Chereads / SUPRANATURAL / Chapter 2 - Chapter 1 - Takdir...

Chapter 2 - Chapter 1 - Takdir...

" Aku tidak mengerti, kenapa bisa begini..." tanyaku kepada ibu.

" Ini sudah ketetapan Tuhan Bas, ibu juga sangat sedih... ibu lah orang yang paling sedih sekarang... tapi kita harus ikhlas, kita harus ridho." jawab ibu dengan nada yang pelan.

Aku berlari meninggalkan ibu, menuju ke dalam kamarku, dan mengunci pintunya. Aku melompat ke atas tempat tidur, dan menutup wajahku dengan bantal yang ada. Aku menangis tersedu – sedu. Hatiku terasa hancur berekeping – keping, sepertinya baru saja aku bercanda dengan ayah kemarin sore, sebelum keberangkatannya dinas keluar kota, dan sekarang aku harus menghadapi kesedihan besar karena mobil yang ayah gunakan mengalami kecelakaan dan menabrak pembatas jalan yang mengakibatkan ayah meninggal dunia di tempat. Aku tidak tahu apa yang terjadi, setahuku ayah adalah sosok yang sangat hati – hati dalam berkendara, ayah bahkan memilih berhenti di pinggir jalan untuk tidur jika ayah sudah merasa sedikit mengantuk.

Tujuh hari sudah semenjak kepergian ayahku, aku masih belum bisa menerima kenyataan. Dimanapun aku menatap, aku selalu melihat sosoknya. Apalagi rumah ini, di setiap sudut rumah ini selalu mengingatkanku hal – hal tentangnya. Ibu terlihat tegar, di hadapan semua orang yang datang, ibu tidak pernah sedikitpun menunjukkan air matanya, dia tetap tersenyum tegar. Terkadang aku berpikir, apakah sekeras itu hatinya, sampai – sampai aku bahkan tidak melihatnya meneteskan air mata.

Malam ini rumah akan ramai didatangi oleh tamu, akan ada acara mengirimkan doa untuk ayah. Aku bangun dari tempat tidur, dan melihat ke arah jendela, kulihat dibawah para tetangga sedang membantu mendirikan tenda di depan rumah. Dengan bergegas aku menghapus bekas air mataku dan mengaca sebentar, " Aku harus keluar..." dalam hatiku. Aku harus membantu mereka mendirikan tenda dibawah. Lagipula tidak mungkin anak laki – laki dewasa malah berdiam diri saja ketika sudah dibantu oleh para tetangga.

Aku bergegas keluar kamar dan turun ke lantai bawah, di arah dapur aku melihat ibu sedang sibuk membawa berbagai macam sayuran untuk dimasak, ibu dibantu oleh para istri tetangga yang jumlahnya lumayan banyak. Lega rasanya berpikir bahwa aku memiliki banyak tetangga yang sangat baik, aku sangat bersyukur sekali.

Malam tiba, ada banyak sekali orang yang datang pada acara malam hari ini. Tetangga, teman – teman ibu dan ayah juga semuanya datang. Aku berdiri di halaman luar pada ujung tenda yang tadi sore dipasang bergotong royong dengan para tetangga.

" Kamu nungguin siapa Bas ?" tanya seseorang dari belakang tubuhku.

" Astaga.... Nobel, sejak kapan kamu datang ? Aku nungguin kamu dan Arya dari tadi disini." Jawabku agak kesal.

" Dimana Arya ?" tanyaku singkat.

" Gak tahu nih, Arya kalau setiap buat janji selalu aja yang datang paling telat." Jawab Nobel ketus.

Nobel adalah salah satu sahabatku sejak kami duduk di bangku sekolah menengah atas, hingga kuliah pun kami tetap bersama, hanya berbeda jurusan saja. Nobel adalah anak laki – laki semata wayang sama sepertiku, dengan perawakan tubuh besar tinggi dan berkulit sawo matang, sikapnya yang terkadang aneh dan lucu membuatku nyaman berteman dengannya sampai saat ini. Tidak ada hal yang kami tutup – tutupi selama berteman, dia selalu ada dan menghiburku ketika aku sedang membutuhkan pertolongan. Rumahnya lumayan jauh, dan agak masuk ke sebuah pedesaan di pinggir kota, dengan tipe rumah bernuansa jawa kuno tapi terlihat megah dan klasik. Selama ini Nobel juga hanya hidup dengan ayahnya saja, ibunya sudah meninggal ketika Nobel duduk di bangku kelas menengah pertama. Nobel pernah bercerita bahwa ayahnya bekerja sebagai seniman, dan terkadang jarang sekali berada di rumah.

Waktu sudah menunjukan pukul delapan malam, Nobel kupersilahkan masuk bersama dengan tamu lainnya di dalam rumah, karena acara akan dimulai sebentar lagi. Aku berjalan keluar, ke tempat semula aku menunggu para tamu yang akan hadir. Dari jauh aku melihat ada seorang perawakan besar tinggi berjalan mendekati diriku. Semakin dekat semakin jelas perawakannya bahwa dia adalah manusia besar pertama yang pernah aku temui dalam hidupku. Tepat saat berada di depan hadapanku, aku menganga, aku menopangkan kepalaku ke atas untuk melihat raut wajahnya yang aku kira mungkin seumuran dengan ayahku, masih tidak terlalu tua, tetapi sangat menyeramkan. Rambutnya ikal dan gondrong, dengan kulit hitam kelam terbakar matahari. Dia menunduk dan menyeringai ke arahku, dan yang kulakukan hanya diam tak bergerak maupun berkata sedikitpun.

" Adrian...? kamu adalah anaknya bukan ?" Tanya orang tersebut.

" I...iya pak, Adrian nama ayahku, aku anaknya. Basupati Adrian..." Jawabku agak gemetaran, sembari mengangkat lengan kananku untuk mencoba bersalaman dengan orang besar tersebut.

