Splash!
Kilatan cahaya putih menyambar, disusul puluhan kilat lain yang memukul permukaan tanah dengan sengatan panasnya. Gemuruh yang memekakkan telinga, belum lagi hawa dingin yang menusuk seolah hampir meremukan seluruh tulangku.
Tidak ada siapapun di sana, hanya ada aku dengan kegelapan total yang terkadang terlihat terang saat kilat itu menyambar. Namun semuanya tetap kosong, hanya hamparan tanah yang luasnya tidak bisa kuperkirakan.
Lagi-lagi aku mendapati diriku berjalan dengan bertelanjang kaki, terasa dingin. Biasanya aku akan berteriak, tapi saat kusadari itu percuma aku lebih memilih diam. Aku sudah hafal dengan semua ini, tempat ini, bahkan semua kilatan cahaya itu. Aku tidak tahu apa, tapi aku masih lebih suka melihat pemandangan ini dari pada lubang besar itu.
Ya. Sebuah lubang besar yang akan menelan dirimu, tidak peduli kau merasakan mual ataupun sakit yang teramat sangat. Yang ingin kulakukan saat ini hanyalah lari, tapi aku tahu itu tidak akan bisa. Seakan lubang gelap itu memang ditakdirkan untuk melahapku. Tapi aku tidak akan kalah.
Slambung n sana tolong panggil namaku!
Hembusan angin kencang menerpa wajahku membawa butiran-butiran kasar yang entah datang dari mana. Perasaanku mulai berkecamuk, dia datang. Aku tidak bisa bergerak, yang kulakukan hanya berdiri menatap lubang tanpa dasar itu mendekatiku.
Siapapun tolong panggil namaku!
Aku bisa mendengar rentetan suara tak menentu datang dari lubang itu. Lalu seperti sebuah magnet dia menghisap langkahku satu persatu, rasa mual kembali memenuhi area lambung. Tidak! Aku tidak mau ke sana.
Tolong panggil namaku sekarang!
Tidak aku tidak akan kesana.
Panggil namaku sekarang!
Toloooong!
-
"Kazo! Kazo!"
"Kazo, bangun!"
Aku membuka mataku dengan cepat, melihat sekeliling mencari apapun yang kukenal di sana. Tapi rasa pusing memenuhi seluruh kepalaku, belum lagi saat kusadari rasa lelah dan tubuhku yang basah penuh dengan keringat. Namun aku lega saat melihat bayangan Arga berdiri tepat di hadapanku, seperti biasanya.
Hah, Mimpi itu lagi!
"Butuh minum?" suara Arga kembali terdengar. Aku hanya menggangguk lamban, masih mencoba menetralkan rasa pusing di kepalaku. Tidak lama kemudian Arga kembali dan menyodorkan segelas besar air putih padaku. Aku menerima dan langsung menenggaknya hingga habis. Lega rasanya.
"Berapa lama tadi?" tanyaku.
"Hampir sepuluh menit."
"Selama itu?"
"Tapi yang tadi itu lumayan, aku hanya memanggilmu tiga kali," balas Arga santai.
Aku mendengus kasar dan turun dari ranjang dengan gerakan pelan. Masih terasa pusing, tapi sudah cukup lumayan. Rasanya lelah sekali, aku ingin tahu apa ada orang lain yang juga mengalami mimpi sepertiku, mimpi yang selalu sama dan anehnya aku sudah mengalami ini hampir dua tahun. Siapapun bisa gila dibuatnya.
"Ada apa dengan seragammu?" tanyaku saat melihat Arga yang saat itu mengenakan seragam aneh dan tidak seperti biasanya. Dia mengamati seragam yang dipakainya sesaat.
"Ada kegiatan Camp di sekolah, dan kelihatannya aku akan menginap. Mungkin besok baru pulang," tukasnya sambil memasukkan beberapa barang ke dalam ranselnya. Lagi-lagi aku cuma mendengus, aku lupa dia sudah bilang itu beberapa hari yang lalu.
