Chereads / SUPRANATURAL / Chapter 4 - CHAPTER 3 - Balas Dendam

Chapter 4 - CHAPTER 3 - Balas Dendam

Seminggu sebelum kejadian dimana Banna Adrian meninggal, dia sempat datang mengunjungi Banyu Keling di kediamannya. Datang seorang diri dengan wajah panik dan merasa takut seperti sedang dikejar oleh seseorang.

" Apa yang sedang terjadi ? lalu apa yang kamu bawa itu Adrian? " tanya Banyu Keling.

" Ini buruk, kali ini dia mengincarku..." kata Adrian gugup.

" Siapa yang mengincarmu ? Aku tidak pernah melihat kamu setakut ini." Banyu Keling mencoba menenangkan.

" The witch..." kata Adrian pelan.

" Apa maksudmu ? Bagaimana bisa dia mengincarmu... kenapa kamu bisa berhubungan dengan...."

" Aku bergabung dengan mereka... menjadi salah satu pengikut mereka."

" Apakah kamu bodoh ?!" bentak Banyu Keling.

" Kamu tahu sendiri bukan, kalau The Witch itu salah satu dari 5 penyembah iblis ?!"

" Aku tahu... aku..."

" Lalu apa yang kamu bawa itu ?" tanya Banyu Keling sembari menunjuk bongkahan kain yang dari tadi dipeluk oleh Adrian.

" Ini... salah satu kristal yang digunakan untuk menyembah iblis, masing – masing dari para penyembah memiliki kristal ini." Kata Adrian pelan, sembari menunjukkan kristal tersebut.

" Celakalah kita berdua Adrian...!!! Kamu telah membuat mereka kembali membuka mata mereka!!!" teriak Banyu Keling.

" Aku... aku akan pulang, aku mohon aku titip ini sementara padamu. Aku tahu daerah tempat tinggalmu ini bahkan tidak dapat terdeteksi oleh mereka... setelah aku keluar dari daerah tempat tinggalmu, aku akan coba pergi menjauh..." kemudian bergegas pergi dan mencoba meninggalkan rumah Banyu Keling.

" Tunggu dulu... kristal ini. Bagaimana dengan kristal ini ? Kamu juga mengajakku masuk kedalam keadaan ini Adrian...!!!" teriak Banyu Keling.

" Jika aku sudah tidak ada lagi... berikan kristal itu kepada istriku. The Witch tidak akan tahu..."

Setelah Banyu Keling menceritakan tentang pertemuannya yang terakhir dengan ayahku seminggu sebelum ayah meninggal, lantas aku kembali berpikir. Jika memang ini benar – benar bukan cerita bohong, dan jika memang ayahku tidak meninggal karena kecelakaan, melainkan dibunuh oleh seseorang maka aku bertekad untuk mengetahuinya, aku memberanikan diriku untuk masuk ke dalam dunia ini.

" Lantas, apa yang harus kulakukan selanjutnya...?" tanyaku kepada Banyu Keling dan Nyai Kunti.

Mereka berdua saling berpandangan sebentar, dan tersenyum bersama ke arahku.

" Kamu akan kami jadikan orang yang bahkan lebih hebat dari ayahmu sendiri Nak Adrian..." kata Banyu Keling tersenyum.

" Jadi ? aku harus bagaimana ?" tanyaku lagi.

" Tinggalah dulu disini, kami akan melatihmu agar kemampuanmu bangkit sepenuhnya... Beberapa hari kedepan akan menjadi hari yang sulit dan melelahkan." Kata Nyai Kunti berbisik pelan.

Aku menelan air liurku, membayangkan apa yang akan terjadi jika aku menetap disini. Aku membayangkan seperti apa latihan yang akan mereka lakukan padaku agar aku bisa lebih hebat dari ayahku, karena untuk melihat makhluk – makhluk tak kasat mata itu saja sudah membuat nyaliku menciut dan tidak berani membuka mataku. Tapi, jauh di dalam lubuk hatiku tersimpan amarah yang lebih besar sehingga menyulut jiwaku mencoba untuk berani.

" Tunggu dulu, kenapa aku harus ikut berlatih ? Kenapa juga aku harus menjadi lebih kuat dari ayah ? Kenapa aku harus..."

