Chereads / 365 Days Angela / Chapter 16 - Kesepakatan Berdua

Chapter 16 - Kesepakatan Berdua

Angela menunggu hingga koridor di depan kelasnya sepi, barulah ia melangkah keluar kelas. Ia menyusuri koridor sendirian. Langkah kakinya bergaung di dinding kelas di satu sisinya. Ia memandang ke arah taman di depan deretan kelas, lalu mengamati beberapa sosok yang tengah bermain basket di lapangan di kejauhan. Roni mengatakan akan bermain bersama anggota ekskulnya, bersiap menghadapi kompetisi yang akan datang. Sebagai siswa kelas 12, ia tak wajib ikut, namun Angela tahu Roni tak akan menolak kesempatan untuk unjuk kebolehan di depan semua fans-nya yang makin hari makin caper tiap melewati kelas mereka.

Angela telah sampai di halaman depan, celingukan. Sepi. Ia lalu lanjut melangkah ke arah gerbang. Pos satpam sepi saat ia lewat di depannya. Ia lalu memilih tempat di bawah pohon flamboyan berbunga oranye, berdiri sedikit tersembunyi sambil mengamati ponselnya yang menampilkan pesan terakhir dari Valdy.

Derum rendah mobil menyentaknya. Citycar Valdy yang hitam mengilap berhenti tepat di depannya. Kaca penumpang dibuka sedikit, menampilkan sepasang mata bersorot dingin di dalamnya. Angela celingukan sekali lagi, lalu buru-buru masuk ke kursi belakang, menutup pintu dengan keras.

"Angela…"

"Jangan protes!"

"Aku bukan supirmu, La!"

"Saat ini, ya."

Valdy menggeram gusar, tak membantahnya lagi dan mengemudikan mobilnya. Dalam benaknya ia mencatat tak akan membiarkan Angela terlalu banyak menang seperti ini, nanti ngelunjak. Ia sudah mengatur beberapa strategi yang diharapkannya mampu mengendalikan tingkah bocah tengil ini ke depannya. Agar tak terlalu banyak merepotkan dan menjungkirbalikkan mood-nya setiap saat.

"Kita kemana?" tanya Angela penasaran melihat jalur yang diambil Valdy, mengarah ke luar kota yang menuju pelabuhan.

"Lihat saja nanti."

"Jangan sampai kesorean, Val. Aku mau me time sama papa. Besok papa sama mama berangkat."

Mau tak mau Valdy melirik melalui spion dan mendapati Angela berubah murung.

"Lalu? Sama siapa di rumah?"

"Sendirian."

"ART?"

"Nggak ada."

"Kenapa?"

"Kapok. Punya ART, hobinya pacaran, menyelundupkan pacarnya ke kamarnya malam-malam kalo mama lagi di Jakarta nemenin papa. Serem!" Angela mengikat rambutnya menjadi cepol di puncak kepala untuk mengurangi gerah. "Sendiri lebih aman. Lebih baik. Sudah ada Moon-Moon juga."

"Mumun?" tanya Valdy heran. Kampungan banget namanya!

"Ih, bukan Mumun! Moon-moon. Barking to the MOON. Anjingku."

Valdy mendengus geli, membayangkan separah apa tampang Adrian saat tahu anjing yang dibelinya mahal-mahal diberi nama seenaknya oleh adiknya.

"Oke. Setidaknya nggak sendirian." Valdy mempertahankan suara datarnya, walaupun ia masih merasa geli sendiri, sekaligus jengkel. Demi apa anak anjing jantan kesayangannya yang dibeli Adrian harus menyandang nama sok imut itu?

Mereka lalu larut dalam hening. Suara musik mengalun lirih dari radio yang disetel dalam volume rendah. Valdy memusatkan konsentrasi pada poin-poin kesepakatannya nanti dengan Angela, berharap gadis itu menyetujuinya tanpa banyak cincong. Ia terkesiap saat mendengar suara debam dari kursi belakang, dan menoleh dengan refleks. Angela jatuh terbaring ke kursi dengan telinga masih tersumpal earphone. Tidur? Atau pingsan lagi?

"La. Angela!" Valdy mengamatinya dari spion. Angela tak bergerak sama sekali. "La!"

Valdy memutuskan menepikan mobil, lalu melepas sabuk pengaman untuk memudahkan mencondongkan tubuhnya ke belakang. Ia mengulurkan satu tangan dan mengguncang bahu Angela.

"Angela." Valdy mengguncangnya berkali-kali, lalu menepuk pipi Angela. Saat keheranannya berganti kecemasan, Angela bergerak. Tangannya menggenggam tangan Valdy yang masih menempel di pipinya, lalu kembali tertidur tanpa bergerak sama sekali.

Valdy menghela napas lega, setelah sempat memikirkan banyak kemungkinan yang lebih parah dari sekadar tidur. Selama beberapa saat ia membiarkan tangannya dalam genggaman gadis itu, sampai Angela tertidur lebih lelap dan melepas genggamannya tanpa sadar.

