"Berapa lama kita akan sampai ke pintu gerbang?" Tanya Kazo pada pria berambut hitam yang duduk bersemedi dengan tenangnya.
Anak itu sejak tadi terus berpegangan dengan gugup saat kipas yang melayang itu tiba-tiba membelok dan menukik dengan tajam pada jalan-jalan tertentu. Dan hal itu tentu saja membuat Kazo terkejut karena merasa belum terbiasa.
Dulu Kazo selalu bermimpi ingin menaiki karpet terbang setelah melihat film Aladin, namun sekarang dia tidak ingin mencobanya lagi setelah tahu bagaimana rasanya terbang dalam keadaan terbuka seperti ini. Tubuhnya berkeringat dingin dan perutnya mual tidak terkendali. Jika tidak ingat musuh, Kazo lebih baik melompat dan berjalan kaki di bawah sana.
"Tidak akan lama selama tidak ada yang mengganggu perjalanan kita." Sahut Ain Naoki dengan nada suara bersenandungnya. Pria itu masih memejamkan mata dengan santainya, seolah melakukan Yoga sambil terbang adalah hal yang paling mudah di lakukan. Bahkan Kazo melihat Arga dan Bam yang duduk di belakang berusaha sekali untuk menahan ekspresi wajah gugupnya.
"Hei Naoki, bisakah kau membuat benda ini terbang lebih baik." Seru Bam dengan wajah pucat yang di tahan.
"Kapan kau akan belajar tentang sopan santun Bamberda? Aku ini pemimpinmu, jadi panggil aku Tuan." Sahut Ain Naoki dengan suara mendayu yang terdengar menekan. Mendengar itu Bam mendengus kasar.
"Baiklah Tuan Naoki, bisakah kau membuat benda ini melayang dengan baik. Jangan membuat kita mati bahkan sebelum sampai ke gerbang Porta Loka. Kau tidak kasihan pada dua anak ini yang hidupnya sudah merana selama ini."
Kazo dan Arga langsung menoleh pada Bam dengan wajah pucat dan gusar.
"Apa?" sergah Bam tak kalah gusar saat melihat dua anak itu menatap sebal padanya. Namun Kazo dan Arga tidak mengatakan apapun karena sibuk menahan mual yang teramat sangat.
Kipas besar itu masih terus terbang tinggi dengan kecepatan yang perlahan berkurang setelah tiga penumpang itu terus mengoceh tanpa henti. Kazo terus memperhatikan hutan belantara yang terhampar di bawah sana dengan seksama.
"Sebenarnya berapa luas Verittam ini?" Tanyanya, karena dia merasa Verittam ini bisa disebut sebagai wilayah sebuah kota karena saking luasnya. Dia terus mengernyit saat melihat beberapa tembok-tembok labirin yang tersembul dari balik pepohonan lebat di bawah sana.
"Luas Verittam ini tidak ada yang mengetahuinya. Dulu tempat ini hanya sebuah labirin tembok yang tidak terlalu panjang dan dengan mudah menghubungkan menuju gerbang Porta Loka. Namun Tuan Jakarri sendiri yang memperluas tempat ini sebelum memindahkan para penghuni... " Ain Naoki tampak terdiam beberapa saat.
"Gerbang Hiroki?" lanjut Kazo. Ain Naoki terlihat mengangguk.
"Jadi tempat ini sekarang menjadi habitat tetap para makhluk di gerbang Hiroki. Butuh waktu cukup lama untuk melewati tempat ini. Untung saja aku punya kendaraan bagus bukan?" serunya dengan nada bangga. Pria itu lalu mengibaskan rambut panjangnya yang membuat Kazo bergidik geli. Terlebih saat pria itu tiba-tiba mengikat rambutnya dengan gerakan yang begitu feminim.
"Kenapa juga aku harus punya pemimpin mengerikan seperti dia." gumam Bam dari belakang dengan alis berkerut.
Anak itu sudah mengucapkan kata-katanya selirih mungkin, tapi sayangnya telinga pemimpinnya itu jauh lebih peka dari apapun. Karena tiba-tiba Naoki mempercepat laju kipasnya dan membuat bagian Bam terlihat menukik ke bawah.
"Dasar Tuan sialan!" umpat Bam sambil berpegangan kuat pada pinggiran kipas karena tubuhnya hampir terlempar ke bawah sana.
"Hahahaha... Rasakan! Kalau kau masih terus menggerutu, aku akan benar-benar membuatmu meluncur tanpa hambatan." tukas Ain Naoki masih dengan tawa menggelegar saat melihat wajah Bam yang sudah pucat semakin terlihat memutih.
Sedangkan anak berambut merah itu masih mendelik kesal dan mengutuk pemimpinnya dengan sumpah serapah di dalam hati. Kalau saja pria itu bukan pemimpinnya, dia pasti sudah menendangnya ke bawah sana.
"Hei Bam, kenapa dengan senjatamu?" Tanya Arga tiba-tiba sambil menatap pada pistol Bam di pinggang kanannya yang terlihat terbelah bagian tengahnya. "Kau juga tadi datang dengan penampilan kacau, memangnya siapa lawanmu?"
Bam hanya melirik pada Arga sesaat, lalu kembali melirik senjata di pinggangnya dengan wajah geram. "Manzino Vinz."
"Maksdumu pria dengan boomerang itu?" Sahut Kazo yang langsung disambut anggukan kepala dari Bam.
"Dia bukan orang yang bisa diremehkan."
Bam sebenarnya tidak ingin mengakui, tapi kalau saat itu Ain Naoki tidak datang mungkin dia sudah menjadi mayat.
