Chereads / This Love Is Unbreakable / Chapter 3 - Bab 2. Tuan Muda Yang Angkuh

Chapter 3 - Bab 2. Tuan Muda Yang Angkuh

Teruntuk buku harian, 1 Maret 1939

Hari ini, aku dan Ratna melukis di dinding rumah Oma Maria Hoftijzer, sebenarnya hanya aku seorang melakukan, Ratna hanya menemani atau lebih tepatnya berusaha melarangku.

Kemarin malam aku mendengar Oma Maria membentak Simbok, jari telunjuknya menunjuk-nunjuk ke wajah Simbok. Aku ora seneng melihatnya, mereka kompeni, semuanya kompeni. Namun, Opa Robert berbeda, beliau baik dan senang membantu kami, orang-orang pribumi.

Terkadang membagi-bagikan beras, terkadang singkong, terkadang susu, terkadang telur dan gula. Sebenarnya aku ingin berhenti sekolah, aku ora seneng sekolah, semuanya anak-anak kulit putih. Hanya aku dan Ratna pribumi di dalam kelas. Aku ora suka Bahasa Inggris dan Belanda, kenapa aku mesti belajar bahasa mereka?

Tapi, Bapak dan Simbok melarangku berhenti, sebab Mas Agus, Mas Jaka dan Mbak Ningsih ndak sekolah jadi aku mesti sekolah sampai selesai. Apalagi Opa Robert yang menyekolahkan aku di sekolah itu.

"Nduk, makan malam dulu, nanti nulisnya dilanjutkan!" ucap Simbok.

Soledad tak menghiraukan, matanya tertuju pada jendela yang terbuka dihadapannya, memandang langit malam. Tangannya masih memegang pensil. Soledad melamun memikirkan banyak hal.

"Soledad...!" kali ini Simbok manggil lebih keras, ia tahu anak perempuannya yang satu ini memang doyan melamun.

"Apa toh mbok?"

"Melamun terus kamu nduk, ayok makan dulu! Simbok masak sop daging kesukaanmu, nanti habis dimakan mas sama adikmu," ucap Simbok lembut.

"Bener mbok?"

"Iya," jawab Simbok. Soledad langsung tersenyum dan bergegas ke ruang depan, tempat di mana keluarganya makan dan berkumpul.

Soledad dengan secepat kilat mengambil tempat disamping Bapak. Dengan rumah yang sempit dan kecil, tujuh orang anggota keluarga ini terpaksa berdesak-desakkan. Keluarga ini memang miskin dan melarat, namun mereka bukan satu-satunya. Ada banyak keluarga yang sama miskinnya atau bahkan lebih miskin lagi dari mereka.

Melihat kesenjangan sosial dan ekonomi antara pribumi dan orang Eropa, hal itulah yang membuat Soledad tidak menyukai mereka. Menurutnya, bagaimana bisa orang pribumi melarat di tanah airnya sendiri? Ya, Soledad memang seorang gadis kecil, namun ia sangat peka dan cerdas untuk anak seusianya.

"Lama bener kamu? sopnya cuma tinggal tulang!" ujar Bapak yang baru saja menghabiskan suapan terakhir di piringnya.

Soledad terperanjat, ia pandangi mangkuk Sop berisi potongan kentang, wortel dan tulang-tulang sapi. Ia langsung mengambil sendok dan mengaduk-aduk mangkuk besar, berharap masih ada sisa potongan daging untuknya. Bagi keluarga ini, daging adalah makanan yang sangat langka, sangat mewah dan sangat jarang bisa mereka nikmati.

"Loh...kok dagingnya kosong? Mbok bilang masak sop daging?" tanya Soledad protes.

"Memangnya yang di depan matamu itu apa?" tanya Mas Agus.

"Tulang," jawabnya polos.

"Ya itu dagingnya, coba perhatikan baik-baik. Disela-sela tulang itu masih ada daging yang lengket,"

"Terus apa!"

"Kok apa sih? Ya dimakan toh, enak bener sopnya Simbok!" jawab Mas Agus sambil tertawa. Mas Jaka dan Rudi pun ikut tertawa geli.

Soledad terdiam, seharusnya dia sudah menduga ini. Keluarganya tak akan mungkin bisa makan daging, bisa makan nasi saja sudah syukur.

Bapak menatapnya iba, tahu bahwa anaknya ini sangat ingin sesekali bisa makan daging, satu tahun sekali pun belum tentu.

"Sudah-sudah, kalau Soledad ingin makan daging, nanti Bapak minta upah minggu ini sama Mister Robert. Nanti minta Mbokmu masak daging yang enak," ucap Bapak berusaha menghibur.

