Dari tempat Adelia berdiri, ia bisa menatap sebuah pemandangan yang sangat kontras: hamparan kebun anggur di sebelah kiri, dan permadani berlian yang di pancarkan oleh danau Margaret. Udara pukul 10 pagi masih cukup sejuk, tapi matahari sudah cukup menyilaukan. Adelia menghirup perlahan-lahan udara segar yang cukup jarang ia temui di kota Jakarta. Ah, waktu berjalan begitu lambat disini. Begitupun, Adelia masih berharap ia bisa tetap berada di situ 2 bulan lagi, bukan 2 jam.
Adelia berjalan perlahan di jalan setapak yang entah kenapa mirip sekali dengan yang ada di mimpinya. Ia penasaran, bila ia terus menyusuri jalan ini, akankah ia akan bertemu Justin di ujung jalan itu? Sebenarnya Adelia sedikit merindukannya. Merindukan Justin yang hangat, Justin yang selalu tersenyum sambil membelai rambutnya, Justin yang selalu melontarkan lelucon konyol dan ringan, Justin yang selalu membuat Adelia merasa istimewa. Justin melihat dirinya, seakan-akan tidak ada orang lain yang berwujud di hadapannya.
Adelia berjalan perlahan sambil terus menatap sungai Margaret, persis seperti di mimpinya. Tidak terasa, ia telah menghabiskan belasan menit meniti jalan setapak itu, namun belum terlihat atau terdengar Justin memanggilnya. Adelia merapatkan longcoat di dadanya, karena sepertinya angin bertiup cukup kencang sesekali. Pipi Adelia mulai terasa kering, dingin dan memerah. Ia merapatkan giginya seiring dengan hidungnya yang mulai membeku.
"Watch outtt! (Awas!)", sebuah teriakan terdengar dari hadapan Adelia yang membuatnya panik! Sebuah sepeda meluncur dari arah depan secara tiba-tiba, sementara pada saat yang sama Adelia terlalu sibuk memperhatikan sungai. Kepanikannya membuat ia tidak mampu mengontrol gerakannya. Haruskah ia menghindar ke samping kiri, atau kesamping kanan? Adelia hanya mampu berdiri terpaku sambil menatap sang pengendara sepeda yang jaraknya mulai sangat dekat!
"Adel!", sebuah teriakan muncul dari belakang Adelia, seiring dengan sebuah tangan menarik tubuhnya mundur ke arah kiri. Sang pengendara sepeda bebas melaju sambil melambaikan tangannya.
"Sorry mate (maaf teman)", teriak sang pengendara sepeda tanpa repot-repot menoleh ke belakang.
Bastian yang sangat kuatir refleks menarik tangan Adelia sehingga istrinya itu jatuh ke dalam pelukannya. Keduanya terengah-engah karena kaget dan panik, tanpa mampu berkata-kata. Bastian mencengkeram pundak dan lengan Adelia, sementara istrinya itu masih kaget namun tampak kikuk dipeluk secara tiba-tiba juga. Ia berdiri bak lemper yang baru keluar dari panggangan.
Ingin rasanya Bastian mengeluarkan kata-kata kasar melihat kecerobohan istrinya itu. Namun ia paham, apapun yang ia katakana sekarang, tidak begitu penting. Ia hanya berharap Adelia mampu belajar dari pengalaman ini, agar lebih hati-hati dan tidak melamun sehingga membahayakan keselamatannya. Ia geram, tapi juga gemas pada saat yang bersamaan melihat Adelia.
Setelah nafas mereka sudah mulai teratur, dan denyut jantung mereka sudah lebih pelan, Bastian melepaskan pelukannya dengan kikuk dan perlahan. Namun ia enggan istrinya itu kabur lagi untuk di tabrak lebih banyak sepeda atau benda berjalan lainnya. Walau ia menjauhkan tubuh mereka, tangan Bastian masih mencengkeram longcoat Adelia.
Akhirnya Bastian memutuskan untuk menggenggam tangan Adelia dan menuntun istrinya itu ke arah parkiran. Adelia tidak mampu membantah, dengan patuh ia mengikuti Bastian. Ritme jalan mereka begitu berbeda, dimana Bastian dengan kakinya yang jenjang berjalan begitu anggun dengan langkah-langkah besar. Adelia membutuhkan sebuah lari-lari kecil agar tidak terlihat diseret oleh Bastian!
