"La, lo dengerin kata-kata kita. Lo nggak bisa selamanya mengalah terus sama Karina."
"Tadi itu dia hampir menyakiti elo, La!"
"La, lo tahu kan Andrei sudah mencoba menjauhkan lo dari Karina? Kita juga mencoba, tapi lo nggak nyadar!"
"Sebenarnya ada apa antara lo dan Karina? Kenapa lo bisa banget menoleransi semua kelakuannya ke elo?"
Angela memejamkan mata mendengar berondongan kata-kata Nikki dan Elena di jam istirahat pertama usai olahraga. Dua temannya itu menyeretnya menjauhi Karina yang tengah diamuk badai angkara murka. Jika mereka tak mengikuti dua gadis itu ke toilet, mungkin kepala Angela sudah benjol terkena lemparan gayung oleh Karina. Kini mereka bertiga duduk sambil makan camilan di teras depan kelas yang ramai dilalui siswa. Karina tak tampak batang hidungnya. Terakhir mereka melihatnya tengah berjalan berdua dengan Inna, cewek paling penakut di kelas, yang mau-mau saja menemaninya saat Angela jadi musuhnya.
Musuhan, baikan, makian, tiga kata yang mewarnai persahabatan Angela dan Karina selama dua tahun belakangan. Angela sudah kelewat lelah menghadapinya, tapi Karina terlalu mendominasinya selama ini dan membuatnya sulit sekali melepaskan diri. Sebagian karena Angela sendiri tak begitu percaya diri memulai pertemanan dengan orang lain. Tak mungkin kemana-mana di sekolah dengan Andrei, sahabatnya sedari kecil dulu. Tapi Angela memang sulit sekali memulai pertemanan dengan sesama perempuan, entah kenapa.
"Tapi gue nggak enak kalo tiba-tiba menjauh dari Karina." Angela menjawab semua pertanyaan mereka.
"Lo nggak perlu menjauh, lo cuma perlu membela diri, jangan mau-maunya diatur seenaknya sama dia!" Elena berkata jengkel. "Lo tahu dulu gue seakrab apa sama dia? Lo lihat akhirnya dia yang menjauh dari gue karena gue mulai melawannya."
"La, kita tinggal setahun, eh, kurang dari setahun di sekolah ini. Dan lo mau menghabiskan waktu singkat itu dengan diinjak-injak Karina terus? Ntar lo nyesel lho!" Nikki ikut berkomentar, seketika membuat Angela seperti mendapat tempelengan keras di kepalanya.
"Bener banget! Nanti lo nyesel. Mau? Cari pacar kek! Jalan kek sama kita-kita! Kita nggak keberatan kok. Elonya aja yang menolak tiap diajakin!"
Angela mengangguk-angguk paham. Ya juga sih, pikirnya dengan serius. Kenapa pula ia harus kemana-mana dengan Karina? Tapi kasihan juga kalau Karina nanti tak punya teman lagi. Tapi ia juga tak tahan terus-terusan dikasari, apalagi yang seperti tadi.
"Oke." Angela menyeruput minumannya dan menelannya. "Mungkin gue memang harus berubah." Pikirannya melayang ke jurnal pemberian Adrian dan tantangan 365 harinya, merasa bersemangat kembali. Jika tidak dimulai sekarang, tak akan ada kesempatan lain lagi. "Secepatnya!"
"Bagus!"
***
Karina : La, pulang sekolah gue nebeng sama lo. Anterin gue ke mall sebentar. Sampai jam 5 lah. Nggak usah banyak alasan.
Pesan dari Karina masuk ke ponsel Angela di jam pelajaran Biologi. Angela melirik pop up pesannya di ponselnya yang diletakkannya di kolong meja, lalu duduk tegak kembali, pura-pura tak tahu menahu soal pesannya. Ia kembali berkonsentrasi pada slide presentasi kelompok Roni di depan kelas yang menerangkan tentang organ sekresi. Ia mendengar ponselnya bergetar kembali, pura-pura tak tahu. Lalu dari sudut matanya ia melihat Karina menoleh ke arahnya dengan sengit. Karina lalu berbisik pada Nikki yang duduk di belakangnya. Nikki melambaikan tangan, menyuruhnya menghadap ke depan, mengobarkan amarah Karina lebih parah.
Sial, pikir Angela mulai resah.
Tangannya bergerak ke kolong meja untuk meraih ponsel, tapi Andrei menghentikannya dengan mencekal pergelangan tangannya.
