***
Arga berjalan cepat di lorong Istana Hara dengan napas panas dan tangan terkepal. Dia mengumpat pada adiknya yang kelewat bodoh dan bertanya-tanya, bagaimana bisa dia memiliki adik yang begitu bodoh jika Agni tumbuh di Keluarga Envila?
BRAKK!
Pintu kamar Agni dibuka dengan kasar. Tampak Agni dan dua dayangnya tengah bermain dengan Narasimha. Hal itu membuat Narasimha ketakutan dan bersembunyi di balik tubuh ibunya yang langsung berdiri melihat kedatangan sang kakak.
"Apa yang kau lakukan?!" pekik Agni marah besar.
"Ibu...!" erang Narasimha memegang erat gaun ibunya.
Agni menatap tajam pada Arga yang semakin mendekat.
PLAKK!
"Yang Mulia!"
"Ibu...! Hwaaaa...! Ibu...!"
Sebuah tamparan keras membuat kepala Agni terhempas ke kanan. Pipinya terasa panas dan sudut bibirnya terasa nyeri.
Agni memegang wajahnya dengan tangan gemetar. Dia mengangkat wajahnya pelan-pelan dan menatap Arga dengan tatapan marah.
"Ap--"
"Kau dungu! Bodoh! Tolol!" umpat Arga sambil menunjuk-nunjuk wajahnya. Arga maju mendekati Agni dan menarik rambutnya.
"Akhhh!" teriak Agni kesakitan.
"Tuan Arga, hentikan!" mohon Miria, dayang terdekat Agni. Dia mendekati kakak beradik itu dengan ketakutan. Dia tahu dengan fakta kalau Arga selalu kasar dengan siapapun.
"Berisik!" cecar Arga. Dia mengeluarkan sihir hitam yang membawa Miria ke melayang di langit-langit kamar.
"Ahhh!"
"Hwaaa..! Hentikan, Paman...! Hentikan...!"
Agni membola mendengar anaknya ikut memohon. "Kau...! Bawa pangeran! Cepat!" perintah Agni sambil berteriak.
Arga menyeringai kecil. Dia berniat untuk menghentikan dayang yang ingin membawa Narasimha kabur. Namun, Agni menghentikannya dengan artefak sihir.
"Cepat pergi!" teriak Agni menahan rasa kesal dan sakit. Air matanya berderai. Hanya Narasimha yang dia punya. Agni tak mau kehilangannya karena ulah sang kakak.
Dayang itu membawa kabur Narasimha, meninggalkan kamar Agni dengan kecepatan seribu.
"Hahahaha!" Arga memegang kepalanya yang terluka karena artefak sihir. "Tanganmu masih berguna rupanya...!"
Bulu kuduk Agni merinding mendengar suara kejahatan. Arga berhenti menarik rambut Agni. Dia melepasnya, tapi mencengkram dagu Agni dengan keras.
"Katakan! Apa putri baru itu hamil?!"
Napas Agni menderu hebat. "Ya, dia hamil!"
"KALAU KAU TAHU DIA HAMIL, KENAPA KAU TIDAK BERBUAT APA-APA?" Arga membuang kasar wajah Agni hingga membuatnya terhuyung.
"Yang Mulia...!" pekik Miria yang hanya bisa melihat kejadian di bawah sana sambil menangis penuh takut dan khawatir.
Arga menatap Agni dengan sepele. Dia berbisik halus, "Aku sudah cukup sabar menunggu selama satu bulan sejak berita kehamilannya. Aku sudah cukup sabar untuk menanti kabar putri baru itu terbunuh olehmu. Tapi, apa...? Apa yang kudapatkan?" Arga menarik rambut Agni, sementara dia mencoba melawan.
"Kau tak melakukan apapun!" Arga menendang perut Agni hingga membuatnya mengerang kesakitan.
Agni tersungkur di atas lantai sambil memegangi perutnya yang sakit. Itu akan menjadi luka lebam yang besar.
"Katakan, apa kau melakukan sesuatu?"
Bibir Agni bergetar. Dia menghela napas dan mendongak. "A--aku melakukannya."
"Apa yang kau lakukan, hmm?" Arga berlutut, menyesuaikan dirinya dengan Agni yang tersungkur.
"Aku meminta Yang Mulia untuk tidur bersamaku."
"Lalu?"
Agni membuang wajahnya dan tertunduk. "Yang Mulia akan memikirkannya lagi."