" Hahaha... kenapa tidak mirip sama sekali nak ? Ayahmu adalah orang yang pemberani dan gagah." Sembari menyambut lengan kananku untuk berjabat tangan.

Genggaman tangannya sangat kuat, telapak tangannya terasa basah dan besar, " Siapa gerangan orang ini?" tanyaku dalam hati.

" Aku turut berduka cita pada ayahmu nak Bas, aku harap kamu bersabar dan ikhlas..." kata orang tersebut

" Aku adalah rekan kerja ayahmu dulu, sewaktu ayahmu masih belum menikah hingga akhirnya memiliki kamu nak..." Lanjut orang tersebut.

Ayah tidak pernah bercerita kalau dia memiliki teman yang berpostur tinggi besar seperti ini dulu, yang ayah ceritakan adalah dulu sebelum menikah ayah memiliki teman – teman rekan kerja hebat, dan sangat akrab hingga akhirnya ayah memutuskan berhenti bekerja dengan mereka karena untuk keperluan menikah.

Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, dan acara sudah selesai, kulihat orang tinggi besar tersebut sedang berbicara dengan ibu. Terlihat raut wajah ibu tampak serius mendengarkan orang tersebut berbicara. Aku tidak berani datang langsung mendekati mereka berdua, orang tersebut sungguh membuat aku takut, dan bahkan tidak sanggup berbicara banyak. Aku hanya selalu melihat mereka dari jauh, sembari mencoba mengobrol dengan Nobel yang daritadi tidak bisa berhenti bicara dan makan – makanan yang ada pada meja.

" Bas, coba lihat orang itu... seperti Jin ya kalo dilihat dari jauh." Bisik nobel kepadaku.

" Hussss... gak boleh ngomong seperti itu Bel, kamu gak tau ya rasanya berhadapan langsung saat menjamu dia tadi ?" memperingatkan Nobel pelan – pelan, agar tidak terdengar suara kami kalau sedang membicarakan orang tersebut.

" Tapi, kalau dilihat – lihat memang seram ya... apa itu benar teman ayah kamu dulu Bas ?" tanya Nobel.

" Sepertinya memang begitu Bel, ibu juga sepertinya sudah kenal dengan orang tersebut." Jawabku sembari mengarahkan pandanganku ke arah ibu dan orang tersebut.

Tidak berapa lama kemudian, aku melihatnya berjabatan tangan dengan ibu, dia berdiri dan meninggalkan ibu yang masih duduk disana. Aku rasa dia sudah berpamitan kepada ibu. Orang tersebut berjalan ke arah kami, dan berhenti tepat di depan kami berdua. Dia berjabat tangan dengan Nobel, dan menatapnya sebentar, lalu tersenyum. Kulihat Nobel tampak seperti orang bingung dan bersikap sama seperti aku sebelumnya pada saat berjabatan tangan dengan orang tersebut.

" Nak Bas, boleh aku berbicara sebentar saja denganmu...? Antara aku dan kamu saja ?" Pertanyaan nya memecahkan lamunan kami berdua.

" Bo... Boleh Pak..." jawabku gugup.

" Mari ikut denganku nak Bas, nak Nobel saya pinjam temannya dulu ya sebentar..." Orang itu tersenyum kepada Nobel.

Aku mengikutinya sampai di halaman luar, tepat di ujung tenda tempat aku berdiri menyambut para tamu yang hadir tadi. Dia berbalik arah, kemudian menatapku dalam – dalam. Tatapan matanya sangat tajam, seolah olah orang tersebut ingin membunuhku saja.

" Aku rasa setelah ini, kamu akan menghadapi banyak kesulitan nak Bas..." kata orang tersebut.

" Apa maksud anda pak ? Kesulitan seperti apa ?" aku memberanikan diri untuk bertanya.

" Nanti kamu akan tahu sendiri, dan jika memang kamu sudah tidak sanggup lagi, maka datanglah ke tempatku nak Bas... Aku akan menceritakan semuanya kepadamu. Akan aku ceritakan apa yang tidak diceritakan oleh ayahmu dulu." Jawab orang tersebut.

" Cerita apa ? Apa yang disembunyikan oleh ayahku ? dan... dan apa maksudmu dengan kesulitan yang akan aku hadapi ?" tanyaku ketus. Kini aku seperti tidak sadarkan diri bertanya, karena orang tersebut menceritakan hal yang aneh secara tiba – tiba. Kesulitan... Hal yang tidak diceritakan ayahku... semua itu membuatku menjadi penasaran sekaligus sedikit emosi.

" Hahahaha... lambat laun, kamu jadi mirip seperti dia juga ya nak Bas, seperti ayah kamu yang selalu memiliki rasa penasaran yang besar." Orang tersebut berbicara sembari tertawa besar. Tawanya sangat mengerikan dan mengejek sekali.

Aku terdiam, tidak dapat berkata apa – apa lagi.

" Kelak, kamu akan tahu nak Bas... Kelak, kamu yang akan datang sendiri kepadaku. Cepat atau lambat... Hahaha..." Tertawanya terdengar sangat memekik di telinga.

Aku mematung, tidak dapat melakukan apapun lagi. Entahlah, seperti ada sesuatu yang aneh ketika dia sedang berbicara ataupun tertawa. Aku takut... Dia pergi berbalik arah meninggalkanku yang berdiam diri mematung, sebelum pergi dia memegang tanganku yang mungkin sudah berkeringat dingin dan memberikanku secarik kertas. Dia menghilang dari pandangan... dia menghilang ditelan kegelapan malam di ujung jalan sana.

Beberapa saat kemudian dari arah berseberangan kulihat seseorang sedang mendorong sepeda motornya dengan terburu – buru. Aku agak menyipitkan mataku agar raut wajah orang tersebut bisa kulihat dengan jelas, perlahan tapi pasti, wajah orang tersebut sudah mulai bisa kulihat jelas, aku mengenalnya. Dia Arya !!!

