"Apa?" Martin tampak bingung dan tegang seolah takut ada ular piton jatuh di atas kepalanya.
Milly tersenyum melihat sikap Martin. Ia berdiri kemudian membetulkan posisi kacamata Martin.
"Nah sekarang lebih baik."
Jelas perbuatannya sangat salah. Martin jadi mematung seperti yang habis ditotok aliran darahnya. Tapi tidak berlangsung lama, Martin mulai mengumpulkan kesadarannya.
"Terima kasih," ucapnya lirih.
Belum pernah ada pria manapun yang bersikap seperti itu saat berhadapan dengannya. Martin tersenyum manis sambil menatapnya penuh arti. Milly kembali duduk, berusaha terlihat sibuk dengan mengaduk isi tasnya, mencari ponsel.
"Oh ya ngomong-ngomong kapan kamu ada waktu untuk bertemu dengan klienku? Mungkin kalian bisa membahas tentang harga, pemilihan lagu, dan lain sebagainya."
"Selama seminggu ke depan jadwal JazzGuy kosong. Hanya hari Sabtunya saja kami akan mengisi acara di Cafe The Jounx. Jadi bebas. Kamu boleh menghubungiku kapan saja."
"Baiklah kalau begitu. Sampai bertemu lagi nanti." Milly memasukkan ponselnya ke dalam tas.
"Eh tunggu dulu. Kamu mau langsung pergi?"
Milly mengerutkan keningnya. "Ya. Kita bisa bertemu lagi nanti sekalian bersama klienku."
"Apakah kamu tidak ingin menunggu teman-temanku? Mereka terjebak macet. Mungkin setengah jam lagi mereka tiba di sini."
"Oh sepertinya tidak. Aku masih harus pergi."
"Kami... ya mungkin kami akan menunjukkan sedikit penampilan jazz kami. Kamu boleh request lagu apa saja." Martin menatapnya penuh harap.
Tidak ada salahnya melihat sedikit penampilan jazz. Toh sebenarnya ia belum ada janji apa-apa lagi setelah ini. Mungkin jalan-jalan di mall bersama ketiga keponakannya adalah ide yang sangat bagus. Milly akan membelikan mereka semua mainan apa saja yang mereka mau. Ia juga akan membeli sepatu bersama Cen Fey dan Melanie. Monty tidak perlu ikut, adiknya yang paling menyebalkan sedunia. Lalu ia akan menonton ke bioskop bersama Marshal seperti sepasang kekasih agar ia tidak terlihat menyedihkan karena kehilangan kontak dengan Nick.
"Bagaimana, Milly?" tanya Martin membuyarkan pikirannya.
"Oh maaf. Apa katamu tadi?"
Martin tersenyum manis. Cukup manis untuk pria berkacamata. "Apakah kamu mau melihat penampilan kami?"
"Oke. Baiklah. Apakah teman-temanmu masih lama?"
Martin tampak begitu bahagia seperti seorang anak kecil yang dibelikan permen kapas raksasa.
"Oh tunggu sebentar. Aku akan mengirim pesan dulu pada Jerry." Martin sibuk mengetik di layar ponselnya. Selesai mengetik, Martin kembali menatap Milly.
"Sambil menunggu teman-temanku, mungkin kita bisa mengobrol."
"Tentu saja." Milly mengangguk
"Oh ya bagaimana kamu bisa kenal dengan Nicholas?"
"Nick teman SMP-ku." Hanya itu yang bisa ia ceritakan pada Martin. Tentu saja, ia tidak mungkin menjelaskan pada Martin bahwa Nicholas adalah cinta pertamanya dan kemarin ini mereka berkencan, lalu Nick menciumnya, lalu mencampakkannya sekarang. Ugh!
"Oke. Jadi sekarang Nick juga bergabung di WO?"
"Apa? Oh tidak. Dia hanya kebetulan memberikan nomor kontakmu padaku."
"Memangnya kapan dia kembali ke Batam?"
"Hmm... Kemarin..."
Tunggu dulu. Sepertinya Milly melewatkan sesuatu. Kembali ke Batam?
"Oh. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Sudah lama kami tidak duet piano bersama. Yang aku tahu Nick itu kepala koki di hotel Malaysia. Ya kan?"
Malaysia. Ya Malaysia, dasar dungu!! Milly ingat sekali kemarin ia mengajak Nick jogging, lalu Nick bilang tidak bisa karena ia harus bekerja. Nick bekerja di Malaysia. Berarti Nick tidak ada di Batam. Hati Milly mencelos.