" Orang yang mencelakai ayahmu adalah orang yang ayahmu dan kami berdua kenal Nak Adrian..." Banyu Keling memutus pertanyaanku yang membabi buta.

" Salah satu teman kami dari yang pernah kamu lihat di dalam foto yang kutunjukkan... Orang yang bernama Viktor." Lanjut Banyu Keling.

" Viktor... ?"

Aku langsung bergegas berlari ke dalam rumah Banyu Keling dan mengambil lagi foto tersebut. Mencoba mengamati kembali foto – foto itu.

" Tepat di sebelah kanan ayahmu dia berdiri, Viktor... salah satu orang yang hebat, dan mampu mengendalikan makhluk – makhluk yang kamu sebut sebagai tak kasat mata menjadi budaknya." Kata Banyu Keling.

Pandangan mataku tertuju pada foto itu, lebih tepatnya pada orang yang bernama Viktor. Tiba – tiba saja rasa amarahku muncul dan menggebu – gebu.

" Jika memang benar dialah orangnya... tolong ajari aku bagaimana caranya menghadapi orang ini..." kataku menatap dengan tatapan tajam kepada Banyu Keling.

Banyu keling tersenyum, dia mendekatiku yang berdiri di pojok dekat lemari dan mendekatkan wajahnya ke arah telingaku.

" Apakah kamu berani membunuh seseorang Nak ?" bisik Banyu Keling kepadaku.

" Jika memang itu yang harus kulakukan, aku akan menerima segala resikonya sendirian..." kataku tegas.

" Baiklah, baiklah... sudah cukup ceritanya... kembali ke dalam kamar itu dan beristirahatlah, karena aku memulai latihan pada pagi buta." Kata Nyai Kunti menyela dan menunjuk kamar yang harus aku masuki.

" Tapi..."

" Nyai Kunti yang akan melatihmu, harap ikuti semua yang dia katakan... dan berhati – hatilah, jangan sampai kamu babak belur lagi seperti tadi... hahaha!!!"

Aku memasuki kamar depan tersebut dan menutup pintunya rapat. Berdiri di belakang pintu, dan membuang nafasku sangat panjang. Aku melihat kondisi kamar yang menyeramkan ini, dan mencoba untuk mendekati kasur yang ada untuk beristirahat. Dalam hatiku bahkan aku merasa sangat tidak sabar untuk bertemu dengan orang yang bernama Viktor itu. Ingin rasanya aku membalaskan dendamku dan menanyakan padanya beberapa hal tentang mengapa dia tega menyelakai ayahku. Kenapa dia tega merenggut nyawa ayahku.

Perihal ibuku, aku terpaksa berbohong lagi kepadanya. Aku bilang padanya bahwa ada sesuatu yang harus aku kerjakan perihal kuliahku, aku harus mencari data untuk mata pelajaran kuliahku agar nilainya cukup memuaskan. Aku tidak bilang padanya berapa hari aku tidak akan pulang kerumah, yang jelas akupun tidak tahu sampai kapan aku berlatih, dan sampai kapan akhirnya aku bisa menjadi lebih kuat.

Tiba – tiba aku terbangun dari tidurku dan melihat jam menunjukan pukul tiga pagi. Keadaan kamar gelap gulita, pencahayaan tiba – tiba padam dan aku tidak dapat melihat apapun. Aku mencoba berdiri dan meraba – raba sekitar berharap menyentuh sesuatu untukku gapai, aku mencoba ke arah pintu kamar ini, mencoba untuk keluar dan mencari tahu sesuatu.

" Banyu Keling... Nyai Kunti...." panggilku pelan.

" Banyu Keling... apakah lampu sengaja dipadamkan ?" kataku bertanya, berharap dia mendengar suaraku.

Diam... tidak ada satupun yang menyahut diantara mereka berdua. Suasana seisi rumah tiba – tiba saja sunyi dan sepi, suhu ruangan menjadi sangat dingin dan tidak normal seperti tadi.

"Banyu Keling...?" kataku mencoba agak membesarkan suaraku sedikit.

