Chereads / Milly's First Love / Chapter 11 - 11. All of Me

Chapter 11 - 11. All of Me

Saat ini baru pukul setengah dua belas siang dan Milly sudah lapar setengah mati. Milly makan dengan lahap. Entah mengapa setiap kali bersama dengan Nicholas membuatnya jadi mudah lapar. Tiba-tiba ia teringat akan Ririn.

"Oh no! Aku harus menjemput Ririn pulang sekolah! Aduh bagaimana caranya ya? Kalau kita pulang dulu ke rumahku untuk mengambil mobil, pasti tidak akan keburu."

Milly menekan tombol di layar ponselnya, lalu melakukan panggilan.

"Memangnya Ririn sekolah hari Sabtu? Adikku sih dulu waktu SMA libur kalau hari Sabtu."

"Apa? Sabtu?"

"Halo, Mil," sapa Melanie.

"Halo." Hening. Milly tidak tahu harus berkata apa.

"Kamu ada di mana? Ayo kita kumpul! Ada Jolly dan Chloe di sini."

"Hah? Kapan Monty datang?"

"Tadi malam. Semuanya menginap di rumah Dad. Ada Marshal juga."

Marshal? Pasti seru sekali kalau berkumpul dengan kakak pertamanya.

"Oh. Mungkin tidak hari ini. Aku masih ada meeting di beberapa tempat." Milly menatap Nick yang sejak tadi menguping pembicarannya dengan Melanie. Lalu Nick tersenyum. Tiba-tiba jantungnya berdentum kencang.

"Kamu selalu saja sibuk setiap kali ada acara keluarga."

"Tapi kan ini dadakan. Kalau memang sudah direncanakan, aku mungkin bisa menggeser jadwal meeting."

"Lalu apa gunanya kamu punya Helen, Laura, Andre, dan Cakra?"

"Pak Cakra," ralat Milly. "Mereka semua sibuk. Dan untuk urusan yang satu ini harus aku yang kerjakan langsung."

"Jadi kamu tidak akan datang?"

"Entahlah. Oh ya, Mel, apa Ririn baik-baik saja?"

"Dia sedang bermain dengan Jolly. Kamu mau bicara dengannya?"

Nick benar, sekarang hari Sabtu. Ririn libur sekolah.

"Tidak tidak. Sampaikan saja salamku untuk semuanya."

"Baiklah. Kalau sempat mainlah ke sini. Aku juga menginap di sini."

"Oke."

"Love you, Sis."

"Love you too." Matanya sambil menatap Nick. Seandainya ia bisa menyatakan cintanya semudah itu pada Nicholas. Pria tampan itu balas tersenyum padanya.

Perlahan Milly menurunkan ponsel dari kupingnya, lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas.

"Sepertinya kita harus ke Golden Ring dulu untuk booking tanggal pernikahan. Semoga saja masih bisa. Lalu baru kita ke Grand Kawaluyaan."

"Tidak semua orang menikah di Golden Ring. Tenang saja."

"Kita akan memastikannya."

Milly berbicara dengan Nick seolah-olah mereka akan menikah di Golden Ring. Milly jadi membayangkan jika Nick bersanding dengannya di pelaminan. Ia akan memilih Golden Ring untuk menjadi tempat resepsi pernikahannya. Hotel itu bagus sekali dan sangat mewah.

Mereka telah selesai makan. Nick berjalan di sebelah kirinya, dekat sekali. Hasrat untuk menggandeng tangan Nick begitu besar. Buket bunga di tangan kanannya tampak sangat indah. Kalau saat ini ia memakai gaun putih, ia tampak seperti pengantin.

Selama ini ia sibuk mengurus pernikahan orang lain, sementara dirinya sendiri ingin sekali menjadi salah satu dari mereka. Meskipun hal itu agak mustahil, dulunya, tapi entah mengapa sesuatu dalam hatinya memberitahunya bahwa takkan lama lagi, semua kesendiriannya akan segera berakhir.

"Jadi kita tidak jadi menjemput Ririn?" tanya Nick membuyarkan lamunannya.