"La, ini jam pelajaran." Andrei berbisik tanpa menoleh ke arahnya.
"Nanti gue…"
"Gue tahu. Tapi gue nggak akan membiarkan dia menyakiti lo. Gue tahu apa yang barusan hampir terjadi sama lo. Elena yang cerita." Andrei melepaskan tangan Angela, lalu meraih ponsel Angela dan menaruhnya di kolong mejanya sendiri. "Hadap depan lagi, La."
Angela tak berkata apa-apa lagi, dan kembali memandang Roni yang tengah bicara di depan kelas.
"Bagaimana lo bisa melindungi gue, Rein?" bisik Angela lirih, membuat Andrei berpaling untuk menatapnya. "Sementara sudah ada orang lain yang pantas lo lindungi untuk seterusnya, dan itu bukan gue."
"Gue masih bisa…"
"Hentikan, oke? Gue merasa nggak enak nantinya." Angela tersenyum padanya. "Tapi terima kasih. Lo sahabat yang luar biasa untuk gue. Sejak dulu."
Angela kembali menatap Roni yang menerangkan slide presentasi kelompoknya, menatapnya hampa, sampai-sampai Roni mengerutkan kening dan berhenti bicara selama beberapa detik. Angela terlonjak saat mendengar suara derit kaki kursi menggesek lantai di sebelahnya. Andrei mendorong kursinya dengan kasar dan berdiri, lalu berjalan cepat ke luar kelas. Angela menatap punggungnya yang menjauh, menyesal telah mengucapkan kalimat tadi padanya. Tapi kata-katanya benar kan?
Angela menyembunyikan wajahnya dalam telapak tangannya, bersandar pada satu lengannya di atas meja untuk menyembunyikan gejolak emosinya.
"Maaf, Rein, tapi gue harusnya bukan prioritas lo lagi."
***
Malas berhadapan dengan Karina, begitu bel pulang sekolah berdering, Angela langsung melesat keluar kelas berdampingan dengan Bu Asri yang mengajar Fisika di jam terakhir. Ia lalu kabur ke arah kantin, tak membiarkan Karina menemukannya dan menumpahkan semua amarahnya padanya. Tapi kantin tutup. Tak seperti biasanya yang masih buka untuk melayani para siswa yang ekskul. Angela mendesah kesal dan memilih bersembunyi di belakang auditorium yang berbatasan dengan hutan cemara di belakang sekolah.
Karina : Gue tungguin di parkiran. Cepetan!
Angela tak menggubris pesannya. Harusnya, ia menolak dengan tegas. Tapi hal itu akan menjadi pertengkaran yang berlarut-larut, membuat moodnya makin memburuk dan perlakuan Karina akan makin parah padanya. Lebih baik diamkan saja.
Karina lalu menghubunginya, berkali-kali dan ia biarkan saja. Sulit sekali melepaskan diri darinya. Tapi kali ini, ia sudah mencapai titik puncak kesabarannya menghadapi si arogan itu.
"Eh, itu Angela?"
Angela kontan tersentak mendengar seseorang menyebut namanya. Ia menoleh, dan dalam sekejap berubah geram melihat siapa yang tengah berjalan mendekat dengan langkah ringan dan ceria. Agatha.
"Lo ngapain disini, Kak?" tanya Agatha dengan nada manjanya yang biasa. Angela bangkit dari duduknya, melirik Andrei yang berdiri tak jauh dari mereka. Sahabatnya itu sibuk dengan ponselnya, tak meliriknya sama sekali.
"Oh, mau mojok ya? Gue pergi deh." Angela menyandang kembali ranselnya dan berjalan melewati Agatha yang merengut kecewa melihat sikapnya.
"Kok lo selalu bersikap begini di depan gue, Kak? Gue salah apa sama lo selama ini?"
Angela mengepalkan tangan kuat-kuat mencegah dirinya meneriaki sosok Agatha yang menyebalkan dan selalu playing victim di depan banyak orang. Selalu. Demi menjatuhkan Angela. Adik tiri sialan!
"Nggak usah akting sok imut. Jijik tahu!" Angela mengibaskan satu tangan sambil berlalu. Andrei mengangkat wajah saat mendengar ucapannya, tapi Angela hanya melengos pergi tanpa menyapanya.
"Kak Andreiiiii…."
