"Ini sebaiknya diminum dulu."
Angela menatap gelas di hadapannya yang berisi jamu dengan warna yang membuatnya mual seketika. Ia meringis, menggeleng pada Mirna yang mendatanginya ke kamar bersama Bik Noni untuk membawakan jamu. Wanita di hadapannya terlihat cemas, memandangnya sambil mengusap pelan kepala Angela.
"Nggak suka jamu, Tante."
"Ini bagus lho untuk memulihkan tenaga. Detensi apa kemarin? Hukuman dari Valdy lagi?" tanya Mirna. Nadanya berubah dari cemas ke jengkel dalam sekejap.
"Bersihin perpus. Hukuman dari Valdy."
"Ya ampun." Mirna berdecak kesal. "Nanti tante bicara sama Valdy."
"Nggak usah, Tante. Itu urusan sekolah. Valdy nggak akan peduli nantinya."
"Tapi tante akan tetap bicara dengannya." Mirna mengulurkan gelas tinggi berisi jamu pada Angela yang sontak menutup mulut dengan satu tangan, mual kembali. "Nanti malam Bik Noni akan membuatkan makanan kesukaanmu, Angela. Ayo, diminum dulu." Angela menatap wanita itu penuh permohonan, tapi tak mempan untuk meluluhkannya. "Ayo."
Dengan amat sangat enggan Angela mengambil gelas, lalu menghirup oksigen banyak-banyak dan menahan napasnya. Dalam satu hitungan ia meminum seluruh isinya, menelannya dengan susah payah. Setelah habis, ia melambai panik pada Bik Noni, yang dengan sigap mengulurkan segelas air padanya.
"Gimana?" tanya Mirna penasaran melihat wajah Angela yang malah bertambah pucat.
"Pahit dan aneh!" Angela menjawab dengan terengah. Dalam hati menyesali diri telah berbohong soal sakitnya. Ditambah, memaki Valdy yang telah mengusulkan membuatkan jamu untuknya. Ide bagus, Om, ia mengutuk dengan muak.
Mirna tertawa.
"Ya sudah. Istirahat ya. Nanti malam di rumah saja sama Valdy. Tante dan Om Jagad mau kondangan. Besok, kalau Angela sudah baikan, kita jalan-jalan."
"Ya, Tante." Angela menjawab, sementara dalam kepalanya berputar berbagai macam trik dan alasan lain untuk meloloskan diri tanpa celaka lagi.
Sore saat Mirna dan Jagad pergi, Angela memilih berdiam di kamarnya. Ia duduk di balkon dengan jurnal di pangkuan, menuliskan semua yang dialaminya seminggu ke belakang. Lelah menulis, ia lalu bangkit dari kursinya dan berdiri menyandar di pagar besi sambil memandang halaman depan yang luas dengan rumput hijau bagai beludru. Suasana sore yang sangat berbeda dengan di rumahnya. Langit yang berwarna lembayung menentramkan matanya. Dan kulit lengannya yang terbuka diterpa sepoi angin sejuk yang membawa serta harum bunga-bunga kamboja kuning yang tengah mekar di halaman. Damai sekali rasanya.
Angela tengah memejamkan mata sambil menikmati angin yang sejuk saat telinganya mendengar suara dari arah balkon di sebelahnya, terpisahkan jarak dua meter dari balkonnya. Sekejap kemudian Valdy keluar dengan ponsel menempel di telinga. Angela dengan gesit mencelat mundur hingga ke pintu kaca yang menuju ke kamar, bersembunyi di balik gorden. Ia mengintip Valdy yang tengah bicara dengan wajah keruh sambil menyandar ke pagar balkon.
Angin menerbangkan suara lelaki itu hingga terdengar cukup jelas ke arah Angela, membuatnya seketika sadar dengan siapa lelaki itu tengah bicara.
"Sudah kukatakan hari ini aku tidak ada waktu."
Angela mengepalkan tangan dengan geregetan. Berbeda sekali cara Valdy bicara dengannya, yang arogan dan sinis, bahkan judes. Saat bicara dengan Karina, nada bicaranya lebih lembut dan merayu. Lalu kenapa dia tak mau membantu untuk menghentikan pertunangan mereka? Angela mengutuk pelan. Mungkin Valdy tak mau dicoret dari daftar ahli waris, makanya ia mau-mau saja tunduk pada mamanya, Angela menarik kesimpulan terlogis dalam benaknya yang dipenuhi amarah.
