Tangan Milly gemetaran menyentuh layar ponsel. Ia menelepon Ika. Terdengar beberapa kali nada sambung.
"Ayolah! Ayolah!"
Akhirnya Ika menjawab. "Halo, Mil?"
"Ika! Gawat! Darurat!"
"Kenapa, Mil?"
"Kamu harus ke sini sekarang juga!"
"Memangnya ada apa, Mil? Aku tidak bisa ke sana sekarang."
Milly mendesah. "Nicholas, Ka! Nicholas!!" Milly berubah putus asa.
"Nicholas siapa?"
"The one and only Nicholas, Ka. Aduh..."
"Oh cinta pertama kamu itu? Memangnya kenapa gawat darurat? Dia meninggal?"
"Bukan!" bentak Milly.
Ika mendesah di telepon. Sepertinya ia berbicara dengan orang lain dengan suara yang terdengar menjauh. "Maaf, Wage. Aku harus ke rumah Milly sekarang. Apa? Oh baiklah."
"Kamu sedang bersama Wage?" tanya Milly.
"Halo, Mil. Iya. Aku sedang bersama Wage. Tapi tidak apa-apa. Aku akan ke sana sebentar lagi. Tarik napas. Jangan melakukan hal-hal konyol. Oke? Bye." Ika menutup teleponnya.
Milly menatap wajahnya di cermin. Benar-benar tidak tampak seperti dirinya. Ia tampak seperti yang sedang demam. Wajahnya memerah. Matanya tampak berair. Ia mengerjap-ngerjap. Perlahan tangannya menyentuh pipinya yang baru saja dicium Nicholas.
Seluruh sel dalam tubuhnya bergolak. Jantungnya masih berdebar kencang. Kakinya seolah tidak menapak ke bumi.
Milly mengambil segelas air, meneguknya hingga tandas. Ia hendak mengulanginya lagi, tapi dengan ceroboh ia menyenggol gelasnya sendiri hingga jatuh. Airnya tumpah ke lantai, gelasnya hancur berkeping-keping.
Tangannya kembali gemetaran. Ia bisa merasakan wajahnya berubah dingin. Ia bingung harus bagaimana. Mengepel airnya dulu atau membereskan pecahan gelasnya dulu? Ia memutuskan untuk membereskan pecahan gelasnya.
Milly mengambil keresek kecil, lalu perlahan memungut pecahan gelas. Kecerobohan berlanjut hingga ia melukai jarinya sendiri hingga berdarah. Pecahan gelas itu menyayat jari manisnya. Darahnya menetes mengenai lantai. Kepanikan menyerang. Ia tidak suka melihat darah.
Rasa pedih menyengat jari manisnya. Milly mengerang kesakitan. Tangannya yang satu lagi menekan jarinya hingga darahnya keluar lebih banyak lagi.
Bel pintu berbunyi tiga kali dengan suara nyaring, membuat Milly melonjak. Buru-buru ia berjalan ke ruang depan untuk membukakan pintu.
"Milly? Kamu kenapa?" Ika menatap ngeri jarinya yang berdarah. Ia menuntun Milly untuk duduk di sofa, sementara ia membuka laci lalu mengeluarkan kotak P3K. Sekilas ia melihat pecahan gelas yang masih berserakan di lantai dapur.
"Apa ini semua perbuatan Nicholas?" tanya Ika sambil mengobati jarinya dengan Betadine.
"Bukan, Ka. Tadi aku tidak sengaja..."
"Apa aku boleh menyuruh Wage masuk?" potong Ika.
"Tidak. Aku hanya ingin berbicara denganmu. Wage hanya akan menjadi kambing congek."
Saat ini Milly sedang tidak ingin diganggu siapapun, termasuk Wage. Tidak ada yang salah dengan pria itu. Hanya saja lebih baik bicara berdua saja dengan Ika.
"Baiklah. Tunggu sebentar." Ika keluar sebentar kemudian ia menutup pintu dan kembali mengobati jari Milly. "Tenang saja. Dia sudah pulang."