Aku berlari menujunya, mencoba untuk membantunya. Kulihat keringat yang menetes di sekitar wajah dan lehernya, dia sangat lelah. Kubantu Arya mendorong motornya ke dalam halaman rumahku, di sana Nobel melihat dan langsung berlari menghampiri.

" Arya, motor kamu kenapa ? " tanya Nobel penasaran.

" Aku tidak tahu, dari kosan motor ini normal – normal saja, kemudian pada saat masuk gapura selamat datang di perumahan Adrian, motor ini tiba – tiba mati mendadak." Jawab Arya tersengal – sengal. Keringatnya terlihat menetes di dahi dan lehernya. Tampaknya dia mendorong motornya sangat jauh, hingga sampai di rumahku ini. Setelah motornya diparkirkan, aku bergegas ke dalam rumah untuk mengambil air minum dan makanan .

" Kamu pasti belum makan ? Ini masih banyak sekali makanan yang belum dimakan, ibu juga buat makanannya sangat banyak." kataku sembari memberikan makanan dan minuman kepada Arya.

" Iya, makasih banyak ya Adrian, tau aja kamu kalau aku lapar." Jawab Arya.

"Anak kosan seperti kamu pasti kalau malam jarang makan, males keluar dari kosan. Ya kan ?" Ejek Nobel sembari tertawa.

Arya adalah sahabatku yang lainnya, Aku, Arya dan Nobel. Kami seperti tiga serangkai saja. Walaupun Arya baru kami kenal ketika kami sudah duduk di bangku kuliah. Arya berperawakan tinggi, dengan tubuh sedang. Tidak gemuk dan tidak kurus juga. Dia adalah orang dengan penampilan yang paling ideal diantara kami. Dengan rambut yang pendek dan terkadang sering berdiri – diri seperti duri landak. Dari kami bertiga Arya adalah orang yang paling dewasa dan bersikap sangat bijak dan selalu berpikir jauh ke depan. Dia lah yang selalu menasehati aku dan Nobel ketika melakukan kesalahan atau berbuat yang aneh – aneh. Arya tinggal sendirian di kosannya dekat kampus. Seluruh keluarganya berada di Jawa Timur, dan kami berdua belum pernah bertemu dengan mereka. Ketika kami bertiga berkumpul, waktu pasti terasa sangat cepat berlalu. Entah kenapa, aku merasa hanya mereka berdua yang bisa menenangkan hatiku, dan selalu ada disaat aku membutuhkan.

Hingga akhirnya malam lah yang memisahkan kami bertiga. Arya diantar pulang oleh nobel ke kosannya, kebetulan sekali memang satu arah, dan aku mengantar mereka sampai depan halaman rumahku, lalu melihat mereka menghilang ditelan kegelapan.

Beberapa hari telah berlalu, lambat laun luka di hatiku karena ditinggal pergi oleh seorang Ayah mulai memudar, tetapi mungkin akan meningalkan bekas seumur hidupku. Aku mulai menjalani hari – hariku seperti biasa, memulai semua aktivitasku dengan penuh semangat, fokus agar kuliah bisa selesai dengan cepat.

Hari ini tepatnya hari Kamis jadwalku agak padat, banyak sekali tugas – tugas yang menumpuk akibat beberapa hari aku tidak masuk kuliah. Aku harus kesana kemari mencari dan bertanya kepada teman – teman berbagai referensi untuk beberapa tugas, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan. Disana aku habiskan seluruh waktuku untuk menyelesaikan tugas, hingga sore hari. Nobel dan Arya yang mengajakku untuk pulang bersama saja tidak aku hiraukan sama sekali. Entah kenapa aku terlalu fokus untuk semua tugas – tugas ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore, dan aku memutuskan untuk keluar dari perpustakaan dan berniat untuk mencari segelas kopi ataupun cemilan di kantin. Segelas kopi susu dan sepiring kentang goreng ditambah saus sambal menjadi temanku sore ini. Aku melihat keadaan sekitar, masih banyak anak – anak mahasiswa yang berada di kantin, ada yang sedang fokus di depan laptop, adapula yang hanya sekedar duduk bersama teman – temannya. Rasa kopi yang agak pahit pekat ditambah manis susu yang sangat terasa malah membuat rasa lelahku berkumpul di kelopak mata. Entah kenapa, tubuh ini baru terasa sangat lelahnya ketika sudah mendapatkan cairan dan sedikit cemilan. Aku mencoba untuk menyenderkan kepalaku ke sandaran kursi karena terasa berat. Mencoba memejamkan mata dan menghirup nafas panjang. Tenang dan damai.

Beberapa saat aku membuka mataku, terkejut. Seperti ingin terjatuh dari jurang yang sangat tinggi. Hampir jatuh dari kursi yang aku duduki, dan hampir menumpahkan kopi susu yang aku pesan. " Astaga..." dalam hatiku.

Kulihat ke sekeliling, tidak ada satu orang pun. Warung – warung yang ada di kantin juga semuanya sudah tutup. Hanya tinggal aku sendiri. Kulihat jam dan menunjukkan pukul sebelas malam. "Gilaaa!....perasaan baru saja aku memejamkan mata." Dengan spontan aku berdiri dan membereskan barang – barangku yang ada di meja dan mencoba meninggalkan kantin. Aku berjalan menyelusuri lorong kampus yang sudah tidak ada satu orang pun, gelap dan terasa sunyi, sengaja mempercepat langkah kaki agar dengan cepat pula tiba di pelataran parkir di belakang gedung kampus.

Perasaanku sudah mulai tidak karuan, entah kenapa hatiku mulai berdebar, aku merasa ada sesorang yang sedang mengamatiku dari kejauhan.

"Sebentar lagi sampai..." aku bergumam sendiri.

Hanya tinggal melewati gedung belakang, dan tiba ditempat aku memarkirkan sepeda motorku.