"Hah? Untuk apa?"

"Jadi dia libur sekolah?"

"Oh iya. Dia memang libur. Aku lupa."

Nick tertawa pelan. "Benar kan. Anak-anak zaman sekarang, hari Sabtu libur. Santai saja, Mil. Semuanya akan baik-baik saja." Tangannya meremas bahu kanan Milly dari belakang. Aliran listrik kembali menyengatnya. Sisi kiri tubuhnya menempel ke badan Nick. Ia merasa seperti yang sedang didekap. Tangan sebelah Nick menempel di punggungnya.

Kejadian itu hanya berlangsung beberapa detik. Milly nyaris lupa untuk bernapas.

Kemudian Nick menyerahkan helm ke tangannya, Milly langsung memakainya. Kacanya sengaja tidak dibuka agar Nick tidak perlu memperhatikan wajahnya yang memanas.

Sekarang ia sudah cukup ahli untuk naik ke motor sport Nick yang jangkung. Untuk menjaga kesopanan dan sedikit harga diri, Milly hanya meremas pinggiran jaket Nick untuk berpegangan. Tangan kanannya sibuk memegang buket bunga.

Tapi Teddy Bear langsingnya tidak suka mengancingkan jaketnya, sehingga saat Nick menggas motornya, jaketnya berkibar dan Milly seperti yang tidak berpegangan pada apapun.

Perlahan tangan kiri Nick meraih tangan Milly lalu menariknya ke depan untuk memeluknya. Tangan itu tidak berhenti sampai di sana. Dengan lembut Nick meremas dan mengusap-usap tangannya.

"Pegangan ya, Mil," kata Nick sambil menoleh sedikit. Suara Nick begitu dalam dan mempesona.

Inikah yang disebut dengan melayang di udara? Nicholas, cinta pertamanya... Mungkinkah pria itu merasakan hal yang sama seperti dirinya? Milly begitu menikmati kebersamaannya dengan Nick. Meskipun ada beberapa masalah dengan meeting kali ini, tapi kehadiran Nick sungguh membuatnya merasa nyaman dan bahagia. Ia tidak ingin hari ini cepat berlalu.

Hotel Golden Ring megah berdiri di hadapannya. Nick memasuki area parkir di basement. Selesai parkir, mereka berjalan bersama menuju ke lobby hotel.

Mereka kemudian bertemu dengan Bapak Januar, bagian pemasaran. Mereka diajak untuk berkeliling hotel, melihat gedung serba guna yang akan digunakan untuk acara resepsi. Undangan Darius dan Evina sekitar seribu orang. Tempat ini lebih dari cukup. Belum lagi tempat parkirnya sangat luas. Benar-benar sempurna.

"Pak, untuk tempat resepsinya sudah oke. Saya mau booking untuk tanggal sembilan Desember tahun ini. Apa masih bisa?"

"Tunggu sebentar." Pak Januar mengecek melalui tab-nya. "Masih bisa, Bu. Pada tanggal itu kami sudah ada dua pengantin. Tapi tenang saja, kami bisa menampung sampai tiga pengantin dalam satu tanggal. Semua ketersediaan makanan akan diatur dengan sebaik mungkin. Lahan parkir kami juga luas. Apabila memang penuh sekali, gedung di sebelah hotel juga telah kami sewa untuk digunakan sebagai tempat parkir. Jadi seharusnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan."

"Oh syukurlah kalau begitu." Milly tersenyum lega.

"Apa Ibu dan Bapak akan sekalian mengambil kamar bulan madunya di sini? Saya akan menunjukkan kamarnya. Kalian pasti akan sangat menyukainya." Pak Januar jalan terlebih dahulu menuju ke lift.

"Eh, Pak. Pengantinnya bukan saya." Milly melambaikan tangannya. "Kan sejak awal saya sudah bilang kalau saya perwakilan dari Tie The Knot Wedding Organizer."

"Oh ya ampun. Maafkan kelancangan saya, Bu. Sejak tadi Ibu Milly memegang buket bunga dan kalian memang pasangan yang sangat serasi. Saya pikir kalian yang akan menikah."

