Di dalam sebuah ruangan besar dengan langit-langit tinggi bergaya arsitektur kuno. Pilar-pilar penyangga berwarna seputih batu pualam menjulang bebas dan megah di tengah-tengah ruangan. Ukiran tulisan yang tidak mudah dipahami menghiasi sebagian dinding yang juga berwarna putih. Meja yang terbuat dari batuan mengkilap berwarna pastel berdiri memanjang dengan tiga belas kursi mewah yang mengelilinya.
Sepuluh petinggi Kerajaan atau yang disebut Aralt dari masing-masing dua belas Bangsawan tengah duduk mengadakan pertemuan yang tiba-tiba saja harus mereka lakukan. Para Aralt itu mengenakan jubah panjang berwarna hitam putih yang sudah tampak dimodifikasi sesuai dengan selera dan kepribadian pemiliknya. Jubah itu yang membuat mereka dikenali sebagai salah satu orang-orang yang harus dihormati dan memiliki kedudukan tinggi di Kerajaan Loka.
"Sekarang apa lagi yang membuat kita harus duduk berhadapan di tempat membosankan ini?"
Ucapan itu keluar dari seorang pria berusia sekitar tiga puluh tahunan. Rambutnya berwarna putih pucat, hampir senada dengan warna kulitnya yang juga terlihat lebih putih dibanding yang lain. Ia mengenakan baju terusan dan celana panjang berwarna putih polos tanpa goresan warna lainnya. Ia mengenakan rompi jubahnya yang sudah terlihat dimodifikasi menjadi kemeja lengan pendek dengan kerah tinggi yang menutup hingga bagian tengah lehernya.
Pria itu menatap malas dengan matanya yang terlihat sayu seperti orang yang sedang mengantuk. Entah sungguh mengantuk atau memang begitulah bentuk kedua matanya.
"Kau sungguh masih bertanya tentang itu? Dasar tukang tidur bodoh!"
Kali ini yang menyahut sesosok wanita cantik berambut hitam lurus yang panjangnya hingga menyentuh batas lututnya. Usianya sekitar dua puluhan akhir, wajahnya terlihat kecil dengan hidung tinggi dan bibir tipis yang menggoda.
Tubuhnya tinggi dan ramping, ia mengenakan pakaian khas milik Bangsa Arya yang terlihat sudah dimodifikasi mengikuti lekuk tubuhnya yang cukup seksi dan menonjol. Bahkan dia membiarkan beberapa bagian tubuhnya terekspos sempurna, terutama kaki jenjangnya. Jelas sekali dia terlihat bangga dengan kesempurnaan yang tanpa celah pada penampilannya.
"Siapa yang kau sebut bodoh barusan, Varuna? Aku ingin tahu apa yang sudah kau ketahui dari berita simpang siur itu," sahut si pria tadi. Ia menatap dengan sorot mata malasnya yang terlihat mengantuk pada wanita yang ia sebut Varuna.
"Memangnya siapa lagi lelaki bodoh yang kerjaannya hanya tidur kalau bukan kau, Yuwol Ixion. Aku juga ingin tahu apakah kau bertanya seperti itu karena memang ingin tahu atau kau memang pura-pura tidak tahu? Karena orang-orang yang terlibat dalam pengkhianatan itu adalah dari Bangsamu sendiri."
Wanita itu menjelaskan panjang lebar tanpa jeda. Jelas sekali dari raut wajahnya yang menunjukkan ekspresi jijik dan tidak suka ketika dirinya harus berhadapan dengan pria yang ia sebut dengan Yuwol Ixion. Sedangkan pria pucat itu tampak tidak tertarik dengan keluh kesah Varuna. Ia malah meletakkan kepalanya di atas meja sembari menguap lebar-lebar.
"Jadi begitu ceritanya. Seharusnya kau menceritakan hal yang lebih menarik lagi dari ini, karena itu terdengar seperti dongeng kuno tentang pengkhianatan yang sebelumnya pernah kudengar beberapa tahun silam. Hoaaaamm…"
Tentu saja ucapan itu langsung menyulut emosi Varuna. Wanita itu langsung berdiri dengan bunyi kaki yang menjejak kuat. Wajah cantiknya menatap marah pada Ixion seolah dia ingin menghajarnya saat itu juga.