Dari kejauhan aku melihat ada seseorang di ujung gedung belakang, bertubuh pendek. Ah, tidak... tingginya kurang lebih sama denganku. Terlihat samar dari jauh, sembari berjalan cepat, aku mengamati sosok yang ada di ujung gedung tersebut, semakin dekat, dekat, hingga akhirnya aku menghentikan langkah kaki ku. Itu seperti seorang wanita, bertubuh kurus dan berambut panjang dengan menggunakan gaun panjang tanpa lengan berwarna merah menyala yang terlihat kebesaran dipakai olehnya. Dia menghadap ke arahku, dengan wajah menunduk dan ditutupi oleh kedua tangannya. Aku mencoba berjalan kembali, perlahan tapi pasti seorang wanita tersebut mulai tampak sangat jelas sosoknya. Gaun itu terlihat lusuh, dan kotor. Samar – samar juga kudengar wanita tersebut sedikit terisak. " Apakah dia menangis ?" dalam batinku. Saat sudah mulai sangat dekat aku berjalan ke arahnya, tepat saat aku berada di depannya, mungkin hanya sekitar 2 sampai 3 meter saja, tiba – tiba saja angin berhembus kencang, hingga mataku kemasukan debu dan pasir yang ada di jalan tersebut. Aku mencoba menggosok kedua mataku dengan punggung – punggung jari tanganku, agar perih yang terasa sedikit menghilang, hingga setelah aku membuka mata dan mendapati sosok wanita di depanku tersebut menghilang.

"Adriaaaan.... ?" terdengar suara berbisik di belakang tubuhku.

Suara itu tampak sangat dekat di telingaku, aku seperti mersakan hembusan nafas orang tersebut ketika memanggil nama panggilan Ayahku.

"Wanita... !" dalam hatiku, Ini suara seorang wanita, apakah ini seorang wanita yang tadi berada tepat di depanku ?

Aku mencoba untuk membalikan tubuhku ke arah belakang, penasaran dengan seorang wanita yang memanggil nama Ayahku. Ketika aku berbalik, seketika tubuhku kaku, aku bergetar hebat, wajahku tepat berhadapan dengan wajah wanita itu. Dia tersenyum kepadaku, "Adriaaan ?" katanya pelan. Aku bisa mencium bau nafas wanita itu, bau yang sangat tidak enak sekali, seperti mayat binatang yang sudah membusuk berhari – hari. Sosok wanita tua yang menyeramkan, dengan wajah yang sangat mengerikan dan memiliki gigi – gigi yang rapat, tapi sangat runcing. Aku mematung, berdiam diri, tetapi kakiku terasa bergetar sangat hebatnya, ingin sekali aku berteriak, tetapi rasanya mulutku tidak bisa mengeluarkan suara. Aku hanya bisa terus menatapnya, tanpa bisa memejamkan mataku sama sekali. Lalu, aku merasa kedua lengannya menggapai leherku, dengan jari – jari yang sangat panjang dan juga kuku yang panjang. Terasa sangat kasar, dan seperti berpasir di kulit leherku, dia mencoba mencengkram, dan aku berusaha sekuat tenaga untuk mencoba bergerak agar aku dapat lepas dari cengkraman sosok wanita ini.

" Ya Tuhan, apakah aku akan mati disini ?" tanyaku dalam hati.

Tangan dari sosok wanita itu semakin kuat mencengkram leherku, dan aku sudah mulai kesulitan bernafas. Aku bahkan masih tidak bisa bergerak sedikitpun.

" Woofff... Woooffff..." tiba –tiba saja terdengar suara lolongan anjing milik salah seorang penjaga kampus.

Sosok wanita itu memalingkan wajahnya ke arah anjing tersebut, dan tidak tahu kenapa aku sudah mulai bisa menggerakan anggota tubuhku. Dengan segera aku mencoba menggapai lengan sosok wanita yang mencengkram leherku tersebut, aku berpikir bisa melepaskannya dan mencoba kabur, tetapi ketika aku mencoba memegang kedua lengan sosok wanita itu, aku seperti menembusnya. Mulutku menganga, melihat kedua lenganku yang menembus lengan sosok wanita itu.

Sosok wanita itu mundur beberapa langkah, dan tersenyum sangat menyeramkan kepadaku. Tidak habis pikir, yang kulakukan adalah lari sekencang mungkin setelah lepas dari jeratan wanita tersebut. Aku bahkan tidak berani menoleh ke arah belakang, yang kulakukan hanya berlari sembari merogoh saku – saku celanaku untuk mencari dimana letak kunci sepeda motorku. Belum sempat menaiki sepeda motorku, sosok wanita tersebut sudah berada tidak jauh di belakangku,

"Ya Tuhaaaaan...." Aku berteriak sekencang mungkin. Mencoba melupakan sepeda motor, dan terus berlari ke arah luar kampus dari belakang gedung untuk mencari pertolongan.

" Toloooong.... Tolong aku...!" teriak aku sembari berlari terus hingga sampai di luar kampus, dan tidak memperdulikan apapun yang sedang mengejar di belakangku. Tiba – tiba terbesit oleh pikiranku untuk terus berlari ke arah kosan Arya yang tidak jauh letaknya dari belakang kampus.

" Adriaaaan....., mau pergi kemana kamu Adrian ?" suara wanita itu terus mengikuti.

Aku semakin berteriak meminta tolong dengan sangat keras, dan anehnya rumah – rumah warga yang kulewati ini seperti tidak ada satupun yang mendengar suara teriakanku. Rumah – rumah ini bahkan tidak bercahaya, dan semuanya gelap gulita.

"Ya Tuhaaaan.... Tolong....." teriaku sembari terisak sekarang.

Aku mencoba melihat ke arah belakang, dan kudapati wanita tersebut melayang di udara dari satu rumah – ke rumah lainnya, seperti tanpa tulang di tubuhnya, saat melayang tubuhnya bagaikan mengikuti arah angin, sangat lentur, dan lengannya bisa kupastikan sangat panjang, bahkan hingga melewati lutut kakinya. Tampak dari kejauhan sudah mulai terlihat kosan Arya, bahkan kosan Arya tersebut terlihat sangat gelap gulita.

