Montok. Mungkin gambaran itu tidak sepenuhnya benar untuk menggambarkan Maria tapi mendekati pesonanya. Mata Damon langsung mengunci sosok manis di lampu kafe yang temaram itu begitu dia membuka pintu. Eka yang sama berkilau di sisi Maria tidak di lirik sama sekali. Kebetulan Damon adalah orang terakhir, dan begitu dia datang, acara langsung di mulai.
"Oke, mungkin kita mulai perkenalan dulu?" Rico, dengan rambut spiky buka suara. Dari sisi perempuan, Eka yang memulai pembukaan. Total ada 4 pasangan. Selain Eka, Maria tidak mengenal yang lain. Tapi dia tidak khawatir karena semua yang hadir di situ kenalannya Eka.
Empat orang pria yang duduk di seberang, di mulai dari yang paling kiri, namanya Alta. Dari wajahnya dia terlihat seperti yang paling muda, tapi gerak-geriknya yang tenang tidak membuat Alta berbeda dari yang lain. Malah membuatnya semakin cocok berada di pertemuan ini. Poninya di biarkan jatuh menutupi dahinya. Pertama kali Maria melihat Alta, dia teringat dengan salah satu idol Korea. Style-nya bisa dibilang serupa.
Setelah Alta, ada Diego. Diego bertubuh tegap dan besar. Bahkan tangannya pun kelihatan kekar di balik sweater abu lengan panjang itu. Wajahnya bersih dengan rambut buzz cut. Mungkin kedengarannya aneh, tapi Diego tidak terlihat tipe yang sibuk mencari pasangan, tidak hanya Diego tidak buka suara, pria itu juga tidak tersenyum sama sekali. Dia tidak terlihat berusaha menarik perhatian siapa pun.
Setelah Diego, duduk Rico. Rico terlihat seperti orang yang akrab. Gambaran pertama yang Maria tangkap saat melihat Rico adalah tuan muda dengan penampilan mencolok. Rico memiliki kemungkinnan besar untuk jadi pasangan Eka malam ini. Kalau dirinya, hm, tidak perlu di tanya, mata mereka hanya bertatap satu kali saat memperkenalkan diri satu sama lain. Jadi tidak perlu menggali lebih dalam.
Lalu yang terakhir, yang duduk di depan Maria sendiri, Damon Bain.
Pria ini datang mengenakan mantel. Satu-satunya yang kelihatan 'baru pulang kerja'. Setelannya kemeja kantor panjang biasa, selain fiturnya yang terlihat lembut, tangannya yang sejak tadi mengetuk meja mungkin yang paling menarik perhatian Maria.
Damon memiliki wajah maskulin, gaya rambutnya di sisir kebelakang, menunjukkan penuh dahinya. Garis rahangnya kuat, dan jakunnya bergetar seiring dengan kata-kata yang di lontarkan olehnya. Damon terlihat sama akrabnya dengan Rico, meski agak sedikit tertahan, seakan dia membatasi kalimat yang di ucapkan dan mencegah orang-orang untuk semakin mendekatinya. 'Sopan' adalah kata yang sempurna menggambarkan Damon.
Maria tidak tahu siapa yang akan jadi pasangannya, tapi mungkin Damon lebih condong jadi tipenya. Meski Maria tidak tahu apa dia juga cocok untuk sebaliknya?
"Hey?"
"Ah?" Maria berkedip lalu memusatkan pandangannya pada Damon yang tersenyum.
"Aku tanya apa kau sudah memilih?"
"Ya.. ya? Uh... aku tidak tahu, bagaimana denganmu?" Maria balas tersenyum.
"Mungkin aku harus membiarkan yang lain memilih lebih dulu. Bagaimana menurutmu?"
"Kurasa juga begitu." Maria mengangguk-angguk.
"Kau sepertinya sedikit khawatir akan sesuatu?"
"Apakah terlihat semencolok itu?" Maria menutupi kedua pipinya, tidak menyangka dan malu. Apa mungkin Damon memperhatikannya sejak tadi?
"Kau tidak perlu khawatir, aku melihat kalian semua tampil menakjubkan." Damon tersenyum lagi.
"A-aku tidak khawatir soal itu."
"Begitukah? Kau sepertinya agak gugup. Tidak perlu memikirkan malam ini sebagai kencan buta. Kau perlu bersantai setelah lama bekerja. Kalau kau tidak mau, kau bebas menolak. Tidak akan ada yang merasa kesal karenanya."
