Chereads / This Love Is Unbreakable / Chapter 1 - Prolog

This Love Is Unbreakable

Adlet_Almazov
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 7.1k
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Prolog

1 Maret 1954, Yogyakarta, Indonesia

Ribuan burung layang-layang Asia terbang melewati langit khatulistiwa. Burung-burung itu datang dari Siberia, Jepang, Cina dan Negara lainnya menempuh jarak puluhan ribu kilometer menuju Indonesia dan Yogya adalah salah satu tempat tujuan mereka.

Burung-burung itu bermigrasi untuk mencari makan, menghindari musim dingin yang ekstrem demi mempertahankan hidup. Bisa menumpang di tanah ini bukan berarti mereka aman, terkadang ada kumpulan anak-anak yang menembaki mereka dengan ketapel, tak jarang ada yang jatuh ketanah dan mati. Mereka mati sebagai tamu, jauh dari rumah.

Pagi ini, tepat pukul 10, seorang pria berjalan seorang diri menaiki bukit. Ia memakai jas putih, bukan jas hitam. Di atas pohon, bertengger puluhan burung yang berkicau dan saling sahut-sahutan seolah sedang membicarakan manusia itu.

Hari ini adalah hari yang sangat istimewa untuknya, jadi tidak seharusnya ia berduka. Meski langit sejak pagi mencoba berulang kali menegurnya, berusaha membuatnya sadar dari segala kegilaan di dalam kepalanya.

Pagi ini langit terlihat aneh, terkadang mendung dan terkadang cerah. Ya, bahkan langitpun mempermainkannya, alam dan seisinya ikut mentertawakannya.

"Ini cinta..." ucapnya pelan, ia tersenyum pahit. Baginya ini sangat menyakitkan.

Dari atas bukit, samar-samar terdengar bunyi lonceng gereja yang seolah memanggilnya untuk segera datang, karena ada seorang wanita yang menunggunya. Menunggu untuk mengikrarkan janji suci bersama.

Pria itu tak menghiraukan, ia kembali melanjutkan langkah kakinya menuju tepi sungai yang jernih. Tempat di mana ia dan "wanita yang sedang menunggu" itu sering bermadu kasih, sekedar menikmati indahnya pemandangan atau bermain-main di arus sungai yang tenang.

Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil bewarna merah dan dibukanya dengan ragu, di dalam kotak itu ada sebuah cincin yang seharusnya ia sematkan kejari manis wanita yang sedang menunggu itu.

"Mereka benar, aku gila, aku tidak waras. Mereka semua benar!" ucapnya sambil tertawa. Ia tidak peduli ada puluhan burung yang menyaksikan ketidakwarasannya, menyaksikan keputusasaannya.

Burung-burung itu akan segera pergi. Ya, mereka akan pergi ke tempat dimana mereka berasal. Mereka datang ke tempat ini sejak bulan Oktober dan sebentar lagi, tiba saatnya kembali terbang menempuh perjalanan yang panjang untuk pulang kerumah.

Pria ini melepaskan cincin dijari manisnya, cincin yang disematkan wanita yang menunggu itu tiga hari yang lalu. Ya, tepat tiga hari yang lalu. Hari di mana mereka menjemput gaun pengantin putih yang akan dikenakan wanita itu untuk hari ini.

Hari di mana cinta yang telah mereka rajut semakin kuat, hari di mana pelukan terasa semakin hangat. Tatapan mata yang saling memandang, menunjukkan betapa besarnya cinta diantara mereka berdua.

Sebuah ciuman yang bahkan terasa lebih manis dari sebelumnya. Cinta, ya, hanya itu yang mereka tahu. Perasaan cinta yang entah mengapa mereka pendam selama bertahun-tahun. Cinta yang tidak pernah disadari, tersembunyi dalam kenangan.

"Kenapa kau paksa aku memakainya hari itu? Kau ini curang, perempuan gila. Apa kau pikir cintamu itu lebih besar dari cintaku? Kau salah besar jika berpikir seperti itu. Cintaku yang lebih besar, cintamu itu tidak ada apa-apanya. Aku tahu kau mengerti itu," ucapnya, ia berbicara seorang diri sambil sesekali tersenyum pahit, ia memendam sesuatu dihatinya. Sesuatu yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

Ia memandang langit, mendung, itulah yang ia lihat. Angin kencang mulai bertiup menerbangkan dedaunan dan butiran serbuk-serbuk bunga. Pria itu sepenuhnya sadar, ada hal didunia ini yang tak selalu bisa dipertahankan dan harus dilepaskan.