"Ora usah Pak, makan iki saja sudah syukur. Jangan dituruti kemauannya," kata Simbok melarang.

"Ora apa-apa toh Mbok sesekali, biar semakin pintar belajarnya kalau makan daging, sama seperti anak-anak Eropa itu!" ucap Bapak.

Soledad hanya diam dan tidak menyela seperti biasa, antara berusaha memahami keadaan atau memang sedang lapar. Diambilnya piring dan nasi yang banyak, disiramkannya kuah sop kedalam piringnya. Meski hanya dengan sisa tulang, namun rasa kuah sop saja sudah sangat enak dimakan dengan nasi yang hangat.

***

Pagi ini Soledad harus pergi ke sekolah, tempat yang tidak dia sukai. Bukan karena pelajarannya, tapi karena orang-orangnya. Rata-rata murid yang sekolah di situ orang Eropa yang kaya, bukan pribumi melarat seperti dirinya. Perasaan rendah diri itu yang membuat Soledad tak nyaman berada didekat mereka, apalagi tidak ada anak yang mau duduk sebangku dengannya, kecuali Ratna.

"Nduk...ayo nduk bangun! udah pukul enam. Nanti kamu bisa terlambat!" ucap Simbok membangunkan Soledad yang masih betah bergolek diatas tilam tipis.

"Aku ora sekolah hari ini mbok, malas aku!"

"Eh...eh...ra boleh begitu toh nduk, Mister Robert sudah susah-susah membayar uang sekolahmu, kamu ora boleh bolos."

"Ehm... aku malas mbok..."

"Ora boleh malas-malasan, ayok bangun sekarang! biar mbok bungkuskan nasimu !" ucap Simbok sambil berlalu.

Meski dengan separuh hati, akhirnya Soledad tetap bangun juga. Tentu saja karena merasa tidak enak hati dengan Opa Robert yang sudah menyekolahkannya.

Seperti hari-hari biasanya, pukul 06.30 Ratna sudah datang menjemputnya. Pagi-pagi Ratna sudah rapi dan siap untuk kesekolah, dia sangat bersemangat, berbeda dengan Soledad yang malas.

"Soledad cepetan, Ratna sudah menunggu!" ujar Simbok.

"Iya mbok, aku pergi dulu?" ucapnya.

"Iya, hati-hati."

"Pasti kamu ora mandikan ?" goda Ratna sambil tertawa kecil melihat Soledad yang tampak lesu.

"Aku mandi kok!"

"Hehehe...sudah mandi kok lesu?"

"Aku sebetulnya malas ke sekolah, mau berhenti aja."

"Jangan ngomong begitu, kamukan sebetulnya pinter, ya sayang toh kalau berhenti,"

"Aku ora seneng sama anak-anak Eropa itu, setiap hari selalu mengejek. Bilang aku kotorlah, baulah, segala macam!"

"Biarin aja mereka mau ngomong apa, ora usah dipedulikan. Yang penting leraar (guru) bilang kamu pinter," kata Ratna, sebisa mungkin dia memberi semangat pada temannya ini.

Kedua gadis kecil ini berjalan sejauh 2 km untuk sampai kesekolah, menuruni bukit, menyeberangi sungai dan melewati sawah yang luas. Sebenarnya Soledad sangat menikmati perjalanan untuk bisa sampai kesekolah, menghirup udara pagi dan bisa menyapa para penduduk pribumi yang sejak pagi sudah bekerja.

Saat melewati jalan lurus, dari arah belakang terdengar suara mesin mobil yang sama seperti suara mesin mobil cucu Oma Maria. Soledad dan Ratna menoleh kebelakang untuk memastikan. Ternyata benar, yang akan lewat adalah mobil keluarga itu.

Mobil itu berhenti tepat disamping Soledad dan Ratna. Kaca mobil didepan terbuka, tampak sesosok wanita Eropa yang sangat cantik, berambut pirang dengan mata biru. Ia tersenyum manis menyapa kedua gadis kecil ini.

"Goede morgen? (Selamat pagi?)" sapanya dengan ramah.

"Goede morgen, Madam!" ucap mereka serentak.

"Kalian butuh tumpangan?"

"Ah...tidak Madam, kami akan pergi ke sekolah," jawab Soledad.

"Saya tahu, saya juga akan kesana mengantarkan Nicholas," ucapnya sambil tersenyum, sungguh senyuman yang sangat cantik.