"Hmm." gumam Milly.
"Jadi sekarang kamu sudah siap bercerita?" Ika menutup jari Milly dengan plester, membereskan kotak P3K, lalu mengembalikannya ke laci.
"Kamu ingat Nicholas kan?"
"Ya ya. Tentu saja aku ingat. Si gendut cinta pertama kamu itu kan. Aku heran sampai kapan kamu akan terus memendam perasaan padanya."
"Aku sudah lama memendam semua perasaanku padanya hingga kejadian minggu lalu. Aku belum sempat menceritakannya padamu. Sekarang mumpung kamu sudah di Batam, aku akan cerita."
"Ada apa dengan minggu lalu?"
"Aku kecelakaan mobil. Mobilku rusak. Tapi sudah diperbaiki."
"Apa? Oh ya ampun. Tapi kamu baik-baik saja kan?" Sahabatnya sejak SD itu memandangnya khawatir.
"Aku baik-baik saja. Yang membuatku sekarang tidak baik adalah karena yang menabrakku adalah Nicholas."
Ika membelalakan matanya. "Lalu?"
"Seminggu berlalu. Tadinya aku berniat menagih uang perbaikan mobilku, tapi tidak. Aku tidak bisa menerima uangnya."
"Kenapa tidak? Kecelakaan itu gara-gara dia menabrakmu kan?"
"Iya. Tapi..."
"Sudah seharusnya dia ganti rugi! Kenapa? Dia tidak punya uang? Dasar kurang ajar! Aku akan memastikan ia membayar hutangnya! Dia itu memang bajingan. Sejak dulu dia tidak pernah memperhatikanmu dan malah berpacaran dengan si buntet. Kali ini aku akan membuat perhitungan dengannya!" Ika berbicara dengan berapi-api.
"Noooo! Bukan begitu, Ika. Aku yang memang tidak mau menerima uangnya. Dia memang bermaksud untuk mengganti biaya perbaikan mobilku. Tapi sungguh. Aku tidak menginginkan uangnya."
"Jadi apa masalahnya?"
Milly terdiam sejenak. Ia menahan napas. Matanya menatap Ika lurus-lurus, menyiapkan diri untuk mengatakan hal yang penting, gawat, dan darurat ini di momen yang tepat.
"Nicholas menciumku."
Ika mematung sejenak. "Apa?" Suaranya lirih.
"Barusan dia mengantarku pulang. Lalu dia menciumku." Milly menguncupkan jarinya di pipi yang baru saja dicium Nick.
"Kamu tidak sedang berhalusinasi kan?"
Jadi sekarang Ika menganggapnya gadis halu. Dasar kejam.
"Tidak, Ka. Aku tidak berhalusinasi..."
"Maksudku bagaimana bisa Nicholas mengantarmu pulang? Apa karena mobilmu masih rusak? Bagaimana kamu bisa bertemu dengannya?"
Milly menceritakan kejadian hari ini secara detail pada Ika. Sahabatnya itu terperangah, mulutnya membuka lebar hingga cicak pun bisa masuk.
Ika menyikapi akhir cerita Milly dengan tertawa histeris. Wajah Ika jadi tampak sangat menyebalkan. Rambutnya yang panjang sebahu menutupi wajahnya, sementara ia tertawa sambil menunduk. Tangannya menutup mulutnya.
Milly kembali ke dapur untuk membersihkan sisa kepingan gelas yang tercecer di lantai. Setelah itu ia mengepel lantainya hingga bersih dan kering.
"Kamu bisa berhenti tertawa sekarang?"
Ika susah payah mengendalikan dirinya. "Haduuuhh... Milly Milly. Itu artinya Nick suka sama kamu."
"Tidak mungkin,"sergah Milly. Sebenarnya Milly tidak perlu menyangkalnya. Lebih baik diamini saja. Baiklah dan sekarang ia mengamininya dalam hati.
