Waktu telah menunjukkan pukul 1 siang di kota Perth. Peralihan musim membuat suasana pada saat itu menjadi tidak jelas: terik karena sinar matahari, angin dingin yang bertiup cukup kencang, dan udara yang kering. Biasanya orang-orang Indonesia justru menyukai udara seperti ini dan berjalan lalu-lalang di perkotaan. Mereka bisa tetap memamerkan aneka longcoat yang pasti jarang digunakan di negara asal, memakai sepatu boot, memakai kacamata hitam dan nongkrong di pelataran kedai kopi.
Pertimbangan ini lah yang membuat Bastian ingin mencari sebuah apartemen yang terletak di daerah perkotaan. Ia menyadari bahwa Adelia sangat menyukai area pusat kota dengan aneka pertokoannya, kedai kopi dan dekat tempat kerjanya. Apartemen yang ia tunjukkan hanya beberapa belas menit dari Maya Masala, bila dijangkau oleh mobil. Sebuah bus gratisan bisa mengantarkan sang istri dari apartemen menuju halte terdekat ke Northbridge, sehingga Adelia bisa berjalan santai menuju tempat kerjanya.
Dan disinilah mereka, sedang sama-sama mengatur nafas masing-masing di sebuah apartemen tengah kota. Kedua tangan Adelia mencengkram kuat jari-jari Bastian, seakan ia satu-satunya harapan agar tidak jatuh ke jurang. Leher, torso dan bagian tubuh bawahnya menegang tidak santai. Ia masih belum memahami ciuman impulsif Bastian, dan ia belum tahu sampai kapan ini akan berakhir. Tapi, Bolehkah ia sedikit menikmatinya?
Bastian yang telah gelap mata, ikut mencengkeram jari-jari Adelia, seakan menanamkan lebih dalam tangan kecil itu jauh ke dalam kasur. Tidak seperti Adelia yang masih tegang, ia justru mulai santai dan menikmati setiap detik demi detik ciuman yang ia lancarkan kepada istrinya. Ia tidak perduli bila Adelia kaget dan tidak membalasnya. Ia hanya ingin menikmati waktu dan kesempatan yang diberikan kepadanya.
Setelah lima belas detik berlalu, Bastian menghentikan sejenak ciuman itu dan menjauhkan wajahnya sedikit dari wajah Adelia. Ia menatap mata kaget istrinya, seakan bertanya dan meminta jawaban pada saat yang sama. Tapi apa pertanyaannya? Nafasnya menderu, seiring dengan detak jantungnya yang terlalu cepat. Ia merenggangkan cengkeraman tangan Adelia, dan melepaskannya dengan pelan, berjaga-jaga jika Adelia sebenarnya merasa sangat tidak nyaman.
Namun Adelia hanya menatapnya dengan lembut. Tidak ada permintaan, tidak ada penolakan, dan juga tidak ada pertanyaan. Adelia mengatur nafasnya sehingga ia bisa bernafas dengan teratur. Lalu mereka masih terdiam dan saling menatap, untuk lima detik. Waktu yang sebentar sebenarnya, namun kecanggungan membuatnya terasa begitu lama. Selanjutnya apa? Apa? Ayo putuskan dengan cepat, karena suasana ini begitu menyiksa!
Lalu Adelia menggigit bibir bawahnya, yang telah merah merona. Bastian entah mengapa merasa itu sebagai sebuah undangan dari sang istri. Ia kembali melancarkan ciumannya, namun kali ini lebih intens, dalam dan memburu. Adelia justru tidak kaget lagi, bahkan ia justru mengharapkannya. Ia mengalungkan tangannya ke leher sang suami, sehingga posisi mereka menjadi lebih dekat. Ciuman panas seperti itu bukan pertama kali mereka alami. Memori Bastian dan Adelia kembali berkelana pada malam dimana mereka mabuk dan bercumbu di kamar asrama. Mereka cukup merasa bersalah karena ada peran alkohol disitu, namun mereka yakin dari lubuk hati mereka terdalam, keinginan itu memang ada.
