***
Sayangnya tidak ada yang terjadi di antara Gasendra maupun Jahankara. Tidak ada Gasendra yang babak belur atau kembali dengan tubuh yang cedera selepas keluar dari ruangan sang ayah.
Pria itu hanya diinterogasi, seperti 'apa yang kau lakukan dengan Putri Arya?' Dan tentu saja Gasendra menjawabnya dengan jujur.
"Saya hanya tidur lelap sambil memeluknya. Dan juga beberapa kali menciumnya."
Entah karena kasihan atau apa, Jahankara melepaskan putranya begitu saja tanpa ada cedera atau pembatalan pernikahan.
Gasendra juga bertanya tentang Permaisuri Agni. Namun, sang raja mengatakan tak ada yang dikhawatirkan tentang dia. Gasendra sedikit lega mendengarnya. Namun, ada yang aneh saat matanya bertemu dengan manik sang ayah. Dia merasakan adanya tatapan khawatir bercampur bangga. Dan Gasendra memutuskan untuk tak acuh dengan hal itu.
Selepas kembali ke kamarnya, Gasendra disambut dengan Balges yang berwajah lesu saat melihatnya tidak cedera sama sekali. Ksatria satu itu juga bertanya apakah Yang Mulia Raja memarahinya sampai mentalnya turun? Namun, hal itu tak terjadi dan membuat Balges menghela napas kasar. Hal itu membuat keduanya berdebat cukup sengit, sebelum akhirnya para pesuruh mengetuk pintu kamar untuk persiapan menjelang pernikahan.
Dan Gasendra langsung menyuruh mereka masuk agar perdebatan antara dia dan Balges terputus.
Gasendra berdiri di depan cermin besar berwarna emas dengan corak yang detail. Dengan sentuhan akhir penutup kepala berwarna hitam, penampilannya sangat sempurna.
Para pesuruh menundukkan kepala saat semua barang sudah dibereskan dan pamit undur diri.
"Sudah tampan dan keren," pujinya terhadap diri sendiri.
Dia berjalan menuju almari dan mengambil sebuah potret yang terletak di dalam saku pakaian. Anehnya ... potret itu masih bagus dan tak tertekuk walaupun diletakkan di dalam saku pakaian.
Sebuah potret melukiskan wanita yang sedang duduk di kursi kayu dan memakai gaun berwarna putih lengkap dengan senyuman tipis serta mahkota berlian di atasnya. Walaupun hanya dari potret, kesan anggun dan sederhana terlukis jelas di sana. Gerak-geriknya yang anggun dan kesederhanaannya yang hanya memakai cincin pernikahan serta mahkota ratu Kerajaan Mahaphraya.
"Ibu."
Itu potret mendiang ibunya sekaligus istri satu-satunya raja yang sekarang, Anindya Phraya.
Gasendra membawa potret itu dengan senyum dan tatapan penuh kasih sayang. Walaupun tak banyak kenangan yang tertinggal, karena saat itu dia baru berumur lima tahun saat sang ibu meninggalkannya. Namun, Gasendra tetap menyayangi dan merindukan ibunya sampai sekarang.
Potret berharga itu dia letakkan di atas meja dan disangga dengan sebuah apel merah.
Pria yang berpakaian pengantin itu berlutut di depan potret ibunya. Dia menangkupkan kedua tangan dan memejamkan mata.
'Ibu, hari ini adalah hari bahagiaku. Ini adalah yang ke dua kalinya, tapi Arunika adalah yang pertama di lubuk hatiku. Tentunya itu setelah ibu, jadi ibu tak perlu cemburu.'
'Aku sudah sering mengatakan ini, bahwa aku mencintainya dan kali ini benar-benar bukan pernikahan politik seperti yang lalu. Aku mohon ... berikan doa dan restu untukku dan Arunika, Bu. Aku sangat menyayangi dan merindukan Ibu.'
Tetesan air jatuh melewati pipinya. Gasendra membuka kedua mata dan menunduk dalam-dalam. Dia merasakan kenyamanan dan ketentraman hati. Terasa seperti sang ibu berada di sisinya dan memeluknya erat.
