Chereads / Milly's First Love / Chapter 19 - 19. Berkenalan Dengan Martin JazzGuy

Chapter 19 - 19. Berkenalan Dengan Martin JazzGuy

Jawaban pesan singkat yang begitu singkat, tanpa ada kata-kata atau penjelasan apapun. Hanya kiriman nomor kontak Martin. Baiklah. Milly tidak menyangka Nick akan bersikap praktis seperti itu. Mungkin bukan praktis, tapi cuek, dingin, menyebalkan, dan berhasil membuat Milly galau sepanjang hari.

Setidaknya Nick bisa menjawab pertanyaannya yang pertama. Kabarku baik, Mil. Kamu bagaimana? Atau mungkin Nick bisa menolak untuk menemaninya bertemu dengan Martin. Milly mendengus keras. Mungkin Nick bukan tipe seperti itu. Entahlah.

Marshal mungkin benar. Nick sepertinya tidak bisa dipercaya. Lalu bagaimana dengan ciuman itu? Sang naga meregangkan ototnya, seketika perut bagian bawahnya menggeliat. Ia terus menerus seperti itu setiap kali mengingat ciuman itu.

Dasar gampangan! Milly memarahi dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya yang sudah tidak perawan lagi. Cinta pertamanya telah menciumnya dan kemudian mencampakkannya begitu saja.

Ah sudahlah! Nick bahkan tidak menyatakan cinta padanya, tidak menjelaskan dengan saksama seperti apa hubungan mereka yang sebenarnya.

Itu hanyalah sekedar ciuman biasa. Pria mencium wanita. Itu biasa saja. Mungkin hanya perasaan suka semata. Tidak lebih dari itu.

Ia akan mempercayai hal itu jika kejadiannya berlangsung di tempat kelahiran ayah dan ibunya. Dan jika Nick adalah seorang pria Inggris yang kebetulan lewat dan kemudian menciumnya. Seorang wanita bule sejati mungkin tidak akan terlalu mempermasalahkan tentang sebuah ciuman.

Demi Tuhan ia bukan wanita bule biasa. Mungkin ia keturunan Inggris, seluruh penampilannya memang sangat bule sekali, tapi ia lahir dan besar di tanah Indonesia, dengan budaya timur dan segala peraturan dan kebiasaannya.

Tidak ada pria Indonesia yang dengan sengaja menciumnya lalu mencampakkannya dan menganggap bahwa itu hanyalah sekedar ciuman main-main.

Well, ada. Nicholas orangnya.

Milly harus menghubungi Martin. Ia mengirim pesan singkat pada Nick, menanyakan nomor kontak Martin. Hanya itu. Dan Nick menjawabnya dengan tepat. Tidak ada yang salah. Sama sekali tidak ada. Tidak perlu dibawa perasaan.

Milly membalas pesan itu : "Terima kasih." Sudah.

Saatnya menjadi seorang profesional. Ia menelepon Martin. Pria itu mengirimkan alamat tempatnya tampil malam ini. Martin bersedia bertemu dengannya satu jam lagi.

Milly langsung bersiap-siap dan berangkat menuju Cafe Amalia. Ia mengambil arah menuju jalan tol. Ketika ia sudah menempuh setengah jalan tol, tiba-tiba ponselnya berdering. Ada telepon masuk.

Milly tidak bisa mengangkat teleponnya. Ia sedang mengebut. Jalan tol begitu lancar. Satu kilometer lagi ia akan menuju gerbang keluar pintu tol.

Ponselnya terus berbunyi hingga dua kali. Akhirnya ia keluar tol dengan selamat. Setelah keluar pintu tol, kemudian jalanan mengarah ke lampu merah. Ponselnya berdering lagi. Dengan satu tangan, Milly membuka seleting tasnya dan setelah bersusah payah akhirnya ia bisa mengeluarkan ponselnya. Matanya melirik jalanan dan sambil melihat ponselnya.

Nomor tidak dikenal. Ketika ia hendak mengangkatnya, teleponnya sudah mati. Milly mendesah, lalu melempar ponselnya ke jok sebelahnya.

Akhirnya Milly tiba di depan cafe. Selesai parkir ia masuk ke dalam. Sang pelayan restoran menyambutnya. Wajahnya begitu cantik, tubuhnya kecil mungil, usianya mungkin sekitar dua puluh tahun. Milly tampak tinggi menjulang di hadapannya.

"Good afternoon, Miss." Seperti biasa. Orang-orang selalu menyapanya dengan bahasa Inggris.

"Selamat siang. Nama saya Millicent. Saya ada janji bertemu dengan Martin."

"Oh." Sang pelayan terkesiap. "Silahkan ke sebelah sini." Gadis itu mengantarnya ke sebuah ruangan di lantai atas, lalu mengetuknya. Seorang pria berkacamata membukakan pintu.

"Permisi, Pak. Ini ada yang mau bertemu."

