Chapter 5 - 1.5

Reihan melihat Yudha yang memiliki kata 'marah' di seluruh wajahnya dengan tenang. Dia turun dan masuk ke dapur lantai bawah. Mengambil secangkir air hangat dari dispenser. Dia tidak meminumnya. Dengan tenang dia memberikan segelas air hangat di meja, didepan gadis itu.

"Aku hanya bertanya padanya."

Reihan merasa sedikit tertarik pada gadis ini. Jika orang lain berusaha mendekatinya dan memujanya. Gadis ini menghindarinya seperti sebuah wabah. Reihan tidak akan mengakui bahwa penghindaran gadis ini membuatnya sangat tidak nyaman.

Gadis itu menunduk, dia tidak ingin bertemu dengan Reihan. Dia memegang erat ujung baju Yudha. Yudha melihat tangan dan kotak obat yang dia lempar beberapa meter darinya. Ada sedikit ketidakberdayaan pada wajahnya. Mendengar kalimat Reihan. Tatapannya berubah sinis.

"Seolah aku akan percaya. Bantu aku mengambil obat disana."

Reihan mengangkat salah satu alisnya. Dia melihat Yudha seolah mengatakan, 'kau berani memerintah ku?'

Yudha menggertakan gigi dan mengucapkan kalimat dari sela giginya. "…Tuan, tolong."

"Tentu."

Yudha menghela nafas dan melihat gadis itu. Dia mengangkat kepala gadis itu dan menemukan dahinya memiliki memar.

"Bagaimana bisa memiliki memar?!"

Gadis itu berkedip tidak mengerti. Dia mengangkat tangannya yang penuh luka dan darah ke kepalanya. Memang menyakitkan saat dia menyentuh dahi. Tapi dia tidak peduli dengan rasa sakit. Dia menggelengkan kepala pada Yudha dan terus membentuk kata 'Go' dari bibirnya.

"Obati lukanya dulu." Yudha dengan tegas membuat keputusan.

Yudha menerima p3k dari Reihan. Dia tidak banyak bicara dan mulai mengeluarkan antiseptik, Betadine dan plester. Dia merawat luka di tangan dan kaki gadis itu dengan lembut. Dia tidak meninggalkan kesan ceroboh dan seenaknya. Wajahnya tanpa ekspresi dan sangat ringan, sangat cocok dengan kesan seorang dokter.

Reihan hanya melihat dari sela-sela. Ada perasaan penasaran dari gadis di depannya. Dia dengan santai mengambil tempat duduk di sebelah gadis itu. Meskipun ada ruang kosong yang cukup besar diantara mereka. Gadis itu masih merasa tidak nyaman dan bergerak menjauh dari Reihan.

Tentu saja Yudha merasakan gerakan gadis itu. Dia menghentikan gerakannya sedikit. Dan melihat gadis itu.

"Ada apa? Jangan bergerak agar tidak terlalu menyakitkan."

Gadis itu melihat mata Yudha dan sedikit merasa bersalah. Yudha sendiri seperti merasakan penyesalan gadis itu dan menghela nafas.

"Baiklah, tidak apa-apa. Santai saja."

Yudha melanjutkan pengobatan sederhananya. Setelah menyelesaikan perban di tangan gadis itu, Yudha entah bagaimana masih tidak bisa menghilangkan rasa sakit kepalanya. Sejak awal dia memiliki perasaan migran dan sekarang rasa sakit itu berdenyut tambah parah. Dia mengambil sebuah obat sakit kepala dan meminumnya.

Gadis itu melihat Yudha mengambil obat yang dikenalnya. Kakaknya sering menggunakan itu ketika di rumah. Dia mengangkat tangannya dan mengelus kepala Yudha. Dia duduk di sofa, sedangkan Yudha duduk di karpet. Posisi mereka seperti seorang ibu yang menyenangkan anaknya.

Reihan bahkan berkedip bingung. Dia melihat Yudha dengan pandangan lucu dan konyol. Mengabaikan perasaan lain yang lewat di hatinya.

"Ah??"

Yudha melihatnya. Gadis itu masih memiliki mata kosong dan tanpa nyawa. Tapi mulut gadis itu naik membentuk sudut senyum indah. Yudha tiba-tiba memiliki perasaan malu.