Adelia secara agresif membalas serangan demi serangan Bastian. Ia tahu, bila ia berhenti, akan terlalu canggung bagi mereka untuk saling berbicara atau bahkan untuk saling menatap. Biarlah ia nikmati sensasi aneh tapi menyenangkan ini, walau entah perasaan apa yang ia miliki untuk Bastian. Bencikah, sukakah, temankah, biasa saja kah. Apapun itu, tindakan apapun yang sedang terjadi atau yang bisa terjadi setelah ini, bukanlah sesuatu yang ilegal bagi mereka. Toh Bastian adalah suaminya kan?
Bastian merasa ia sedang bergulir di sebuah wahana roller coaster. Ada sensasi mendebarkan, menyenangkan, menakutkan sekaligus membingungkan disitu. Ia bertanya-tanya apa yang menunggunya di tiap detik dari kegiatan itu. Sambutan Adelia yang positif tanpa pengaruh alkohol membuatnya terkejut sekaligus gembira, walau ia tidak bisa menjabarkan apa status hubungannya dengan istrinya tersebut. Kehidupan pernikahan mereka memang belum selazim orang-orang diluar sana, namun Bastian entah kenapa berharap mereka bisa lebih dekat. Setidaknya, Bastian hanya ingin menikmati apa yang ada di pelukannya sekarang. Adelia, miliknya.
"Drrtttt...Drtttttt", sebuah getaran muncul dari HP milik Bastian.
Berhubung HP tersebut terletak di jaket sang suami, Adelia mampu merasakan getarannya yang cukup mengganggu. Namun alih-alih melepaskan dan menjauhkan Bastian, Adelia semakin menaikkan tempo gerakannya, dan kali ini salah satu tangannya tengah memeluk punggung sang suami. Bastian pun justru terpacu untuk semakin memanjakan Adelia. sambil terus mengatur nafasnya, ia memasukkan jemari-jemarinya ke dalam rambut sang istri. Wangi shampoo tempat penginapan sungai Margaret menguar, membuat Bastian mabuk sejenak. Ia menyukai keintiman ini, siapapun Adelia itu baginya!
"Drrttt.... Drrtttt....", panggilan itu muncul kembali, setelah mereka mengacuhkannya untuk puluhan detik. Siapa gerangan yang sangat getol ingin menghubungi Bastian? Sepenting itukah? Mereka terus saja mengacuhkannya, namun kali ini tempo mereka lebih santai, sesekali Bastian berhenti untuk menatap mata Adelia. Ia seakan ingin mencairkan suasana, karena bagaimanapun ciuman itu akan berakhir dan mereka harus...berbicara. Mereka harus berbicara tentang apa saja, atau mungkin membahas apa, kenapa, dan bagaimana ciuman itu bisa terjadi dan bagaimana kelanjutannya.
"Drrttt.... Drrtt....", panggilan ketiga. Bastian akhirnya menghentikan ciuman itu dan menjauhkan sedikit wajahnya dari Adelia. Ia memejamkan kedua matanya dengan kesal sambil mengerutkan bibirnya. Rahangnya mengeras. Siapapun yang menghubunginya, itu haruslah sangat penting!
Adelia terkejut ketika semua itu berakhir dengan canggung. Ia memalingkan wajahnya ke samping kiri sambil memasukkan bibirnya yang sudah merekah masuk ke dalam mulutnya. Tidak saja ia ingin menelan bibir itu masuk selamanya, seakan harga dirinya ikut tertelan bersamanya. Pipinya merona merah, entah kerena ciuman yang panas, atau karena itu telah berakhir. Ia kembali berusaha mengatur nafas dan kata-katanya. Apa kira-kira yang bisa mereka bahas sekarang? Ini terlalu aneh.
