Aku terus berlari menghindar saat gadis itu terus mengejar sambil menebaskan pisau miliknya. Aku benar-benar tidak bisa bergerak bebas karena jalanan yang tidak begitu lebar.
Ditambah kanan kiriku terpampang nyata air laut yang sejak tadi tampak bergejolak tiada henti. Untung saja aku selalu meraih juara satu lomba lari tingkat nasional sejak masih SD, jadi aku bisa mengimbangi kecepatan gadis itu.
Tapi aku tidak mungkin lari terus menerus, karena tidak ada tempat untuk melarikan diri disini. Dan jika aku terjatuh ke dalam air, itu akan jauh lebih merepotkan. Setidaknya aku harus bernegosiasi dengan gadis itu sambil mencari cara bagaimana caranya agar pedang Agome itu muncul kembali.
Aku mengerem laju lariku dan langsung berbalik menghadap gadis bernama Glara yang juga ikut menghentikkan laju larinya. Benar seperti dugaanku, dia pasti tidak ingin membawaku dalam keadaan terluka pada Rodra.
Karena sejak tadi aku membaca pergerakannya yang terlihat tidak serius untuk menebaskan pisaunya padaku. Bahkan terkesan membuat bidikannya meleset hanya untuk menakutiku.
Gadis itu kini berdiri sekitar enam meter dariku. Memandang dingin dan tajam.
"Jadi kau mau menyerah sekarang?" seru gadis itu sambil maju selangkah.
Aku berdecih pelan. "Itu tidak akan pernah terjadi."
"Benarkah? Tapi sepertinya kau sudah tidak punya tempat untuk melarikan diri. Dan juga, para pelindungmu sedang sibuk dengan diri mereka sendiri," sahutnya.
"Bekerjasamalah Kazo, maka tidak akan ada pertempuran di sini. Dan para pelindungmu juga tidak harus mati,"lanjutnya.
Hatiku rasanya terbakar mendengar ucapannya. "Jangan menganggap remeh mereka semua. Yang pantas mati itu kalian. Dan aku tidak akan pernah bergabung dan mengikuti Rajamu itu, karena akulah yang akan datang untuk membunuhnya."
Gadis itu memandangku dengan senyum mengejek yang terpatri jelas di bibirnya. "Bocah sepertimu mau membunuh Raja Rodra? Yang benar saja. Melawanku saja kau takut bukan?"
Sial! Dia baru saja menghinaku.
"Ikutlah sekarang Kazo, dan kau akan tahu seberapa istimewanya dirimu," lanjut gadis itu.
"Kalau aku menolak, apa yang akan kaulakukan?"
"Mudah saja, aku akan menebas kedua kakimu agar kau tidak bisa berlari lagi. Tidak masalah kalau aku membawamu ke hadapan Raja dalam keadaan tidak utuh. Yang penting kau tidak mati saja."
Sial! Bahkan dia seperti bisa membaca pikiranku. "Lalu, kenapa kau tidak menebasku sejak tadi? Padahal kau punya banyak kesempatan untuk melakukannya."
"Aku hanya ingin memberi kesempatan padamu dan kita tidak perlu saling menyerang seperti ini. Bagaimana Kazo, bukankah lebih baik kau terima tawaran ini?"
Aku tersenyum sesaat sambil mendengus gusar. "Tentu saja, itu tidak akan TERJADI!"
Aku menarik tongkat kayu yang sejak kemarin sudah kupersiapkan dan kusembunyikan dibalik bajuku. Karena aku belum bisa memanggil kekuatanku sendiri jadi aku harus menyiapkan segala kemungkinan yang bisa terjadi.
Meskipun aku tahu ini tidak akan membantu, setidaknya aku memiliki sesuatu untuk menghalau pisau gadis itu. Seharusnya tongkat kayu ini bisa, karena kayu tidak seperti besi yang bisa meleleh saat tersentuh oleh panas.
Glara tampak terkejut sesaat ketika aku menarik tongatku dan langsung menyerangnya. Tapi dia langsung menangkis dengan mudah dan tenang padahal aku sudah menyerangnya dengan gerakan membabi buta.
"Pintar juga kau ya? Kau tahu Dagger milikku bersifat panas dan bisa melelehkan benda yang disentuhnya. Tapi kau pintar karena kayu memang tidak bisa dilelehkan oleh panas. Bangsawan Hiroki memang menganggu mkn," seru Glara sambil tersenyum.