"Ehmmm barang-barangku?", tanya Adelia ketika Bastian akhirnya mendorong Adelia untuk memasuki mobilnya.
"Tas uda di mobil. Kayaknya gak ada barang lain. Cukup aneh memang ngadain acara sleepover (pesta menginap) tanpa bawa apa-apa ya?", tanya Bastian. Adelia Hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum jahil.
"Ternyata Cuma butuh niat untuk bisa hang-out bareng sahabat", kata Adelia sambil nyengir.
"Hemmm katakana itu sama cleaning service yang bersihin muntahan kamu dan baju nge-gym aku tuh", kata Bastian sambil menunjuk sebuah tas fitness kecil dengan dagunya. Sepertinya baju piyama yang dipakai Adelia tadi malam sudah masuk kembali ke tas itu.
"He he he", hanya itu yang bisa dikatakan Adelia. Bastian kemudian melengos dan langsung duduk di kursi kemudi. Adelia patuh dan ikut masuk ke dalam mobil. Tanpa Adelia tahu, sebenarnya Bastian lah yang membersihkan muntahannya tadi malam. Malik terlalu sibuk mngumpat dan mengomel, sementara Lisa sudah cukup sibuk membersihkan Adelia dan mengganti bajunya.
"Kita pulang?", tanya Adelia. Bastian tidak menjawab. Ia tidak menggeleng, ataupun mengangguk. Ia memundurkan mobilnya dari area parkir, dan mulai menyetir keluar dari area tempat penginapan.
"Kamu mau ajak aku ke sebuah…tempat?", tanya Adelia. Bastian mengangguk pelan. Saat ini mereka sudah berada di jalan raya. Adelia kontan berhalusinasi dan tersenyum penuh arti. Entah kenapa ia merasa Bastian dan ia memiliki frekuensi yang sama, dalam hal ini, mungkin tempat tujuan yang sama. Dalam perjalanan ke penginapan kemaren, Adelia melihat beberapa pabrik coklat yang memiliki café dan restoran yang menarik. Lisa dan Adelia sudah berencana untuk mampir dalam perjalanan pulang. Tapi karena mereka akhirnya pulang terpisah, semoga saja mereka bisa mengunjunginya!
Setelah 15 menit, mereka melewati salah satu pabrik coklat itu. Adelia melihatnya dengan tatapan sedih. Ia menggaruk-garuk jendela kaca mobil Bastian ketika tempat itu berlalu begitu saja, seakan-akan memanggilnya dari kejauhan. Ternyata…Bastian tidak berencana untuk berhenti dan mengajaknya kesana. Adelia duduk lemas sambil melipat tangannya. Bibir kecilnya langsung membentuk huruh M kecil dengan matanya yang jatuh. Tunggu, ada 1 toko lagi deh kalo gak salah, gumam Adelia. Ia menutup mata dan berharap.
Setelah 17 menit kemudian, mereka kembali melewati pabrik coklat terakhir yang mungkin bisa mereka nikmati. Kali ini Adelia tidak mampu menutupi kekesalannya. Ia menggeleng sedih, dan memutar kepalanya menatap Bastian dengan mata paling memelas.
"Sebenarnya kita mau kemana sihh Tiaaannnn?", tanya Adelia dengan gusar. Suaminya itu tidak mengerti kenapa Adelia harus marah. Toh perjalanan ke Perth masih ada sekitar 2 jam lagi. Mereka baru saja menghabiskan sarapan mereka. Apakah istrinya itu sudah mulai…lapar?
"Loh kok kamu sewot sih?" tanya Bastian bingung.
"Ahkkk aku pikir… hemmm…aku pikir tadi kamu… ah sudahlah!", jawab Adelia frustasi. Ia kembali melipat tangannya di dadanya. Dia tidak habis pikir, kenapa Bastian bisa tidak begitu perhatian dan pengertian akan kebutuhannya. Apa salahnya sih mampir sebentar di toko-toko itu? Adelia pernah mengunjungi sebuah toko yang mirip di tempat lain, dan ia sangattt menyukainya. Mencoba aneka potongan coklat dengan berbagai rasa, menikmati coklat hangat atau aneka olahan coklat yang dipadu dengan roti, pastry, bahkan kue!