Arga empat tahun lebih tua dariku, dan saat ini adalah tahun terakhirnya di SMA. Terkadang aku iri dengan hidupnya yang seperti manusia normal lainnya. Pergi ke sekolah tanpa hambatan, bertemu teman-teman, menjadi populer dan disukai banyak orang. Itulah Arga, bahkan aku kagum kenapa dia bisa memiliki wajah tampan dan juga rambut hitam yang lebat. Belum lagi mata tajamnya yang seperti elang. Baiklah, lama-lama aku bisa jatuh cinta dengan kakakku sendiri. Aku ini laki-laki dan aku masih normal.
Aku menceritakan tentang kakakku seolah mengatakan aku sendiri tidak normal. Aku normal, hanya saja aku memiliki sedikit kelebihan. Aku mempelajari semuanya terlalu cepat, dan itu yang membuat Ayah menyuruhku berhenti bersekolah. Aku sempat memprotes, tapi Ayah tetap melarangku pergi tanpa memberi tahu alasannya dengan jelas. Ditambah lagi warna rambutku yang terlalu mencolok untuk disebut rambut manusia. Dan aku selalu bilang ini hanya pewarnaan. Dan besok guru akan menggunduli rambutku setelah mendengar pernyataanku. Namun akhirnya rambut biru perak itu akan terus tumbuh.
"Kau buat nasi goreng lagi?" teriakku saat melihat sepiring nasi goreng di atas meja.
"Memangnya ada lagi yang bisa dibuat?" sahut Arga yang saat itu sudah memanggul ranselnya. "Sebelum kau susul Ayah, selesaikan dulu bacaanmu!"
"Maksudmu dongeng membosankan itu?"
"Berhenti menyebutnya membosankan, aku pulang kau harus sudah mengerti intinya. Paham? Dan jangan bawa buku itu keluar!" Aku cuma mengangguk malas sambil menyuap sesendok besar nasi goreng kedalam mulutku.
"Aku berangkat dulu."
"Hei, kau lupa belum mematikan itu," seruku sambil menunjuk lampu minyak yang tergantung di atas. Aku tidak tahu ini kelebihan atau keanehan yang dimiliki kakakku, tapi dia kadang selalu bisa bermain-main dengan udara. Aku tidak bohong, bahkan aku hampir tidak percaya kalau tidak melihatnya sendiri. Seperti sekarang, dia hanya menggerakkan ujung jarinya dan api itu tiba-tiba padam seperti ada hembusan angin yang meniupnya. Saat aku bertanya bagaimana dia melakukannya, dia hanya bilang itu telekinesis dan semua orang bisa mempelajarinya. Terutama mereka yang punya bakat. Baiklah, mungkin aku harus mencobanya juga.
Sepeninggal Arga, aku melakukan tugasku seperti biasanya. Membereskan rumah, mencuci dan juga mengepak segala macam barang bekas yang menjadi salah satu mata pencarian kami. Rumah kami yang bahkan hanya terdiri dapur dan juga dua kamar tidur hampir tertutup dengan segala macam barang rongsokan.
Ayah bukan orang berada, bahkan saat semuanya menggunakan listrik kami masih menggunakan lampu minyak. Tidak masalah asal kami tidak kelaparan. Kadang aku berpikir, beruntung aku berhenti dari sekolah. Bahkan Arga mencari uang sekolahnya sendiri dengan bekerja serampangan, entah menjual apapun atau memperbaiki barang elektronik milih teman-temannya. Kadang aku menyuruhnya untuk mendaftar menjadi model atau bintang iklan, dia tidak akan gagal dengan wajah seperti itu. Tapi dia hanya menanggapi dengan acuh.
Aku sudah berhenti sekolah hampir sekitar dua tahun, itu saat mimpi-mimpi burukku mulai terjadi. Dan sejak saat itu Ayah dan Arga sering menanyakan hal-hal yang aneh, tentang apa yang kulihat dalam mimpiku. Apa orang dengan jubah putih panjang membawa tongkat ada di sana? Dan hal-hal tak masuk akal lainnya.
Aku sendiri sering berfikir apa yang kulihat itu adalah sebuah tempat yang sepertinya pernah aku datangi, atau aku bisa melihat masa depan dari mimpiku. Entahlah! Sampai Arga memberiku sebuah buku dongeng. Sebenarnya itu hanya lembaran kertas yang dijilid menjadi satu buku tanpa sampul, dan anehnya siapa yang begitu rajin menulis dengan tangannya hingga 320 halaman.