***

Saat mereka akhirnya sampai di tujuan, di satu kafe kecil di dekat pelabuhan, Valdy membangunkan Angela dengan susah payah.

"ANGELA!"

Valdy akhirnya meninggikan suaranya, membuat Angela membuka mata dengan gelagapan, lalu buru-buru bangun, panik.

"Ini dimana?"

Dasar kebo, Valdy membatin jengkel. Ia mengamati rambut gadis itu yang berantakan, terlepas dari ikatannya, lalu tampang kuyunya, yang entah mengapa terlihat jauh lebih menggemaskan ketimbang penampilannya yang biasa. Angela meregangkan tubuh, membuat kemejanya terangkat dan memamerkan sedikit perutnya yang rata.

"Ayo, kita turun." Valdy mengalihkan perhatiannya dengan mematikan mesin mobil. Jangan sampai ia tertarik pada gadis tengil ini, ia bertekad dalam diam. "Rapikan dirimu, Angela. Aku tunggu di luar." Valdy lalu keluar lebih dulu.

Kafe itu terletak di pinggir pantai berpasir putih yang cenderung sepi. Matahari mulai menggelincir ke arah cakrawala, namun sinarnya masih benderang dan menyilaukan. Angela telah merapikan kembali rambut dan seragamnya, lalu berjalan masuk ke kafe sambil menyandang ransel di satu bahu. Ia yang jarang nongkrong dimanapun, mendadak gugup saat disapa waiter yang berjaga di pintu masuk.

Valdy mengajaknya ke sebuah meja yang paling dekat pantai. Angela mengamati sekitarnya dengan antusias. Dekorasi kafe yang bernuansa tropis dan lantai bermotif batu-batu alam. Lampu gantung dengan tudung anyaman rotan, kursi dan meja kayu, tanaman palem-paleman dalam pot di berbagai sudut, lalu aroma wangi bunga kamboja yang lembut. Suasananya menyenangkan.

Selain mereka berdua, pengunjung lainnya hanyalah beberapa turis asing yang menempati meja di atas pasir pantai. Bagi Angela, sedikit mengherankan melihat tempat sebagus itu yang sepi pengunjung.

"Sepi banget." Angela berkata sambil duduk dan menaruh tasnya di kursi sebelahnya.

"Ramainya di weekend. Kalau setiap hari, ramainya di jam sarapan dan makan malam." Valdy menjawab, tersenyum pada waiter yang menghampiri mereka dan menyodorkan menu padanya.

"Kok tahu?" Angela menerima menu untuknya dan mulai membukanya. "Sering kesini?"

"Tempat ini punyaku, La."

Angela melirik waiter yang berdiri di sebelahnya, mengangkat satu alis padanya untuk mengonfirmasi ucapan Valdy. Waiter itu tersenyum padanya dan mengangguk.

"Bruschetta sama avocado smoothie aja, Gar." Valdy mengembalikan menu pada waiter, yang dengan sigap menerimanya sambil mencatat pesanannya. "Mama ada mampir?"

"Nggak ada, Val."

"Ingat, smoothie-nya jangan kebanyakan susu." Valdy mengingatkan. "La, makan apa?"

Angela masih memandangi menu di hadapannya dengan alis bertaut. Mahal-mahal gilaaaa…

"Ntar dulu."

"Aku yang bayar, La. Nggak usah kusut begitu." Valdy mengingatkan, membuat Angela mendongak, seketika berubah ceria.

"Beneran? Thanks, Val. Lagi laper, kebetulan banget." Angela terkikik, membuat Valdy kontan membelalak melihat tingkah kecentilannya yang belum pernah dilihatnya. "Kak, aku pesan…" Angela menyebutkan tiga menu berbeda pada si waiter yang terlihat bersusah payah untuk bersikap profesional di depan Valdy yang kentara sekali geram. "Mmm… Minumnya apa yaa…" Angela membolak-balik menu dengan bingung.

"Air putih aja!" Valdy merebut menu dari tangannya dan menyerahkannya pada waiter. "Buruan, Gar."

"Siap, Val!"

"Hih…. Pelit!" Angela mencibirkan bibirnya kesal, padahal ia ingin sekali minum soda.

"Aji mumpung banget ya, Angela." Valdy menyindirnya dengan tampang masam. "Kamu memang matre ya?"

"Mungkin sebaiknya kalau sama kamu, aku matre aja kali ya." Angela menaikkan satu alisnya. "Soalnya, sepanjang mengenalmu, aku menderita terus. Kompensasinya lewat ini, makanan."

Valdy mendesah dan menyugar rambutnya, mulai terusik ketenangannya. Angela memalingkan wajah, menatap pantai di dekat mereka sambil menyunggingkan senyum simpul.

"La, fokus. Ada hal penting yang akan kita bahas."