"Tunangan? Kenapa kamu menyebut begitu?" Valdy terlihat tegang. "Gosip? Aku tidak ikut grup para siswa seperti kalian, Karina." Ia berbicara lebih pelan. "Kamu tak perlu tahu siapa orangnya." Valdy tiba-tiba berbalik dan memandang ke arah balkon kamar Angela. Secara refleks Angela berjongkok di tempatnya. "Benar. Gosipnya benar." Valdy memicingkan mata dan berjalan mendekat hingga menyandar di sisi lain pagar, tatapannya terpancang pada jurnal yang Angela letakkan sembarangan di atas kursi. "Aku tidak ada di rumah. Kami sekeluarga ada acara hari ini, Karina." Matanya bergerak ke arah pintu yang terbuka, membuat Angela makin menyembunyikan tubuhnya serapat mungkin di balik gorden. "Maaf, aku pergi dulu. Kita ketemu di sekolah Senin nanti."
Angela lalu mendengar langkah-langkah samar di balkon yang akhirnya menghilang. Ia menghembuskan napas lega dan duduk sambil memeluk lututnya di lantai. Keresahan mulai datang menyerangnya, membuatnya berubah tak karuan. Karina sudah tahu, pikirnya. Dan saat Karina tahu siapa tunangan Valdy, Angela akan meregang nyawa dalam hitungan jam. Belum lagi Roni yang akan meninggalkannya, tak akan sudi bersamanya yang telah berbohong. Roni dan kebanggaannya, harga dirinya yang tinggi, tak akan sudi menerima Angela yang jelas-jelas sudah menjadi milik orang lain.
"Duhh… Kenapa jadi seribet ini sih?"
Angela mengacak rambutnya dengan gusar, lalu bangkit. Ia melirik balkon sebelah yang kosong, lalu berjalan ke balkon untuk mengambil barang-barangnya. Ditaruhnya di atas meja rias, lalu ia berjalan ke kamar mandi untuk mandi.
"Eh! Kamu ngapain masuk kesini?"
Sepuluh menit kemudian, saat Angela keluar dari kamar mandi, ia terkaget-kaget melihat sosok Valdy tengah berdiri di kamarnya. Jurnal Angela di tangannya.
"Kamu baca isinya?"
Angela terpekik, panik. Ada banyak tulisan tentang Valdy di dalamnya dengan kata-kata yang jauh dari istilah santun. Ia berlari ke arah Valdy dan merenggut jurnal itu. Valdy hanya menatapnya dingin.
"Bagus sekali penggambaranmu tentangku, La."
"Ini jurnal pribadi!" Angela mengacungkannya di depan wajah Valdy. "Terserah mau kutulis seperti apa dirimu disini, kamu nggak berhak marah sama sekali!"
Angela membawa jurnal itu kembali ke lemari, tempat dimana seharusnya ia menyimpannya. Satu sisi kimono mandinya melorot dari bahu hingga ke lengan, dengan sigap ia menariknya kembali dan mengencangkan ikatannya yang kendor.
"Aku tahu ini rumahmu. Tapi lain kali kalau mau masuk, ketuk pintu dulu, Om! Jangan seenaknya nyelonong!" Angela mengomel dan menutup pintu lemarinya dengan keras. Ia memutar tubuh, berkacak pinggang pada Valdy yang berdiri sambil bersedekap. "Sekarang, keluar! Aku mau ganti baju."
"Kamu barusan menguping di balkon?"
"Hah?"
"Oke, aku tahu. Nggak usah bohong."
"Jangan modus aja deh! Aku lagi nggak pingin ngobrol. Keluar, Val!" Angela mengedikkan kepala ke arah pintu, mengusir si tuan rumah secara terang-terangan. "Kamu udah punya Karina, jadi nggak penting juga menatapku kayak begitu." Angela menegurnya saat tatapan Valdy berubah intens. Angela mendekap tubuhnya sendiri kuat-kuat. "Silakan lampiaskan semuanya pada cewek binalmu itu. Dan suruh dia berhenti pamer kemesuman kalian berdua. Nggak penting buatku!"
Angela bergidik dan kembali membuka lemari untuk mengambil baju ganti, masih sambil mengomel pelan mengutuki Karina.
"Oke, jika itu maumu."
Angela menoleh dan melihat Valdy berjalan ke arah pintu. Di depan pintu ia berhenti lalu berbalik.
"Mau apa…"
"Maaf soal jurnalmu. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja, La." Valdy mengangkat satu alisnya. "Karena sekarang kamu tinggal sendirian, aku ingin tahu apa kamu telah berubah liar dengan pacarmu atau masih seperti Angela yang diceritakan Adrian padaku dulu."
"Bukan urusanmu, Om!"
"Sekarang masih jadi urusanku." Valdy mengangkat bahu. "Suatu saat nanti saat kita sudah sendiri-sendiri, terserah semaumu melakukan apa." Valdy berbalik dan membuka pintu. "Jangan telat untuk makan malam." Ia lalu keluar meninggalkan Angela sendirian.
***