Aku menatap buku yang sudah hampir seluruhnya menguning di hadapanku. Aku suka membaca, bahkan semua buku pelajaran mudah sekali kuhafal. Tapi jujur saja, aku tidak suka dongeng. Itu membuatku mengantuk, apalagi dongeng dengan tulisan tangan yang meskipun rapi tapi tetap saja aneh. Aku hanya mendengus kasar, memangnya apa tujuan dengan membaca dongeng kerajaan seperti ini.
PORTA LOKA
Itu judul awalnya. Dan entah kebetulan atau tidak, setiap aku mulai membuka halamannya tanda lahir yang berada di punggung kananku terasa panas seperti terbakar, tapi hanya sesaat. Aku punya tanda lahir yang cukup aneh dan tampak besar dipunggungku, tapi aku tidak akan menceritakan detailnya seperti apa. Itu cuma tanda lahir.
Aku kembali menekuri buku itu, ini hanya dongeng kerajaan pada umumnya. Tentang sebuah negeri terkurung yang dikelilingi oleh 12 Gerbang tinggi dan lapisan yang tak bisa ditembus bernama Arkala. Mereka memiliki raja kejam yang dipanggil sebagai Raja Agung Ballavan Nover Rodra. Dan hidup penduduknya yang dikelompokkan menurut kasta seperti Vimal, Flinn, Arlo dan juga Luge.
Lalu 12 bangsawan tinggi yang menjadi penguasa setiap gerbang yang bisa membawa kalian mencari dan menemukan kekuatan hebat di dalamnya. Namun sayang mereka tidak bisa menjamah dunia luar, bahkan dunia luarpun tidak tahu keberadaan mereka. Bukankah ini benar-benar seperti cerita fiksi-fantasi pada umumnya? Dan aku masih tidak tahu apa tujuan Ayah dan Arga menyuruhku mempelajari cerita ini.
Aku menutup buku itu dengan perasaan kesal.
"Ini buang-buang waktu!" seruku sambil melirik jam dinding di atas lemari. Sudah pukul delapan lewat dua puluh menit. "Aku harus susul Ayah."
Aku menyelipkan buku itu di kantong celanaku. Aku tidak lupa pesan Arga, bahwa aku tidak boleh membawa buku ini keluar. Dan selama ini aku selalu mematuhi ucapannya itu, tapi aku ingin membacanya sesampainya di kios ayah nanti, lagipula ini cuma sebuah buku dongeng biasa.
Aku meraih topi dan membenamkan seluruh kepalaku hingga rambut aneh ini tidak tampak. Kemudian aku mengemas semua barang bekas yang sudah ku sortir rapi untuk dijual kembali dan menaruhnya di atas sepeda.
Diluar sudah bising sejak tadi, para pedagang asongan sudah terlihat menjajakan berbagai macam barang yang ada di kotaknya. Lalu puluhan pemulung yang sudah siap mengais gunung sampah yang menjulang tinggi tak sampai sepuluh meter dari rumahku. Bau bangkai sampah sudah menjadi teman kami setiap hari, bahkan udara kotor yang dibenci para petinggi negara ini adalah pasokan kehidupan kami selama ini.
Ya, Aras adalah pemukiman kumuh dan juga tempat pembuangan sampah akhir yang berada di pinggiran kota. Tempat berkumpulnya para gelandangan, pemulung dan para tunawisma lainnya. Bahkan tempat ini tidak sepi dengan para pemabuk dan anak-anak berandalan. Karena sulitnya hidup di sini, seringkali membuat penghuninya hidup dalam kejahatan.
Aku melangkahkan kakiku keluar. Lalu tiba-tiba...
Ngiiinggg!
Sebuah gelombang aneh tiba-tiba terdengar begitu saja, cukup membuatku untuk menutup telinga. Walaupun hanya sebentar tapi untuk sesaat suasana tiba-tiba saja berubah. Gelap. Namun hanya sekitar sepuluh detik.
"Hei Kazo, ayahmu sudah menunggu di kios," teriak seseorang dari arah depan.
