Setibanya mereka di rumah sakit terdekat di daerah terpencil itu, Gilang langsung membuka pintu mobil dimana Jie, A, dan bu Merry berada. Dengan cepat Gilang menggendong sang adik ala bridal style.
Mata Alister sudah terpenjam saat di perjalanan ke rumah sakit.
"Dok! Dokter! Suster!" teriak Gilang sekuat tenaganya. Hingga tak lama, seorang suster dan Dokter datang dengan membawa sebuah brankar.
"Tolong adek gue, Dok," pinta Gilang.
Bu merry, Gilang, dan Jie ikut mendorong brankar Alister. Hingga brankar Alister itu memasuki sebuah ruangan yang di depan pintunya tertulis 'UGD.'
Mereka sangat khawatir dengan keadaan A. Membuat mereka ingin masuk ke dalam ruangan UGD tersebut. Namun, terhalangi oleh seorang suster.
"Silakan tunggu di luar saja."
"Tidak sus. Gue harus nemanin adek gue. Dia adalah anak yang paling tidak suka jika di operasi apalagi di suntik. Untuk itu dia gak pernah sakit dan selalu hidup sehat. Dia pasti sekarang sedang ketakutan sus." Gilang merengek ingin menemani A.
Tapi karena sudah peraturan, terpaksa Gilang, Jie, dan bu Merry menunggu di luar saja. Jie, gadis itu tak berhenti menangis. Memang ia tak menunjukkan kekhawatirannya seperti Gilang. Namun yang jelas, Jie sangat khawatir dan takut dalam diamnya.
Mereka bertiga duduk menunggu di kursi yang telah disediakan di depan ruangan tersebut.
Gilang bergelut dengan kekhawatirannya. Sekarang ia tengah memikirkan Ayahnya. Bagaimana ia akan menjelaskan keadaan ini kepada Ayahnya. Ia saja sudah uring-uringan gak jelas karena khawatir, apalagi jika sampai sang Ayah mendengar kabar ini. Pasti melebihi kadar kekhawatirannya.
"A. Lo pasti kuat. Lo laki-laki kuat." ujar Gilang menyemangati dalam doa.
"Gue berjanji kalo lu bangun, gue bakal ngabulin semua permintaan lo. Gue gak akan mesum lagi. Jadi please bangun." Gilang menangis. Lelaki itu berulangkali meraup wajahnya dengan kasar.
Ia juga harus kuat demi adiknya. Ia tidak boleh menangis, lebih baik ia mendoakan agar A baik-baik saja.
"Tuhan, A adalah anak yang baik. Dia belum terlalu berdosa. Dia sangat polos Tuhan. Kumohon jangan biarkan dia merasakan sakit saat operasi. Aku yang akan menanggung dosanya. Selamatkan dia Tuhan," pinta Gilang dalam doanya.
Tiba-tiba bu Merry berdiri, beranjak entah mau kemana membuat Gilang yang sibuk dengan doanya langsung menghampiri bu Merry.
"Bu, mau kemana?" tanya Gilang. Jie ikut menghampiri mereka.
"Ibu mau ngisi administrasi," jawab bu Merry.
"Ehk, gausah bu. Biar Gilang aja sekalian telpon Ayah."
"Tap...." Ucapan bu Merry terpotong akibat Gilang yang langsung berlari ingin mengisi administrasi.
Sementara Jie dan bu Merry hanya melongo melihat itu.
"Jie, kamu ingin apa? Biar ibu belikan. Kamu terlihat kacau sekali."
"Tidak usah bu! Kalo ibu mau, biar Jie aja yang beli." Tolak gadis itu.
Bu Merry hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah muridnya itu.
***
Di sisi lain, Gilang yang menekan nomor sang Ayah lalu menghubunginya. Hatinya sudah deg-degan. Ia sangat takut akan memberitahu sang Ayah tentang keadaan Alister.
Bagaimana caranya ia akan memberitahu sang Ayah? Ia takut jika Ayahnya akan terkena serangan jantung saat mendengar A yang tertembak.
Tapi ia juga tak mungkin menyembunyikan rahasia ini kepada Ayahnya. Ayahnya pantas mendengar ini.
Jadi, Gilang sudah memutuskan untuk memberitahu sang Ayah.
Sambungan handphone terhubung.
"Hallo, Yah," sapa Gilang.
"Hallo sayang. Ada apa nelfon malam-malam begini?" tanya Ayah di seberang sana.