Sebaliknya, Bastian tidak mengerti jalan pikiran para wanita pada umumnya. Khususnya Adelia. Seharusnya istrinya itu bersyukur karena ia datang. Andai saja Adelia mengerti pengorbanan yang Bastian lakukan agar dapat menggapainya disini. Ia mengorbankan weekend berharganya yang seharusnya bisa ia isi dengan istirahat, mengerjakan tugas, atau…atau…
Ya atau apa lagi ya? Akhir pekan memang waktu yang paling pas di habiskan dengan orang yang kita sayangi. Waktu dimana kita mengisi baterai kosong yang tersiksa selama Senin sampai Jum'at. Setelah Bastian pikir-pikir kembali, menyetir berjam-jam ke sini dan harus bekerja keras lagi untuk mengurus seorang perempuan mabuk, ternyata tidak begitu buruk. Bahkan mungkin lebih menarik dan menyenangkan dari pada tidur seharian di asrama dan menonton TV. Ya, Adelia memang perempuan yang cukup menarik sekaligus merepotkan.
Bastian memandang kepala kecil Adelia yang bergerak-gerak gelisah karena sepertinya ia masih ngambek. Adelia membuka sedikit kaca jendela mobil Bastian dan mengeluarkan tangan kecilnya, seakan-akan ingin menyapa angin. Ingin rasanya Bastian memarahinya dan mengunci agar kaca jendela itu tidak bisa dibuka lagi. Tapi sekali lagi, Bastian entah kenapa mencoba bersabar.
"Kamu mau ngajak aku kemana?", tanya Adelia dengan suara datar. Ia berusaha untuk terlihat sabar. Ia berusaha keras menjadi pendamping yang baik, jadi Bastian harus menghargainya dengan membawanya ke sebuah tempat yang indah.
"Tempat yang mungkin kamu sukai. Heemmm tunggu, mungkin bahkan tempat yang kamu butuhkan sekarang", jawab Bastian.
"Hemmm…tempat pijat?", tanya Adelia dengan sumringah. Pliss pliss pliss Adelia berharap itu tempat pijat, walaupun ia sebenarnya Cuma bercanda.
"Itu yang kamu harapkan? Kamu mau di pijat? Pegel? Aku bisa mijat kamu kok…", jawab Bastian sambil menatap Adelia dengan serius. Sok serius lebih tepatnya.
"Ah ogahhhhh, kamu mesum.", komentar Adelia. Bastian menyerngitkan dahi dan matanya.
"Kapan coba aku mesum? Kalo aku ga sabar, tadi malam udah aku mangsa kamu hidup-hidup. Mungkin aja hari ini kamu udah gak hidup lagi. Atau setidaknya gak bisa jalan untuk sementara", jawab Bastian sambil menahan senyumnya. Di wajah ia sedang menahan senyum, tapi sebenarnya ia sedang menahan gejolak aneh di perutnya. Membayangkan kembali Adelia tadi malam tidur di sampingnya, sesekali menyesak masuk ke dalam pelukan Bastian, atau menggesek-gesekkan kaki mulusnya ke kaki Bastian. Ia sudah sangat dekat untuk memangsanya.
"Tidur aja dulu Del, kamu perlu banyak istirahat. Nanti kalau udah sampe tujuan, aku bangunin deh. Ok?", tutur Bastian sambil menepuk-nepuk pelan pucuk kepala Adelia. Seketika tangan Bastian menyengat seperti di aliri listrik, dan akhirnya memanas. Mungkin bila di lihat lebih seksama, telapak tangan cowok itu mungkin sudah memerah! Bastian juga bingung, kenapa ia bisa memiliki refleks aneh seperti itu. Ia menarik pelan tangannya dan meletakkannya di setir. "Sepertinya tanganku akan lebih berguna di setir ini. Ya sudah disini saja, daripada ngelakuin hal yang aneh-aneh", gumam Bastian dalam hati.
"Oooo… oooo.. ok", jawab Adelia canggung. Ia bersikap seakan-akan ia juga baru saja tersengat listrik.
"Apa itu tadi? Main elus-elus segala sih?", gumam Adelia dalam hati. Bisa juga ternyata Bastian berlaku impulsive walau Cuma beberapa detik, pikir Adelia. Sebenarnya Adelia juga ingin mempertanyakan perlakuan Bastian yang tiba-tiba memeluknya tadi. Cih, benar-benar mengambil kesempatan dalam kesempitan. Atau lebih tepatnya, kecelakaan, pikir Adelia.
