Chapter 7 - 2.2

"Bagaimana dengan mu bisa bicara?"

Yani memiliki wajah dengan senyum miring. Ejekan dan ironis terlihat dari matanya.

"Mungkin karena rangsangan, aku bisa bicara lagi."

"Oh, apakah itu? Karena bercerai?"

Miranda berkedip. Dia ingat tidak ada yang tau apa yang terjadi padanya. Termasuk pria yang sering bekerja di luar ini. Miranda berkedip dua kali sebelum mengangkat bahu.

Yani mengangkat salah satu alisnya. Dia sedikit bingung. Melihat Miranda tidak melakukan apapun. Dia kehilangan minat dan kembali ke kamarnya. Dia memiliki bau anggur di tubuhnya yang tidak nyaman. Dia berniat untuk mandi sebentar.

Sementara itu, Miranda yang melihat Yani pergi memiliki nafas lega di hatinya. Tuhan tau bagaimana dia berpura-pura tenang ketika hatinya berdebar cepat saat berhadapan dengan Yani.

Miranda melihat kakinya yang dibungkus dan menghela nafas. Benar saja, orang itu tidak akan pernah berbeda. Dia masih sangat baik dan perhatian.

Miranda memposisikan diri kembali di tempat tidur. Dia bersiap untuk tidur ketika seseorang berdiri diambang pintunya dengan hanya memakai handuk di pinggang. Tubuhnya ramping memiliki tidak memiliki pak di perutnya. Membentuk garis putri duyung. Miranda menelan ludah dengan susah payah. Ketika Miranda duduk, dia merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya. Dia dengan cepat mencari tisu dan menghapusnya.

Yani melihat semua dari awal sampai akhir. Ada jijik yang tidak disamarkan di matanya.

"Dimana bajuku?"

"Eh, asisten mu mengambil semuanya bulan lalu."

Yani mengerutkan kening dan mengingatnya. Dia tidak ingin mengakui dan pergi dari sana dengan cepat. Dia tidak ingin melihat Miranda dengan wajah mimisan.

Dia hanya tidak tau, setelah dia pergi. Miranda mengambil banyak obat dan meminumnya. Darahnya mulai berhenti.

Masing-masing dari mereka tidur sendiri. Meskipun Yani kesulitan tidur karena telanjang, dia menggunakan selimut menghangatkan tubuhnya dan berhasil tidur.

Malam itu tenang tanpa apapun yang terjadi.

Miranda bangun keesokan harinya dan melihat seseorang tidur di kamarnya. Miranda dengan baik memanggil asisten Yani. Dia memasak sederhana dan meninggalkannya di meja sebelum keluar.

Bahkan jika dia sudah tiba-tiba sehat, dia masih harus memeriksa tenggorokan dan kakinya.

Sementara itu. Yani terbangun satu jam setelahnya. Ada asisten di ruang tamu dan makanan di meja. Dia mengambil baju dari asisten dan makan. Entah bagaimana, dia merasa sudah terbiasa dengan makan makanan yang ada di meja itu.

"Dimana dia?"

"Sister Mira tidak memberitahu ku. Dia hanya memintaku datang dengan baju. Apa ada masalah? Bukankah kalian akan bercerai?"

"Jangan khawatir."

"Itu bagus, daripada membawa bom ini kemanapun."

Mereka kemudian mengatakan bisnis mereka. Dan pergi dari sana.

Ketika Miranda kembali, dia hanya melihat piring kosong dimeja. Ruangannya sudah kembali bersih dan menyenangkan untuk ditinggali.

Miranda mengingat sesuatu dan membuka laptop. Dia menulis naskah skenario drama dengan serius. Sesekali dia akan meminum obat sehingga dia tidak merasakan sakit.

Dia menggunakan hari-harinya menulis naskah. Tapi dia ingat janji yang dia buat. Pada hari ke 2 dia membuat novel, dia keluar dan menemui seseorang.

"Pengacara Aji, lama tidak bertemu."

"Apa yang disebut pengacara. Bukankah sebelumnya paman?"

"Baiklah, paman."

"Kamu jadi semakin kurus. Apakah ada sesuatu yang terjadi?"

"Tidak, hanya diet seperti anak muda. Aku juga ingin lebih cantik."

"Omong kosong. Diet juga tidak terlalu bagus jika menjadi sangat tipis."

"Benar juga..."

Mereka mengobrol beberapa hal acak sebelum sampai ke topik. Dia ingin membuat surat pengalihan. Dia ingin menyerahkan semua properti yang dikelola 4 orang itu pada mereka. Dia hanya akan menerima deviden dari mereka setiap tahunnya.

Dia memberi Paman Aji alasan yang bagus sehingga Paman Aji tidak banyak bertanya dan setuju. Paman Aji berencana menyelesaikannya bulan depan. Dia bisa menandatanganinya.

Sementara menyerahkan semua itu pada Paman Aji. Miranda kembali menulis. Sekitar 2 Minggu, naskah itu selesai.