Pria itu menatap Milly dengan ekspresi bingung. "Siapa ya?"

"Namanya... Um... Tadi namanya siapa ya, Mbak?" Gadis itu menoleh pada Milly dengan senyum menyesal.

Milly balas tersenyum. Ia menjulurkan tangannya untuk menjabat pria itu.

"Halo. Nama saya Millicent."

"Apa? Oh waw. Saya tidak menyangka..." Pria itu gelagapan, jelas sangat terkejut. Matanya menyipit, meneliti Milly dari atas sampai ke bawah. Lalu tersenyum walaupun masih dengan ekspresi bingung. Akhirnya teringat untuk menjabat tangan Milly yang sejak tadi diabaikannya.

"Aku Martin. Senang sekali bisa bertemu denganmu, Millicent."

"Panggil saja Milly."

Sang pelayan restoran kemudian pamit. Tidak lupa Milly mengucapkan terima kasih.

"Silahkan masuk." Martin menunjuk sebuah sofa merah di sebelah kanan ruangan, lalu Milly duduk.

Ruangan itu tidak terlalu besar. Ada sebuah meja bundar dengan empat kursi mengelilinginya. Sebuah cermin besar menggantung di sebelah kiri ruangan. Koper-koper hitam besar-besar dengan stiker bertuliskan : JazzGuy, yang Milly duga berisi alat musik, menumpuk di sebelah meja bundar. Wallpaper-nya berwarna salem dengan motif bunga-bunga.

Milly memperhatikan Martin yang tampaknya agak salah tingkah. Tadinya pria itu hendak duduk di sebelah Milly, tapi tidak jadi. Akhirnya ia menarik salah satu kursi dari meja bundar, lalu duduk berhadapan dengan Milly.

"Hai." Martin menyapanya lagi.

"Hai juga."

Martin tersenyum canggung sambil mengangguk. "Jadi bagaimana, Millicent?"

"Tolong, Milly saja."

"Oh iya, Milly. Aku pikir kamu... bukan..."

"Bule?"

"Ya." Martin terkejut dengan jawabannya sendiri, ia langsung menyesalinya. "Oh maaf. Aku tidak bermaksud lancang. Hanya saja bahasa Indonesiamu lancar sekali."

"Aku memang lahir dan besar di sini. Jadi aku harap kamu jangan canggung."

"Oh iya. Maaf." Martin tersenyum yang lebih mirip seringai. Lalu ia mengangguk seperti yang sedang menelan ludah. Wajahnya berubah tegang. Setetes keringat meluncur di pelipisnya.

Milly membalasnya dengan senyuman setulus mungkin. Martin adalah pria yang sopan dan lumayan tampan. Matanya agak sipit. Kacamatanya tampak begitu pas di wajahnya yang tirus, tidak terlalu besar dan tidak kekecilan. Kulitnya putih sekali. Badannya agak kurus dan lumayan tinggi.

"Kedatanganku ke sini sebagai perwakilan dari Tie The Knot Wedding Organizer."

"Oh." Martin mengangguk, lalu melongo. "Eh apa? Aku pikir kamu bermaksud untuk melamar menjadi vokalis. Kamu temannya Nicholas kan? Bukankah kamu tadi bilang begitu di telepon?"

Perutnya sedikit mulas mendengar nama Nick disebut-sebut.

"Ya, benar. Aku temannya." Sejauh ini memang belum ada pembicaraan resmi mengenai statusnya dengan Nick. Jadi ya, Nick masih menjadi temannya. "Dia merekomendasikan band-mu untuk acara pernikahan klienku. Apakah tanggal sembilan Desember bisa dimasukkan ke dalam jadwalmu? Dan kalau boleh aku minta daftar harga paketnya. Karena kami juga harus mengatur untuk budgeting."

"Oh. Aku... aku..."

Martin tergagap, wajahnya begitu tegang. Milly menunggu dengan sabar. Sepertinya ia tidak bisa membicarakan bisnis dengan pria ini. Tidak perlu berlama-lama di sini. Martin menyambar gelas di meja, menenggaknya hingga tandas.

"Maafkan aku. Aku tidak tahu... Um... Biasanya Rei yang mengatur jadwal. Seharusnya mereka sudah datang sekarang." Martin mengeluarkan ponselnya lalu mengetik sesuatu di layar.

Pria itu kemudian melirik Milly, tepat ketika Milly sedang menatapnya. Martin menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan.

"Di sini agak panas ya." Martin kembali tersenyum canggung. Ia meraih remot di meja, lalu menekan tombol power. AC-nya kemudian mati. Sejak tadi AC itu memang sudah jalan. Mungkin Martin sendiri yang kepanasan. Dengan gusar Martin kembali menyalakan AC.

Ponsel itu pasti telah berbuat onar sehingga membuat sang pemilik jadi semakin gusar. Martin mendecak kesal sambil menggaruk pelipisnya. Kacamatanya jadi miring sedikit.

"Itu..." Milly menunjuk.