Tapi Bastian ternyata benar, Adelia akhirnya mulai mengantuk. Segera setelah ia mendapatkan posisi yang nyaman, Adelia mulai tertidur pulas. Tadinya Adelia ingin mengantisipasi kalau tidurnya akan terlihat aneh, dan Bastian akan mengabadikan lebih banyak momen-momen memalukan lagi. Ah tapi sudahlah, Adelia memasrahkan dirinya.
"Del…Del…we have a long way to go… (Kita punya jalan yang masih panjang)", bisik Bastian pelan, berusaha meyakinkan dirinya Adelia tidak bisa mendengarnya. Lagi pula singa betina itu sudah tertidur pulas. Bastian menoleh ke arah istrinya yang ia bawel, mood yang tidak bisa di tebak, dan berharap semua orang dapat membaca fikiran dan suasana hatinya. Bastian tersenyum geli bila mengingat momen ia mengabadikan Adelia yang sedang mabuk malam sebelumnya. Ia tidak berniat menggunakannya untuk memeras Adelia. Ia hanya…gemas… hahahah…
---------------------------
Setelah 2 jam lebih, akhirnya Bastian memarkirkan mobilnya di salah satu rubanah sebuah apartemen yang tidak begitu jauh dari pusat kota. Apartemen berlantai 15 yang berisi ratusan unit memiliki pemandangan kota Perth yang sangat indah. Letaknya sangat strategis ke pusat kota, halte bus, dan juga taman-taman indah.
"Del…bangun. Kita udah sampai", tutur Bastian lembut sambil menggoyang-goyangkan pipi kecil istrinya. Mimik wajah Adelia bergerak-gerak lucu seakan sedang merenggangkan otot-otot kecil di pipi dan dagunya. Bastian sekali lagi gemas melihatnya.
"Eeehhhhmmmm apaan sihhhh", kata Adelia sambil merengganggkan otot-otot lengannya dengan melebarkannya ke segala arah, begitu juga dengan otot-otot kakiknya.
"Udah sampe putri tidurrr. Ayo turun!", hardik Bastian sambil dengan cueknya keluar dari mobil meninggalkan Adelia. Ketika Adelia melihat ke kiri dan ke kanan dan menyadari ia berada di sebuah rubahan asing, ia panik seakan-akan Bastian akan menguburnya hidup-hidup disitu. Ia segera mengucek cepat matanya, menyambar tas tangannya dan keluar dari mobil dengan cepat.
"Dimana ini?", tanyanya panik sambil menatap Bastian. Cowok itu menyisir rambut berantakannya dengan jarinya ke belakang sambil tersenyum. Ia berjalan gontai meninggalkan Adelia.
"Ikut aja", perintahnya pelan sambil terus berjalan kea rah lift. Adelia mengikutinya dengan panik. Apa sih maksud Bastian membawanya ke situ?
Bastian memencet lift menuju lobby. Ketika mereka sampai di lobby, Bastian keluar dari lift dan sekali lagi meninggalkan Adelia begitu saja menuju sebuah meja kecil. Seorang warga lokal yang berusia sekitar 40-an sedang menulis di sebuah buku sambil merapikan surat-surat di meja tersebut. Bastian mendatangi pria tersebut dan berbicara ramah. Sang pria tersenyum dan mengeluarkan sebuah amplop coklat dan memberikannya kepada Bastian.
"Yuk!", kata Bastian sambil merogoh amplop coklat itu dan berjalan menuju lift. Ia sekali lagi meninggalkan Adelia di belakang. Istrinya itu sekali lagi tergopoh-gopoh mengikuti sang suami dengan frustasi. Tidak bisakah Bastian sedikit pengertian dengan berjalan berdampingan dengannya? Haruskah ia terliat seperti seorang asisten yang mengekorinya kemana-mana?
"Kita mau kemana dan mau ngapain dan sampai kapan?", tanya Adelia menuntut ketika Bastian memencet angka 15. Adelia menyadari kalau ini adalah sebuah apartemen, dan mereka akan menuju lantai 15. Tapi pertanyaannya untuk apa mereka kesana?
"Liat aja nanti", kata Bastian sambil menyandarkan tubuhnya di dinding lift. Ia memasukkan kedua tangannya ke kantong celana jeans belelnya. Rambut yang tadi ia sisir ke belakang dengan jarinya, sekarang kembali menutupi dahinya dengan acak-acakan. Matanya ia pejamkan dengan lembut. Adelia menyadari, pastilah Bastian lelah dengan perjalanan dari sungai Margaret, ke….ke….oh iya ini dimana ya? Adelia masih belum menyadari sebenarnya posisi apartemen ini ada dimana!