Aku mendengar suara seorang wanita dari arah belakang rumah ini, mencoba untuk ke arah suara dengan meraba – raba dinding agar tidak terjatuh atau menabrak sesuatu. Semakin aku mendekat ke arah suara, suara itu terdengar seperti menjauh. Suara seperti erangan, atau lebih tepatnya rintihan seorang wanita.

" Nyai Kunti...?" kataku mencoba memanggil namanya.

Aku membuka pintu belakang, dan kulihat sedikit cahaya dari belakang pintu. Ketika aku membukanya, terdapat sebuah lapangan luas dengan dipagari sebuah bambu tinggi, dimana terdapat penerangan tradisional di masing – masing pilar pagar tersebut. Sangat samar – samar dan terlihat tidak jelas, berdiri seseorang tepat di tengah lapangan tersebut dengan posisi membelakangiku. Aku mencoba keluar dari rumah dan berjalan beberapa langkah dari pintu. Penasaran dengan seseorang tersebut, yang menimbulkan suara – suara tangisan tadi. Dari posturnya aku melihat itu sama seperti Nyai Kunti, memakai kebaya dan kain batik sebagai bawahannya.

" Nyai Kunti...? Nyai, kenapa malam – malam seperti ini menangis ?" kataku mencoba mendekatinya dengan perlahan.

" Blaaam..." suara pintu rumah belakang tertutup.

Aku terkejut bukan main dengan suara pintu itu, dan langsung melihat ke arah pintu.

" Banyu Keling...?!" teriaku

" Latihan pertama dimulai Bocah !" suara Nyai Kunti terdengar lantang dari belakang pintu.

" Apa...? Maksudnya apa Nyai...?" kataku heran.

Seketika aku mendengar suara tangisan tadi berubah menjadi suara cekikikan menyeramkan dari belakangku. Aliran darahku langsung seperti naik semua ke otak dan aku merasa merinding sangat hebat karena suara itu. Aku mencoba menoleh ke arah belakang dengan pelan, dan mendapati seorang wanita tersebut sudah membalikkan tubuhnya menghadapku. Dia membungkukkan tubuhnya dan rambutnya yang dipakaikan sanggul seolah lepas dan terurai sangat panjang hingga menyentuh kakinya.

" Hiiiii...hiiii.hiiiiii..hiiiii..." suaranya memekikkan telingaku.

Aku mencoba berlari ke arah pintu, ketika hampir mencapai pintu itu tiba – tiba saja kaki kananku tertarik oleh sesuatu seperti rambut. Menyeretku kebelakang dengan kuat, dan aku berpegangan erat dengan tiang penyangga rumah belakang berharap aku tidak semakin terseret kebelakang. Tangan kananku yang kugunakan untuk berpegangan erat dengan tiang penyangga tiba – tiba terlilit oleh rambut dan memaksaku untuk melepaskannya.

" Toloooongg...!!!" Kataku berteriak pada siapapun yang ada di belakang pintu.

Dan, aku terseret jauh kebelakang karena tidak kuat oleh tarikan yang sangat kuat di tangan dan kakiku.

" Bruuukkk...." terjatuh beberapa meter kebelakang, tepat di tengah – tengah lapangan yang sangat luas. Jauh... sangat jauh terseret hingga aku merasa lecet di seluruh tubuhku.

Aku mencoba untuk berdiri dengan cepat, tapi sudah kudapati wanita tersebut berada di atasku dengan rambutnya terurai di wajahku dengan leluasanya. Aku melihat ke wajahnya, dan mendapati raut yang sangat mengerikan sebagai seorang wanita, terpaku dengan mulut ternganga melihat penampakan mengerikan itu.

" Adriaaaannnnn....." katanya berbisik.

" Huaaaaaaaaaahaaaaahaaaaa....." tawanya seketika memecahkan keheningan malam itu.

Rambutnya menjulur ke arah leherku dan tubuhku, aku diangkatnya hingga berdiri, dan dilemparkannya ke arah pembatas lapangan dengan sangat kencang.

" Brukkkkkhhh..."

" Arrgggghhh....." aku menjerit kesakitan merasakan tubuh bagian belakangku menghantam pembatas lapangan.

" Hentikaaaan....."

" Buuukkkhhh...." perutku terpukul dengan rambutnya dari jarak jauh dan terasa seperti pukulan yang sangat menyakitkan.