Bastian berusaha bangkit dari tubuh Adelia dengan enggan. Tubuh tinggi besarnya terlihat menjulang dari sudut pandang Adelia yang masih terbaring di kasur. Ia memiringkan tubuhnya dengan canggung ketika Bastian benar-benar sudah berdiri dan merogoh HP miliknya. Sebelum melihat HP miliknya, Bastian seakan ingin pamit kepada Adelia untuk menjawab panggilan yang mungkin penting itu. Tapi tidak ada kata yang mampu keluar dari bibirnya, sehingga membuat bibir yang juga merah merekah itu menggantung begitu saja. Kecanggungan lainnya terjadi untuk lima detik, sampai akhirnya Bastian memutuskan untuk mengangkat panggilan yang sangat penting itu.
"Haloooo....ya ada apa?", tanya Bastian menjawab panggilan telfon itu. Ia segera keluar dari kamar menuju ruang tengah apartemen.
Walau tidak ada rencana untuk menguping, Adelia benar-benar ingin tahu siapa yang telah tega mengganggu mereka. Ia berjalan perlahan menuju dapur, seakan-akan sedang menginspeksi ruangan-ruangan yang akan mereka gunakan nanti. Dapur! Ya dapur! Ayo cek dapurnya.
"Aku gak tau pulang jam berapa. Aku masih ketemuan sama temen papa. Nanti kalo uda sampe asrama aku hubungi...", tutur Bastian kepada sang penelfon. Bastian berusaha untuk mengatakannya sepelan mungkin, agar tidak terdengar oleh Adelia, namun tidak terlalu mencurigakan agar tidak membuat kuatir sang penelfon.
Ya, sang penelfon. Adelia dapat menebak siapa yang tengah menghubungi Bastian. Maretha. Tiba-tiba ada bara api yang mendidih dari tubuh Adelia, mulai dari kaki menjalar sampai ke dadanya. Ia merasa torsonya panas sehingga mendidihkan paru-paru dan jantungnya. Ia merasa agak sesak bernafas dan detak jantungnya tidak beraturan. Kepalanya berkunang-kunang, dan ia merasakan pipinya yang seharusnya sudah berwarna normal, kembali merah merona karena marah.
Adelia kembali berjalan gontai sambil berpura-pura membuka kitchen set, oven, laci atau apapun yang ada di dapur itu. Ia ingin menormalkan keadaannya, karena ia paham apapun yang sedang ia alami saat ini, sangatlah tidak normal. It was just a kiss (itu hanya sebuah ciuman). Siapa Bastian hingga bisa memporak-porandakan hatinya? Siapa Maretha sehingga ia bisa membuat dirinya cemburu buta seperti itu? Harusnya Maretha yang mencemburuinya, harusnya Maretha yang sakit hati karenanya, bukan sebaliknya.
Walau aneh sebenarnya Bastian tengah menyembunyikan fakta kalau ia sedang berada bersama istri sahnya, Adelia harusnya tidak marah! Indikasi kalau itu artinya Bastian masih memiliki rasa dan takut kepada mantannya, harusnya tidak membuat Adelia kesal kan? Toh ia tidak mencintai Bastian dan sebaliknya. Kalaupun ada rasa cinta diantara mereka, haruslah Bastian yang jatuh bertekuk lutut kepadanya, bukan sebaliknya. Toh ciuman tadi pun ia yang memulainya!
Adelia mengelus-elus harga dirinya. Ia wanita terhormat, ia tidak perlu murka untuk hal yang belum jelas. Terutama untuk seorang cowok bernama Bastian, dan seorang pelakor bernama Maretha. Adelia mengelus-elus rambut indahnya yang sempat kusut karena… karena… jatuh di kasur tadi.
Alih-alih santai karena telah membeberkan begitu banyak penjelasan bagi dirinya sendiri, malah membuat Adelia lebih terbakar emosi. Ia memandangi pungung Bastian yang lebar. Suaminya itu masih saja berbicara kepada sang mantan dan memberikan penjelasan yang absurd tentang keberadaannya sambil menatap kota Perth melalui jendela super lebar. Dimana Bastian belajar berbohong seperti itu? Adelia melatih senyum jokernya, berharap sunggingan bibirnya dapat menciptakan aliran-aliran listrik yang akan mendiamkan emosinya saat ini. Nafasnya mulai berpacu dengan normal, seiring dengan kata "pasrah" yang ia ucapkan berkali-kali...