"Aku, aku baik-baik saja. Jangan khawatir."

Gadis itu mengerti dan menyingkirkan tangannya. Dia mengambil sebuah bolpoin yang terlihat di tas Yudha. Kemudian menulis nomor di tangannya yang bersih.

Kakak

0895xxxxxx

"Oh, benar. Aku akan menghubungi rumah mu. Tunggu sebentar."

Gadis itu mengangguk dan menunduk. Dia melihat Yudha memanggil nomor kakaknya dan bicara. Itu hanya kata-kata sederhana dan berlalu dengan cepat.

"Kakakmu, dia akan segera datang."

Yudha melirik Reihan dan sedikit berdehem.

"Aku tidak tau, tapi rasanya mengenal kakak mu. Apakah kakakmu bernama Fengki?"

Gadis itu mengangguk ringan. Melihat Yudha dengan mata penuh pertanyaan. Yudha sendiri, setelah mengkonfirmasi tebakannya melihat Reihan dengan sedikit ragu-ragu diwajahnya.

Pada dasarnya, Reihan bukanlah orang yang bisa di gerakkan bahkan jika gunung runtuh dihadapannya. Tapi suatu ketika, seseorang benar-benar menggerakkannya. Membuat Reihan harus keluar dari rumahnya selama 3 bulan berturut-turut hanya untuk menyelesaikan masalahnya. Beberapa diantaranya terkait dengan perusahaan dan pernihakan bisnis.

Perusahaan Reihan saat itu sudah mulai mendapat kekuasaan. Tiba-tiba perusahaan baru muncul dan mengambil banyak pasar milik perusahaan Reihan. Reihan berhasil menyelesaikan itu. Kemudian datang lagi pernihakan bisnis dari laki-laki tua di rumahnya. Seperti yang banyak terjadi, kakeknya memiliki janji pernikahan dengan pihak lain. Melalui anak, cucu atau cicitnya. Karena 2 generasi sebelum Reihan tidak ada perempuan dan hal yang sama berlaku untuk pihak lain, pernikahan jatuh padanya. Dimana dari pihak lain melahirkan anak perempuan.

Reihan biasa saja. Dia menerima apapun itu. Lagipula bukan hal yang penting baginya. Hanya kakak laki-laki dari orang itu membuat masalah terus padanya sehingga mereka tidak pernah bisa bertemu. Pertunangan tertunda terus menerus dan lelaki tua itu akhirnya melupakannya.

Setelah pemutusan, masalah di perusahaan Reihan perlahan-lahan surut dan hilang. Sejak awal Reihan tidak menghancurkan lawan bukan karena Reihan kalah dari pihak lain. Dia dan pihak lain sebenarnya cukup imbang. Dia bisa melawan pihak lain dan mungkin pemenangnya akan menjadi yang bertahan sampai akhir. Hanya siapa sangak ternyata orang itu memiliki sindrom adik perempuan lengkap. Dan dengan segala cara membuat adiknya menjauh darinya. Berusaha membatalkan ikatan yang belum terbentuk diantara mereka. Membuat masalah melalui perusahaan dan keluarganya.

Lagipula Reihan juga tidak memiliki cinta pada siapapun dan tidak menginginkan pernikahan. Dia memberi tau orang tua dan kakeknya.

Setelah lelaki tua itu mengalah, kemudian Reihan dan pihak lain tidak pernah bertemu. Bahkan jika mereka berhubungan itu akan mengenai bisnis.

Kabar terakhir dia mendengar hanya gadis itu dan kakaknya yang masih tinggal. Orang tuanya meninggal di kecelakaan pesawat. Dan kakeknya sudah pergi meninggalkan mereka jauh sebelumnya.

Yudha melihat Reihan tidak bergerak atau melakukan apapun ketika mendengar nama itu sedikit lega. Dia khawatir Reihan akan menganiaya gadis itu. Yudha tiba-tiba memikirkan nama gadis itu, dia pernah membacanya di suatu tempat.

"Miranda…"

Seseorang masuk ke rumah dengan tergesa-gesa. Dia bahkan tidak menyapa orang lain dan langsung menghampiri gadis itu.

Reihan memiliki wajah gelap. Dia merasa keamanan ditempat ini sangat baik. Bagaimana orang-orang ini bisa keluar masuk semau mereka!

