Adelia telah berdiri di hadapan kompor 4 tungku dapur asramanya sejak pukul 5 pagi. Telah 3 kg beras ia udak-aduk bersama dengan kaldu ayam, beserta beberapa bawang putih dan bawang bombay yang ia blender. Sebanyak 3 resep yang berhasil ia download dari mbah google, telah di print dan di tempel di dinding dapur luas itu. Eksperimennya hari ini hanya demi membuat 2 mangkuk bubur ayam khas Jakarta.
Berkat proses "trial & error", ia berhasil membuat 6 mangkuk bubur ayam dengan 6 cita rasa yang berbeda-beda. Ayam suwir, ayam popcorn, ayam tumis, pakai kuah soto, atau pakai telur yang ia ceplokan di atas bubur dan ia "panggang" lagi di dalam microwawe. Setelah yakin ia sudah membuat "top 2" bubur yang layak, ia segera menutup memindahkan bubur-bubur itu ke kontainer sekali pakai, dan mengantarkannya ke lat 26 dengan note: To Ravi & Bastian. Thanks for last night.
---
Sebuah ketukan membangunkan Bastian pukul 7 pagi. Ia sebenarnya masih mengantuk. Semalaman ia mempelajari silabus-silabus 4 mata kuliah Finance yang akan dia hadapi dalam 1 semeter ini. Tidak seperti Adelia, ia lulus ujian IELTS dengan mulus, sehingga ia tidak perlu mengikuti bridging program. Tapi konsekuensinya adalah, ia harus cepat memahami materi-materi ini dan bersaing dengan teman-temannya yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertamanya. Konon lagi ini adalah Finance-English.
"Bastian, breakfast is ready", suara Ravi terdengar dari balik pintu.
Bastian bingung. Breakfast? Selama ini dia cuma makan roti panggang dengan butter, dan segelas kopi. Sarapan apa maksud Ravi? Apa cowok itu dengan sengaja membuatkannya sarapan? Padahal tadi malam baru saja ia di traktir RA itu di restoran India. Bastian langsung keluar dan menuju common room sekaligus ruang makannya itu.
Di meja makan, terdapat 2 kontainer berisi bubur ayam yang biasa ia pesan di Jakarta. Sejenak Bastian mengucek-ucek matanya. Mimpikah ini? Belum pernah ia melihat ada yang jual bubur ayam khas Indonesia di sekitar kampus, terbang darimanakah makanan ini? Beli dimana si Indiai ini, batinnya.
"This Indonesian porridge is... incredible! I can tell, that this is far most.... the best porridge I had tasted so far!", puji Ravi sambil terus menyuapi bubur-bubur itu ke dalam mulutnya dengan lahap. Tampak asap-asap keluar dari mulut dan container itu. MASIH PANAS!
Bastian melihat bubur ayam di hadapannya. Bubur yang wanginya "ayam banget", dengan taburan ayam suwir, daun bawang, dan kripik doritos! Sejenak Bastian menahan senyumnya. Sejak kapan doritos ada di atas bubur ayam? Ketika ia melihat bubur Ravi, ia lebih takjub lagi. Bukan ayam suwir, melainkan ayam dan jamur tumis BBQ yang terletak di atas bubur ayam bersama daun bawang dan ...doritos lagi. Di sampingnya, terdapat satu buat wadah kecil berisi ayam yang dipotong kecil-kecil dan di goreng bersama tepung ayam goreng. Jadi seperti ayam popcorn gitu. Menarik juga.
Ketika Bastian menyuap bubur itu, pikirannya melayang ke pagi-pagi di Jakarta ketika ia biasa menyantapnya. Entah itu bubur yang lewat di depan rumahnya, bubur gerobak dekat kampus, atau ketika ia dan teman-temannya dengan sengaja sarapan bubur di suatu tempat. Belum pernah sekalipun mamanya atau mbak dirumah memasak bubur untuk makan pagi dirumah. Padahal, mungkin tentunya lebih lezat.