"Tidak usah memuji, anak SD juga tahu kalau kayu tidak bisa dilelehkan," sahutku dengan nada kesal.
Aku masih terus menyerangnya, tapi sialnya dia terus bisa mengimbangi gerakanku dan malah terlihat seperti sedang mengejekku. Untung saja selama ini aku terlatih untuk bisa mengontrol energiku agar tidak cepat lelah. Dan ternyata itu sangat membantu.
Tiba-tiba gadis itu meningkatkan kecepatannya hampir tiga kali lipat, membuatku kewalahan mengimbanginya. Dan sekarang kayuku pun sudah mulai penuh sayatan karena terkena gesekan dari pisau gadis itu.
Sial! Aku benar-benar terdorong mundur.
Glara menebas dengan serius dan cepat, membuat tongkat kayuku yang panjangnya sekitar delapan puluh senti kini semakin memendek karena terpotong oleh pisaunya.
"Tidak!"
Sampai kapan kekuatanku in akan muncul, apa yang harus kulakukan? Bagaimana caraku untuk memanggilnya? Kalau tidak aku benar-benar akan kalah dengan gadis ini.
"Argghhhh..."
Aku tersungkur dijalan batu dengan benturan keras saat gadis itu menendangku dengan kuat. Tapi aku menjerit bukan karena itu, tapi karena rasa sakit yang membakar lengan kananku. Tongkat kayuku sudah habis sama sekali, dan gadis itu berhasil menyayat lengan kananku dengan pisaunya.
Tusukannya tidak dalam, tapi itu sudah cukup membuatku harus menahan sakit saat melihat darah kental dan juga luka bakar terpampang jelas dan semakin melebar. Ini panas dan perih sekali.
"Arrghh... Panas sekali.."
Tapi gadis itu tidak memberi celah waktu padaku. Dia menendang perutku, punggungku, bahkan menginjak lukaku yang masih menganga lebar dan mengeluarkan darah segar.
Aku menjerit kesakitan, dia benar-benar tidak akan mengampuni. Bahkan aku melihat wajahnya yang malah tersenyum senang sambil menyiksaku tiada ampun.
"Aku akan membuatmu memohon sendiri Kazo. Jadi Bersiaplah!"
"Aaarrgghhhh..."
Dia menginjak lukaku untuk yang ketiga kalinya. Luka bakar di tanganku semakin melebar, bahkan aku tidak bisa menahan air mataku yang keluar karena rasa sakit yang luar biasa.
Dan sekarang tubuhku rasanya lemas sekali, aku kehabisan tenaga. Pandanganku mulai kabur, kesadaranku mulai hilang. Aku masih bisa merasakan gadis itu terus menendangku hingga menuju tepi jalan. Kepalaku terasa menggantung menatap air dingin yang sepertinya akan melahap tubuhku di bawah sana sesaat lagi.
Benarkah akan berakhir seperti ini? Benarkah aku harus mati di sini?
Tidak! Aku akan tetap terjaga. Tapi rasa kantuk itu benar-benar terus menyerang.
Kumohon, tolonglah aku!
Aku tidak tahu bergumam pada siapa. Tapi aku tidak ingin hidupku sia-sia. Masih banyak orang yang ingin kulindungi, dan aku tidak ingin kehilangan lagi.
Tolong!
Tubuhku melayang dan terjun ke bawah menatap bayangan air laut yang gelap di bawah sana.
Tolong!
Air itu tinggal dua puluh senti akan menghantam wajah dan tubuhku. Sampai tiba-tiba aku merasakan hawa dingin dikedua telapak tanganku. Tubuhku yang tadi lemas dan hampir pingsan tiba-tiba saja mulai kembali pulih. Aku tercekat menatap bayangan diriku di air, dan sebelum aku terjun aku langsung menghantamkan kedua telapak tanganku ke air.
Suara benda retak terdengar menggaung di tempat itu. Hawa dingin terasa menyelimuti. Tempat yang tadi berkilau dan bergejolak biru kini berubah menjadi beku dan seputih es. Aku tertegun di tempat, menatap tidak percaya. Lautan itu benar-benar berubah menjadi es seutuhnya.