Hissss…. Apa sih yang dilihat Andrei pada bocah petakilan itu? Angela benar-benar muak mendengar rengekannya yang manja itu. Coba Andrei bisa melihat sifat aslinya, dijamin lelaki itu akan ngacir menjauh semasih ada kesempatan.
Angela berjalan kembali ke arah kelasnya yang harusnya sudah kosong. Gelombang para siswa yang hendak pulang sekolah kini bergerak ke arah gerbang depan, satu-satunya akses keluar masuk di sekolah mereka. Di belakang sekolah mereka adalah hutan cemara dan pinus yang luas, menurun hingga ke arah lembah di bawah. Satu atau dua siswa berpapasan dengan Angela di sepanjang koridor. Sesekali Angela celingukan, berharap tak ada Karina yang mendadak muncul lalu menyeretnya pulang bersamanya.
Oopss…
Angela tak bisa menghindar saat sosok Karina muncul dari arah kelasnya. Ia tak bisa bersembunyi dimanapun karena gadis itu sudah melihatnya dan kini berjalan cepat ke arahnya dengan ekspresi luar biasa puas di wajahnya. Sebisa mungkin, Angela menjaga sikapnya yang tak terlihat terintimidasi di depannya.
"Nggak bisa kabur lagi lo!"
"Siapa yang kabur?" bantah Angela.
"Ikut gue! Cepat!"
"Gue harus pulang, Rin. Lo sendiri aja kali ini." Angela melangkahkan kaki melewatinya. "Gue ke kelas dulu."
"Lo jangan seenaknya, angela!"
"Hati-hati di jalan, Rin!"
"Heh! Gue belum selesai ngomong!"
"Sorry, gue masih ada urusan. Lo pergi aja duluan!"
Detik berikutnya Angela merasakan tarikan kuat di punggungnya. Karina menarik ranselnya kuat-kuat, memaksanya pergi dengannya. Angela memberontak melepaskan diri. Tak sulit, mengingat ukuran tubuh mereka yang sama, tinggi badan dan postur tubuh yang serupa. Bedanya hanyalah pada kekuatan, Karina yang disokong kemarahan bercampur ketidakwarasannya bukan tandingannya. Namun Angela berhasil melepaskan diri.
"Berhenti maksa-maksa gue, Rin! Gue nggak suka! Gue bukan bawahan lo dan nggak akan pernah jadi pijakan kaki lo lagi!" Angela berseru padanya.
"Oh begitu? Sejak kapan lo berubah songong begini? Bisa apa lo tanpa gue? Siapa yang bakal memandang lo tanpa gue?" Karina mendorong dadanya keras hingga Angela terbatuk. "Tanpa gue, nggak akan ada yang kenal siapa Angela. Ingat, di sekolah ini lo termasuk kasta terbawah dan gue yang telah mengangkat derajat lo selama ini. Jangan sombong dulu, sialan!"
"Terserah lo menyebut gue apa! gue nggak akan jadi sidekick lo lagi. Silakan cari orang lain untuk lo jadikan pelampiasan semua amarah lo, semua rasa insecure lo. Gue capek." Angela sudah gemetaran, namun ia bertahan. Beberapa siswa yang melewati mereka melirik terang-terangan lalu berbisik-bisik dengan antusias.
"Ingat ya. Musuhan dengan gue, artinya hidup lo nggak akan pernah tenang lagi di sekolah. Lo pikir akan ada yang mau temenan sama lo setelah ini? Gue pastikan nggak akan ada satupun yang mau mendekati lo nantinya!"
"Sendirian juga nggak masalah buat gue. Selama ini juga gue selalu sendirian, lo yang katanya sahabat gue malah sibuk menjatuhkan dan menyerang gue setiap waktu. Selesai. Oke? Gue juga nggak akan tinggal diam sekali lo mencoba mengganggu gue!"
"Oke! Kita buktikan nanti! Kita lihat seberapa nggak berartinya lo di mata orang. Bahkan Andrei yang lo taksir dari dulu malah milih orang lain. Kasian banget kan hidup lo?"
Angela berjalan menjauh, tak memedulikan kata-katanya yang menusuk hati. Ia membatalkan niat masuk ke kelasnya yang sepi dan memilih jalan memutar untuk menuju tempat parkir. Semua kata-kata Karina benar tentang dirinya, tapi kata-kata Nikki juga Elena tak kalah benarnya. Kini ia hanya perlu memilih, dan Angela sudah menetapkan pilihannya.
***