Alekta tidak suka apabila Elvano selalu mengatakan kata merepotkan pada dirinya. Karena dia tidak pernah ingin merepotkan orang lain.
Dia menatap wajah Elvano yang sedang menggendongnya menelusuri setiap inci dari hotel. Pintu lift terbuka karena Arda selalu membatu sang tuan untuk memudahkan langkahnya.
Elvano memasuki lift, tatapannya masih lurus ke depan. Dia tidak melihat ke wajah Alekta karena dia berusaha mengontrol hasratnya agar tidak melahap wanita yang ada digendongnya itu.
Pintu lift terbuka, Elvano kembali berjalan menuju kamarnya. Arda selalu ada di dekatnya dan membantu sang tuan untuk membukakan pintu kamar.
Elvano mendudukkan Alekta di atas tempat tidur, setelah itu dia berjalan menuju sebuah almari dan mengambil sebuah kotak obat. Dia kembali mendekat pada Alekta dan menyimpan kotak obat tepat di samping Alekta.
Dia berjongkok, melepaskan sepatu yang masih menempel di kaki Alekta. Dilihatnya luka kaki wanita yang sangat sering itu lalu dia mengambil kapas dan cairan pembersih luka. Elvano mulai membersihkan luka Alekta dan mengolesinya dengan obat lalu menutupnya dengan perban.
"Jangan banyak bergerak dulu!" perintah Elvano pada Alekta lalu dia berjalan untuk menyimpan kotak obatnya.
Elvano duduk di atas sofa yang biasa diduduki olehnya, dia membuka ponselnya. Begitu banyak pesan yang masuk dan itu semua mempertanyakan kepergiannya dari acara tadi.
"Mulut mereka seperti wanita saja!" tukas Elvano sembari menutup teleponnya dan menyimpannya di atas meja.
"Ada apa?" Alekta bertanya pada Elvano karena dia merasa penasaran dengan kegusarannya.
"Tidak ada apa-apa," jawab Elvano singkat.
Elvano kembali membuka netbook-nya dan dia menyuruh Arda untuk menyiapkan semua dokumen yang diperlukan olehnya. Dia pun menyuruh Arda untuk membatalkan pertemuan dengan siapa pun hari ini.
"Kau hubungi dia untuk mempercepat pencariannya! Aku sudah tidak bisa lagi menunggu terlalu lama!" perintah Elvano pada Arda.
"Baik, Tuan akan saya katakan padanya," jawab Arda sembari meminta izin untuk mengambil dokumen di kamarnya.
Elvano mengangguk, dia memberikan izin pada Arda untuk pergi. Sedangkan dia akan menunggunya karena dokumen yang dibutuhkan masih berada di tangan Arda.
Alekta merasa penasaran dengan apa yang diperintahkan oleh Elvano pada Arda. Dalam benaknya bertanya siapa orang yang sedang dicari oleh Elvano.
Dia hendak bertanya akan hal itu tetapi diurungkannya, mungkin yang dicarinya adalah orang yang sudah membuat masalah dengan Elvano. Alekta pun tidak memikirkan kembali akan hal itu.
Merasa bosan jika harus diam saja, dia memutuskan membaca sebuah buku bacaan yang selalu dibawanya. Alekta mengambil buku bacaan yang berada di atas nakas lalu dia berjalan perlahan menuju balkon untuk membaca di sana.
"Mau ke mana?" tanya Elvano saat melihat Alekta beranjak dari tempat tidur dan hendak berjalan.
"Aku akan duduk di balkon. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu," jawabnya sehari berjalan perlahan menuju balkon.
Elvano hanya memperhatikan Alekta yang berjalan ke balkon, dia tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia menghela napasnya lalu kembali fokus pada pekerjaannya.
Beberapa saat kemudian Arda mengetuk pintu kamar, Elvano menyuruhnya untuk masuk. Mendengar suara sang tuan Arda pun membuka pintu kamar hotel lalu berjalan memasukinya.
"Tuan, apakah Anda akan tinggal di Austria dengan jangka waktu yang lama?" Arda bertanya pada Elvano sembari menyerahkan dokumen yang dibawanya.