Adelia berjalan ke arah pintu keluar, ketika ia melihat aba-aba percakapan Bastian dan Maretha akan berakhir tidak berapa lama lagi. Ketika akhirnya sang suami memasukkan HP miliknya ke dalam jaket, Adelia tersenyum manis kearahnya.
"Ada rumah lagi yang harus kita lihat hari ini?", tanyanya ramah. Bastian tidak siap dengan perubahan suasana hati Adelia. Tapi baguslah, setidaknya kecanggungan gara-gara ciuman tadi sudah cair begitu saja. Semoga saja Adelia tidak terganggu dengan telfon mendadak tadi…
"Ya, ada 2 lagi", jawabnya sambil berjalan pelan ke arah Adelia. Istrinya itu langsung membuka pintu dan meninggalkannya di dalam apartemen. Untuk saat ini, mari jaga jarak radius 2 meter dulu, gumam Adelia dalam hati.
"Yuk, udah siang banget. Aku laperrrrr...", kata Adelia sambil berjalan mantap ke arah lift. Ia memencet tombol turun dan buru-buru masuk ke dalam lift. Ia berharap andaikan saja mereka berdua bisa turun dengan lift yang berbeda, tapi itu sungguh tak mungkin. Tubuh tegap Bastian memasuki lift, membuat suasana hati Adelia kembali buruk. Untung saja tadi ia sudah sempat mengeluarkan HP miliknya, dan mulai mencari kesibukan.
"Lisa dan Malik udah sampe di Victoria park. Kayaknya Lisa mau dirumah Malik dulu sampe malam", Adelia berusaha mencairkan suasana dengan membicarakan orang lain.
"Oh baguslah, 2 rumah lain letaknya di Victoria park kok. Malah yang apartemen jaraknya gak terlalu jauh dari rumah Malik. Mungkin malah bisa jalan kaki. Nanti kita mampir kesana. Aku juga belum pernah sih kerumah Malik", seru Bastian kikuk sambil berusaha mencairkan suasana juga. Namun kemudian keheningan mendera seiring dengan turunnya lift ke lantai lobby. Keheningan itu membuat Adelia berfikir, akan kacau nanti bila Bastian tau kalau Justin juga tinggal disitu. Bagaimana nanti kalau mereka semua bertemu?
"Kamu tunggu di mobil aja ya, aku mau balikin kunci ini dulu ke resepsionis", kata Bastian sambil memberikan kunci mobilnya ke tangan Adelia. Istrinya itu menurut. Ia mengambil sang kunci, memasukkannya ke dalam longcoatnya dan langsung berpaling ke arah sebaliknya, jauh dari menatap sang suami. Masih cukup canggung dan emosi berdadah-dadah sekarang, pikirnya. Adelia memencet lift untuk turun ke basement, tempat mobil Bastian parkir.
Ketika Bastian menyusulnya di mobil, ia membawa 2 gelas dari karton. Adelia dapat mencium wanginya, satu gelas berisi kopi, dan satu gelas berisi teh.
"Mereka jual ini di lobby, mungkin bukan merek kesukaan kamu. Tapi mayan buat ganjel sebelum kita makan siang", tutur Bastian sambil memberikan segelas teh kepada Adelia. Ia menerimanya dengan sedikit enggan sebenarnya. Tapi kalau ia tidak segera menyambarnya, gelas itu bisa jatuh sempurna di paha Adelia, secara tangan Bastian sendiri sudah tremor berusaha menahan panas dari gelas teh. Ketika Adelia menerimanya, hangat sang gelas menjalar dari tangannya ke seluruh tubuh Adelia. Heran memang minuman hangat justru bisa mengademkan hatinya yang panas. Aroma teh dengan jenis English Breakfast itu segera membelai penciuman Adelia. Wangi yang membuat Adelia berada di "comfort zone".
