***
Sesungguhnya Gasendra memang perayu ulung dan Arunika baru tersadar setelah dia terbangun lebih dulu di balik selimut tebalnya. Arunika dengan telak termakan rayuan pria itu sehingga membuatnya membiarkan pria yang belum berstatus sebagai suaminya, tidur di atas ranjang yang merupakan tempat pribadinya.
Arunika menggeliat saat merasakan pinggang rampingnya yang dipeluk erat oleh Gasendra. Dia tersenyum tatkala mendapatkan wajah pulas Gasendra yang sedikit tersembunyi di balik selimut.
Ada perasaan senang yang membuncah di dalam dadanya. Tak lain dan tak bukan karena mendapatkan pria yang dicintai sedang tidur di sampingnya dengan posisi saling memeluk. Membuatnya yakin jika di hari yang membahagiakan ini, perasannya akan terus membaik.
Dalam diam, Arunika berdoa pada Dewi agar apa yang dia rasakan sebelum fajar menyingsing ini akan terus terjadi sampai maut menjemput salah satu dari mereka.
Omong-omong Gasendra terlihat sangat damai dan pulas dalam tidurnya.
'Sudah berapa lama kau tak tidur dengan benar?' batinnya khawatir.
Dia berpikir untuk mengelus wajah Gasendra. Arunika mengeluarkan tangan kanannya dari balik selimut dan mulai mengelus wajah Gasendra.
"Alisnya tebal dan itu sangat cantik," puji Arunika dengan suara pelan saat mengelus garis alis Gasendra.
Tangannya perlahan turun ke bagian hidung. Dielusnya hidung yang mancung itu dengan perlahan. Mencoba tenang agar tak mengganggu tidur lelap milik Gasendra.
"Bagaimana bisa seindah ini?" kagum Arunika tersenyum simpul.
"Itu karena gen orang tuaku yang hampir mendekati sempurna," jawab Gasendra dengan suara serak. Arunika terkejut sampai menarik tangannya kembali, namun ditahan oleh tangan Gasendra.
"Tetap berada di sana dan eluslah sepuasmu. Hitung-hitung sebagai latihan karena aku akan meminta kau melakukan itu setelah kita menikah," ujar Gasendra masih dengan mata tertutup.
Arunika mengedipkan matanya berkali-kali. Dia membuka suara dengan perlahan. "Apa kau sudah bangun, Gasendra ...?"
"Jika tidak, siapa yang bicara, Sayang?" Perlahan manik berwarna hitam itu terlihat dan menatap Arunika dengan lekat.
"Sejak kapan ...?" tanya Arunika dengan ragu-ragu.
Gasendra merapatkan dirinya pada sang kekasih yang membuat Arunika merasa sedikit sesak.
"Hmm, sejak kau menggeliat di dalam pelukanku?"
Dia tersentak. "Sudah selama itu, tapi kau hanya diam saja?"
"Aku hanya menikmatinya, Arunika." Gasendra menurunkan pandangannya pada Arunika dan tersenyum. "Selamat pagi, Calon istriku."
"Emm, ya ...? Se-selamat pagi juga," balas Arunika dengan mata yang berkeliaran. Sungguh jantung Arunika terasa akan melompat jika dia melihat dengan jelas wajah Gasendra.
Saat waktu-waktu biasa saja Gasendra sudah mempesona, apalagi saat ini. Dimana di mata Arunika yang melihatnya sekilas, Gasendra terlihat sangat menggoda dengan rambut yang berantakan, dua kancing baju yang dibiarkan terbuka begitu saja. Dan yang paling penting, suara serak yang terdengar jelas di telinganya membuat Arunika seperti akan kehilangan akal dan citra dirinya yang sudah dijaga baik-baik selama ini.
"Hanya itu saja? Aku sedikit kecewa. Kau bahkan tak memanggil namaku," desah Gasendra.
"Uh ... jangan menggodaku terlalu jauh, Gasendra."