Meski ia tahu, tidak semua hal bisa berjalan seperti kemauannya. Semua harapan yang ia bangun seperti menara yang tinggi, terkadang harus terkubur dan ia harus merelakannya.

Sebuah benang takdir yang menghubungkan dua orang anak manusia, benang yang kuat walau tak terlihat oleh mata. Namun, benang yang kuat itu tetaplah benang yang tipis, benang itu terkadang harus terputus dan tidak dapat disambung kembali.

Pria itu memejamkan matanya sejenak, mencoba menggali kembali kenangan yang tersimpan. Pikirannya dipenuhi oleh semua hal tentang wanita yang menunggu itu.

Tatapan matanya yang indah, rambut panjangnya yang berkilau, senyuman manisnya yang tak pernah hilang dari wajahnya. Namun, dibandingkan dengan semua itu, cintanya yang tulus adalah hal yang tidak akan tergantikan.

"Terbanglah dengan sayapmu yang cantik, pergilah ketempat di mana seharusnya kau berada. Aku tidak akan sedih, aku tidak akan menunggu, aku berjanji, aku tidak akan menunggu. Jadi, kau jangan berpikir untuk kembali. Karena jika kau lakukan itu, percayalah bahwa kau akan menyesalinya."

Tetesan air langit mulai turun, sedikit dan perlahan, namun pasti. Pria itu memejamkan matanya. Dihadapannya, berdiri seorang malaikat cantik bergaun putih. Ia tersenyum, namun sorot matanya menyimpan kesedihan.

"Jangan tunjukkan wajah seperti itu, kau tahu bahwa aku mencintaimu dan aku juga tahu kau mencintaiku, apa yang lebih baik dari itu? Hari ini kita berjanji bahwa kita tidak akan berhenti sampai disini. Kita berdua tahu bahwa cinta kita tidak bisa dihancurkan."

Pria itu membuka matanya perlahan, ada kesedihan yang mendalam. Ia memandang langit, sedikit demi sedikit sinar matahari muncul dibalik celah-celah awan. Meskipun ada seberkas sinar yang menunjukkan bahwa masih ada harapan untuknya. Namun, kebahagiaan itu tampaknya masih sangat jauh dari bayangan.

Seekor burung layang-layang Asia terbang tepat di atasnya, berhenti dan hinggap di ranting pohon. Di tempat itu, ada seekor burung lainnya yang tampak menyambutnya dengan senyuman.

Burung-burung itu berkicau merdu, seolah sedang berucap rindu. Selama 1.30 detik mereka bercengkrama seperti sepasang kekasih yang dimabuk cinta. Kemudian mereka terbang bersama, jauh hingga tak lagi terlihat.

Pria itu tak dapat memalingkan pandangannya dari sepasang burung layang-layang itu. Bahkan saat mereka menghilang, ia tidak bisa berhenti memandang.

Ada kekuatan yang bisa ia rasakan, jauh di dalam hatinya yang hancur. Seandainya harapan itu masih ada, ia tidak akan menyia-nyiakan sekecil apa pun kesempatan yang mungkin bisa ia dapatkan untuk mengobati luka di hatinya.

"Apakah kita bisa kembali bersama? Apakah kau akan mengenaliku saat kita bertemu lagi? Apakah kau akan memanggil namaku saat aku menyapamu nanti? Sungguh, aku rela menunggu hari di mana kita akan bersatu kembali di tempat yang indah, tempat yang diciptakan hanya untuk kau dan aku," ucapnya dengan suara bergetar.

Di dunia ini ada hal yang pergi dan akan kembali lagi suatu saat, seperti burung-burung itu. Mereka akan datang kembali disaat yang tepat. Namun, ada juga hal yang pergi dan tidak akan kembali walau harus menunggu seumur hidup. Ya, walau kau harus menunggu seumur hidupmu.

***