Hati memang sulit untuk dimengerti. Kadang ingin itu kadang ingin ini. Hati besar ingin mempertahankan hal lain sedangkan hati kecil menginginkan sesuatu yang cukup sulit untuk digapai.
Sebagai seorang remaja, mereka takkan pernah lepas dari kata labil apalagi cinta. Sering diibaratkan cinta monyet bagi para remaja.
Namun, sesuatu di balik itu apakah ada yang serius dengan hubungan cinta itu? Adakah yang mampu mempertahankan hingga ke pelaminan?
Sebagai manusia takkan pernah lepas dari kesalahan. Hari ini telah dilakukan oleh lelaki tampan yang sedang gelisah mencari seseorang. Siapa lagi kalau bukan A.
Ia terus berdecak tak karuan mencari seorang gadis yang telah ia sakiti hari ini. Jie tentunya. Rekan kerjanya yang setia itu. Entah kenapa A begitu tak tega mengingat kala ia menamoar gadis itu. Rasanya A ingin menampar dirinya saat ini juga untuk membayar kesalahannya itu.
Tiba-tiba A teringat dengan perkataan sang kakak.
'A, lo ceramahin gue seakan lo gak pernah nyakitin perempuan. Lo aja benci sama perempuan.'
Yah, A tahu betul dengan kesalahannya, tapi ia sudah berjanji untuk tidak melakukan itu. Kenapa dunia tidak pernah berpihak kepadanya.
Seperti orang gila lelaki itu terus mencari Jie membuat banyak murid-murid yang berjumpa dengannya seperti tertekan. Bagaimana tidak, lelaki itu menahan siswa baik siswi dan langsung menanyakan keberadaan Jie kepada mereka. Namun, yang membuat mereka tertekan adalah A yang bertanya dalam nada membentak. Sudah tentu mereka jadi ketakutan.
A tersenyum smirk saat melihat lelaki gay yang menciumnya di bus entah beberapa hari yang lalu.
Sejenak A bergidik geli lebih tepatnya ngeri membayangkan pipinya dicium oleh lelaki itu.
Iiiih!
A pun langsung menghampirinya.
"Hei, kamu!" teriak A memanggil.
Lelaki gay itu menunjuk diri. "Aku?" Matanya berbinar saat melihat A menghampirinya.
"Kau Lucy ye, 'kan?" Lelaki gay itu mengangguk.
Tanpa basa basi lagi, A langsung memegang bahu Lucy lebih tepatnya mencengkram. Cengkraman itu sangat kuat, terbukti dari wajah Lucy yang kesakitan.
"A-ada a-apa Mr. A?" Lucy bertanya dengan terbata-bata. Ketakutan menyisir seluruh tubuhnya. Bukan apa-apa, Lucy ketakutan kalau A meminta yang tidak-tidak, seperti ... Berciuman atau tidur seranjang. Itulah yang ada dipikiran Lucy saat ini.
Dia bukan takut, tapi grogi lebih tepatnya. Ia sudah tak tahan lagi ingin berciuman dengan A. Lucy sudah berpikir kalau A itu juga sama dengannya. Yaitu gay.
Ya'ampun mata Lucy keknya katarak deh. Gak bisa bedain mana yang gay dan mana yang normal. Lagipula mana ada gay yang suka sama gay seperti Lucy. Tampan juga kagak.
"Lo lihat Jie, gak?!" Bentak A di depan wajah Lucy. Lucy mengerjap beberapa kali. Air liur A mengenai wajah dan matanya.
Lucy menggeleng pelan. "Tidak, Mr. A. Daritadi aku tidak melihat Jie," jawab Lucy. Memang benar, ia belum melihat gadis itu atau bahkan tak sengaja berpapasan pun tidak.
"Kalo lo ketemu sama dia, lo kasih tahu ke gue, ya?" lirih A menekan dengan mata tajam ia layangkan ke Lucy.
"I-iya."
A melepaskan cengkraman itu dan menyuruh Lucy untuk pergi.
"Kalau begitu pergi sana."
Buru-buru lelaki gay itu langsung pergi dari hadapan A. Ia berjanji tak akan bertemu dengan A lagi. Lucy trauma karena A yang sangat kasar itu.
Lucy memang tidak tahu bagaimana sifat A yang sebenarnya karena mereka tidak sekelas. Sekarang ia sudah tahu dan lelaki itu berjanji tak akan macam-macam dengannya lagi.
Sejenak Lucy melihat A ke belakang sebelum ia benar-benar pergi.
"Pangeranku kenapa kasar sekali?" Monolognya bertanya. Lalu berlari kecil ala banci meninggalkan A.
A meraup wajah dengan kasar. Hatinya terus bertanya-tanya dimana Jie.
"Aku akan minta maaf nanti kepadanya saat makan malam." Monolog lelaki itu dan juga beranjak pergi. Tujuannya kali ini adalah ke kamar. Ia ingin beristirahat sejenak. Entah kenapa kepalanya benar-benar pusing sekali.
Ganggang pintu berputar, menandakan ada orang yang ingin masuk ke dalam ruangan itu. Perlahan pintu terbuka, menampakkan lelaki yang tak lain dan tak bukan adalah A.
Mereka langsung berpura-pura seperti tak tahu apa-apa. Siswa-siswi yang ada di sana berserakkan melakukan pekerjaan mereka masing-masing. Ada yang membereskan tempat tidurnya, ada yang pura-pura sibuk main handphone, ada yang memilih keluar dari ruangan itu.