" Arya... ! Arya....! Tolong aku Arya...!" Teriaku dari kejauhan agar Arya langsung membukakan pintu kosan nya untukku.

Semakin dekat, hingga akhirnya aku sampai tepat di depan pintu kosan Arya,

"Ya Tuhan.... Arya, tolong bukakan pintu Arya !" teriaku sembari menangis.

Aku menggedor – gedor pintu Arya, hingga akhirnya pintu tersebut mulai bergerak, seperti dibuka dari arah dalam.

"Bas... ? kenapa kamu ?" belum sempat Arya berbicara, aku langsung mendorongnya masuk ke dalam kosan nya, dan menutup pintu kosannya itu dengan menguncinya rapat – rapat.

"Ada... Ada sosok hantu...." jawabku gemetar.

"Tarik nafas Bas, hantu apa ?" tanya Arya heran.

"Hantu, sosok wanita sangat menyeramkan, mengejarku dari kampus hingga sampai sini." Kataku pelan, mencoba untuk mengatur nafas seperti yang Arya instruksikan kepadaku.

Arya diam sejenak, mengamatiku wajahku dan memandang mataku dengan seksama.

" Aku check dulu ya keluar?" sembari mencoba membuka kembali pintu kosannya.

"Tidak ! Jangan.... sosok wanita itu berada di luar Arya!" teriakku karena ketakutan. Aku hanya tidak ingin melihat sosok wanita itu lagi.

"Tidak apa – apa, kamu sudah di kosanku Bas, kamu sudah ketemu aku. Aku hanya ingin melihat keadaan diluar sebentar." Kata Arya mencoba untuk menenangkanku.

Pintu terbuka, dan Arya mencoba untuk mengeluarkan sedikit kepalanya perlahan pada saat pintu terbuka dengan pelan. Seperti sedang mengintip.

"Tidak ada apa – apa Bas....Aman saja kok." Kata Arya

"Tidak, dia mungkin masih melayang di seputaran sini Arya, atau jangan – jangan dia berada di atap kosanmu ini ?" kataku panik.

Arya memandangku lagi, terdiam, kemudian sedikit melengkungkan senyum di bibirnya.

"Kenapa ? Apa yang salah ? Aku tidak berbohong, aku benar tadi melihat..."

"Sudah aman, tidak ada apa – apa diluar sana. Percaya dengan aku Bas, aku juga tidak mungkin membohongimu apalagi ketika kamu sedang panik dan ketakutan seperti ini." Kata Arya memotong kata – kataku.

"Ayo, aku antar kamu ke kampus untuk mengambil sepeda motormu, dan aku ikut kamu sampai ke rumah, nanti aku menginap di rumahmu saja." Ajak Arya kepadaku.

"Tapi, di kampus sudah tidak ada satu orangpun Arya, aku takut. Demi apapun aku tidak ingin melihat sosok wanita itu lagi." Kataku.

Arya kemudian masuk sebentar ke kamarnya, mungkin dia sedang ganti baju, pikirku. Setelah keluar dari kamar Arya mengajak aku keluar dari kosan nya, dan mengunci puntinya.

"Kamu sudah berdua sama aku, paling tidak kalau ketemu apa – apa lagi, kamu sudah tidak sendirian lagi." Kata Arya, sembari tersenyum.

Kami berangkat kembali ke kampus lewat jalan belakang gedung kampus, dimana aku bertemu dengan sosok wanita tersebut. Di perjalanan seketika aku juga baru menyadari bahwa Arya adalah orang yang dapat melihat hal – hal berbau gaib dan mistis. Aku lupa, kalau Arya juga pernah bercerita bahwa di kampus tempat kami ini banyak sekali sosok hantunya.

Sesampainya di parkiran, ketika hendak merogoh saku celana untuk mengambil kunci sepeda motor, Arya mengajaku ke kantin.

"Buat apa ? ngapain kesana?" tanyaku pada Arya.

Aku benar – benar pada posisi sangat takut sekarang, aku tidak ingin melihat hal – hal lain lagi di kampus ini. Lututku sudah sangat lemas dan seperti tidak bisa menahan berat badanku lagi.

"Ada sesuatu yang ketinggalan Bas..., ayo ikut saja." Jawab Arya.

Dengan agak ragu aku mencoba untuk mengikuti Arya, menyelusuri lagi lorong – lorong gedung dan melewati jalan dimana aku bertemu dengan sosok wanita tersebut.

"Di depan situ..." kataku pelan, sembari menunjuk tempat dimana aku bertemu dengan sosok wanita tadi.

"Lihat...., tidak ada bukan ?" kata Arya.

"Tadi aku melihatnya disini, sangat jelas, tadi aku hampir saja mati Arya..." kataku masih dengan suara yang berbisik – bisik.

Sepenjang perjalanan ke arah kantin, aku berjalan tepat di belakang tubuh Arya, yang kulihat juga hanya tubuh Arya, aku tidak berani melihat ke arah manapun. Aku takut ketika aku melihat sekeliling, maka aku akan melihat sosok –sosok lain lagi yang bahkan lebih menyeramkan.

"Brukkk..." suara tubuhku menabrak tubuh Arya.

Kami behenti di depan pintu gerbang kantin.

"Lihat, sesuatu tertinggal disana..." kata Arya mencoba menunjukkan sesuatu kepadaku.

"Apa yang tertinggal Arya ?" tanyaku heran.

Arya menunjuk ke arah dimana aku duduk meminum kopi tadi, aku mencoba memicingkan mata dan terlihat agak samar – samar. Tiba – tiba Arya menepuk pundakku, dan seketika aku seperti terdorong ke tempat dimana aku duduk meminum kopi.

" Bruaaaaak...." Aku terjatuh dari kursi dimana aku duduk.

" Mas, Mas Bas tidak apa – apa ?" tanya penjual kopi langganan ku tersebut.