" Aku mohooon.... hentikan..." aku bersuara lemah.

Hampir tidak sadarkan diri dan penglihatanku sudah mulai memudar dan gelap. Wanita itu berjalan mendekatiku yang terkulai lemas, mengangkatku dengan rambutnya yang dililitkan pada sekujur tubuhku. Aku lemas tak berdaya, kini posisiku sudah sangat berhadapan beberapa centi darinya. Aku diangkatnya tinggi, dan rambut itu menjalar ke arah leherku. Mencoba untuk mencekik diriku, dan aku dengan respon yang sangat tidak berdaya mencoba untuk melepaskan lilitan rambutnya di leherku. Aku sudah tidak perduli dengan siapa wanita ini atau makhluk apa dia. Aku hanya merasa, sekarang dia mencoba untuk membunuhku, dan aku harus mencoba untuk melepaskan lilitan rambutnya yang semakin kencang itu dari leherku. Aku mulai merasa tercekik, dan merasa kehabisan nafas, tenagaku habis dan air mata sudah mulai mengalir di sela sela pipiku. Aku lemas, dan sebentar lagi aku akan mati tercekik oleh makhluk yang bahkan aku tidak tahu itu apa.

" To...long...."

" Tolonggggggg....." aku berteriak dengan sekuat tenaga terakhirku untuk mencoba meminta tolong.

" Buuugggggggghhhhh....." suara pukulan dari arah samping wajahnya dan membuat wanita itu seketika terlempar ke arah berlawanan.

Rambutnya terlepas, dan aku terjatuh ke tanah.

" Uhuuukkk... uhukkk..." aku duduk dan terbatuk batuk karena bekas cekikan wanita tersebut.

Saat mencoba melihat ke arah depan, kudapati lagi seseorang dengan perawakan besar seperti Banyu Keling tepat berada di depanku, dengan posisi membelakangiku.

" Aku akan menolongmu jika kamu memintanya.... Tuan...." katanya tegas.

Suaranya sangat renyah dan enak di dengar, dengan pakaian khas jaman dahulu, dan memegang sebuah pedang panjang besar di lengan kanannya.

" Siapa...?" kataku terkejut melihat orang tersebut.

" Berdirilah, jika kamu tidak kuat, maka aku juga tidak akan kuat..." katanya yang tidak memperdulikan pertanyaanku.

Aku mencoba beridiri dan sekarang sudah tepat berada di belakangnya. Kulihat wanita itu juga sudah berdiri di seberang sana, memposisikan tubuhnya seolah – olah merangkak, dan rambutnya memanjang dari jauh ke arah posisi kami berdua.

" Slaaasshhh....." suara rambut itu terpotong ketika lelaki itu mengayunkan pedangnya.

Kemudian lelaki itu berlari ke arah depan seraya menangkis dengan pedang setiap serangan rambut wanita itu, mencoba untuk menghampiri wanita yang menyerangnya terus menerus dengan rambutnya secara membabi buta.

Wanita itu mencoba untuk menghindar dan menjauh, tetapi lelaki tersebut sudah menggapai rambutnya, dan menarik wanita yang mencoba menghindar tersebut ke arahnya. Wanita itu terlempar ke arahnya, dan lelaki itu mencoba untuk menghunuskan pedangnya.

" Zzrrrsshhhhhh..."

Pedang lelaki itu tepat menembus leher wanita itu, dan wanita itu melotot terdiam ke arah lelaki itu. Kemudian wanita itu berubah menjadi butiran – butiran cahaya dan terbang menghilang begitu saja.

Aku ternganga melihatnya... baru pertama kali melihat hal yang disebut pembunuhan tepat di depan mata. Tapi.... yang dibunuh itu tiba – tiba saja menghilang begitu saja.

" Proookkk... Proookk...Proookkkk...." Suara tepuk tangan terdengar dari belakang pintu.

Pintu terbuka dan kudapati Banyu Keling serta Nyai Kunti keluar dari belakangnya. Masih dalam keadaan shock dan tidak tahu berbuat apa, aku berdiri seperti mematung di dekat pembatas lapangan.