Mendengar itu, Maria tertawa kecil. "Apa aku terlihat seperti itu?"
"Mungkinkah aku salah?" Damon menelengkan kepalanya, tidak sadar sikapnya sedikit terlihat menggemaskan meski tidak cocok dengan usianya. Tapi tak masalah, karena Damon itu tampan, apa pun yang dia lakukan terlihat bagus.
"Tidak, tidak seperti itu..." Maria menggeleng pelan. Mungkin karena suasananya yang nyaman, atau Damon yang pandai berkata-kata, Maria merasa mendiskusikannya dengan Damon tidaklah buruk. Menurutnya Damon memiliki karakter yang baik, bagus kalau sahabatnya mau berpasangan dengan Damon. Maria tiba-tiba semangat untuk mempromosikan Eka.
"Sebenarnya aku takut kalau sahabatku berakhir dengan orang yang menyebalkan."
Damon melihat perempuan di depannya mencondongkan badannya. Pipinya merona, sementara dengan manis perempuan itu menurunkan nada suaranya.
"Kau datang kemari dengan sahabatmu?"
"Ya. Yang duduk di sisiku."
"Oh, Eka?"
"Ah, kau tahu?" Maria tidak bisa lebih senang dari ini. Sepertinya Eka menarik perhatian Damon.
"Tentu saja, kami semua mengenal Eka. Dia kan yang merancang acara ini." Damon membalas sewajarnya. Menangkap jelas maksud Maria membuka pembicaraan ini.
"Bukankah dia terlihat cantik?"
Damon tersenyum lalu mengambil sepotong kentang goreng. Dia membiarkan Maria berspekulasi dengan sendirinya sebelum menjawab. "Bukankah dia terlihat 'bersemangat?'?"
"Apa?" Maria tidak terlihat mengerti dengan gambaran yang di berikan Damon. "Itu bagus kan?"
"Tentu saja." Damon mengangguk lugas. "Sahabatmu terlihat seperti sudah lama menantikan acara ini."
"Apa maksudmu!" kedua alis Maria yang melengkung lembut itu mengerut. Damon masih dengan senyum membasahi tenggorokannya dengan minuman sambil memperhatikan dengan seksama. Pikirannya berkelana betapa menariknya garis alis itu...
"Eka tidak menantikan acara ini sama sekali. Dia orang yang berdedikasi dan kami sudah lama tidak ikut acara seperti ini. Eka hanya membantu orang lain untuk menemukan pasangan. Kau mengerti maksudku, kan? Dia bukan orang yang memikirkan hal-hal seperti itu setiap saat."
Damon sepertinya menyadari kalimatnya terdengar sedikit ofensif. "Ya, ya, tentu saja. Kami semua mengenal dan bertemu lewat Eka. Aku secara pribadi berhutang padanya karena acara ini."
"Apa kau kenal dekat dengan Eka sebelumnya?" tanya Maria semangat.
"Aku tidak begitu dekat. Tapi dia orang yang menarik. Bagaimana denganmu? Sejak kapan kau mengenal Eka?"
"Aku kenal Eka dari waktu sekolah dasar. Waktu itu aku bukan orang yang berani angkat suara." Maria menjelaskan se-menyedihkan mungkin keadaannya dan menggambarkan betapa mengagumkannya Eka saat dia diselamatkan, berharap Damon menangkap sisi bagus Eka.
Damon dengan tenang mendengarkan, sesekali memberi reaksi dan bertanya. Dia tidak membiarkan semangat Maria kendor sama sekali, namun di satu sisi terus menarik supaya jawaban Maria berputar hanya diantara mereka berdua.
Maria tidak ingat bagaimana dia bisa asik mengobrol dengan Damon seperti ini.
"Jadi kau pernah ikut pramuka tapi tidak terpilih ikut perlombaan?"
Topik saat itu membicarakan soal Eka yang terpilih jadi Pinru (pemimpin regu) saat SMP. Maria ingat dia hanya menceritakan Eka, tapi sepertinya Damon salah fokus?
"Yah, aku tidak berbakat dan sedikit introvert jadi..."
"Apa kau sedih?"
"Hm?"
"Bukankah kalian berdua sudah menantikan supaya bisa ikut lomba itu? Kau pasti sedih karena tidak terpilih."
"A-aku memang menyadari sejak awal itu bukan tempatku. Aku tidak sedih sama sekali. Malah, aku senang karena Eka ikut lomba itu. Kau tidak tahu, dia melakukannya dengan sangat mengagumkan. Dia masuk ke final dan memenangkan juara satu."