Aku mendongakkan kepalaku, melihat penjual kopi tersebut, dan merasa heran dengan apa yang terjadi. Seketika langsung berdiri, dan melihat keadaan sekitar. Ramai. Masih banyak mahasiswa dan mahasiswi yang duduk – duduk sekedar mengobrol ataupun mengerjakan tugas di depan laptopnya.

" Mas Bas tadi tertidur disini, saya mau bangunkan, tapi takut malah kena marah mas Bas..." kata penjualkopi tersebut.

" Ah, aku tidak apa – apa pak, terimakasih banyak, saya mau langsung pulang saja..." kataku tergesa – gesa sembari merapikan barang – barangku di meja kantin.

Aku langsung berjalan ke arah parkiran motorku dengan berlari kencang, melihat kampus ini masih sangat ramai sekali, membuatku semakin bergidik dengan apa yang barusan saja aku alami. "Bagaimana mungkin ?" tanyaku dalam hati.

Apa yang barusan saja aku alami terlihat begitu nyata, ini bukan mimpi. Aku benar – benar sendirian tadi di kampus ini. Aku melihat makhluk wanita mengerikan, dan bahkan masih terasa jelas tangan makhluk wanita itu mencengkram leherku. Aku masih merasakannya. Ini bukan mimpi, aku juga merasa bahwa aku datang ke rumah Arya, dan ditolong olehnya...ini semua bukan mimpi... yang tadi itu adalah kenyataan...

" Bas... Bas... Bangun nak, kamu tidak masuk kuliah hari ini ?" terdengar suara ibu dari balik pintu kamarku. Ibu mencoba untuk membangunkanku dengan mengetuk pintu dan memanggil namaku. Aku mencoba membuka mataku secara perlahan, melihat ke arah jam dinding, yang sudah menunjukkan pukul 10 siang.

" Aku lagi tidak enak badan bu, besok saja aku kuliahnya..." Jawabku lemah, sembari menahan rasa pusing yang sangat menyiksa.

" Kalau tidak enak badan, cepat minum obatnya ya Bas... atau berobat." Kata ibu mengingatkan.

" Baik bu,,, nanti aku minum obat persediaan..." jawabku.

Aku mencoba bangun dari tempat tidur, dan berjalan agak oyong ke arah jendela. Aku buka tirai jendela, dan mencoba melihat pemandangan luar rumah... Melihat ke arah bawah, melihat garasi depan rumahku dan disana terdapat seorang laki – laki tua sedang menatapku dari luar pagar. Tatapan matanya kosong, aku mencoba memukul pipi sebelah kanan ku, kemudian melihat ke arah laki – laki tua itu lagi, kini yang kulihat malah bola matanya semuanya berwarna hitam, tidak ada sedikitpun warna putih di mata nya. Dengan cepat aku menutup kembali tirai jendelaku, dan berlari ke arah tempat tidurku. Bersembunyi di balik selimutku, dengan menggetar seluruh tubuh. " Tidak... tidak... ini mimpi. Tidak mungkin siang bolong begini ada hantu..." gumamku dalam hati.

" Bas... Bas... temanmu datang menjenguk nak, bukakan pintu kamarmu. Ada Nak Arya dan Nak Nobel disini..." kata ibu sembari mengetuk pintu kamarku.

Dua hari sudah aku tidak berani keluar dari kamar tidurku, dua hari pula ibu selalu sabar megantarkan makan dan minum. Beruntungnya kamar tidurku sudah dilengkapi kamar mandi, jadi aku tidak perlu takut untuk ke kamar mandi yang berada di lantai bawah rumahku.

" Iya bu, sebentar, aku pakai bajuku dulu..." jawabku tergesa – gesa sembari memakai kaos oblong favoritku.

Saat kubuka pintu, terdapat dua orang sahabatku sudah berdiri menunggu di depannya... mereka berdua tersenyum dan menjabat tanganku bergantian.

" Boleh kami masuk ? kami bawa makanan favoritmu nih, martabak manis spesial keju dan susu..." kata Nobel sembari melangkahkan kakinya ke arah dalam kamarku.

" Wah, terimakasih banyak ya Nobel, Arya... sudah repot repot menyempatkan diri untuk menjengukku..." kataku senang.

Arya dan Nobel langsung menempatkan diri di sofa kamarku, duduk menghadap diriku yang juga duduk di kasur yang tidak pernah aku tinggalkan.

" Kamu sakit apa ?" tanya Arya pelan.

" Aku tidak tahu, beberapa hari ini aku merasa pusing dan badanku seakan akan lemas." Jawabku lemah.

" Itulah kalau kamu banyak begadang Bas,,, Hahaha... jadinya masuk angin kan kamu..." sambung Nobel sembari terkekeh.

" Enak saja ! ini memang waktunya aku sakit saja..." kataku memberi tahu.

Kulihat Arya melihat keadaan sekitar kamarku, dia berdiri dan menghampiri meja belajarku. Dioleskannya jari telunjuk kanannya di atas meja belajar itu.

" Kotor banget... debu nya seperti tidak pernah dibersihkan selama satu bulan..." kata Arya tiba – tiba mengomentari kotornya kamarku.

" Apa kamu tidak bosan di dalam kamar saja selama dua hari ini ?" tanya Arya

" Tidak... aku sedang malas keluar dari kamar kalau sakit..." jawabku pelan.

Aku tidak ingin membahas apa yang sebenarnya sudah kualami selama tiga hari kemarin. Setidaknya aku juga tidak ingin mengingat hal mengerikan tersebut.

" Kamu sudah minum obatnya ? Apa yang kamu minum ?" tanya Nobel sembari memakan martabak manis yang dibelinya itu.

" Itu buat aku atau kamu sebenarnya ?" tanyaku sembari tertawa ketika melihat Nobel memakan martabak manis itu.

" Hahaha... aku lapar Bas, lagian kamu juga lama banget, martabak manisnya tidak dimakan – makan...kan mubazir." Kata Nobel ikut tertawa.