Elvano terdiam sejenak, dia memikirkan apa yang dikatakan oleh Arda. Karena bisnis yang sedang dijalankan di Austria sedang dalam perkembangan oleh sebab itu membutuhkan ekstra perhatian.
"Apa rumah itu sudah bisa ditempati?" tanya Elvano pada Arda.
"Rumah itu sudah bisa ditempati kapan pun Anda menginginkannya," jawabnya dengan yakin karena rumah itu sudah dirapikan.
"Siapkan semuanya. Aku ingin sore ini sudah berada di sana," Elvano berkata pada Arda.
Arda mengangguk lalu dia pergi untuk mempersiapkan apa yang diperintahkan oleh sang tuan. Dia tidak akan membuat sang tuan kecewa dengan penyambutan nanti untuk sang nona jika tiba di rumah.
Rumah itu di beli Elvano untuk Alekta karena dia berpikir akan tinggal di Austria dalam jangka waktu yang lama. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Waktu berjalan dengan cepat Alekta tertidur di sofa yang berada di balkon. Sedangkan Elvano baru saja menyelesaikan semua pekerjaannya, dia bisa bernapas lega karena malam ini dia bisa beristirahat dengan santai di rumahnya.
Elvano pemasaran apa yang dilakukan oleh Alekta di balkon. Dia pun beranjak lalu berjalan menuju balkon untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh wanita yang sudah menjadi istrinya itu.
Dia melihat Alekta sedang terlelap di atas soda, Elvano mendekat padanya lalu berjongkok tepat di samping Alekta. Dia menatap penuh lembut wanita yang sedang terlelap itu.
Ingin rasanya dia langsung memeluk wanita yang sudah menjadi istrinya itu. Namun, semua itu diurungkannya karena dia tidak ingin memaksakan kehendaknya pada Alekta.
Andai saja kejadian itu tidak terjadi mungkin saat ini Elvano sudah bisa memeluk Alekta dan mencumbunya. Dia mengelus lembut rambut Alekta, berharap semuanya akan kembali seperti dulu.
"Apa kau begitu mencintai pria itu? Bahkan kau tidak pernah berusaha untuk mengingatku?" ucap Elvano sembari menyibakkan rambut Alekta yang menutupi mata.
Melihat Alekta hendak terbangun, Elvano bergegas berdiri lalu berjalan menjauh. Dia tidak ingin membuat Alekta bertanya lebih padanya. Karena dia takut tidak bisa menahannya lagi dan menceritakan semuanya.
Elvano berdiri tepat di sebuah tembok pembatas balkon. Dia menatap langit-langit yang hampir gelap sembari menghela napasnya.
Alekta melihat Elvano, dia merasakan ada yang aneh dengan pria itu. Entah mengapa selalu ada yang mengganjal setiap dirinya tertidur dan setelah bangun melihat Elvano.
"Apa aku tertidur sangat lama?" tanya Alekta pada Elvano.
"Tidak. Aku tidak tahu sejak kapan kau tertidur di balkon," jawab Elvano.
Elvano membalikkan tubuhnya, menatap sekilas lalu berkata. "Bersiaplah kita akan pergi dan rapikan semua barangnya yang penting saja!"
Setelah mengatakan itu Elvano kembali masuk ke dalam kamar. Dia mempersiapkan semua barang penting yang harus dibawa olehnya ke rumah yang baru dibelinya.
"Apa maksudmu? Apakah kita akan pergi dari sini? Apa kita akan kembali ke Indonesia atau ke Singapura?" Alekta bertanya pada Elvano dengan terus-menerus.
"Tidak semuanya. Kita akan tinggal di Austria dan aku tidak tahu sampai kapan di sini," jawab Elvano sembari melanjutkan pekerjaannya.
Alekta berjalan perlahan, dia tidak tahu jika Elvano berniat tinggal lama di Austria. Padahal dia ingin kembali ke Indonesia atau ke Singapura. Karena di sana dia bisa bekerja mengusir perusahaan sang ayah.
Dengan bekerja dia bisa melupakan rasa cintanya pada Caesar. Padahal dia benar-benar tidak bisa melupakan pria itu, di mana dia sudah menyerahkan semuanya pada Caesar. Bahkan kesuciannya pun sudah diberikan pada Caesar karena dia pernah meyakini bahwa Caesar adalah pria pertama dan terakhir untuknya.