Seperti pagi ini, ia dan Ravi sedang menyantap bubur "alternatif" homemade yang hari ini terasa sangat istimewa. Kenapa? Satu, karena ia gratis. Dua, karena selama beberapa hari ini ia menyantap makanan yang random, sehingga standar makanannya sangat turun. Ibaratnya, roti diberi saus tomat dan keju aja, rasanya udah kayak pizza. Yang ketiga, bubur ini menggunakan bahan-bahan yang premium dan melengkapi bubur kaldu ayam itu dengan begitu kreatifnya. Gak pernah kepikiran di benak Bastian. Ternyata lezat juga!
Bastian memakan suapan kedua dengan lahap sambil sesekali menghirup wangi kaldu ayam yang telah dimasak dengan aneka bawang itu, bersama sang daun bawang. Ingin rasanya ia mencuri topping bubur Ravi. Sepertinya cocok banget bubur pakai Ayam jamur BBQ begitu. Tapi nanti deh, dia harus tau dimana Ravi membelinya. Ia akan mencoba rasa lainnya.
"Where did you get this porriage?", tanya Bastian serius.
"Your Indonesian girlfriend brought it this morning", jawab Ravi sambil tersenyum jahil. Hal itu membuat Bastian berfikir keras. Otaknya belum cespleng pagi ini, ia belum kena kopi.
"What girlfriend?", tanyanya lugu.
"Adelia", katanya lagi sambil menghabiskan ayam popcorn itu dengan kecepatan tinggi. Bastian langsung menghentikan suapannya sejenak. Adelia? Ia sungguh tidak percaya gadis manja dan kolokan itu membuatnya. Apa ia terlewat sesuatu? Ia tidak pernah tau Adelia memiliki sisi seperti ini.
"I think she just want to thank us for last night. I that the case, I don't mind to take her whereever she wanted to go, just to get this kinda breakfast", kata Ravi sambil tertawa. Bastian tersenyum dan mulai melanjutkan kembali memakan buburnya. Sayang sekali ia menggunakan kontainer sekali pakai. Bila ia memakai piring atau mangkuk, kan Bastian punya alasan untuk mencuci dan mengembalikannya. #Ehh
"You.... youuu Bastian! You should get yourself,…a car!", Ravi kembali menggoda Bastian sambil tertawa. Bastian tersenyum nyengir. Tapi entah kenapa, ia tengah mempertimbangnya sekarang.
---
Adelia kembali menuju tempat tidurnya selelah menghabiskan waktu 2 jam berdiri di dapurnya. Ia bersyukur ketika mengantarkan bubur itu, Ravi yang membukakan pintu. Entah kenapa ia merasa tidak nyaman bila Bastian yang memergokinya mengantar bubur itu. Toh sebenarnya ia hanya ingin berterima kasih kepada Ravi kok. Tapi akan terasa aneh aja bila Bastian tidak mendapatkannya juga. Sisa bubur itu cukup untuk 4 mangkok, yang dengan senang hati di habiskan oleh Marvin, Pat dan 2 teman Eropanya yang memang selalu sarapan bersama.
Setelah memasak bubur 2 jam, bahkan Adelia tidak bernafsu untuk sarapan. Ia cukup pintar untuk memotretnya dan mengirimkan kepada papa dan mamanya. Walaupun mungkin reaksi mereka biasa aja. Mungkin lebih baik untuk media sosialnya aja. Sepertinya pengikutnya yang berjumlah 400an itu lebih menghargainya.
Namun ia ingat sesuatu... Ia harus segera belajar mencuci baju-baju dan seprei dan selimut yang baru ia beli di IKEA. Ia kemudia mengambil sebuah koper dan memasukkan semua yang harus ia cuci dan mempersiapkan koin-koinnya. Ia belum pernah menggunakan mesin cuci koin sebelumnya. Ia menurunkan koper besar itu dengan hati-hati. Ruang laundry itu hanya berjarak beberapa meter dari flatnya. Tepatnya di sebelah kantor penyelia. Heemmm... mencuci quilt cukup 6 bulan sekali aja kali ya...batinnya.