Soledad dan Ratna saling memandang selama beberapa detik, dengan telepati akhirnya mereka berdua menyetujui tawaran wanita itu. Apalagi Soledad sudah lama ingin mencoba naik mobil seperti ini.

"Mama, kenapa menawarkan mereka tumpangan? aku tidak mau duduk di dekat anak itu!" ucap Nicholas menentang. Dia yang duduk dikursi belakang seorang diri terpaksa membagi tempatnya dengan dua orang anak perempuan.

"Tidak apa-apa sayang, nanti mereka akan menjadi teman-temanmu juga!"

"Aku tidak mau, Mama !"

"Hahahaha...jangan bicara seperti itu!"

Soledad duduk di tengah-tengah dan bersebelahan dengan Nicholas yang terus membuang muka, hatinya benar-benar kesal. Sedangkan Soledad terus tersenyum-senyum memandangi seisi mobil.

"Sungguh menyenangkan kalau bisa naik mobil seperti ini setiap hari," ucapnya gembira.

"Tapi, menikmati pemandangan yang indah sambil berjalan kaki juga menyenangkan, bukan?" ujar Madam.

"Tapi, kalau harus kesekolah itu adalah perjalanan yang cukup sulit. Kalau melewati jalan lurus akan lebih jauh, jadi kami terpaksa melewati jalan memotong dengan menyebrangi sungai," sambung Soledad.

"Benar juga, tapi saya belum mengetahui nama kalian. Nicky juga belum, benarkan sayang?"

"Aku tidak ingin tahu !"

"Nama saya Ratna Sari Simanjuntak, Madam," ucap Ratna memperkenalkan dirinya dengan lemah lembut dan sopan.

"Nama saya Soledad,"

"Soledad?"

"Benar, Soledad Miranda Tendean. Tapi saya tidak suka dengan nama saya,"

"Kenapa tidak suka? nama kamu bagus,"

"Karena kebarat-baratan, jadi saya ingin ganti nama saja, menjadi Tinung atau Lasmini,"

"Dasar Inlander! (pribumi)" ucap Nicholas ketus.

"Apa kamu bilang?"

"Kamu Inlander!" jawabnya tenang.

"Apa? coba kamu bilang sekali lagi ?" Soledad yang mulai emosi langsung mengepalkan tangannya bersiap-siap meninju si bocah Eropa ini.

"In-lan-der, apa masih kurang jelas?"

"Kamu ini! minta dipukul ya?"

"Soledad, sudah hentikan! Madam, kami minta maaf?" pinta Ratna. Dia sungguh menyesal dengan perbuatan temannya. Padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun.

"Tidak apa-apa, ini awal yang baik untuk menjadi teman, bukan?"

"Tidak akan! aku tidak akan berteman dengan bocah Inlander ini, Mama. Tidak akan pernah!"

"Jangan bicara seperti itu sayang?"

"Mama tidak lihat tadi dia hampir memukul wajahku?"

"Dia hanya bercanda, benarkan Soledad?"

"Iya, Madam!" ucap Soledad sembari melempar ejekan pada bocah kulit putih itu dengan menjulurkan lidahnya.

"Baiklah, kita sudah sampai disekolah!" ucap Madam. Soledad dan Ratna membuka pintu mobil dan turun dengan perlahan.

"Dank je wel (Terima kasih) Madam Walter!" ucap kedua gadis kecil itu.

"Graag gedaan (sama-sama), panggil saja saya Tante Tatiana, ok?"

"Ok Tante Tatiana, kami permisi dulu!" kedua gadis kecil itu berjalan bersama menuju pintu gerbang sekolah. Meninggalkan Tante Tatiana, Nicholas dan supir mereka.

"Your attitude is so bad today, darling? (Sikapmu buruk sekali hari ini, sayang?)"

"Because i don't like that girl!"

"Kenapa? mereka gadis yang baik!"

"Bukan yang satunya, tapi yang bernama Soledad itu. Dia itu gila, Mama!"

"Kamu ini, tidak baik bicara seperti itu!"

"Mama tidak tahu? dia itu bau busuk mama, pakaiannya jelek dan bau, rambutnya juga. Aku tidak suka berada didekatnya, lain kali jangan tawarkan dia tumpangan!" ucapnya bersikeras.

"Ya Tuhan, sejak kapan anak mama tega menghina orang lain seperti itu? Mama tidak percaya Nicky bisa seperti itu!" ucapnya sedih.

"Maafkan saya mama, saya tidak akan melakukannya lagi!"

"Baiklah, kita masuk sekarang untuk tahu di kelas mana kamu akan belajar!"

"Ok, Mama!"

***