" Huaaaaarrrggghhhh..." lelaki tersebut tiba – tiba saja melaju cepat menghunuskan pedangnya ke arah Banyu Keling dan Nyai Kunti.

"Zrrraaaanngggggg....." suara benda logam saling bertemu.

Pedang lelaki itu tertahan oleh sebuah benda semacam golok dari wanita yang tiba – tiba muncul di hadapan Banyu Keling dan Nyai Kunti.

" Berani mencoba melawanku...?"

" Bruaaaaaggghhhhh...." suara lelaki itu terlempar sangat jauh ke belakang dari pukulan telak tangan kiri wanita itu di wajahnya.

" Sudah... ini lebih dari cukup. Akhirnya yang kita tunggu juga sudah keluar dari tempatnya...." kata Nyai Kunti santai, sambil berjalan ke arah wanita itu di depannya.

Wanita itu dipegang pundaknya dan menghilang dalam sekejap mata.

" Selamat datang..." Kata Banyu Keling menyeringai.

"Apa ?! Apa yang barusan saja terjadi ?, siapa lelaki itu ? dan apa yang kalian lakukan tadi ? kalian mencoba membunuhku ?"

Lelaki yang terlempar jauh tadi tiba – tiba sudah berada di depanku kembali, dengan posisi yang siap untuk menyerang Banyu Keling dan Nyai Kunti. Aku memperhatikannya dari belakang, dengan tubuh yang tegap dan lebih tinggi dariku, dan aku melihatnya melayang di udara. Kakinya tidak menyentuh tanah !.

" Dialah yang selama ini bersembunyi di dalam dirimu, makhluk penakut yang harus dipancing terlebih dahulu, baru mau menunjukkan dirinya." Kata Nyai Kunti santai.

" Di dunia ini, ada beberapa orang yang memilikinya sejak mereka lahir nak... Ini bukan seperti kembaran gaib atau apalah yang disebut orang lain... Ini adalah makhluk yang memang mau mengikutimu ketika kamu terlahir di dunia ini." Banyu Keling mencoba menjelaskan.

" Kondisi sudah aman, kau bisa kembali ke dalam dirinya..." Lanjut Banyu keling.

" Jika sekali lagi kalian mencoba untuk menyakitinya... maka aku tidak akan segan untuk melawan kalian...." ucap lelaki tersebut.

Kemudian tubuhnya tiba – tiba saja berubah menjadi transparan dan lenyap begitu saja.

Aku menganga, tidak tahu harus berkata apa...

" Ke... Kemana dia ?" tanyaku.

Nyai Kunti mendekatiku, dan tangannya memegang dadaku dengan perlahan.

" kembali ke dalam dirimu...."

Enam minggu sudah berlalu, aku sudah banyak belajar mengenai pernafasan dan tenaga dalam. Aku sudah cukup terbiasa dengan apa yang Nyai Kunti lakukan terhadapku, dan juga terbiasa dengan makhluk – makhluk tak kasat mata yang menyeramkan dan berbagai macam rupa. Aku juga sudah mulai dapat mengeluarkan dan meminta bantuan dari makhluk yang katanya bersemayam selama ini dalam tubuhku. Aku seperti terisolasi dan tidak tahu akan kabar diluar sana, karena selama enam minggu ini aku hanya fokus terhadap latihan, dan tidak pernah sekalipun menghidupkan handphone ku.

Hingga di hari ketiga pada Minggu yang ke tujuh, pada malam harinya Banyu Keling menyuruhku untuk duduk di ruang tamu, karena ada beberapa hal penting yang ingin disampaikan padanya. Suasana tiba – tiba saja hening, aroma kopi pahit dan teh bersatu di seluruh penjuru ruangan ini. Nyai Kunti berdiri di depan jendela dan menghadap ke arah luar rumah Banyu Keling. Banyu Keling mencoba meminum kopinya dengan santai, dan menyalakan rokok yang suda dilintingnya.

" Ada apa...? Tidak pernah aku melihat seorang Banyu Keling serius dan hening seperti ini..." kataku membuka obrolan.

" Ada sesuatu yang harus kita bicarakan, dan aku harap nanti ketika aku sudah menyampaikannya, kamu tetap tenang dan kita harus bisa berpikir bersama – sama untuk memecahkan masalah ini..." Banyu Keling sangat serius.

