Hari-hari berikutnya Angela meninggalkan penampilan cupunya, dan muncul di sekolah dengan seragam yang membalut tubuh rampingnya dengan pas. Ia juga tak menguncir kembali rambutnya, tak memberi kesempatan pada Roni untuk memainkannya saat cowok itu gabut di kelas. Ia mengikat sedikit rambutnya dan membiarkan sisanya tergerai di punggung. Hanya melakukan perubahan sederhana itu, mendadak membuatnya menjadi pusat perhatian saat ia lewat di koridor. Kebanyakan tak menyangka penampilannya bisa jauh berbeda dengan sentuhan kecil saja. Kepercayaan dirinya kontan meningkat, setara dengan kecemasannya akan pembalasan dendam Karina padanya.
"Dia lagi sibuk pedekate sama Pak Valdy." Nikki berbisik pada Angela di jam olahraga. Angela mendesah keras, tak mampu menjawab. Mereka tengah pemanasan dengan berlari mengelilingi lapangan sepak bola, kali ini 5 kali. Belum 2 putaran, ia sudah ingin pingsan rasanya.
Angela melirik Karina di barisan terdepan, berlari dengan bersemangat diantara para cowok. Ekskul cheers yang diikutinya sejak kelas 10 rupanya banyak membantu dalam menjaga staminanya.
"Dia gembar-gembor udah tahu nomor Pak Valdy dan mereka udah intens chat tiap hari. Terus… Dia juga stalking medsosnya Pak Valdy. Yah, siapa sih yang nggak? Tapi Pak Valdy nggak aktif di medsos sama sekali. Sekalinya posting, pasti foto laptop atau pemandangan atau anjing. Nggak seru!"
Angela menghentikan langkah, berdiri terbungkuk-bungkuk sambil menormalkan napasnya. Nikki menoleh, nyengir dengan prihatin melihatnya. Angela melambai menyuruhnya lanjut berlari. Ia berjalan beberapa langkah, lalu mencoba lari lagi, tapi satu sisi perutnya sakit. Jadi ia memilih berjalan lagi, membiarkan teman-temannya melewatinya.
"Ayo, Angela!"
Angela terlonjak mendengar teguran keras dari arah belakangnya. Ia menoleh dan melihat Valdy berlari mendekat, lalu berhenti di sebelahnya, mengamati wajahnya.
"Saya nggak sedang akting, Pak. Perut saya sakit. Serius." Angela berkata muram. "Saya lanjut lagi." Ia lalu berjalan lebih cepat sejauh beberapa meter, lalu berlari sebisanya menyusul ketertinggalannya. Dengan susah payah ia akhirnya menyelesaikan 5 putaran, menjadi yang paling akhir selesai dan segera mengambil tempat di barisan paling belakang di sebelah Andrei untuk stretching.
"Lo nggak apa-apa?" tanya Andrei.
"I'm fine." Angela terengah, mengerjap untuk mengusir kunang-kunang yang menyerbunya lagi. Sosok teman-teman di hadapannya berenang-renang di hadapannya. Ia mendengar Valdy berseru memanggil namanya. Suara gurunya terasa jauhhhhh sekali, seolah berasal dari seberang jurang melewati lembah yang dalam.
"Angela! Jangan bengong!"
Kepala-kepala di hadapannya menoleh, beberapa terkikik. Angela tak sanggup menyahut. Perutnya terasa mencelos dan ada sensasi aneh di lidah, juga kerongkongannya dalam sekejap. Penglihatannya makin mengabur, dan tubuhnya sekonyong-konyong terasa ringan.
"Angela!"
Ia ambruk ke atas rerumputan. Andrei secara refleks meraih tubuhnya yang lemas, mencoba menyadarkannya dengan memanggil namanya dan mengguncang tubuhnya. Valdy berlari dari depan barisan untuk melihat apa yang terjadi. Ia meminta siswa lainnya menyingkir agar pasokan oksigen di sekitar Angela tak berkurang.