Dia membuka ponselnya dan memanggil seseorang. Dia memiliki harapan terakhir sebelum mati. Membuat film. Ibu dan ayahnya berkata dia jenius akting. Mereka sangat bangga padanya. Tapi dia berhenti hanya setelah sekali melakukan. Kali ini, akan menjadi yang kedua dan terakhir. Miranda tidak kesal. Dia hanya ingin membuat orang tuanya yang di akhirat bangga.

"Hallo"

"Hallo, sutradara Julia. Ini Miranda."

"Miranda? Mira? Astaga, kamu baik-baik saja?"

"Jauh lebih baik. Tante Julia, aku memanggilmu karena memiliki sesuatu. Saya merasa, hanya anda yang bisa membantu saya dalam hal ini. Mendiang ibu saya memberi tau saya untuk percaya dengan anda."

"Ya, memang harus seperti itu. Ada apa"

"Saya punya naskah disini.…."

Miranda kemudian menyelesaikan panggilan dengan jawaban positif Julia. Dia mengirim file naskah pada Julia. Dalam 3 jam Julia kembali memanggilnya dan membawa respon positif. Dia bersedia memainkan naskah dan menjadikannya sebagai tokoh utama. Tokoh lain akan di urus oleh Julia sendiri. Yang sangat membantu Miranda.

Beberapa hari kemudian sangat tenang. Miranda hanya menunggu syuting dan perjanjian penyerahan kepemilikan dari Pengacara.

Dalam hari-hari yang baik. Dia semakin merasa sakit ditubuhnya. Sekarang dia menggunakan kursi roda. Untuk pergi kemanapun. Selama tidak mendesak, dia berusaha tidak berdiri.

Hari-hari yang tenang di sela oleh seseorang. Memintanya ke pengadilan dan melanjutkan proses perceraian. Jantungnya bergetar. Dia menjawab lembut dan sedikit berdandan sebelum pergi.

Dia tidak melakukan banyak hal. Mereka tidak berbagi properti seperti yang seharusnya. Yani memberikannya tapi Miranda tidak menginginkannya. Setelah semua proses itu, Miranda sangat lelah. Hanya di depan pengadilan, dia bertemu Aji dan empat temannya.

Empat orang melihatnya dan memiliki wajah muram. Miranda memiliki senyum kecil bersalah. Dia dengan segera mengabaikan Yani dan menghampiri 4 bos terkenal di negara ini. Yani tentu saja terkejut. Dia tidak menyangka akan melihat 4 orang yang begitu superior di pengadilan. Melihat mantan istrinya berjalan ke sana dia mengerutkan kening. Ada kekhawatiran dimatanya.

Yani kadang bertanya-tanya. Mengapa Miranda begitu setuju untuk menceraikannya.

"Gadis busuk. Kamu tidak pernah memperlihatkan hidungmu dan tiba-tiba melakukan ini."

"Ah, ahahaha…" Miranda tertawa canggung menghadapi tuduhan Gita.

Gita merupakan teman yang membantu urusan butik. Satu-satunya wanita diantara mereka berempat. Steven, Patrick dan William juga menunjukan wajah tidak senang.

"Aku membuatmu berada di puncak karena ingin kamu muncul. Tapi, heh. Semuanya benar-benar sia-sia."

"Gita…"

"Jangan bicara denganku."

Mereka benar-benar orang baik. Mereka sejak awal tidak akan mengambil uangnya dan lari. Mereka sangat loyal dengan sesamanya. Itulah bagaimana mereka mengeluarkan semua seperti ini. Tiba-tiba suara asing datang dari belakang.

"Miranda?"

"Wow, seorang bintang. Eh, tunggu. Bukankah ini bintang besar Yana Putra. Apakah ini kenalan mu, Mira?"

Miranda menunjukkan senyum kecil. Faktanya, mereka semua sudah mengetahui semua itu. Mereka tidak berharap perceraian akan dilakukan karena Miranda sangat menyukai Yani. Tapi melihat Miranda baik-baik saja, mereka tidak mempermasalahkan.

"Nona Gita. Tuan Steven, Tuan Patrick, Tuan William. Senang bertemu dengan kalian."

Steven mengacuhkan Yani. Dari mereka semua, dia adalah orang yang paling memperhatiakan Miranda. Dia tau Miranda ke rumah sakit dan dia tau bagaimana kondisi Miranda.

"Mira, pulanglah."

"Oh."

Patrick dan William pergi ke tempat parkir. Patrick mengambil Gita untuk pergi, sementara William mengemudi dengan Steven dan Miranda. Miranda sedikit bingung. Dia melihat paman Aji yang sejak awal diam.

Aji tersenyum dan melewati Miranda. Perjanjian sudah dibuat. Dia hanya perlu menandatanganinya.

"Itu, Paman Aji dulu."

"Sekarang."

Kini giliran Willian yang mengeluarkan suaranya. Miranda berkedip dan masuk mobil dengan pasrah.

Miranda bersama teman-temannya pergi meninggalkan Yani di belakang. Yani entah bagaimana merasa tidak mengenal mantan istrinya dengan baik.

Dia mencoba menekan pikirannya dan pergi ke arah lain.