"Apa itu tadi?" gumamku masih dengan tangan yang menutupi kedua telinga. "Suara apa tadi, kenapa orang-orang terlihat biasa saja?"
Aku menatap lalu lalang penghuni Aras yang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Tapi apa yang baru saja kulihat dan kurasakan sepertinya tidak dirasakan oleh mereka. Padahal suara itu cukup kuat dan lumayan menusuk telinga. Apa itu hanya sekedar perasaan dan halusinasiku semata, dan suasana gelap yang sempat kulihat tadi kini sudah lenyap.
"Kazo!" suara dan tepukan tangan di pundak itu jelas mengagetkanku. Hampir saja aku mengumpat jika tidak melihat siapa yang datang.
"Kakek Kyu! Apa yang kau lakukan, kau mengagetkanku!" seruku yang masih mencoba menetralkan detak jantungku. Pria tua itu tampak terkekeh.
"Anak nakal, apa gunanya kau punya telinga? Sejak tadi aku memanggil, tapi berani-beraninya kau mengabaikanku. Di mana letak sopan santunmu?" tukasnya dengan marah sambil mengacungkan pipa rokoknya ke arahku.
Kakek Kyu adalah seorang tunawisma yang sering berpindah-pindah tempat. Usianya terbilang cukup tua, mungkin sekitar sembilan puluhan atau bahkan lebih. Tapi pria itu entah kenapa suka sekali melancong tanpa mengeluh sama sekali. Bahkan dia bisa menghilang satu tahun lamanya dan kemudian baru kembali ke Aras. Seperti sekarang ini.
"Maaf Kek, aku benar-benar tidak mendengarmu. Tapi sejak kapan Kakek kembali?" Pria itu tampak berdehem sesaat, lalu duduk di salah satu kursi reot yang berada di depan rumahku.
"Aku sudah dua hari di sini, tapi aku memang tidak langsung datang kemari. Jadi sekarang kau mau ke kios?" tanya Pria tua itu sambil menepuk-nepuk topi baretnya yang sudah berlubang sana-sini. Aku mengangguk pelan.
"Kakek mau bertemu Ayah?" tanyaku yang sudah tahu betul dengan maksud pertanyaan pria tua itu.
Ayah dan kakek Kyu sudah berteman sejak lama, banyak hal-hal yang sering mereka bicarakan saat keduanya bertemu. Bahkan kakek Kyu sudah seperti keluarga bagi kami, namun entah kenapa pria tua itu tetap memilih jalan hidupnya sendiri dan menolak saat ayah memintanya untuk tinggal di rumah kami. Ya memang sih, rumah kami tidak pantas disebut layak, tapi setidaknya dia tidak harus berkelana dalam panas dan hujan diusianya yang sudah terbilang senja. Namun itulah istimewanya dia, tidak punya rasa lelah.
Aku langsung menaiki satu-satunya sepeda usang yang kami punya setelah selesai mengikat barang bawaan di boncengan belakang. Aku menatap kakek Kyu yang memejamkan matanya sambil terus menghisap pipa rokok. Aku tidak mengatakan apapun lagi dan meninggalkan kakek Kyu agar bisa beristirahat.
Kios ayah berada di dekat pasar tidak jauh dari pemukiman Aras. Hanya butuh waktu lima menit menggunakan sepeda. Jalanan pemukiman kumuh di Aras selalu dipenuhi oleh pedagang asongan, penjual kaki lima, para gelandangan dan juga para pemulung. Wilayah kotor itu tidak pernah dilalui kendaraan bermobil ataupun kendaraan mewah lainnya karena bau busuk sampah yang tercium hingga puluhan kilometer. Tapi karena pasar berdekatan dengan pemukiman Aras membuat para penduduk sekitar mau tidak mau harus melewati jalan itu. Dan itu yang membuat para penghuni Aras merasa beruntung karena bisa menjajakan barang jualan mereka pada pejalan kaki yang lewat di sana.
Dan seperti hari itu jalanan ramai seperti biasanya. Namun entah kenapa aku merasakan hawa dan atmosfer aneh yang sejak tadi terasa seperti mengikuti. Bahkan suasana juga tampak gelap padahal tidak ada satupun awan mendung yang menggumpal di atas.