A yang melihat itu merasa ada yang ganjil dan segera memasuki ruangan itu. Tangannya terlipat didepan dada dengan mata yang menyipit, seolah matanya itu menanyakan 'ada apa' kepada murid-murid itu.
Namun tak ada yang menjawab isyarat dari mata A itu. Mereka malah berpura-pura tak melihat dan sibuk sendiri dengan pekerjaan mereka.
A merenggut kesal, murid-murid itu sangat aneh. Udah ketahuan aneh, tapi malah tidak mengaku aneh. Apa yang terjadi dengan mereka? Itulah pertanyaan yang ada dipikiran A.
Lantas A langsung berjalan menuju tempat tidurnya. Lelaki itu tersentak dengan mata yang melotot dan hampir keluar dari tempatnya.
Pemandangan apa ini? Dengan kilat A langsung menatap tajam murid-murid itu. Jadi, ini yang mereka sembunyikan dari A.
Dengan langkah yang tegas A menghampiri dua orang yang sedang tidur seranjang itu. Mereka adalah Jie dan Bryan. Jie tidur dengan wajah yang terbenam pada dada bidang Bryan sedangkan Bryan tertidur dengan posisi seperti orang duduk.
Amarah A bukan main-main lagi. Hatinya sakit sekali melihat pemandangan ini. Dengan lantang A melepas selimut yang membalut dua sahabat yang sedang tertidur itu.
"Bangun lo pada!" teriak A tepat di telinga Bryan membuat lelaki itu langsung terbangun dengan gelegapan.
A tersenyum miring. "Lo bangun juga?"
Bryan menoleh ke arah A dengan tatapan tajam. "Lo apa-apaan sih? Gendang telinga gue bisa pecah dengan suara keras lo itu."
"Biarin! Bukan urusan gue!" tukas A dengan nada tinggi.
Tiba-tiba perhatian mereka teralih pada Jie yang melenguh dan merubah posisi tidurnya membelakangi A dan Bryan. Sontak, A melihat wajah Jie yang membiru itu. Ia tahu kalau pipi Jie seperti itu karena ulahnya. Tamparan itu....
A sangat menyesal karena bekas tangannya tertinggal pada wajah Jie. Ia tak seharusnya menampar gadis itu.
"Dia kecapean karena nangis. Katanya lo udah nampar dia. Benar?" Bryan berucap tanpa melihat lawan bicaranya. Matanya terus tertuju pada Jie.
"Bukan urusan lo!" A tak ingin memberitahu bahwa ia sudah menampar Jie. Padahal murid-murid lain menyaksikan kejadian dimana A menampar gadis itu.
"Lo jangan bohong!" Bryan menoleh menatap A. "lo udah nyakitin dia. Gue pikir lo bakal jaga dia karena lo pacarnya. Lo tahu gue suka sama Jie, tapi dia lebih milih lo dibanding gue. Gue menyesal karena menyerahkan sahabat gue di tangan iblis seperti lo," ucap Bryan. Sedangkan murid-murid yang menyaksikan itu hanya diam saja.
Entah kenapa lidah A terasa keluh mendengar ucapan Bryan. A tak mungkin menyangkal lagi, karena ucapan Bryan itu memang benar. Ia benar-benar idiot!
Idiot!
A mengangkat tangannya yang ia gunakan untuk menampar A. Desiran kebencian terpampang pada matanya kala melihat tangannya.
"Benar gue memang udah nampar dia. Gue menyesal banget. Gue kesini untuk minta maaf," ungkap A. Nada suaranya benar-benar menyiratkan penyesalan yang luarbiasa.
"Gue hanya butuh pengakuan lo." Bryan beranjak turun dari kasur, kemudian berdiri di hadapan A. "Gue pergi, sekarang dia urusanmu."
A mengerutkan keningnya, merasa aneh dengan tingkah Bryan. Ia berpikir jika Bryan akan memarahinya atau bahkan memukulnya. Secarakan dia sudah menyakiti sahabatnya. Namun ini entah kenapa sikap Bryan aneh sekali. Wajahnya menyiratkan kesedihan. Tidak ada semangat sama sekali.
Tak ingin memikirkan lebih jauhnya tentang sikap Bryan yang aneh, lagipula mereka, 'kan musuhan. Ia tak perlu terlalu memikirkan lelaki itu. Sekarang ia sebenarnya harus marah karena Bryan lancang sekali tidur di samping pacarnya.
Bingung, satu kata itu bergelut dalam pikiran A. Ia tidak mengerti dengan perasaannya kepada Jie. Hanya saja A tidak bisa melihat Jie dekat dengan orang lain, terlebih lelaki seumuran dengan dia.
Ia sangat cemburu, untung saja Bryan hanya menemani Jie tidur. Awas saja kalau ada apa-apa. Dengan pelan, A menyelimuti Jie. Memandang sekilas wajah Jie yang tertidur.
"Dia cantik juga." A tersenyum melihat wajah Jie. Baru kali ini ia melihat wajah Jie yang tenang dan berkilau di matanya. Entah ini hanya imajinasi A saja, tapi bagi A wajah Jie itu sangat indah.
Bahkan lebih alami dibanding wajah Elina yang penuh dengan makeup.
"Maafin aku. Aku benar-benar menyesal telah menamparmu."