"Apa yang terjadi? Bagaimana kamu bisa seperti ini? Apakah ini sakit? Tidakkah aku bilang bawa tas untuk keluar? Apa kamu merepotkan orang lain lagi? kamu baik-baik saja kan?"

Yudha terdiam melihat Fengki. Dia pernah bertemu Fengki beberapa kali. Dia selalu merasa Fengki seperti Reihan, meskipun sedikit lebih baik. Melihatnya sekarang begitu menyayangi adiknya membuat Yudha sedikit, bingung.

Kenyataan yang sulit dia terima.

Fengki kemudian merasakan Yudha dan Reihan. Dia berbalik dan melihat mereka.

"Terima kasih telah menolong adik ku."

"Tidak, tidak. Sejak awal aku yang salah." Yudha menyentuh hidungnya dengan perasaan bersalah.

Sejak awal dia menabrak gadis itu, menelantarkan dia sendiri di tempat asing hingga mendapat luka baru dan terlambat menghubungi keluarganya merupakan tindakan yang salah.

"Tidak, Tidak apa-apa. Gadis ini... Haah... Asal Miranda selamat. Sudah tidak apa-apa. Tuan Rei, merepotkanmu."

"Hm"

Reihan menjawab dengan dengungan ringan. Dia bisa melihat, ketika dia bersuara gadis itu, Miranda akan bergetar dan wajahnya dipenuhi teror. Dia tidak mengerti dan dengan bodoh hanya melihatnya. Yang jelas, dia tidak suka perilaku Miranda. Reihan bahkan tidak menyadari seseorang masuk ke pikirannya.

"Kalau begitu saya akan mengambil Miranda kembali."

"Tinggalah."

Melihat Reihan hanya memberi satu kata, Yudha berdiri menjelaskan.

"Ini sudah larut malam. Kenapa tidak beristirahat disini sebentar. Selain itu, kondisi Miranda tidak cukup bagus untuk pulang bukan."

"Tidak apa-apa. Aku tidak bisa meninggalkan Miranda di tempat asing. Adik ku memiliki penyakit putri tidur. Dia akan tidur beberapa hari sekali. Tapi, kadang dia tidur hanya dalam jam. Ini rumit..."

"Ah?" Yudha menjawab terkejut.

Reihan tidak mengatakan apapun. Dia pernah mendengar penyakit ini.

"Tapi, jika ini bisa membantu Dokter Yudha untuk mengobati adik saya. Saya tidak keberatan meninggalkan Miranda disini."

Yudha hampir kembali bertanya ketika mengetahui Fengki memanggil nama dan profesinya dengan mudah saat Miranda mendahuluinya. Miranda menarik dasi Fengki dengan kuat. Matanya menunjukkan panik dan dia ingin pulang.

Fengki menghela nafas. "Baiklah, menurut kamu."

Fengki mengangkat Miranda dengan mudah. "Maaf, sepertinya kata-kata ku baru saja tidak perlu."

"Tinggalah."

Lagi, Reihan meminta Fengki dan Miranda untuk bermalam. Reihan memiliki perasaan yang tidak bisa di jelaskan melihat Miranda begitu takut padanya.

"Tidak perlu."

"Tinggalah."

Bukankah Fengki ingin Yudha membantu melihat adiknya. Kenapa sekarang menolak.

"Tuan Rei, tidak perlu untuk begitu repot."

"Tinggal"

Fengki menjadi marah. Dia melihat Reihan dengan mata tajam. Tangannya gatal ingin memukul. Saat itu, sebuah tangan lembut menyentuhnya. Tangan itu memberinya ketenangan.

"Bagaimana, Mira? Tinggal?"

Miranda menggigit bibir bawahnya dengan kuat. Bibir pucat itu memiliki warna yang lebih pucat lagi. Dan mengangguk dan mengeluarkan senyum penuh tenang. Reihan menghela nafas.

"Baiklah." Dia melihat Reihan dan berkata, "Kami akan tinggal."

"Aku akan menunjukkan kamar tamu di lantai 2. Ayo."

Yudha membawa Fengki dengan Miranda di lantai 2 Villa. Dia juga ingin mengetahui kondisi Miranda dari Fengki secara jelas.