"Tidak. Memangnya siapa yang sedang menggodamu? Aku ini sedang merajuk tau," balas Gasendra dengan menaikkan sebelah alisnya.
"Kau itu perayu ulung, jadi di mataku kau selalu menggoda ...!"
Tubuh Arunika menegang saat tangan Gasendra menangkup kepalanya dan meletakkan bibirnya di atas bibir Arunika. Semburat merah tercetak saat Gasendra mulai melancarkan aksi dengan menjilat tepi bibirnya berkali-kali. Ada sensasi geli dan penasaran saat dia merasakannya.
Dengan desakan basah dari Gasendra, Arunika mulai membuka bibirnya dan membalas ciuman pembuka di hari itu. Lidahnya saling membelit, bibirnya saling meraup satu sama lain hingga menimbulkan suara bising di kamar Arunika.
Hawa panas mulai melingkupi mereka tatkala Gasendra semakin intens menciumnya serta memutar tubuh dan mengekangnya dengan posesif.
"Ini baru yang namanya menggoda," jelas Gasendra setelah mengakhiri ciumannya dengan kecupan ringan di bibir dan juga leher jenjang nan putih milik sang kekasih.
"Be-berhenti, Gasendra!" sentak Arunika yang menahan kepala sang pria saat mendekat lagi ke perpotongan lehernya. Bisa gawat jika Gasendra meninggalkan jejak di hari pernikahan.
"Baik, aku akan berhenti di sini." Gasendra menjatuhkan tubuh besarnya di samping Arunika sehingga membuat ranjangnya bergetar. "Aku menantikan pernikahan kita, Arunika."
"Baik, baik .... Ku harap kau tidak ketakutan melihat riasanku nanti," ujar Arunika dengan tawa kecilnya.
Gasendra mengusap rambutnya sambil mendesah kasar. "Oh astaga ... riasan kematian di upacara pernikahan. Berdoa saja semoga aku tidak lari melihat riasanmu nanti, Dewi kematian," goda Gasendra dengan seringai kecil.
"Dasar perayu ulung!" cibirnya. Arunika bangkit dan berjalan menuju kursi kecil di dekat ranjang. Dia mengambil jubah Gasendra yang disampirkan rapih di sana.
"Kembalilah, Gasendra. Sebentar lagi fajar akan menyingsing," kata Arunika berjalan mendekatinya dengan jubah tersampir di tangan.
"Ya, kurasa aku harus kembali sekarang." Gasendra menyingkap selimut dan turun dari ranjang. Dia menghampiri Arunika dan meminta jubahnya dengan gerakan tangan.
"Biar aku yang pakaikan," ujar Arunika membuka jubah Gasendra. Sang kekasih tertawa kecil, namun segera melebarkan tangannya agar membantu Arunika dalam melakukan pekerjaan.
"Aku sudah merasakan hubungan suami istri pagi ini," celetuk Gasendra menatap Arunika.
Dia tersenyum kecil menanggapi, sebelum akhirnya berkata, "Hari ini memang akan terjadi. Nah, sekarang kau bisa pergi, Yang Mulia."
"Aku menantikannya."
"Ya, ya .... Nantikanlah riasanku, Yang Mulia." Arunika menahan tangan Gasendra yang hendak menariknya lagi. "Sekarang kau harus kembali atau Tuan Balges akan datang ke sini dan menghancurkan semuanya."
"Arunika ...."
Dia tak peduli dengan rengekan Gasendra dan mendorongnya mendekat pada jendela. Dia juga membuka kunci jendelanya dan mengode pada sang kekasih agar segera pergi dari kamarnya. Seperti seorang kucing yang diusir oleh tuannya.
"Astaga, baiklah, baiklah ...." Gasendra berpaling padanya sambil tersenyum. "Sampai jumpa nanti, Dewiku." Dia melompat dari jendela dan menghilang begitu saja tanpa jejak. Meninggalkan Arunika yang terkejut dengan kelakuannya karena melompat tanpa aba-aba.