"Tutup mulutmu Ixion! Berani sekali kau mengatakan kalimat itu lagi, atau…"
Ucapan Varuna mendadak terhenti ketika seorang pria yang duduk di ujung meja sebelah kirinya tiba-tiba berdiri. Seorang pria paruh baya yang usianya sudah mendekati kepala lima. Wajahnya sudah cukup berumur, rambut cepaknya berwarna cokelat tua, senada dengan warna matanya yang terlihat menyorot tajam. Ia mengenakan pakaian Bangsa Rania yang normal, begitu juga dengan jubah rompinya yang masih dalam bentuk aslinya alias tanpa modifikasi.
"Pertemuan ini bukan untuk meributkan hal-hal yang tidak seharusnya. Sebaiknya kau tidak tersulut atas ucapan sembarang dari Ixion, Varuna. Biarkan aku yang menegurnya setelah pertemuan ini selesai."
Jelas sekali, pengaruh pria itu cukup membuat Varuna tidak berani melanjutkan debatnya. Terlihat sekali jika para Aralt lainnya yang melihat pertengkaran kecil itu juga tidak berkomentar apapun pada ucapan pria paruh baya itu. Lagipula Varuna dan Ixion tidak hanya sekali dua kali terlibat pertengkaran yang bahkan lebih sengit dari ini. Sejak dulu keduanya memang tidak pernah akur.
Varuna masih enggan menerima keputusan itu, namun akhirnya dia hanya bisa kembali duduk dengan wajah kesal. Ia menatap kepala Ixion yang masih bersandar di atas meja dengan tidak sopannya, sungguh, rasanya dia ingin menempeleng wajah pria Bangsawan Yuwol itu.
Sebenarnya bukan tanpa alasan kenapa Varuna terlihat begitu tersinggung atas ucapan Ixion. Hal itu dikarenakan Ixion masih menyindir tentang status Bangsawannya yang dulu pernah melakukan pengkhianatan, yaitu Veda. Padahal kejadian itu sudah sangat lama sekali, namun mereka tidak berhenti mengungkit seolah dirinya dan semua keturunan Veda yang harus menanggung dosanya.
Keadaan itu kembali hening. Para Aralt lainnya juga terlihat enggan berkomentar apapun. Sepuluh Aralt dari dua belas Bangsawan itu seperti memiliki jarak hubungan satu sama lain.
Mereka berkontribusi sebagai orang-orang terpercaya dan memiliki peranan penting yang mengatur dan melindungi Kerajaan serta Porta Loka. Namun bisa dikatakan itu hanya sebatas pekerjaan yang tidak melibatkan perasaan dan juga persaudaraan.
Tapi tetap saja, mereka tidak bisa mengelak meskipun harus bekerja sama dalam satu atap dengan orang yang paling dibencinya sekalipun. Karena para Aralt Kerajaan Loka hanya digariskan pada keturunan dua belas Bangsawan tinggi Porta Loka.
Saat ini mereka yang menjabat adalah orang-orang yang dipilih berdasarkan kemampuan, kekuatan, kecerdasan dan juga sudah berhasil mencapai sembilan gerbang di Porta Loka. Meskipun begitu, ada satu Bangsawan yang menjabat menjadi seorang Aralt meskipun ia belum memulai ujian gerbangnya sama sekali. Dia adalah sosok yang paling istimewa bagi Raja Rodra.
Pria paruh baya yang sempat menegur Varuna tadi bernama Edgar Maj Foster. Orang-orang memanggilnya sebagai Si Tua Magnet, karena kekuatan Vimalnya bisa membuat tubuhnya mengendalikan benda besi dan baja di sekitarnya. Ia adalah keturunan dari Bangsawan Maj dan memiliki garis nenek moyang dari Bangsa Rania dan juga Arya. Itulah yang membuat dirinya terlihat cukup disegani oleh para petinggi yang lain.
Di sebelah kirinya duduk seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh lima tahunan. Wajahnya tampan, bertubuh tinggi dan tegap. Ia memiliki rambut pirang pucat yang potongannya membuat siapapun akan berpikir dia memang seorang keturunan Bangsawan.