Kami bercerita dan mengobrol sangat banyak hari itu, entah kenapa aku merasa tenang ketika ada mereka berdua di dalam kamar tidurku ini. Seakan – akan semua yang sudah kualami seperti mimpi buruk biasa saja, seakan – akan semua hilang ketika sudah tertawa bersama mereka berdua. Hingga akhirnya waktu menunjukkan pukul delapan malam, dan aku harus merelakan mereka pulang ke rumahnya masing – masing.

" Apa kalian tidak ingin menginap disini ?" ajakku menawari mereka berdua.

" Apa kamu bercanda ? kamu sedang sakit, dan kalau kami disini hanya merepotkan saja..." jawab nobel

" Iya, sebenarnya sih aku tidak keberatan jika kalian berdua menginap disini..." kataku lemah.

" Besok kamu akan segera sembuh Bas, besok kita akan ketemu lagi di kampus." Kata Arya membujuk.

" Baiklah, terimakasih ya Arya, Nobel sudah mau datang menjengukku..." kataku sembari menjulurkan tangan kananku untuk bersalaman.

" Apa yang tidak buat kamu siih sayangggg....hahaha...." jawab Nobel menggoda, sembari berjabatan tangan denganku.

Nobel pergi ke arah luar kamarku terlebih dahulu, sebelum akhirnya Arya menjabat tanganku untuk berpamitan pulang juga.

" Aku harap kamu cepat sembuh ya Bas...Ngomong – ngomong... kamu akan terbiasa dengan apa yang sudah kamu lihat kemarin – kemarin." Kata Arya sembari mencengkram tanganku erat.

" Maksudmu ?" tanyaku terkejut.

" Tidak... lupakan saja Bas. Hehehe..." kata Arya

" Tunggu dulu, katakan apa yang terjadi ?!" tanyaku agak keras.

Arya menatap wajahku dengan mimik wajah prihatin, mencoba melepas jabatan tangannya, dan ingin segera pergi keluar dari kamar tidurku.

" Tunggu Arya!" panggilku agak sedikit membentak.

Aku tiba – tiba tidak bisa mengontrol emosiku, baru beberapa menit yang lalu kupikir semua yang terjadi belakangan ini hanyalah mimpi buruk belaka, tetapi Arya mematahkan semuanya. Aku benar – benar tidak habis pikir dengan ucapannya barusan.

" Apa yang sebenarnya terjadi padaku ?! Apa yang terjadi kemarin sewaktu di kampus adalah kenyataan ?!" tanyaku sedikit emosi.

" Kenapa diam saja ?! Jika kamu tahu sesuatu tentang diriku, tolong katakan Arya, bukankah kamu adalah sahabtku ?" tanyaku lagi.

Arya diam saja, berdiri membisu menghadap diriku, matanya tertuju ke arah mataku. Kami saling bertatap agak lama hingga kemudian Nobel datang kembali ke dalam kamar tidurku.

" Kenapa lama banget sih Arya ? Ayo kita pulang, dliluar sana sudah mendung..." tanya Nobel

" Eh,,, iya, ayo kita pulang Nobel..." jawab Arya sedikit gugup.

Nobel kembali keluar dari kamar tidurku, diikuti Arya dibelakangnya. Ketika Arya sudah hampir mencapai pintu kamarku, dia berbalik arah lagi, dan menatap diriku yang diam mematung melihatnya.

" Aku tidak tahu apa yang terjadi, karena sebelumnya juga kamu tidak bisa melakukan hal – hal seperti itu, kamu bahkan tidak bisa melihat makhluk – makhluk yang kasat mata sebelumnya. Hanya saja, semua yang kamu alami kemarin sewaktu di kampus memang benar adanya." Kata Arya mencoba memberitahuku.

"Deg..." seakan – akan hatiku tidak kuat menerima apa yang barusan saja dikatakan Arya.

" Aku harus bagaimana ?" jawabku lemah.

" Cari tahu pada kartu nama yang terletak di atas meja belajarmu Bas..." jawab Arya sembari tersenyum.

" Mungkin dia tahu sesuatu, aku melihat kartu nama di atas meja belajarmu..." sambung Arya

Arya menutup pintu kamarku, dan aku langsung jatuh berlutut. Tiba – tiba saja kakiku lemas dan tak sanggup menahan berat tubuhku. Aku membisu, diam, dan aku takut dengan hal – hal semacam itu....

Aku takut bila nanti terjadi sesuatu padaku... aku takut dengan hantu...!!!

Keesokan harinya aku berpamitan dengan ibu, aku meminjam mobil Ayah yang sudah diperbaiki untuk beberapa hari kedepan. Aku beralasan untuk cuti kuliah, dan mencoba untuk menenangkan diriku sejenak dari hiruk – pikuk kegiatan manusia biasa atau disebut dengan manusia normal.

" Aku ingin liburan dulu ya Bu, mungkin beberapa hari kedepan aku tidak pulang." Kataku meminta ijin dengan ibu untuk meminjam mobil Ayah.

" Jangan lama – lama ya Bas, ibu sendirian di rumah. Ayahmu juga sudah tidak ada, ibu khawatir nanti kamu kenapa – kenapa..." kata Ibu, sambil memasak sarapan pagi sebelum aku berangkat.

" Memangnya kamu mau kemana Bas ? Teman – temanmu tidak ikut ?" tanya ibu

" Mungkin aku mau ke pantai di daerah Banten bu..." Jawabku seadanya.

Aku tidak mungkin berkata terus terang saat ini, karena jika aku jujur ingin pergi kemana, ibu pasti melarangku menggunakan mobil ayah.

" Yasudah Bas, ini makan dulu sarapan nya, udah mateng... nanti keburu dingin." Kata ibu sembari menghidangkan sarapan di atas meja makan.