Mereka keluar dari lift dan menuju sebuah lorong yang berisi unit-unit apartemen. Bastian merogoh amplop coklat yang ternyata berisi satu set kunci rumah, dan kartu pas menuju apartemen itu. Ketika akhirnya pintu itu terbuka, Bastian melebarkan daun pintu itu dan meminta Adelia untuk masuk. Untuk pertama kalinya hari ini Bastian membukakan pintu dan membiarkan Adelia masuk dahulu seperti seorang laki-laki sejati.
"Silahkan tuan putri…", katanya sambil agak membungkuk, mengejek Adelia. Istrinya itu mengibaskan rambutnya dan berjalan angkuh menuju apartemen bernomor 1503 itu.
Begitu masuk, Adelia terkesan dengan disain indah interior apartemen itu. Yang pertama kali Adelia sadari adalah sebuah jendela super besar tepat di belakang sofa indah berwarna abu-abu. Suasana minimalis futuristic dengan tema warna putih, abu, biru muda membuatnya serasa berada di toko furnitur. Pemandangan kota Perth yang sedang terang berderang menyilaukan mata Adelia. Ia berjalan perlahan ke arah jendela itu. Adelia bisa membayangkan betapa indahnya menyaksikan lampu-lampu kota itu pada malam hari.
"Ada dua kamar, dan 1 kamar mandi di luar. Aku tau kalau nona Adelia suka berendam di bak kayak Cleopatra. Tuh, kamar mandinya gede dan ada bak mandinya", jelas Bastian sambil membuka pintu kamar mandi lebar-lebar. Adelia berlari kecil menuju kamar mandi dan melongok ke dalamnya. Bastian tidak bohong! Kamar mandi itu mewah seperti di hotel-hotel dengan bak mandi berukuran sedang. Walau tidak ada ruang terpisah untuk shower, tapi kamar mandi itu cukup luas dengan dua wastafel dengan alas granit. Tapi tunggu dulu…
"Maksudnya? Ini bakal jadi apartemen kita?", tanya Adelia penuh curiga.
"Iya, kan papa udah ngomong sebelumnya kalau kita harus keluar dari asrama dan tinggal bareng. Kamu mau tinggal di asrama sampe kita benar-benar lulus?", tanya Bastian. Adelia tidak ingin menggeleng, tapi ia juga tidak ingin mengangguk. Tapi iya memang ingat soal tinggal bersama ini. Tapi tunggu dulu…
"Ada dua kamar disini yaaaa jadi kamu tetap bisa dapet privasi kamu!", tunjuk Bastian ke arah 2 pintu kamar yang saling berhadapan, seakan-akan menawab kepanikan Adelia. Ia tahu kalau Adelia pasti belum siap untuk tinggal sebagai sepasang suami istri pada umumnya. Adelia seara refleks tersenyum sumringah, walau ia sudah berusaha untuk menahannya. Ia berjalan pelan ke arah kamar-kamar itu.
"Kamar aku yang ada balkonnya!", hardik Bastian. Adelia menoleh ke arah suaminya itu sambil melotot.
"Curang! Enak aja. Yang ada balkonnya kamarnya lebih luas! Aku mau iniiiii", pekik Adelia sambil menunjuk-nunjuk kamar utama. Bastian menyandarkan tubuhnya ke dinding dan melipat tangannya.
"Kan aku yang nyariin apartemen ini", kata Bastian sambil tersenyum culas. Adelia merasa kesal. Ia sama sekali tidak dikabari soal cari mencari apartemen ini sebelumnya. Kalau begitu, ia juga bisa mencari alternatifnya sendiri dan memastikan ia mendapatkan kamar yang memiliki balkon!
"Nih sih nihhhhhh, kamar yang gak ada balkonnya, punya walking closet mini di dalam kamarnya", kata Bastian sambil menyeret Adelia memasuki kamar yang lebih kecil. Memang sih ukurannya tidak jauh berbeda dengan kamar utama. Kamar itu memiliki sebuah pintu yang ternyata ketika dibuka, sebuah ruangan yang berisi rak-rak yang lebih dari cukup untuk menampung semua koleksi tas, sepatu, baju yang digantung, di lipat, dan bahkan buku sekalipun! Adelia terkesan. Ia bahkan tidak memiliki ruangan seperti ini di rumahnya! Eh tapi tunggu dulu…
"Kalau kamar aku disini, dan kamar mandi ada di luar sana, jadi… jadi… kalau aku abis mandi,…", Adelia merasa risih untuk meneruskan kata-katanya.