Angela tersentak dan senyumnya kontan lenyap.

"Yeah, oke. Mulai dari mana, Fiancé?" Ia berkata lesu, kehilangan semangatnya dalam sekejap.

"Dari satu hal paling dasar, La." Valdy memandangnya lurus-lurus. "Kita berdua nggak boleh saling jatuh cinta."

***

Empat puluh menit kemudian, setelah separuh makanan yang mereka pesan telah berpindah ke mulut, Angela dan Valdy menunduk di atas lembaran kertas yang berisi poin-poin kesepakatan mereka berdua. Valdy pindah duduk ke sebelah Angela, mendengarkan gadis itu bicara. Ada lebih dari 10 poin yang kira-kira mereka sepakati bersama. Pelanggaran atas kesepakatan berarti traktiran, dalam arti yang luas, tak melulu soal makanan atau uang. Saat mereka sampai ke pembahasan skenario terburuk, Angela tak tahu lagi harus berkata apa.

"Mungkin kamu bisa pura-pura hamil karena cowok lain. Jadi kita nggak perlu menikah paksa." Valdy mengusulkan, membuat Angela ternganga.

"Nooo… Kenapa nggak kamu aja yang pura-pura menghamili cewek lain? Kenapa harus aku? Kesannya murahan tahu!" Angela menolak mentah-mentah.

"Itu satu-satunya cara terampuh, La."

"Hiiihh… Nggak! Gimana kalo salah satu diantara kita pura-pura mandul, jadi nggak mungkin disetujui oleh mamamu?" tanya Angela.

"Ortu kita bakal memaksa kita tes kesuburan di RS. Ini bakal gagal, bahkan semasih ada di pikiran kita." Valdy menyandarkan punggungnya. "Ide lain?"

"Studi ke luar negeri?" tanya Angela.

"Kita akan dinikahkan lebih cepat lagi, biar bisa merantau bareng dan pulang-pulang membawa cucu buat mereka. Yang lain!"

"Duh… Nggak ada ide, Val!" Angela menghentakkan kakinya dengan gusar. Telunjuknya memilin-milin rambutnya yang telah digerainya kembali. "Atau kita nikah aja, tapi pura-pura? Biar mereka senang aja deh!"

"Lalu berzina dengan orang lain? Itu dosa besar dan aku nggak setuju. Terlalu banyak pertaruhannya daripada sekadar dosa, La."

"Duh, ini di luar semua pengetahuanku tentang cinta! Kita bahas belakangan aja gimana? Pusing banget."

Angela menelungkup di atas meja untuk mengusir pusingnya. Valdy di sebelahnya tak kalah puyengnya. Matanya terpancang pada kertas di hadapan mereka. Tak boleh saling mencintai, membatasi sentuhan fisik yang tak perlu kecuali tak disengaja, pura-pura nggak kenal di sekolah, menjaga rahasia pertunangan mereka dari semua orang di sekolah, bebas menjalin hubungan dengan orang lain tapi sepengetahuan masing-masing biar gampang berbohong, pamer kemesraan cuma di depan ortu, dan masih banyak poin lainnya yang telah mereka sepakati dalam perjodohan pura-pura mereka. Valdy menghembuskan napas panjang, lalu melirik Angela yang masih menelungkup.

"Jangan tidur, La." Ia menegurnya. Angela lalu duduk tegak kembali dan menatap lembaran kertas yang sama.

"Kita sepakati ini dulu deh. Sisanya sambil jalan. Gimana?" tanya Angela pasrah.

"As you wish." Valdy mengangkat bahu, sama pasrahnya.

Mereka lalu menandatangani kertas itu, tanpa materai, karena tak ada sangkut pautnya dengan hukum. Satu lembar untuk Valdy, satunya lagi untuk Angela. Angela menyimpannya di dalam tas, lalu ia memandang Valdy dengan mata membulat sempurna.

"Apa?" tanya Valdy ragu, melihat puppy eyes Angela.

"Aku main di pantai ya. Sebentaaaarrr aja. Ya? Ya?"

Valdy mau tak mau mendengus geli.

"Ya udah, sana! Aku telpon Tante Tantri sekarang, ngabarin kalau kita akan pulang malam."

Valdy meraih ponselnya. Matanya mengawasi Angela yang bangkit dengan tergesa lalu berlari-lari ke arah pantai. Rambut panjangnya berkibar di punggungnya. Sambil menelepon mama Angela, Valdy mengawasi sosok gadis itu di kejauhan yang tengah bermain air. Siluetnya yang dilatarbelakangi sunset jingga kemerahan terlihat sangat menawan. Seragamnya sudah separuh basah, melekat sempurna di tubuhnya. Ia melambai pada Valdy, yang dibalas lelaki itu dengan satu lambaian singkat.

Ternyata si judes itu bisa tertawa menggemaskan juga, pikirnya tanpa melepas tatapannya dari Angela.

***