"Makasih Tian", katanya manja sambil membuka penutup gelas teh. Ia ingin menghidup aromanya lebih dalam lagi. Wajah Adelia yang mungil, menunjukkan mimik kepuasan yang tiada tara, seakan-akan ia sedang menikmati candu berbahaya. Matanya yang terpejam, bibirnya yang menyungging senyum, menunjukkan ia sedang berada di dunianya sendiri. Bagi yang tidak mengenal Adelia, mungkin mengira ia gadis sinting. Ya, sedikit. Bastian tidak mampu menahan senyumnya. Adelia memang sedikit menggemaskan.
Mereka akhirnya melaju meninggalkan pusat kota, menuju pinggiran kota Victoria Park. Adelia sebenarnya sangat familiar dengan daerah ini, karena selama hampir satu tahun ini ia sering menghabiskan waktu disitu. Hampir semua taman di dearah itu sudah ia jelajahi dengan genk bridgingnya, atau berempat saja dengan Lisa, Malik dan Justin. Hampir setiap kedai kopi, restoran Asia sampai toko-toko kecil di daerah itu sudah pernah mereka jelajahi. Bila Adelia dapat memilih sebuat lokasi tempat tinggal selain asrama, ia mungkin akan tinggal di daerah itu juga.
Bastian membelokkan mobilnya ke arah Hungry Jack's, sebuah gerai makanan cepat saji yang menyajikan aneka hamburger yang lezat. Ia mengantri di area drive thru, dan sepertinya ia akan menyambar beberapa makanan alih-alih duduk di restoran.
"Kita beli makanan yang cepet aja ya, biar sempet mampir ke 2 lokasi. Aku gak mau terlalu kesorean sampe asrama", jelas Bastian. Adelia mengangguk-angguk malas. Ia meyeruput tehnya dengan pelan. Ya, tidak ingin kesorean karena pasti dicariin oleh Maretha. Adelia mengangkat alisnya dan menyunggingkan senyum segaris setelah ia selesai meneguk tehnya.
"Ada tugas yang harus aku beresin, Besok due (dikumpulkan)", jelas Bastian lagi, seakan ia kuatir Adelia akan berfikir yang aneh-aneh. Padahal fikiran Adelia sudah melalang buana kemana-mana. Ia kembali menegaskan senyum segarisnya, namun ia enggan menunjukkannya kepada Bastian dan lebih memilih membuang wajahnya menatap jendela.
Ia memandang sepasang kekasih yang keluar dari restoran menuju mobil mereka. Umur mereka sepertinya tidak lebih tua dari Adelia dan Bastian. Mereka mengenakan pakaian yang nyaman, cukup nyaman sampai bisa dibilang mirip piyama. Sebelum mereka benar-benar memasuki mobil, sang pria memeluk wanita dengan posesif dan membisikkan sesuatu. Sang wanita kemudian tertawa terbahak-bahak dan mencoba melepaskan diri dari sang pria yang juga ikut tertawa terbahak-bahak.
Pada saat seperti itu, pastilah mereka merasa dunia milik mereka berdua saja, sisanya nyewa, numpang atau nyasar. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, yang jelas mereka begitu nyaman, lepas, dan santai kepada satu sama lain. Sang pria mengecup cepat bibir sang wanita, dan membukakan pintu mobil dan mempersilahkan sang wanita masuk. Mereka masih terus berbicara sambil tergelak dan berlalu pergi.
Hemmm begitulah seharusnya sebuah hubungan. Ketika sepasang kekasih bersama, mereka menjadi teman, sahabat, adik, kakak, mentor, murid, dan kekasih. Mereka bisa membahas apa saja dengan santai, tidak perlu terlalu menjaga penampilan, saling mengerti dan memahami, dan saling mendukung. Ya, sebuah hubungan yang sempurna. Sebuah hubungan yang membuat dua individu nyaman dengan dirinya sendiri, mencintai dirinya sendiri, yang kemudian mampu mencintai orang lain sebesar itu pula.
Sedangkan saat ini... Adelia tidak bisa mengingat kapan ia pernah benar-benar merasa berada di hubungan yang sedekat dengan sepasang kekasih tadi. Akahkah suatu hari nanti ia bisa berada dalam hubungan seperti itu?