, Kak Ather sangat mengagumi mereka. Sayang sekali sekarang hanya tinggal Sir Edmont yang bekerja di keluarga kita"
"Ada apa dengan Sir Marcus?"
"Dulu Sir Marcus ditugaskan untuk menjaga kota, sementara Sir Edmont bertugas menjaga keamanan keluarga. Beberapa tahun yang lalu ketika sedang ada krisis di daerah perbatasan dengan para pemberontak, Sir Marcus ditugaskan untuk bergabung dengan pasukan utama dari kerajaan. Tugas menjaga kota dialihkan kepada Sir Edmont. Setelah krisis selesai, Yang Mulia Raja meminta Sir Marcus dan pasukannya untuk bergabung dengan Royal Knight karena prestasi mereka. Sayangnya pada saat itu keluarga kita sedang jatuh dan belum mampu untuk merekrut Knight baru, bahkan sampai saat ini pun anggota pasukan Sir Edmont sudah berkurang cukup banyak"
"Sayang sekali ya, semoga kelak keadaan keluarga kita segera pulih dan kita bisa mempekerjakan mereka semua kembali"
"Iya kak. Sir Marcus dan Sir Edmont adalah orang-orang yang hebat! Dulu kakak diam-diam senang melihat mereka berlatih, bahkan pernah minta diajari beladiri dan memegang pedang. Ibu sampai marah dan menghukum kakak setiap kali kakak ketahuan, hahaha"
"Hahaha, sepertinya dulu aku nakal sekali ya"
"Dulu kakak seperti anak laki-laki, senang berkelahi dan belajar hal-hal tidak biasa lainnya buat perempuan. Kakak berubah saat masuk akademi, setelah lulus kakak jadi seperti seorang putri"
Aremia bercerita banyak soal masa laluku. Berkat pertemuan kami malam itu, aku mendapat banyak informasi mengenai diri ini dan keluargaku. Kami menghabiskan waktu cukup lama sampai larut malam. Setelah membuat janji untuk bertemu kembali besok, kami pulang ke tempat masing-masing. Sebelum tidur, kutulis semua informasi yang mungkin akan kubutuhkan kelak.
.
.
.
Hari baru tiba, sayang pagi ini cuaca di luar sana kurang bersahabat. Hari ini aku dan Elise berencana untuk mengunjungi taman bunga ibu kota yang terkenal dengan keindahannya. Rencana itu harus batal karena hujan sudah turun dari pagi dan belum ada tanda-tanda untuk reda. Di saat aku dan Elis turun dari tangga penginapan, kulihat ada wajah yang kukenal sedang duduk di salah satu meja di sudut kedai itu. Kulihat Vinze seorang diri sedang menikmati sarapannya. Tidak seperti biasanya, hari ini kedai cukup sepi. Mungkin banyak orang yang enggan beranjak dari tempat tidurnya karena cuaca buruk pagi ini.
"Halo Vinze, selamat pagi", kusapa temanku yang terlihat sedang melamun sambil mengunyah rotinya. Ia terkejut mendengar suaraku.
"Oh! Pagi Ara!", ia menjawab sekenanya.
Aku duduk di sebrang mejanya bersama Elise, kulihat ia segera menyelesaikan sarapannya. Elise pergi memesankan makanan dan meninggalkanku sendiri di mejaku. Kurasa tak lama lagi Vinze akan pindah kesini.
"Ara, aku ikut duduk disini boleh?", sesuai dengan perkiraanku, ia pindah duduk di sebrangku.
"Iya silakan, Vinze", kulihat Vinze duduk dan terdiam cukup lama. Aku pun merasa canggung untuk memulai percakapan.
"Umm... Kemarin kamu melihatnya ya?", akhirnya Vinze memulai pembicaraan.
"Melihat apa?"
"Itu... di festival... Aku dan Alizia...", suaranya mengecil dan ekspresinya berkata jika ia sedang menahan rasa malu.
"Ooh, iya. Kebetulan aku dan adikku sedang disana juga, kami ada janji bertemu di festival"
"Maaf ya kamu dan adikmu jadi melihat hal yang memalukan..."
"Hm... Kenapa minta maaf padaku? Kalau kalian ada masalah bukankah lebih baik kalian yang saling meminta maaf?"
"O-oh... Iya, setelah hujan reda nanti aku akan pergi ke kediaman Alizia untuk meminta maaf", jawabannya terdengar canggung.
"Oh iya, kamu bekerja di tempatnya kan? Kukira kamu tinggal disana juga"
"...", Vinze terdiam. Dia tidak menjawab pertanyaanku.
"Apa kamu diusir olehnya?"
"...Oh tidak, bukan begitu. Hanya saja ini cukup rumit untuk dijelaskan, hahaha", tawa canggungnya terdengar sangat dipaksakan. Mungkin ia sedang tidak ingin membicarakan hal ini, padahal aku ingin tahu lebih banyak soal dirinya dan Alizia.
Elise kembali membawakan beberapa makanan dan minuman bersama Mitchell yang sedang bertugas sebagai pelayan kedai.
"Silakan dinikmati Nona!", Mitchell menyapaku dengan ceria, namun ia mengabaikan Vinze. Dari gerak-geriknya, sepertinya memang mereka ada masalah tersendiri.
"Elise, tolong pesankan makanan untuk Vinze juga"
"Eh, tidak usah repot-repot, Ara! Aku sudah sarapan tadi"
"Dengan roti dan air saja? Bukannya kamu perlu banyak energi untuk bekerja? Sudah tidak usah sungkan, kamu pasti masih belum kenyang kan, hahaha", aku ingat betul apa yang dimakannya tadi.
Tiga buah roti kecil dan segelas air putih, itu bukan sarapan yang cukup untuk memulai hari yang panjang sebagai seorang pengawal. Pantas tubuhnya tidak sebesar Knight pada umumnya, apakah mungkin ia sedang berhemat?
"Uh, hahaha, iya terimakasih ya"
Kami menyantap sarapan bersama, beberapa kali kuperhatikan Mitchell melirik ke arah kami. Aku jadi penasaran, ada apa dengannya dan Vinze? Setelah selesai makan, hujan pun mulai mereda. Aku, Elise, dan Vinze masih duduk di kedai menunggu hujan sampai benar-benar berhenti.
"Ara, aku punya permohonan. Mungkin ini terdengar aneh, tapi kumohon untuk mendengarkannya dulu"
"Hm? Permohonan apa?"
"Maukah kamu... menjadi temannya Alizia?"
DEG!
Dadaku sakit. Jantungku berdetak kencang mendengar permintaan itu. Permintaan itu sama persis dengan permintaan yang pernah diminta oleh temanku dulu. Permintaan untuk menjadi teman dengan pembuat dunia novel ini. Sebuah kesalahan fatal yang kulakukan dulu.