"Astaga!" Milly langsung menekan layar ponselnya, lalu menelepon Nick. Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Milly mendecak kesal. Bagaimana ia bisa tidak menyadari apa yang Nick katakan? Jelas-jelas Nick telah menjelaskan padanya bahwa ia bekerja di Malaysia. Dan Malaysia itu adalah nama sebuah negara, bukan nama sebuah jalan atau nama hotel di Batam.
"Ada apa, Milly?" Martin menatapnya kaget.
"Sepertinya aku melupakan sesuatu. Maaf. Aku harus pergi sekarang." Milly bangkit berdiri hingga ponselnya jatuh dari pangkuannya. Martin bergerak cepat memungut ponsel itu dari lantai. Pria itu mendongak. Matanya berwarna gelap, mengintip di balik kacamatanya. Lalu ia tersenyum. Perlahan Martin berdiri, lalu menyerahkan ponsel itu ke tangan Milly.
Milly hendak menarik ponsel itu, tapi Martin menahannya.
"Bolehkah aku mengajakmu makan malam?" Martin menatapnya dalam-dalam. Milly mengerjapkan matanya.
Sial! Ini terlalu cepat. Milly sedang tidak ingin membangun sebuah hubungan dengan pria manapun selain Nick, walaupun saat ini Nick hilang kontak. Demi Tuhan, Martin adalah pria yang tampan yang bisa mendapatkan wanita manapun yang ia inginkan. Dan ia sama sekali belum mengenal Martin. Mungkin Martin adalah pria yang sopan dan baik hati. Ia juga pandai bermain piano ( sama seperti Nick ). Hanya sebuah ajakan makan malam, tidak lebih. Huuffft. Milly menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkannya perlahan.
"Aku... Entahlah."
Martin tampak menyesal, ia menyerahkan ponsel Milly. "Maafkan aku. Kita baru saling kenal. Aku hanya... um... Ya siapa tahu kita bisa saling mengenal lebih lagi. Tapi jika itu mengganggumu tidak apa-apa. Aku tidak bermaksud... Ya sudah. Maaf ya, Milly."
Milly jadi merasa tidak enak. Lagipula hubungannya dengan Nick sepertinya belum bisa disebut resmi. Tidak ada yang salah dengan menerima ajakan Martin, kata hatinya yang agak sedikit liar. Milly membatin. Jika ia menerima ajakan Martin dan kemudian Nick mengetahuinya... Mereka berteman bukan? Mereka mungkin akan saling bercerita sesuatu. Ah, buktinya saat Nick kembali ke Batam, mereka tidak saling bertemu. Nick berada sekian ratus kilometer darinya. Sekali lagi sungguh tidak ada yang salah dengan menerima ajakan Martin. Toh selama makan malam nanti, mungkin mereka akan lebih banyak membicarakan tentang musik dan penampilan untuk acara pernikahan Darius dan Evina.
"Tidak ada yang perlu dimaafkan, Martin." Milly mencoba untuk tersenyum. Martin masih menatapnya dengan tatapan penuh harapan. "Hmm... Senin atau Selasa mungkin oke."
"Apa? Kamu serius? Sungguh tidak perlu dipaksakan. Aku mengerti jika kamu sibuk."
"Selama seminggu ke depan jadwalku kosong." Milly mengutip kalimat Martin.
Nekat! Sang naga menjewer perutnya. Milly terkesiap. Martin tidak memperhatikannya, ia sibuk tersenyum-senyum sendiri sambil menyugar rambutnya, lalu memperbaiki posisi kacamatanya.
"Um... oke. Aku akan menghubungimu segera. Wow." Martin terkekeh. "Terima kasih."
"Sama-sama, Martin."
Lalu Milly pamit untuk pulang. Martin mengantarnya hingga ke parkiran. Baiklah. Ini agak canggung. Ia sama sekali belum mengenal Martin. Tidak ada salahnya memperluas pertemanan. Ia akan menambahkan JazzGuy sebagai salah satu dari rekan bisnisnya. Ia juga mungkin akan memasukkan JazzGuy ke dalam paket pernikahan. Hubungan mereka hanya sebatas bisnis. Ia mungkin akan bisa mendapatkan keuntungan untuk WO yang ia kelola. Hanya itu. Semoga hanya itu.
Milly membelikan Jolly dan Chloe boneka Barbie. Ririn jadi sangat menyebalkan. Ia marah-marah terus karena Milly tidak membelikannya boneka Barbie. Koleksi Barbie-nya sudah satu lemari penuh dan anak itu tidak pernah puas. Satu dus boneka Sylvia Families tidak membuatnya senang. Pokoknya harus Berbi.