" Nanti kalau sudah sampai, kabari ibu ya Bas,,, biar ibu juga tahu kalau kamu sudah sampai dengan selamat, nanti kalau ada apa – apa kamu cepat hubungi ibu ya Bas, biar..."

" Iya... iya ibu... Bas pasti akan hubungi ibu. Ibu tenang saja ya... Bas juga tidak macam – macam kok..." aku memotong pembicaraan ibu.

Terlihat dari kata – kata dan raut wajahnya, ibu sangat khawatir dengan diriku. Aku dan Ibu mencoba untuk memahami satu sama lain. Ibu paham kalau aku butuh menenangkan diri, dan aku paham bahwa ibu tidak ingin kehilangan lagi... ya, ibu takut kehilangan satu – satunya harta yang tersisa. Aku....

Perjalanan dari Jakarta Utara ke Banten kulalui melewati jalan tol yang sialnya aku berangkat pada saat jam orang – orang pulang kerja. Ya, sangat macet sekali, aku bahkan sempat sedikit emosi dengan kendaraan – kendaraan yang berada di depanku, kenapa dan ada apa dengan mereka ini ? kenapa lambat sekali membawa kendaraan di jalan tol seperti ini, padahal di depan sudah tidak terlihat kemacetan lagi.

Sepanjang perjalanan aku mengingat kata – kata Arya yang menyuruhku untuk menemui orang yang ada di kartu nama di atas meja belajarku tersebut. Masuk di wilayah Banten Lama, dan mungkin agak terpelosok. Aku bahkan sulit sekali menemui alamat yang tertera di kartu nama tersebut dengan aplikasi maps di handphone-ku. Serta, aku juga ingat kata – kata orang menyeramkan yang akan aku temui ini. Seingatku, dia pernah berkata bahwa cepat atau lambat aku akan menemuinya. Ya, sekarang aku benar – benar pergi untuk menemuinya.

Setelah berjam – jam perjalanan, akhirnya aku sudah tiba di wilayah daerah rumah orang tersebut. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, dan aku benar – benar tidak menyangka bahwa ini bahkan lebih dari kata terpelosok. Hanya ada beberapa rumah di sepanjang perjalanan, dan itu pun berjarak sangat jauh sekali antar rumah. Lebih banyak tanah kosong dan hutan yang kulihat di sepanjang perjalanan, dan tidak ada lampu penerang jalan di daerah sini. Aku yang berkeringat dingin sendiri melihat pemandangan gelap dan mencekam di sepanjang jalan, berharap bahwa aku tidak melihat hal – hal aneh, dan mulut terus saja berkomat – kamit melafalkan doa. Sesampainya di ujung jalan, aku melihat dua arah yang berbeda, aku mencoba berhenti tepat di pertengahan simpang tersebut, melihat sekeliling di dalam mobil, mencoba untuk cari tahu jalan mana yang akan kutuju.

" Ah, ke kanan... itu jalan Merdeka." Gumamku dalam hati.

" Bruaaakkk...." tiba – tiba suara keras seperti benda yang dilemparkan ke mobilku dari arah belakang.

Aku terkejut bukan main, dan langsung mencoba melihat ke arah belakang mobilku.

" Oh Tuhan....!!!" teriakku di dalam mobil.

Aku mencoba menghidupkan mesin mobilku, dengan gemetar dan meraba – raba kunci mobil, mataku masih fokus melihat ke arah belakang mobil. Aku melihat ada seorang anak berdiri dan memandangku dari belakang mobilku. Matanya menatapku kosong dan terdapat luka sayatan yang sangat besar di dadanya. Aku bahkan melihat isi tubuh anak itu berdenyut – denyut dan darah segar menetes dari dada nya. Ketika mesin mobil sudah hidup aku langsung memalingkan wajahku ke depan, mencoba untuk segera melaju dan meninggalkan tempat itu, tetapi yang ada tiba – tiba anak tersebut sudah berada di depan jalanku. Aku melajukan kecepatan mobilku dan berteriak tidak perduli dengan apa yang ada di depan. Aku menabraknya.... Tidak, dia menghilang... aku tidak menabraknya, aku terus melaju hingga sampai di ujung jalan dan hanya tersisa satu rumah di sana. Ya, rumah yang di depannya terdapat pohon bambu di sebelah kanan dan kirinya, seolah – olah itu adalah gerbang selamat datang untuk memasuki rumah tersebut, dan hanya ada lampu tradisional sebagai penerangannya.

Aku berhenti tepat di depan pohon bambu, dan langsung berlari keluar mencoba untuk menemui orang tersebut. Aku yakin... sangat yakin, bahwa itu adalah rumahnya... Hingga pada saat hampir sampai di rumah orang tersebut, tiba – tiba terdengar suara lolongan anjing yang begitu banyak. Berisik, seperti gerombolan anjing yang sedang mencari mangsa, dan aku melihat ke sekelilingku, tetapi tidak ada apa – apa. Aku kembali mencoba untuk berjalan dan melangkahkan kaki ku ke arah rumah tersebut, dan sesuatu yang dingin menyentuh kedua kaki ku. Aku mengarahkan pandanganku ke arah bawah, dan melihat anak kecil yang tadi sedang merangkul kaki ku dengan erat, wajahnya menghadap ke arahku, dan dia tersenyum sembari mengeluarkan banyak darah dari mulutnya.

" Toloooooonggg...!!!!" aku berteriak sekencang – kencangnya.

Hingga tiba – tiba pengelihatanku buram dan kepalaku pusing.

" Bruuukkk....!!!" suara tubuhku yang terjatuh di atas tanah.

Dalam samar – samar kulihat ada seseorang tinggi besar keluar dari rumah tersebut, hitam... tidak jelas, aku sudah sangat lemas dan pasrah. Aku memejamkan mataku dan sebelum benar – benar hilang kesadaran aku mendengar orang tersebut berbicara.

" Selamat datang nak Basupati Adrian... Hehehehe..." terdengar suara tertawa yang sangat mengerikan di akhir kata orang tersebut.