"Aku tak percaya akan menikah dengan perayu ulung seperti itu." Arunika menutup kembali jendelanya. "Ku harap jantungku akan aman-aman saja." Dia menghela napas panjang, kemudian berjalan gontai menuju ranjang dan merebahkan dirinya di atas sana.
***
Embusan dingin menyentuh tubuhnya, membuat bulu kuduk Balges berdiri. Dia menoleh pada satu tujuan, di mana sang pangeran telah kembali dengan menggunakan teleportasi mana dan berada di tengah ruangan, lengkap dengan jubahnya.
Gasendra menoleh pada Balges yang berdiri di dekat ranjang.
"Kau memang sangat setia, Tuan ksatria."
Balges tak menjawab, namun menatapnya dengan sengit. Dia ingin dengan lancang memarahi sang pangeran, namun niat itu diurungkan.
"Apa-apaan tatapan itu, Balges Ivan?" tanya Gasendra dengan acuh tak acuh. Dia berjalan mendekati meja kecil di dekat ranjang.
Lagi-lagi Balges urung untuk menjawab dan mengelak dengan memberikan pertanyaan.
"Tidur anda nyenyak, Yang Mulia?"
Tangan Gasendra menuangkan air pada gelas keramik. "Sangat nyenyak," jawabnya sebelum meminum air di gelas sampai tandas.
"Yang Mulia Raja sudah tiba," ujar Balges mengabarkan Gasendra dengan suara yang amat jelas. Seakan-akan dia merasakan kepuasan batin dalam dirinya.
"Raja sudah tiba? Sepagi ini?" tanya Gasendra dengan mata terbelalak. Dia meletakkan gelas di tempatnya. "Apa beliau mengatakan sesuatu?"
Balges mengangguk cepat. "Ya, beliau sudah datang dan menunggu anda di ruangannya."
Dengan tubuh yang tiba-tiba terhuyung ke belakang dan tangan yang memegangi kepala, Gasendra berkata, "Rasanya kepalaku sakit lagi, Balges."
"Haha ... alasan yang sama tidak bisa diulangi lagi, Yang Mulia. Lebih baik anda bertemu dengan Yang Mulia Raja sebelum beliau benar-benar marah pada anda," ujar Balges memberikan saran. Dia juga tidak bodoh sampai harus tertipu dua kali dengan alasan yang sama.
Gasendra menghentikan sandiwaranya dan menatap lurus pada ksatria sekaligus teman satu-satunya sejak kecil.
Balges tersenyum manis, senyuman yang sangat terlihat dipaksakan.
"Lalu Yang Mulia ... obat yang anda minta ada di atas meja itu juga. Saya harap anda meminumnya dengan baik," jelas Balges diiringi senyum palsunya.
Gasendra melirik obat yang benar-benar berada di sana. Dia menghela napas kasar dan memutuskan untuk bergegas menuju ruangan Jahankara.
"Baiklah. Doakan aku agar tetap menjadi mempelai yang tampan dan keren pada hari ini."
Sudut bibir Balges berdenyut. Dengan segenap ketulusannya, dia tersenyum manis.
"Semoga anda kembali dengan tubuh yang utuh, Yang Mulia."
Gasendra berbalik dan menatap Balges dengan tercengang.
"Kau benar-benar keterlaluan, Balges. Kalau bukan kau, kurasa kepala mereka sudah berpisah dari tubuhnya."
Balges menunduk dengan menyampirkan sebelah tangannya. "Sebuah kehormatan besar bagi saya, Yang Mulia." Dia mendongak dan tersenyum simpul padanya.
"Uh ... sekarang tingkah kau berubah menjadi seorang bangsawan," sindir Gasendra dengan dahi yang mengernyit.
"Saya memang seorang bangsawan dan saya tulus mendoakan anda."
"... ya, ya ... terima kasih, Kawan!" seru Gasendra meninggalkan Balges yang bersorak penuh kemenangan di kamarnya.
Dia menantikan hukuman yang diberikan oleh Yang Mulia Raja untuk pangeran licik satu itu.
———