"Angela…"
Valdy berlutut di sebelah tubuh Angela yang disangga oleh Andrei yang pucat pasi. Ia menepuk-nepuk pipi siswinya itu, namun Angela tak bergerak sama sekali. Valdy mengamati wajah pucatnya dan keringat yang membanjiri wajahnya, lalu seleret putih dari matanya yang setengah terpejam, beranggapan kali ini bukan sekadar akting.
"Saya antar Angela ke ruang kesehatan." Valdy meraih tubuh lunglainya dari pegangan Andrei dan dengan mudah diangkatnya dalam gendongan ala pengantin. "Andrei, tolong pimpin teman-temanmu, lanjutkan peregangan. Jika saya belum kembali, kalian masuk ke lapangan basket dan main bergantian, 2 tim putra, 2 tim putri." Valdy lalu melangkah menjauh. "Dan jangan ada yang kabur ke kantin!" Valdy berseru sambil menoleh, dan kembali melangkah melintasi lapangan. Satu lengan Angela terayun-ayun lemas seiring langkahnya.
***
"Duhhh… Kepala gueeee…"
Angela meringis, menutup matanya dengan satu lengan. Kepalanya pusing, terasa berputar dan membuatnya mual. Satu tangannya meraba tempatnya berbaring, membuatnya dengan heran membuka mata dan duduk.
"Hah? Gue kenapa tadi?"
Ia bertanya pada udara kosong saat menyadari dirinya ada di ruang kesehatan. Bau minyak angin yang kuat membuatnya mengernyit, namun cukup melegakannya, mengusir mualnya sedikit demi sedikit. Ia menoleh saat mendengar suara tirai tersibak dan sosok Valdy muncul, berdiri tak jauh darinya.
"Oh, sudah sadar?" Valdy lalu berpaling dan berseru pada seseorang yang tak terlihat dari posisi Angela. "Bu Alma, pasiennya sudah sadar." Valdy lalu berjalan mendekat, dan secara refleks Angela menarik selimut di kakinya dan menutupi tubuhnya. Lebay!
"Ini kenapa… Saya nggak ngapa-ngapain kamu, Angela! Dasar halu."
Bahasanya, Pak. Tolong! Angela merengut mendengar sindirannya.
"Maaf." Hanya itu yang keluar dari bibirnya.
"Saya tinggal dulu. Kamu istirahat saja disini." Sosok perawat sekolah, Bu Alma, muncul di sebelah Valdy dengan segelas teh. "Minum dulu biar tenagamu pulih."
Angela menurut, mengambil gelas dan meneguk isinya hingga habis dalam sekejap. Rasanya jauh lebih baik, melenyapkan rasa pusing dan mualnya, namun tubuhnya masih terasa lemas.
"Saya sudah baikan, Pak." Angela mengayunkan kakinya turun dari ranjang.
"Istirahat dulu, Dik." Bu Alma berkata tegas. Angela menggeleng, melirik Valdy dengan gelisah. "Masih pusing?"
"Sudah lebih baik. Saya mau lanjut olahraga."
"Yakin?" tanya Valdy.
Nada bicaranya itu membuat Angela gusar. Bisa nggak sih ngomongnya yang biasa aja tanpa sinis?
"Yakin!"
"Kalau pingsan lagi?"
"Saya baik-baik aja, Pak."
Angela tak akan memberi kesempatan untuk guru killer dan songong ini menambah-nambahi hukuman untuknya. Lebih baik mati di tengah lapangan ketimbang disuruh membersihkan gudang yang penuh tikus dan kecoak, lagi dan lagi.
Hih!
"Ya sudah, ikut saya ke lapangan." Valdy melirik Bu Alma yang hendak protes. "Nggak apa, Bu. Nanti kalau dia pingsan, saya seret dia kesini lagi."
"Pak Valdy ini ngomongnya kok begitu?"
"Bebal, Bu. Disuruh istirahat malah ngotot."
"Dik, kalau masih sakit, nanti balik lagi kesini. Jangan dipaksakan ikut pelajaran." Bu Alma berkata pada Angela yang telah berdiri.