"A-Ayah." Lama Gilang terdiam antara ingin memberitahu keadaan A atau tidak. Jantungnya berdegub dengan sangat cepat.
Lantas sang Ayah merasa bingung dengan Gilang yang tiba-tiba membisu.
"Ada apa Gilang? Dimana A? Kalian baik-baik saja, 'kan?" tanya beruntun dari sang Ayah.
Gilang tersentak. Terdengar tangisan dari Gilang yang mampu di dengar oleh sang. Ayah.
"Kenapa nangis Gilang? Kalian baik-baik saja?"
"A-Ayah Alister." Gilang bernafas tak beraturan. "Alister tertembak."
"Apa?! A tertembak? B-bagaimana bisa?" Gilang dapat mendengar Ayahnya begitu khawatir.
"Ayah, ceritanya panjang. Sekarang Ayah ke sini. A sudah di rumah sakit."
"Baiklah. Ayah segera datang."
"Tapi jangan bawa mobil. Biar supir yang bawa. Takutnya Ayah gak fokus berkendara."
"Ayah tahu itu."
Tut!
Sambungan dimatikan oleh Ayahnya. Gilang bisa kehilangan akal. Apa yang akan dilakukan oleh sang Ayah setelah mendengar ini?
Akh! Gilang tak ingin memikirkan itu untuk saat ini. Lebih baik ia segera mengisi administrasi.
***
Setelah membeli minuman coffe untuk bu Merry dan Gilang, Jie segera kembali. Ia ingin cepat-cepat melihat keadaan A. Hatinya tidak tenang sampai Dokter mengatakan langsung di depannya bahwa A baik-baik saja.
Tapi, tiba-tiba saja seseorang menarik tangan Jie dengan paksa. Mata gadis itu membulat. Ia menatap lelaki yang menariknya itu dengan tajam.
Minuman di tangannya terjatuh karena lelaki itu yang menariknya dengan tiba-tiba.
"Lo, siapa?" tanya Jie.
Lelaki itu tak mengubris perkataan Jie.
"Gue bilang lepasin gue!" teriak Jie membuat banyak pasang mata memerhatikan mereka.
Tapi bukannya dilepaskan, lelaki misterius berpakaian serba hitam dengan masker penutup wajahnya itu malah menggenggam pergelangan tangan Jie dengan begitu keras. Membuat Jie merasakan kesakitan.
"L-lepasin! Sakit tahu."
Entah kemana lelaki itu membawa Jie. Namun, tiba di sudut bangsal rumah sakit yang terlihat sepi.
Rasa takut Jie semakin menjadi-jadi. Tempat sepi? Lelaki misterius? Apa ini? Jie sangat ketakutan. Bagaimana jika lelaki itu melakukan hal yang tidak senonoh terhadapnya?
"L-lo siapa?" tanya Jie terbata-bata karena ketakutan.
"G-gue? Lo gak usah tahu siapa gue. Yang penting sekarang lo harus jadi pacar gue dan tinggalin A."
"Apa maksud lo?! Lo ini siapa?! Gue bener-bener gak ngerti apa maksud dari perkataan lo." Jie terkejut dengan apa yang baru dibicarakan oleh lelaki gila ini di hadapannya.
Enak saja main claim ia harus jadi pacarnya. Bahkan kenal saja tidak. Apalagi kala lelaki itu menyebut nama A. Itu membuat Jie tambah penasaran siapa lelaki di hadapannya ini.
"Lo terlalu banyak nanya. Nurut aja bisa gak!" bentak lelaki itu membuat Jie tersentak takut.
"Lo harus jadi pacar gue. Dan lo gak boleh nolak ini, karna jika sampai ini terjadi, pacar lo bakal tiada. Lo gak mau itu sampai terjadi, 'kan?"
Mata gadis itu membulat sempurna. Ia benar-benar tak ingin terjadi sesuatu kepada A. Namun, siapa lelaki ini? Kenapa ia berani mengatakan itu?
"G-gue gak tahu lo siapa? Gue gak pernah berurusan dengan seseorang. Jadi lepasin gue,' pinta Jie.
"Gue gak mau dengar! Sekarang lo nurut apa yang gue bilang, atau A di dalam sana gak tertolong."
Jie menghela nafas dengan berat. Ia harus memutuskan. Ia tak ingin A kenapa-napa.
"Tapi janji lo gak akan menyakiti Alister?"
Lelaki itu tersenyum smirk. "Janji," ucapnya.