Ketika ia turun dan berjalan menuju ruang laundry, ia melewati balkon atau teras flat 26. Ia tidak pernah menyadarinya, bila ia akan keluar dan masuk ke dalam flatnya, ia pasti akan melewati balkon flat Bastian. Dan saat ini pun, Bastian dan Ravi sedang memperhatikan Adelia yang berjalan sambil membawa koper besarnya yang berwarna pink muda. Kedua cowok itu sedang menikmati kopi setelah menghabiskan bubur ayam mereka.
"She is about to run away, or, doing her laundry...", tebak Ravi, yang kemudian melirik Bastian. Ia mengangkat-angkat alisnya berulang kali seakan memberi kode kepada cowok itu... "do your laundry toooo", kira-kira begitulah arti tatapan itu. Bastian paham. Ia cepat-cepat menghabiskan kopinya, membilasnya di wastafel dan segera menuju kamarnya. Ia mengemas apa saja yang bisa ia cuci, dan segera membawa sekantong untuk ia cuci... di ruang laundry...
---
Adelia bersyukur saat ini tidak ada yang menggunakan ruangan laundry. Saat ini ia telah memasukkan 1 quiltnya ke dalam sebuah mesin cuci, dan menggunakan 1 mesin cuci lagi untuk seprei dan baju-baju yang sudah ia gunakan dalam beberapa hari ini. Ia berikir, setelah ini mungkin ia akan mencuci tiap 2 minggu saja, setelah menghitung-hitung jumlah bajunya. Ia telah memasukkan deterjen, dan koin. "Kenapa belon jalan juga nih mesin? Aduh aku salah apa ya?", gumamnya pelan. Ia menggoyang-goyangkan mesin besar itu.
Sedetik kemudian pintu laundry itu terbuka, dan muncullah cowok yang dari pagi ini Adelia hindari. Bastian. Cowok itu mendekatinya, namun tidak mengatakan apa-apa. Ia memasukkan seluruh isi kantung laundry yang ia bawa, dan masukkan deterjen ke dalam slot untuk deterjen. Ia memasukkan koinnya, kemudian memutar kenop air dan timer. Jreeeenngggg akhirnya mesin cuci Bastian peroperasi.
Adelia paham sekarang. Kenop! Kenop belum di putar. Ia berpura-pura membersihkan serpihan deterjan yang terbuyar di sekeliling mesin cuci miliknya, dan dengan anggun memutar kenopnya... seakan-akan dari tadi ia tau kok cara mengoperasikan mesin itu hihihi. Ia kemudian berjalan ke arah wastafel, dimana pakaian dalamnya sedang di rendam. Saatnya mengucek, pikirnya. Ada sekitar 4 wastafel yang disediakan disitu, lengkap dengan penutup wastafel agar bisa merendam dan air panas. Ia mulai mengucek dengan anggunnya sehingga busa memenuhi wastafelnya, seakan-akan Bastian tidak ada.
Bastian mendekati wastafel di samping Adelia, ia harus mencuci kemejanya yang super halus, yang tak boleh tersentuh oleh mesin cuci. Ketika ia menatap sekilas Adelia, tatapan mereka bertabrakan. Masing-masing gengsian dan belum ada tanda-tanda salah satu akan menyapa. Entah itu Bastian yang ingin berterima kasih untuk buburnya, atau Adelia yang sumpah mati pengen tahu, bagaimana rasa bubur buatannya. Nope, tidak ada kata-kata. Hanya suara mesin cuci berputar yang terdengar.
Ketika Adelia menatap apa yang sedang di kucek Bastian, ia menggeleng kepala. Ciihhhh kemeja gitu doank harus di kucek? Adelia membayangkan, siapa yang akan menyetrika kemeja mahal itu setelah ia kering? Ketika Bastian menatap sekilas apa yang sedang di kucek Adelia, ia kaget sehingga matanya melotot! Ketika Adelia menyadari keterkejutan Bastian, dan mencoba mencari tahu apa yang membuat cowok itu, ia panik. Oh tidak! Ia baru ingat kalau ia sedang mencuci celana dalam dan Bra miliknya. Ketika ia kembali menatap wajah Bastian, cowok itu berusaha memejamkan matanya, namun pipinya bersemu merah. Sialan! Dasar cabul!