"Semoga Ibu damai dan bahagia di pelukan Tuhan." Gasendra mengakhiri doanya dengan menatap lurus pada potret di hadapannya.
Tanpa diketahui Gasendra, sejak tadi ada Jahankara yang bersandar di daun pintu dan menatapnya pilu.
'Kalau saat itu aku tak menikahkanmu secara paksa, mungkin perasaan bersalah ini tak akan terlalu besar,' batin Jahankara.
Bibir sang raja terbuka. "Gasendra," panggilnya dengan kasih sayang yang tersirat.
Pria yang dipanggil namanya itu terkejut. Dia menoleh dan mendapatkan raja yang berjalan ke arahnya.
"Yang Mulia." Dia berdiri dan menyambut kedatangan ayahnya.
Jahankara melirik ke belakang putranya. Mendapatkan potret cantik Anindya yang diambil setelah beberapa saat dilantik menjadi ratu. Dia tersenyum simpul dan berkata, "Anindya akan senang karena kau menemukan belahan jiwamu."
"Ya, Yang Mulia," sahut Gasendra dengan kikuk.
Jahankara menoleh ke sekeliling kamar dan bertanya, "Apakah terdengar aneh?"
"Sejujurnya itu masih terdengar agak aneh di telinga saya, Yang Mulia. Anda tahu apa yang telah anda lakukan," tutur Gasendra dengan mantap.
"Kalau begitu ... anggap saja kau tak pernah mendengarnya," putus Jahankara. Dia menghampiri meja kecil dan mengambil potret Anindya.
"Aku minta maaf."
"Untuk siapa, Yang Mulia?" Gasendra mendekati ayahnya dan berhenti dengan jarak satu kaki.
"Untukmu dan Anindya," jawabnya cepat dan tepat.
"... aku mengerti," jawab Gasendra setelah terdiam beberapa saat.
Jahankara melihat potret itu untuk terakhir kali, sebelum menyerahkannya pada Gasendra.
"Ini sudah waktunya, mari pergi ke kuil," ujar Jahankara lebih dulu meninggalkan Gasendra yang memegang potret di tangan kanannya.
Dia memasukkan potret itu ke saku pakaian dan berjalan mengikuti Jahankara.
***
Sementara di rumah Arunika tak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada Gasendra. Dia sudah meminta doa dan restu dari orang tuanya diiringi dengan tangis dan senyuman.
"Arunika, sekarang dengarkan Ayah." Terlihat Yasawirya mengusap matanya dengan sapu tangan.
Arunika mengangguk pelan. Dia menantikan nasehat sang ayah yang biasanya diberikan untuk sang putri di hari pernikahan.
"Jika pangeran membuatmu menangis, kau harus memukulnya dengan keras, mengerti?" Yasawirya memegang erat pundak Arunika, berusaha meyakinkannya.
PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di punggung Yasawirya yang membuatnya merintih kesakitan.
"Lalu setelahnya putrimu akan dihukum mati karena menyakiti keluarga kerajaan," celetuk Carelia di balik kipas tangannya.
"Tidak," Yasawirya menoleh pada istrinya dengan tatapan seratus persen yakin, "dia tidak akan membunuh putri kita karena dia cinta mati padanya."
Yasawirya menoleh pada putrinya. "Oh, lihatlah ...! Pangeran itu sudah cinta mati pada putri kita. Dia tak mungkin membunuhnya. Jika dia membunuhnya, aku yang akan membunuh dia."
Carelia mendesah kasar sembari memejamkan kedua matanya. "Berhentilah, Yasawirya. Kau terlalu berlebihan."
"Itu benar, Ayah. Sangat lancang untuk memukul keluarga kerajaan apalagi Yang Mulia adalah putra mahkota," sambung Arunika sambil tersenyum.
"Uhh ... baiklah. Aku ganti nasehatnya, kebetulan ini juga permintaanku."
Arunika tersenyum, lalu mengangguk.
"Apa itu, Ayah?"