PLAKKK!
Kali ini tamparan lebih keras mendarat di tempat yang sama. Membuat darah segar mengalir deras dan mengotori gaunnya.
"Kau tahu apa artinya? Dia menolak! Hentikan rasa cinta yang fana itu! Dan lakukan hal yang lebih realistis! Bunuh putri baru itu beserta jabang bayinya! Jangan biarkan dia bahagia dan merenggut semua yang kau punya!"
Napas Agni menderu. Dia marah dan menatap tajam Arga. "Memangnya apa yang aku punya, hah?" Dia tak memiliki apapun. Agni hanyalah boneka yang digerakkan oleh keluarganya.
"Anakmu. Kau melupakannya?" Arga menyeringai lebar.
Iblis! Dia iblis yang berkuasa di jiwa Arga!
"Kalau kau tak mau meracuninya, biar aku saja." Arga berdiri dan membersihkan bajunya yang kusut.
"Jangan...! Kalau kau gagal...," gumam Agni tertunduk pasrah.
'Aku yang akan tertuduh...' lanjut Agni di dalam hati.
"Kau mau melakukannya?"
Agni menggeleng pelan. Dia tak mau melakukan hal yang membahayakan posisinya.
"Kemudian, lebih baik kau diam jika tak bisa melindungi anakmu."
"Aku bisa melindunginya!" ujar Agni yakin. Dia berdiri dengan terhuyung sambil mengepalkan tangannya, menghimpun kekuatan untuk menapak di atas tanah.
"Kau tidak bisa."
"...Aku bisa!"
Arga menatap adik satu-satunya dari atas hingga bawah. Dia melihat kondisi adiknya yang berantakan dan penuh dengan luka. Dia menghela napas puas melihat kondisi memprihatinkan itu.
"Aku tidak melihat tanda-tanda kau bisa melindunginya." Arga berjalan mendekati adiknya. "Mau kuberi tahu caranya?"
Agni memundurkan wajah saat kakaknya semakin mendekat.
"Jual dirimu pada iblis," bisik Arga tepat di telinga Agni.
Agni menahan napas, dia mendorong Arga menjauh dan menatapnya tajam.
Arga terkekeh kecil. "Kenapa? Hanya kau saja yang belum melakukannya di keluarga kita. Aku menyarankan untuk melakukan itu. Bukankah hal itu adalah kebanggaan dalam keluarga kita?"
Agni mengepalkan tangan. 'Gila!'
"Jangan pura-pura suci, Adikku. Kau tahu seburuk apa keluargamu. Dan kau juga tak bisa menyalahkannya karena darah buruk itu juga mengalir dalam tubuhmu."
Arga berbalik. "Yah... aku jadi penasaran kapan darah burukmu itu bereaksi dengan kejahatan? Aku pergi dulu. Kau boleh menantikan kabar baik tentang putri baru itu. Sampai jumpa, Adikku tersayang!"
Dia melenggang begitu saja tanpa rasa bersalah sedikitpun. Tidak, bahkan Arga yang sudah menjual dirinya pada iblis tak mengenal apa itu rasa bersalah.
Agni ambruk di atas lantai. Dia menahan tangis dengan tubuh bergetar.
"Yang Mulia...!" seru Miria melihat darah terus menetes ke gaun Agni.
Agni berbalik dan mendongak. "Miria!" Dia berdiri melihat dayang terdekatnya masih terikat di atas sana dengan sihir hitam. "Jangan bergerak atau kau akan jatuh!"
Agni berlari kecil menuju laci di samping tempat tidur dan mengambil artefak sihir lainnya. Dia mengarahkan artefak sihir itu ke Miria dan wanita itu terjatuh.
Sebelum tubuh Miria menyentuh lantai, Agni mengeluarkan sihir kecil dengan sisa tenaga untuk membuat tubuh Miria melayang beberapa senti dari lantai, Miria pun selamat tanpa cedera.
Sebaliknya... Agni terbatuk dan mengeluarkan darah. Beberapa detik kemudian, dia jatuh pingsan di tempat.
"Yang Mulia!!"
Miria berteriak histeris dan berlari ke arahnya, menyelamatkan putri mahkota yang sudah dianggap sebagai adiknya.
***
Esok hari di Perpustakaan Istana Alba
"Anda tidak boleh bertemu putri mahkota sampai menguasai semua etika istana dengan baik."