" Masalah...?" kataku bertanya dengan heran.

Nyai Kunti kemudian membalikan tubuhnya, dan berjalan mendekati kursi bambu yang ada di samping Banyu Keling, dan duduk disana. Mereka berdua menghadap diriku sekarang.

" Rumahmu kosong, ibumu tidak ada di dalamnya... tidak ada satupun orang yang mengetahui kemana perginya ibumu. Terakhir kali ibumu terlihat keluar rumah adalah seminggu yang lalu...." kata Banyu Keling pelan.

Mendengar apa yang barusan saja dikatakan oleh Banyu Keling membuatku sedikit menaikkan sebelah alisku. Aku masih belum bisa mencerna kata – katanya dengan baik. Terlihat juga raut wajah Nyai Kunti yang sedikit layu dan pandangan wajahnya mengarah ke kaki nya.

" Nak Adrian, ibumu hilang sudah seminggu yang lalu…" ucap Banyu Keling sekali lagi.

" Apakah kalian bercanda ? Ibuku mungkin di dalam rumah, ibuku jarang sekali keluar rumah. Dia bisa juga pergi mengunjungi rumah adiknya dan menginap disana." Ucapku pelan sembari mencoba memberi tahu mereka kebiasaan ibuku.

" Tidak ada… terakhir kali aku melihatnya dia pergi bersama dengan seorang lelaki menggunakan mobil, dan sampai sekarang dia belum kembali." Sahut Nyai Kunti.

" Tidak mungkin… ibuku tidak akan pernah pergi kemanapun dengan orang lain selain keluarganya sendiri." Kataku lemas.

Lutut ku bergetar, hatiku tiba – tiba saja kacau dan pikiranku teringat wajah ibu yang sedang tersenyum ke arahku.

" Nak… dia pergi bersama temanmu yang waktu itu pernah berjumpa denganku di malam saat rumahmu mengadakan acara berdoa untuk ayahmu." Kata Banyu Keling sambil mengecilkan volume suaranya.

" Nobel…?" kataku bertanya padanya.

" Aku tidak tahu siapa namanya Nak…" sambungnya.

Seketika aku berdiri dan bergegas lari kearah kamar, mencoba mencari handphone di dalam tas ranselku. Ketika mendapatkan handphone tersebut aku mencoba untuk menghidupkannya dan berlari keluar rumah Banyu Keling. Berputar – putar di halaman rumahnya yang luas untuk mendapatkan sedikit sinyal yang sangat susah di dapatkan di daerah sekitar sini. Setelah beberapa menit berputar hingga akhirnya mendapatkan sinyal, aku langsung mencoba menghubungi Nobel. Sekali, hingga percobaan ke empat kali panggilan dariku tidak dijawab olehnya. Kepanikan yang sedang terjadi padaku menjadi bahan tontonan oleh Banyu Keling dan Nyai Kunti yang berdiri bersampingan tepat di depan pintu rumah. Wajah mereka datar dan tidak ada emosi sama sekali yang ditunjukkan oleh mereka.

" Mungkin Nobel sedang mengajak ibuku berjalan – jalan atau ibuku meminta Nobel untuk mencariku bersamanya." Kataku yang berusaha berpikir positif dan mencoba mendekati Banyu Keling dan Nyai Kunti di depan pintu rumah.

" Tidak, ibumu sudah disandera olehnya Nak Adrian…" kata Banyu Keling pelan.

" Aku harus pulang, aku akan ke tempat Nobel. Aku akan bertanya padanya…" kataku yang langsung berdiri dari duduk ku dan mencoba mengambil barang – barangku di kamar.

Banyu Keling diam membisu, memperhatikan gerak – gerik ku, dan kulihat Nyai Kunti menunduk diam tak memalingkan wajahnya barang sebentar saja. Aku sibuk merapihkan barang – barangku dengan tergesa dan akan kumasukkan semua ke dalam tas ranselku. Mataku tak tersadar berkaca – kaca, nafasku sengal. Dalam hatiku, aku tidak ingin merasakannya lagi. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kusayang lagi. Sudah cukup aku merasa menderita karena kehilangan seseorang yang kusayang.