"Jika pangeran kaget dan lari saat melihatmu hari ini, tolong biarkan aku membawamu kembali."
Arunika tertawa mendengarnya. Dia tersenyum simpul dan menjawab, "Itu memang hal yang harus aku lakukan jika beliau melakukan itu."
Yasawirya tersenyum puas, lalu mencium puncak kepala putrinya.
"Ayo kita pergi ke kuil," ajak Carelia dengan senyuman yang ditutupi oleh kipas tangan.
***
Sorak-sorai, warna-warni, dan kebahagiaan terpancar di seluruh jalanan Urdapalay. Para anggota kerajaan yang hadir, termasuk Gasendra dan Jahankara yang menunggangi kuda terlihat berkali-kali lipat bahagia.
Pasukan mempelai pria berhenti di jalan depan kuil. Mereka turun dari atas kuda dan berjalan menuju pintu masuk kuil. Semua yang termasuk keluarga mempelai pria, memisahkan diri dari Gasendra yang kini berada di tengah-tengah pintu masuk untuk menunggu keluarga mempelai wanita datang.
Sembari menunggu kedatangan mereka, Gasendra dan Jahankara melambaikan tangan serta tersenyum pada rakyat yang datang ke upacara pernikahan.
Tak butuh waktu lama, terompet dengan hiasan gading gajah itu dibunyikan. Taburan bunga mawar putih dan merah jatuh menutupi jalan.
Terlihat Yasawirya turun dari kereta kuda, dilanjutkan dengan Carelia, dan terakhir sang mempelai wanita dengan riasan kematiannya.
Arunika dan Carelia melingkarkan tangan mereka pada Yasawirya dan berjalan menuju pintu masuk dengan perlahan.
Berjalan secara perlahan tentunya akan sangat menarik perhatian, apalagi Arunika merupakan salah satu tokoh utama pada hari ini. Dia juga terkenal dengan julukan Putri Bangsawan Arya yang cantik dan sopan.
Dan saat ini mereka kompak berseru maupun berbisik, "Dewi kematian sedang berbahagia!"
Pernyataan itu tak heran jika melihat riasan Arunika yang didominasi oleh warna putih dan hitam. Riasan itu adalah tradisi pernikahan di Mahaphraya yang menunjukkan pada mempelai pria, 'jika wanita yang akan dinikahimu akan terlihat jelek, seram, dan menakutkan seperti ini.'
Maka tak jarang dari mempelai pria yang kaget, ketakutan, lari, bahkan membatalkan pernikahan mereka karena riasan itu. Tapi, para tetua menganggap itu sebagai berkah Dewa dan Dewi, di mana kau akan menemukan cinta sejati yang tak hanya memandangmu dari fisiknya saja.
Para Bangsawan Arya itu menundukkan kepala dan tubuh untuk memberi salam pada sang raja dan pangeran yang berada di depan sana. Ketika keduanya sudah mempersilakan mereka bangkit, Yasawirya melepaskan rangkulan tangan Arunika dengan setengah hati.
Kemudian Arunika dibiarkan jalan sendiri menghampiri Gasendra yang berdiri tampan dan gagah di depan sana.
"Semoga anda selalu diberikan kasih sayang dan rahmat oleh Para Dewa dan Dewi, Yang Mulia Pangeran."
"Semoga kau diberkati karunia-Nya." Gasendra mengulurkan tangan yang langsung disambut Arunika dengan senyuman.
Dia berbisik rendah di telinga Arunika. "Pantas saja banyak pria yang kabur saat melihat riasan itu."
Arunika langsung menoleh padanya. "Anda mengatakan riasan ini seram, Yang Mulia?"
"Aku tak bisa berbohong, dan ya."
Arunika tersenyum dan berbisik tajam. "Belum terlambat jika anda ingin kabur atau membatalkan pernikahan ini, Yang Mulia."
Gasendra membawa tangan Arunika menuju bibirnya dan mengecupnya. Dia mengerling nakal pada Arunika.
"Itu tidak akan terjadi karena aku yang akan menjadi Dewa Kematiannya."
———