Kios ayah terlihat cukup ramai. Karena barang bekas yang kami jual memang masih cukup bagus dan harganya juga sangat terjangkau. Aku memarkirkan sepeda dan langsung membongkar barang bawaan yang ada di boncengan. Dan dalam sekejap kerumunan pembeli sudah mulai berdatangan dan membuatku larut dalam kesibukan. Aku hampir lupa tentang kakak Kyu jika Ayah saat itu tidak menanyakan sesuatu padaku.
"Ayah, kakek Kyu sedang menunggumu di rumah. Dia baru saja kembali," teriakku dengan nada cukup keras karena suasana sangat bising sekali saat itu. Ayah tampak tertegun sesaat sambil menelengkan kepalanya. Ayahku sudah berusia sekitar lima puluhan tapi entah kenapa dia masih terlihat begitu muda dan sangat mirip dengan Arga.
"Kalau begitu ayah akan pulang dulu. Kau bisa jaga kiosnya sendirikan? Ayah tidak akan lama," serunya sambil berkemas. Aku mengangguk mantap.
"Serahkan saja padaku!"
Sepeninggal ayah para pembeli semakin banyak berdatangan. Meski cukup kewalahan tapi aku bersyukur karena itu berarti keberuntungan untuk kami. Hampir sepuluh menit lamanya aku sibuk melayani para pembeli hingga akhirnya tidak ada satupun pembeli yang tersisa dan barang daganganku tinggal sedikit lagi.
Aku menyeka peluh dengan perasaan yang bahagia. Saat itu seorang gadis muda dengan pakaian nyentrik seperti anak punk memasuki kios sendiri. Aku mempersilahkan untuk melihat-lihat dan dia langsung menuju pada tumpukan dagangan di depanku yang isinya barang-barang keperluan rumah tangga seperti teko air, piring, tempat makan dan juga ember-ember plastik yang masih bagus.
Aku mengamati gadis itu yang menurutku terlihat asing dan terlalu nyentrik. Anak punk bukan lagi sebuah hal baru di kawasan itu. Mereka datang dan pergi setiap hari, mengamen di sepanjang pasar dan juga bus-bus kota. Tapi anak punk mana yang memiliki kulit bersih dan rambut hitam cantik yang bisa dikatakan terawat dengan begitu baik. Apakah dia sedang menyamar atau seorang selebriti yang sedang shooting menjadi anak punk? Aku tidak tahu.
Gadis itu mengambil sebuah pisau yang juga memang dijual di kios ayah. Ia mengamatinya dengan intens seolah ini pertama kalinya ia melihat sebuah pisau.
"Apa nama benda ini?" tanyanya dengan wajah polos yang tentu saja langsung membuatku melongo, apakah dia sedang bercanda atau memang bertanya sungguhan.
"Hah...tentu saja itu pisau, kenapa kau masih bertanya?" ujarku dengan perasaan aneh. Gadis itu tampak mengangguk-angguk.
"Kalau di tempatku ini disebut Dagger. Tapi bentuknya berbeda, sedikit besar dan lebih runcing ujungnya. Gagangnya juga mempunyai ukiran yang agak rumit," jelasnya masih sambil mengamati pisau itu dengan matanya yang sipit. Aku masih tidak paham dia ini sedang menjelaskan apa, dan gelagatnya cukup membuatku berpikir yang tidak-tidak padanya.
"Memangnya kau dari daerah mana? Aku baru tahu ada pisau yang disebut Dagger, apa itu daerah luar pulau ini?" tanyaku hanya untuk sekedar berasa-basi padanya dan berharap dia cepat memilih apa yang akan dia beli dan segera pergi dari sini.
Gadis itu menyeringai sesaat." Kau mau tahu aku dari mana? Kota kelahiranku bernama Agni dan itu ada di Porta Loka. Bukankah itu juga rumahmu, Kazo? Dan ini saatnya kau harus pulang."
Gadis itu kembali menyeringai dan menatap dengan mata gelapnya yang tajam. Aku membelalakan mata karena terkejut. Dia baru saja menyebutkan namaku, dan yang lebih mengejutkan dia baru saja menyebutkan tempat yang berada di dalam buku dongeng di saku celanaku.
PORTA LOKA.