"Apa yang terjadi jika bertemu putri mahkota?"
Yera terdiam sambil berpikir.
"Menimbang sikap putri mahkota yang sekarang... saya rasa akan terjadi permusuhan."
Arunika menghentikan tulisannya. Dia mendongak dan berbalik menatap Yera.
"Aku mengerti." Dia kembali menunduk dan menulis catatan.
'Permusuhan....' pikirnya.
"Pesta penyambutan akan dilaksanakan satu tahun lagi. Dan di sanalah pertama kalinya aku bertemu dengan putri mahkota serta bangsawan. Apa ada kemungkinan kami bertemu sebelum itu?"
"Kemungkinan bisa terjadi kapanpun, Yang Mulia. Jadi, anda harus selalu menyiapkan diri jika bertemu putri mahkota sebelum waktunya."
"Baiklah," putus Arunika, kemudian menutup buku catatan. Dia sudah selesai mencatat pelajaran hari ini.
'Huh... bahkan bertemu dengan anggota kerajaan saja harus dipelajari,' batinnya.
Ratu, permaisuri, dan selir datang ke istana dengan cara berbeda. Jika ratu datang, maka hari itu atau esoknya akan ada pesta penyambutan. Ratu juga tidak perlu belajar etika istana karena dia sudah mahir dalam melakukannya. Dalam konteks ini belum ditemukan ratu yang tidak mahir dalam etika istana.
Sementara jika permaisuri datang, maka pesta penyambutannya akan dilakukan sampai dia menguasai semua etika istana. Namun, dalam beberapa kasus yang tercatat di Mahaphraya, ada permaisuri yang tidak mengalami pesta penyambutan. Permaisuri juga tidak boleh bertemu dengan ratu sampai bisa menguasai etika istana, menghindari terjadinya konflik serang-menyerang dari kurangnya pengetahuan.
Dan selir... mereka hanya dibawa atau diserahkan secara cuma-cuma pada raja atau putra mahkota tanpa dinikahi secara sah sehingga pesta penyambutan dan pembelajaran tak perlu dilakukan. Tugasnya hanya menghangatkan ranjang dan bergelayut manja pada pria dengan status tertinggi di Mahaphraya. Dua raja terakhir yaitu Jahankara dan mendiang raja sebelumnya, sama sekali tidak mempunyai selir sehingga istana selir dibiarkan kosong selama berpuluh-puluh tahun, tapi tetap dirawat.
Karena Arunika adalah permaisuri masa depan, maka dia akan mengikuti peraturan istana nomor dua.
"Ini sudah waktunya istirahat," ujar Yera melihat jendela perpustakaan.
"Aku tahu, aku tahu," sahut Arunika bernada. Sebab itulah dia menutup bukunya. Arunika berjalan menuju sofa dan meluruskan kakinya di sana.
"Akhir-akhir ini aku sering merasakan pegal. Padahal perutku belum membesar, tapi semua tubuhku terasa pegal," heran Arunika sambil memijit tubuhnya.
Eni berlutut dan menawarkan diri untuk memijit. Arunika tersenyum, mempercayakan tubuhnya untuk menerima pijitan dari Eni dan tak lupa untuk berterima kasih padanya.
Para pelayan masuk membawakan camilan dan obat herbal untuknya.
"Obat herbalnya, Yang Mulia." Gray memberikan mangkuk hijau pada Arunika, yang diterimanya dengan mau tidak mau.
Seperti biasa, Arunika menutup hidungnya dan menelan dalam sekali tegukan.
Alis Arunika mengerut sembari menatap mangkuk yang kini kosong.
"Tumben sekali rasanya tidak pahit," celetuk Arunika sambil menyeka bibirnya yang basah. Dia memberikan mangkuk kosong itu pada Gray.
Apa karena kemarin Arunika protes pada Gasendra sehingga dosis pahitnya dikurangi? Ah... tapi Gasendra tidak bisa murah hati jika itu untuk kesehatannya.
"Ummphh!" Arunika menutup mulutnya.
Gray, Eni, dan Yera langsung menoleh padanya begitu mendengar suara Arunika.
"Gray...?" panggil Arunika dengan gemetar. Tangannya penuh darah yang keluar dari mulut.
"Yang Mulia!"
Yang terakhir Arunika lihat adalah Eni yang mendekat padanya dengan wajah panik.
Setelah itu, semuanya menjadi gelap, dingin, dan menyakitkan.
———