"Memangnya kalau dia suka berarti dia berhak mencium pipiku? Itu kan sangat... sangat..."
"Menyenangkan? Mendebarkan?" Ika menggodanya.
"Entahlah, Ka. Tidak pernah ada seseorang yang pernah menciumku. Apa kamu dengan Wage sudah pernah berciuman?"
"Apa? Tidak! Sebaiknya dia jangan pernah berani melakukannya."
"Kenapa tidak? Kalian kan akan segera menikah."
"Sembarangan! Aku tidak ingin menikah dalam waktu dekat ini. Cinta itu tidak bisa dipaksakan. Aku ini bukan Siti Nurbaya yang bisa seenaknya dijodoh-jodohkan. Ini benar-benar memalukan, Mil."
"Siapa itu Siti Nurbaya?"
"Ya itulah! Cerita legenda."
Milly terkekeh. "Kalau aku jadi kamu, aku akan dengan senang hati menerima Wage. Dia itu pria yang sangat baik."
"Kalau begitu silahkan ambil saja." Ika mengernyitkan wajahnya.
"Dasar bodoh! Aku tidak mungkin merebut Wage dari kamu. Dia hanya mencintai kamu seorang, Ka."
"Oh ya ampun. Cinta apanya? Kami kan baru saling kenal."
"Tapi aku bisa melihat itu di matanya."
"Omong kosong. Sudahlah, Mil. Kenapa kita tidak membahas tentang ciumanmu dengan Nicholas?"
"Kami tidak berciuman, Ka." Wajah Milly mulai memerah. Kata berciuman sungguh sebuah kata yang sangat vulgar.
"Sebenarnya aku sudah hampir melupakannya sama sekali. Tapi kemunculannya yang tiba-tiba membuatku tidak bisa menghindar lagi. Aku pikir ini bukan sesuatu yang baik. Aku harus benar-benar melupakannya."
"Hah? Di saat dia sudah mulai menyukaimu, kamu ingin melupakannya?" Ika memandangnya tak percaya.
"Aku takut, Ka. Yang aku tahu cinta itu menyakitkan. Aku tidak mau jatuh cinta lagi. Jadi cukup sudah peristiwa hari ini. Aku tidak ingin membuat kisah apapun lagi dengan Nicholas." Milly menggelengkan kepalanya.
"Sekarang kamu yang bodoh!" Milly terkejut, Ika menunjuknya. "Kalau kamu tidak mau membuat kisah apapun dengan Nicholas, lantas kenapa kamu membuat janji dengannya besok?"
Milly menggigit bibirnya. "Aku tahu. Aku tahu."
"Sudahlah, Mil. Kamu harus membebaskan dirimu. Biarkan sensasi jatuh cinta itu membakar dadamu. Waktunya untuk bergerak maju! Jangan sampai ada Celia Celia lain yang akan merebut Nicholas darimu!"
Sensasi jatuh cinta apa sih? Milly menggelengkan kepalanya lagi. Ia menarik napas dalam-dalam. Tapi kemudian terputus karena ia mengingat sesuatu.
"Tapi dia bilang kalau dia sedang dekat dengan seseorang."
"Nah kan! Kali ini jangan sampai kamu kalah lagi! Kalau dia sampai mencium pipi kamu sementara dia sedang dekat dengan wanita lain, berarti dia pria yang berengsek. Tapi sepertinya tidak. Setahuku Nicholas orang yang jujur dan setia. Walaupun kesetiaannya waktu dulu pada wanita yang salah. Bisa jadi seseorang yang dimaksud itu adalah kamu, Mil!" Ika mengakhiri kalimatnya dengan menarik napas dalam-dalam.
Ika membuat jantung Milly kembali berdegup kencang. Benarkah Nicholas menyukainya? Dari caranya menatap Milly, menyentuhnya, sikapnya yang begitu perhatian... Ika benar. Ia akan membiarkan sensasi jatuh cinta itu membakar dadanya.