"Napaaaa napaaa? Ya selesaikan urusan kamu di kamar mandi donk. Pokoknya aku gak mau ya selama kamu tinggal sama aku, kamu berkeliaran pake handuk kayak lemper. Jaga norma kesopanan!", kata Bastian sambil memonyongkan bibirnya dan menggertak Adelia dengan mendekatkan wajahnya secara tiba-tiba ke arah Adelia. Adelia tidak siap ditambah ia juga terlalu emosi di katai lemper seperti itu.
Adelia refleks menjauhkan diri dari wajah Bastian, namun itu menyebabkan ia terjengkang ke arah belakang. Dengan sigap ia menjambak jaket Bastian untuk berpegangan. Namun Bastian sendiri juga tidak siap melihat Adelia jatuh ke belakang, yang menyebabkan ia tidak sigap untuk menahan Adelia. Cengkeraman istrinya itu membuat ia ikut jatuh ke arah Adelia!
"TTIIIAAANNNNN!!!", teriak Adelia.
Peristiwa itu membuat mereka jatuh menumpuk di tempat tidur ukuran queen yang ternyata berada tepat di belakang Adelia, sukurnya. Adelia mendarat dengan mulus di kasur empuk itu, dengan kedua tangannya masih mencengkeram jaket Bastian. Suaminya itu dengan tampang sangat kaget, berhasil memancangkan kedua tangannya di kasur sehingga walau tubuhnya menimpa Adelia, wajahnya tidak menghempas wajah istrinya itu. Begitupun, jarak mereka sekarang sangat-sangat dekat, terutama karena Adelia belum melepaskan cengkeramannya.
"Ti…tii…tiaaannn…", kata Adelia pelan. Sebuah suara kaget bercampur takut bercampur frustasi keluar dari bibirnya. Namun yang terdengar di telinga Bastian, lebih kepada suara desahan. Ia terpercik, seperti sebuah bara yang direndam 7 hari 7 malam dengan bensin, dan suatu hari menemukan percik api. Ia terbakar, dan berusaha memadamkannya dengan cepat.
Bastian meluruskan tangannya dengan maksud agar ia bisa melepaskan diri dari tumpukan itu dan berdiri melepaskan tubuhnya yang menindih Adelia. Istrinya yang masih saja terkejut, masi melotot dan secara refleks masih terus mencengkeram jaket Bastian. Sehingga ketika Bastian berusaha menjauh, ia justru kembali jatuh menimpa Adelia. Sekarang tidak saja Bastian yang terpercik, Adelia merasakan getaran listrik yang aneh dan berbahaya di sekujur tubuhnya.
"Tian maaf!", kata Adelia ketika ia menyadari bahwa ia lah yang menyebabkan suasana canggung ini. Ia melepaskan cengkeramannya dan dengan canggung ia bingung akan meletakkan tangannya dimana. Karena saat ini tangan itu melayang canggung diantara wajah Adelia dan Bastian.
Entah setan yang lewat dari mana, Bastian dengan impulsif mencengkeram kedua tangan Adelia dengan kedua tangannya, meletakkannya dengan kasar di atas kasur seakan-akan ia sedang menanamnya persis di samping kepala Adelia. Mata Bastian berkilat-kilat, seiring dengan nafasnya yang tiba-tiba menderu-deru. Adelia seakan dapat mendengar detak jantung Suaminya itu, namun ia sendiri cukup kalut dengan detak jantungnya yang seakan menggetarkan dadanya sendiri. Perasaan seperti apa ini?
Dengan cepat, Bastian mencium bibir Adelia yang bergetar hebat. Ia sudah menahannya dengan sangat sabar sejak tadi malam, dan ia tidak berusaha menahannya lagi. Tuhan atau setan telah memberinya sebuah kesempatan. Ia mencium Adelia dengan penuh dominasi, sambil berusaha memasukkan jari-jarinya ke sela-sela jari-jari Adelia. Posisinya benar-benar tidak memberikan keleluasaan bagi Adelia baik untuk bergerak maupun bernafas. Adelia hampir kehabisan nafas.