"Gi..giii....gimana tadi rasa buburnya? Ravi suka gak?", tanya Adelia berusaha untuk mengalihkan pikiran mereka dari pakaian dalam Adelia. Sebentar lagi ia harus membilasnya dari sabun-sabun itu. Pasti bentuk pakaian dalam itu terlihat lebih nyata. Ada yang berwarna putih, hitam, merah, pink, waduuhhhhh...
"Lumayan, enak kok. Beli dimana?", tanya Bastian. Padahal ia sudah bisa menebak kalau Adelia pasti membuatnya. Tapi entah kenapa pikirannya juga melayang ke arah lain. Baru tau kalo perempuan itu pakaian dalamnya bisa berwarna-warni begitu. #EH
"Ya aku bikin sendiri laahhh gampang banget kok", katanya. Ia segera membilas pakaian-pakaian dalam itu dengan kecepatan cahaya, namun kemudian bingung, dimana ia akan menjemurnya? Gak mungkin di masukkan ke mesin pengering kan? Ok, yang penting bawa aja dulu di kamar, gampang lah, jemur di tiang tempat tidur aja nanti, batinnya. Ia memasukkan pakaian dalam basah itu ke dalam sebuah plastic kecil, dan memasukkannya ke dalam koper.
"Aku duluan ya, mesinnya masih muter sejam lagi kok. Ntar aja aku pindahin ke mesin pengering, kata Adelia dan bersiap untuk keluar dari ruangan itu.
Bastian tidak mencegah gadis itu pergi. Padahal ada banyak yang ingin ia bilang, ada banyak yang ingin ia tanyakan. Saat ini, dia adalah orang yang terdekat baginya. Gadis itu adalah penghubungnya ke dunia nyatanya: Jakarta, orangtua, rumahnya. Saat ini sebenarnya Bastian sedang mengalami "homesick". Tidak ada yang menyadarinya, tidak ada yang bisa ia ajak bicara, tidak ada yang bisa memahaminya. Entah kenapa sejak pagi tadi, ia ingin menggapai Adelia. Gadis itu adalah Jakarta, keluarganya, rumahnya. Ia ingin membagi derita ini hanya dengannya, ia cuma merasa Adelia bisa memahaminya hanya karena seporsi bubur ayam tanpa kota. Maukah gadis itu berdamai dengannya? Ia juga sebenarnya tidak tahu kapan perang ini pernah di mulai…
Ada rasa depresi dan ingin pulang, walau ia tahu disana hanya akan ada kesepian dalam rumah yang kosong melompong seperti puluhan tahun ini. Ada rasa ingin lari, begitu ia tahu ia akan berada di kota ini, di negara ini untuk waktu yang tidak sebentar. Mungkin hanya karena makanan, mungkin karena teman-teman asingnya, mungkin karena udaranya yang dingin. Semua, semuanya terasa asing, dingin tapi begitu nyata. Beberapa detik ia ragu untuk menjalaninya. Apakah Adelia merasakannya juga? Berat jugakah ini semua baginya?
Namun tadi malam, ketika ia melihat Adelia tertidur di jok belakang mobil Ravi, ia seakan memiliki 1 lagi alasan kuat agar ia bisa bertahan di kota asing, dingin, dan nyata ini: Melindungi gadis ini. Tadi pagi, ketika ia menyantap seporsi bubur ayam buatan Adelia, ia seakan memiliki beberapa alasan untuk merasa nyaman di kota ini: Ia adalah keluarganya, ia adalah rumahnya, ia adalah... kekuatannya. Sebuah pemikiran yang baru terbersit dalam beberapa menit yang lalu, tapi terasa begitu kuat. Apa hanya karena ia satu-satunya orang Indonesia yang ia kenal disini? Apa karena ia telah mengenalnya seumur hidupnya? Kenapa ia merasa begitu tergantung secara emosional kepada gadis itu?