-
Di tempat lain.
Glara terlihat menendang-nendang dengan frustasi ke segala arah. Gadis itu sudah kehilangan kontrol emosinya karena sudah hampir satu jam mereka semua terkurung dalam dimensi yang dibuat oleh Ain Naoki.
"Sial! Sampai kapan kita akan menunggu dengan bodoh seperti ini!" umpatnya sambil menebas dinding ilusi di sekitarnya dengan Dagger miliknya.
"Hentikan Glara! Sejak kapan kau menjadi terobsesi begini? Kau sudah tahu dinding itu tidak akan hancur dengan benda apapun. Jadi hentikan dan bersantailah sebentar." Seru Vinz sambil menepuk tanah di sampingnya dan mengisyaratkan Glara untuk duduk. Tapi gadis itu malah mendengus kasar.
"Cih! Kita tidak akan terkurung di sini jika saja kalian bisa lebih cepat menghabisi para penjelajah Rania itu. Bahkan menjatuhkan bocah ingusan itu saja kau tidak bisa." tukas Glara dengan tajam. Gadis itu lalu melirik pada senjata milik Flow yang hanya tersisa gagangnya saja. Gadis itu hampir mengumpat, namun dia mengurungkan niatnya saat melihat raut wajah Flow yang terlihat lesu karena harus menerima kekalahannya dari bocah berambut merah itu.
"Sebaiknya kau saring dulu omonganmu. Sejak awal kalian yang tidak serius dan malah bermain-main. Kalau saja kami tidak datang, aku yakin kalian sudah jadi mayat lebih cepat. Aku jadi penasaran apa tujuanmu sebenarnya Glara, kau bilang anak itu musuh besarmu. Tapi membunuhnya saja kau terlihat ragu. "Seru Vinz sambil menyeringai kasar.
"Tutup mulutmu Vinz!"
Gadis itu langsung maju menerjang dengan Dagger terangkat tinggi, begitu juga dengan Vinz yang sudah siap dengan boomerang di pundaknya. Keduanya sama-sama dikendalikan oleh amarah. Lana melihat itu dengan wajah takut, dia tahu pertengkaran ini tidak akan bisa di elakkan. Glara dan Vinz sejak dulu memang tidak pernah akur.
WUSH!
BRAK
Glara dan Vinz sama - sama terpental berjauhan. Keduanya mengerang dengan keras saat tubuhnya membentur dinding ruang dimensi itu.
"Alto..."
"Bisakah kalian memahami situasi kita saat ini. Untuk apa bertengkar dan semakin memperumit keadaan. Kita memang tidak punya waktu lagi, tapi dimensi ini tidak akan bertahan lama. Jadi bersabarlah dan tunggu sebentar lagi." Pria berkacamata itu menatap tajam pada dua orang yang tengah dalam keadaan gusar. Namun akhirnya mereka berdua hanya saling membuang muka dan memilih untuk duduk menyendiri. Alto dan Lana akhirnya bisa menghela nafas lega. Lima orang itu duduk dilantai dalam keadaan diam.
BRUGH..
KRAK..
Lima orang yang berada dalam ruang dimensi itu langsung meloncat waspada ketika terdengar suara gesekan kasar pada dinding dimensi. Mereka semua menatap pada dinding yang berada di sisi kiri dengan wajah bertanya.
"Ini belum satu jam, tidak mungkin dinding ini akan hilang sebelum waktunya." tukas Alto.
Semuanya saling berpandangan satu sama lain sambil terus memandang pada sisi kiri tembok yang terus terdengar bunyi pukulan dan tusukan. Hingga beberapa saat, sebuah benda tajam berbentuk trisula besar terlihat menembus dinding ruang dimensi. Membentuk celah sempit yang semakin lama semakin membesar, hingga akhirnya tercipta sebuah ledakan kecil saat dinding itu benar-benar menghilang.
Lima orang yang ada di sana masih terpaku sambil menepis kabut asap yang muncul ketika ledakan itu terjadi. Glara menyipitkan matanya, mencoba menembus dan menyelidik siapa orang yang sudah berhasil menembus dinding milik Ain Naoki yang siapapun tidak akan bisa menggoresnya barang sedikitpun.
Namun gadis Nolan berambut hitam itu langsung terperangah tajam dan segera menekuk lututnya, bersimpuh pada sosok berjubah hitam dengan trisula besar ditangannya. Melihat respon Glara, empat Penjelajah Arya lainnya langsung berlutut dan membungkuk pada sosok itu.
"Tuan Arion." ucap Glara dengan nada suara gugup.
Pria yang di panggil Arion itu terlihat menggeram pelan. Tubuhnya tampak besar dan tinggi, bahkan jauh lebih tinggi dari Vinz yang mencapai dua meter lebih. Wajahnya terlihat kasar dan kejam dengan bulu rambut yang menutupi pelipis hingga menyentuh dagunya. Ia mengenakan pakaian resmi milik Bangsa Arya yang terlihat begitu formal, dipadukan dengan jubah hitam besar yang melekat sempurna di balik punggungnya. Tangannya menggengam sebuah trisula besar yang panjangnya hampir menyamai tubuhnya sendiri.
"Anda sudah terbangun Tuan? Maaf kami tidak bisa menjemput anda." ucap Alto dengan nada suara merendah. Ia melirik melalui celah kacamatanya pada pria yang masih menjulang dua meter darinya. Jelas sekali, lima orang yang tengah berlutut itu memiliki ketakutan tersendiri pada pemimpin mereka, Ragirri Ju Arion.
"Jadi, menangkap satu anak saja kalian tidak bisa, ya?"