"Baik, Bu. Terima kasih." Angela mengangguk dan berjalan mengikuti Valdy, ingin sekali mencakari punggungnya yang angkuh itu dengan brutal. Huh!
***
Sikap sok tegar Angela hanya bertahan sekejap. Hanya dengan menempuh jarak dari ruang kesehatan hingga ke lapangan basket saja, ia kembali pucat pasi, kehilangan tenaga. Efek dopping dari teh manis tadi seolah menguap tak bersisa. Ia memaksakan diri melangkah, gengsi mengakui ke Valdy bahwa ia tak sanggup lagi mengikuti pelajaran. Menjejakkan kaki saja ia sudah gemetaran, apa lagi harus mengikuti permainan basket yang kini sedang seru di lapangan.
Tim putra sedang bertanding sengit. Andrei menggantikan Valdy menjadi wasit. Sambil berjalan ke arah bangku penonton, Angela melihat Roni menguasai lapangan bersama Wawan. Angela menghempaskan diri di salah satu bangku beton, menimbulkan keheranan dari siswi lainnya.
"Lo bukannya tadi pingsan, La?"
"Cepet banget lo baikan?"
"Awas, ntar pingsan lagi lo!"
"La, lo masih sepucat tembok. Nyadar nggak sih?"
Angela menolehkan wajah yang tersiksa pada teman-temannya yang menatapnya penasaran.
"Gue harus lanjut. Males nanti gue kena hukuman lagi." Ia menjawab semua pertanyaan mereka.
"Kalo lo pingsan lagi?"
"Itu urusan nanti deh."
Mereka lalu berkasak-kusuk, tak menanyainya lagi. Angela duduk membungkuk dengan kepala di lututnya, ingin mengusir pusing yang kembali datang. Telinganya mendengar suara peluit dan seruan gembira tim putra di lapangan.
"Ayo, giliran tim putri!" Suara Valdy terdengar dan membuat Angela mengangkat wajah. Teman-temannya bangkit, membagi diri menjadi dua tim. Angela ikut bangkit, namun Valdy melambaikan tangan padanya, menyuruhnya duduk kembali. Lelaki itu terlihat jengkel. Angela tak punya pilihan lain. Bersama tiga orang lainnya ia tetap tinggal di tempat karena kelebihan jumlah peserta. Angela mendesah lega, dan menumpukan lengan di lutut untuk menyangga kepalanya yang terasa berat.
"Duh, capek!"
Angela menoleh saat Roni duduk di sebelahnya. Rambut ikalnya yang cukup panjang menempel di dahi dan pelipisnya, basah oleh keringat. Lelaki itu meluruskan kakinya dan memijat-mijatnya sambil meringis.
"Kenapa? Kayak nggak pernah main basket aja lo, Ron." Angela bertanya heran.
"Gue jatuh tadi, La. Kesandung Wawan tuh. Sial." Roni berdecak. "Lo ngapain ikut olahraga lagi? Nggak takut pingsan lagi lo?"
"Mending gue pingsan ketimbang kena hukuman bolos olahraga."
"Bolos? Hitungannya sakit kali!"
"Coba aja deh lo ngomong sama Pak Valdy. Dia itu kejam! Nyebelin! Gue nggak mau ngasih dia kesempatan menghukum gue lagi."
"Ya udah, sekali lagi lo pingsan trus digendong Pak Valdy kayak tadi, siap-siap aja kena amukan Karina."
"Eh?"
"Dia ngamuk barusan. Pingin nyusulin lo ke ruang kesehatan. Nggak terima Pak Valdy menyentuh lo apalagi menggendong lo kayak tadi." Roni tertawa pelan. "Gila! Serem banget tuh cewek! Untung gue nggak minat sama dia. Nggak kebayang jadian sama maniak macam dia."
"Karina ngamuk?" Angela bergidik tanpa sadar dan memandang sosoknya yang tengah berebut bola dengan semangat di tengah lapangan. "Tapi kenapa Pak Valdy yang menggendong gue?"
"Dia yang minta."