Ekspresi wajahnya terlihat lembut dan ramah, memiliki senyum mempesona yang memabukkan. Ia memakai pakaian Bangsa Arya yang terlihat sudah dimodifikasi menyesuaikan dengan tren yang ada. Membuat lelaki bernama Ragirri Ju Raiden itu memiliki begitu banyak penggemar di luar sana.
Tapi siapa yang sangka, lelaki yang terlihat berwibawa dan tampan seperti seorang pangeran itu sebelumnya adalah seorang pembunuh bayaran keji.
Ia mendapat posisi sebagai Aralt setelah dirinya berhasil mencapai gerbang sepuluh dengan membunuh semua lawannya tanpa sisa, dan itu juga termasuk teman-teman satu timnya sendiri. Raiden masih memiliki garis keturunan dengan keluarga Ragirri Ju Arion. Dan mereka memang terkenal sebagai keluarga keturunan Bangsawan Ju yang dianggap paling kejam di Porta Loka.
"Jadi, berita itu memang benar ya, Tuan Foster?" seru Raiden sembari memamerkan senyum mempesonanya pada pria paruh baya itu. Sudah berapa banyak orang yang pada akhirnya mati terbunuh hanya karena terlena dengan senyuman mautnya.
Tuan Foster hanya melirik sesaat. "Menurut para Garda yang ditugaskan di Gerbang Donya memang begitu. Anak itu dan dua temannya berhasil menyusup dengan campur tangan Ain Maori."
"Wah, jadi itu memang bukan hanya gosip murahan. Lalu kira-kira apa pendapat Tuan dengan peristiwa menggemparkan ini?"
"Kenapa pertanyaanmu terdengar seperti penggali berita di luar sana, kau sedang melakukan tugas sampinganmu?"
Kali ini yang menyahut adalah pria lainnya yang duduk di seberang Raiden. Seorang pria yang usianya bisa dikatakan sama dengan Raiden, namun penampilan dan pembawaannya jelas berbeda sekali. Dia cukup tampan, dengan wajah tegas dan sorot mata dingin yang tajam.
Rambut hitamnya yang sedikit ikal dibiarkan memanjang hingga sebatas bahu. Ia memakai pakaian paling santai di antara petinggi lainnya. Kaos abu-abu panjang dan celana cargo berwarna hitam, rompi jubahnya juga terlihat masih seperti bentuk aslinya. Sepertinya dia tipe orang yang tidak suka berbasa-basi dan benci dengan hal yang terlalu berlebihan.
"Ener Rasalas, aku merasa tersanjung kau baru saja merespon ucapanku. Apa ada sesuatu yang membuatmu tertarik dengan pembicaraan ini, karena biasanya kau terlihat yang paling tidak peduli," sindir Raiden dengan senyum mengembang di bibirnya.
"Tidak," sahut Rasalas singkat.
"Kau yakin? Kau tidak penasaran dengan keterlibatan kakakmu dalam peristiwa ini? Atau kau memang sudah tahu sejak awal?"
Jelas sekali, Raiden tengah menyindir secara terang-terangan terhadap kontribusi Ener Alsaki pada peristiwa yang tengah terjadi. Ener Alsaki adalah kakak kandung dari Ener Rasalas, keduanya adalah keturunan murni dari Bangsawan Ener, Bangsawan tertua di Porta Loka.
Pria berambut gelap itu hanya melirik malas pada lelaki tampan yang seja tadi tidak berhenti menebar senyumnya.
"Aku tidak tahu, dan aku tidak peduli. Aku dan Alsaki memiliki keyakinan masing-masing. Jadi aku tidak akan menghalangi jalannya selama dia juga tidak menghalangi jalanku."
"Jawaban yang bagus. Jadi kau tidak akan melibatkan persaudaraan jika kami terpaksa harus menangkap Ener Alsaki dan semua Penjelajah Rania yang lain. Jelas, mereka tidak akan selamat dari hukuman karena sudah berani menentang Yang Mulia hahaha…"
Raiden terlihat tertawa dengan suara remehnya. Sedangkan Rasalas memilih untuk diam, menatap dengan sudut mata dingin dan malas pada pria tampan di seberangnya.