Damon mendengarkan sesaat, ketika Maria berhenti menjelaskan, Damon melirik jam. "Sepertinya sudah larut. Bagaimana kalau pulang sekarang?"
"Ah??" Maria membulatkan matanya, tidak menyadari kalau saat ini hanya tinggal mereka berdua yang duduk di kafe. Hatinya panik meneriakkan keberadaan Eka dan dengan siapa dia pergi.
"Kau tidak perlu khawatir soal sahabatmu." Damon tersenyum penuh pengertian lalu mengulurkan tangannya. Maria yang sudah menilai Damon sebagai 'partner sempurna untuk sahabatnya' tidak merasa takut dan gugup sama sekali, lantas menerima uluran itu dengan terbuka.
"Eka pergi dengan Diego."
"Di-Diego??"
"Diego bukan orang yang akan mengambil kesempatan dalam kesempitan, sahabatmu akan baik-baik saja bersamanya. Dia tidak akan memulai atau melakukan hal yang tak pantas." meskipun Damon tidak menjamin kalau Eka tidak akan ambil aksi.
"Tidak, bukan begitu. Aku hanya tidak menyangka Eka akan pergi dengan Diego.. Diego tidak seperti datang ke acara ini dengan senang hati.."
"Menurutmu begitu? Mungkin Eka sengaja memberikan kesempatan malam ini pada yang lain dan pasrah untuk pergi dengan Diego?"
"Ah.., kau benar." Dalam bayangannya, Maria membayangkan dua orang yang tidak tertarik satu sama lain jalan bersama lalu berpisah di persimpangan. Diego bukan tipe-nya Eka, dan Diego meskipun terlihat sedikit menyeramkan, melihat sikapnya dia tidak terlihat seperti orang yang mudah tergoda dengan perempuan cantik. Maria lega seketika.
Keduanya keluar dari kafe, menyusuri jalan membahas topik tak penting. Sesekali Damon tertawa kecil, menggenggam tangan Maria saat menyebrang jalan, atau menepikan helai rambut gadis itu saat angin bertiup. Gerak-geriknya terlihat natural, bahkan Maria pun tidak bisa memperpanjang rasa curiganya.
Tak lama keduanya sampai di gedung kost.
"Kuantar sampai ke pintu." balas Damon lalu menaiki tangga lebih dulu tanpa menunggu balasan Maria. Judulnya 'kost' namun gedung itu lebih seperti apartemen berskala kecil. Yang tinggal di tempat itu pun tidak dibagi berdasarkan gender. Selain pengurus gedung yang tinggal di lantai pertama, tidak ada batasan siapa yang masuk keluar selama tidak menimbulkan keributan.
"Kau tidak perlu melakukannya."
"Meski pun jaraknya dekat, ini sudah malam. Aku hanya bisa tenang setelah memastikan kau masuk ke pintu kost-mu dengan mataku sendiri. Kalau tidak, aku tidak tahu harus berkata apa pada sahabatmu."
"Aku jadi merepotkanmu." Maria berpikir bagaimana bisa ada gentleman seperti ini? Sayang sekali Damon tidak berpasangan dengan Eka. Dalam hati Maria menyesal karena tidak menghentikan Eka untuk pergi.
Keduanya sampai di depan pintu. Maria tahu Damon bukan orang yang culas, berdasar 'kesopanan', Maria menawarkan segelas teh sebelum Damon pulang.
Malam itu sudah larut, dengan karakternya Maria yakin Damon akan menolak.
Siapa sangka dia salah.
"Kebetulan aku sangat haus. Terimakasih atas tawaranmu." melihat Maria yang membeku di tempat karena terkejut, Damon tersenyum tidak enak. "Oh, maaf, sepertinya kau tidak bermaksud demikian? Aku akan pulang saja dan mencari supermarket terdekat untuk beli minum..,"
"Ti-tidak seperti itu." dalam hati Maria berpikir, segelas teh tidak masalah sama sekali kalau itu untuk Damon. Dan lagipula, dia yang menawarkan lebih dulu.
"Kalau begitu maaf merepotkanmu."
Rasa bersalah Maria hanyut seketika begitu Damon kembali memancarkan senyum menawannya.
.
.
Pulang? Tidak mungkin Damon membiarkan harta karun ini lepas dari tangannya begitu saja.