"Haduh, bego!" Angela menyumpah kesal. "Ron, seandainya gue kenapa-kenapa, minta bantuan lo ya?"
"Apaan?" tanya Roni enggan.
"Bawa gue ke ruang kesehatan kalo gue pingsan."
Roni menjitak kepala Angela dengan jengkel.
"Ogah! Lo berat!" Roni memandangnya dengan muram. "Lo berharap sakit lagi? Jangan dipaksainlah, La. Lo tinggal di rumah sendirian kan sekarang? Siapa yang bakal jagain lo? Hah?" Roni melayangkan pandang, mendapati Andrei berdiri tak jauh dari posisi mereka berdua. "Gue udah memperingatkan Andrei. Dia nggak boleh mendekati lo lagi. Kasian tahu. Tampang lo meranaaaa banget tiap dibikin baper sama dia."
"Gue bisa jaga diri sendiri, Ron. Dan soal Andrei, mana janji lo? Katanya mau mikir dulu soal duduk sebangku sama gue? Sampe kapan gue harus nunggu jawaban lo?"
"Gue masih mikir ini."
"Mikir apa sih? Apa seperti perkataan gue, pasaran lo bakal turun dengan dekat-dekat gue? Atau lo sebenarnya risih banget dengan keberadaan gue di sekitar lo? Atau lo nggak bisa duduk sama cewek yang kayak gue?"
Angela membelalak padanya, dibalas dengan ekspresi geram yang mendadak muncul di wajah Roni.
"Dugaan lo itu bahkan nggak ada di pikiran gue sama sekali, La!"
"Lalu apa?" tuntut Angela.
Selama beberapa saat Roni hanya memandangnya tanpa bicara apa-apa. Lalu satu lengannya merangkul bahu Angela hingga tubuh gadis itu merapat padanya. Angela berubah gugup, tambah gugup lagi saat Roni mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinganya. Bibirnya benar-benar menyentuh telinga Angela dan mengirimkan sensasi geli dengan hembusan napas hangatnya, suaranya yang berat, dan rangkulan eratnya di bahu Angela.
"Alasannya? Karena gue nggak mau sampai jatuh cinta sama lo, Angela."
"Eh… Alasan yang aneh." Angela menelan saliva dengan gugup. "Gue bahkan bukan tipe kesukaan lo." Angela meringis, ingin sekali melepaskan diri dari Roni. "Jangan beralasan yang ngaco deh!"
"Aneh?" Roni menghela napas. "Malah tambah aneh lagi kalo ada cowok normal yang nggak naksir elo. Ngerti?"
Wait, WHAT? Roni baru saja mengakui kalau Angela bukanlah tipe cewek berkasta rendah di sekolah mereka? R-O-N-I. Seorang Roni Suryadiningrat yang mengatakan kalimat itu di depannya dengan gesture yang… Padahal setahu Angela, Roni bukan tipe playboy yang suka kegatelan di depan para gadis. Setidaknya, dia belum pernah melihatnya selama ini.
"Ron, nanti gue jadi halu. Kasih alasan yang jujur aja kenapa?"
"Idih!" Roni mengacak rambut Angela dengan geregetan. "Dikasih tahu yang jujur masih aja nganggap gue bohong. Udah deh! Capek ngomong sama lo!"
"Too good to be true tahu. Kata-kata lo barusan." Angela mengedikkan bahunya.
"Lo terlalu insecure, La." Roni menepuk puncak kepalanya dengan lembut. "Gue kesana dulu. Andrei dari tadi udah melototin gue. Ngeselin banget. Dasar maruk!"
Angela mengamati punggungnya yang menjauh. Pipinya terasa panas, tak bisa memastikan apakah efek kata-kata Roni, ataukah akibat sengatan sinar matahari yang garang menjelang tengah hari. Apapun itu, ia merasa seperti melambung tinggi, ingin tersenyum semanis mungkin pada sosok Roni yang kini berdiri bergerombol dengan siswa lainnya.
Masa-masa rendah diri yang suram kini tak akan kembali lagi menerpanya.
***