"Tapi..."

"Terima kasih, Pak Januar," ujar Nick.

Milly tidak sanggup berkata-kata lagi. Sudah tiga orang hari ini yang menyangka kalau ia dengan Nick berpacaran dan bahkan akan menikah.

"Jadi apakah kita akan melihat kamar bulan madunya?" tanya Pak Januar.

"Tentu saja, Pak." Nick menarik tangan Milly untuk mengikuti Pak Januar.

Kamarnya terletak di lantai lima belas. Milly tak dapat menahan mulutnya untuk tidak menganga saat Pak Januar membuka salah satu pintu kamar dengan kartu.

Sebuah grand piano hitam mengkilat menyambut kedatangan mereka. Bagian living room-nya sangat luas. Sofa kulit empuk memenuhi bagian tengah ruangan. Pak Januar membuka pintu teras, memperlihatkan kolam renang pribadi dengan pemandangan lapangan golf yang hijau, di seberangnya langsung mengakses ke pantai.

Sebuah ruangan lain yang sama luasnya, yaitu kamar tidur. Terdapat sebuah kasur king size yang telah dihias dengan bunga mawar tabur yang dibentuk hati, lalu ada dua buah lilitan handuk berbentuk angsa yang saling berhadapan. Lampu ruangan yang agak remang-remang menambah kesan romantis.

Kamar mandinya sungguh spektakuler. Terdapat bathup berbentuk oval yang sangat besar. Lalu wastafel ganda di sisi kanan kamar mandi. Ada ruang khusus untuk shower dan toilet duduk otomatis.

Di ruangan lainnya terdapat dua buah sofa panjang dengan bantal kecil di ujungnya, berguna untuk massage. Di sudut ruangan terdapat ruang spa dengan bahan kayu.

"Kamar ini sudah ada yang pesan untuk nanti malam," kata Pak Januar. "Jadi kami telah mendekornya dengan bunga-bungaan. Dapur kami telah menyiapkan sajian khusus untuk makan malam lengkap dengan kue tart spesial."

"Hebat! Kamar ini benar-benar hebat. Kalau boleh tahu, Pak, berapa harganya semalam?"

"Kalau hanya memesan kamarnya saja, harganya sekitar tiga belas sampai empat belas juta semalam. Harganya sudah termasuk makan malam, kue tart spesial, sarapan, massage and spa, fasilitas gym, dan voucher menginap. Tapi kalau Ibu sekalian mengadakan resepsi pernikahan di sini, maka kamar ini gratis. Jenis kamarnya tergantung paket pernikahan mana yang akan diambil."

Baiklah. Setidaknya Milly sudah memiliki gambaran atas harga paket dan kamarnya. Darius dan Evina pasti akan menyukai kamar ini.

Nick duduk di depan piano, membuka penutupnya, lalu mulai memainkan sebuah lagu.

All Of Me.

Jantung Milly berdebar-debar mendengar alunan musik yang begitu indah. Matanya berkaca-kaca, pandangannya menjadi buram. Susah payah Milly menahan tangis. Otot lehernya seolah tertarik karena tegang. Tenggorokannya tercekat.

Milly kemudian duduk di sofa, menahan lututnya agar tidak terlihat gemetaran.

Lalu Nick mulai bernyanyi. Sebenarnya suara tidak terlalu bagus. Tapi ia menyanyikannya dengan penuh penghayatan.

Demi Tuhan, ini masih siang. Tapi suasana di tempat ini begitu romantis dan sangat menghipnotis. Pak Januar tiba-tiba melangkah keluar kamar, memberi privasi bagi mereka berdua, masih sempat mengedip sambil tersenyum pada Milly sebelum ia menutup pintunya.

Cause all of me, loves all of you.

Love your curls and all your ages, all your perfect imperfections.

Gives your all to me, I'll give my all to you.

You're my end and my beginning.

Even when I'm loose I'm winning.

Cause I'll give you all of me.

And you give me all of you.

Dan setetes air mata berhasil meluncur membasahi pipi Milly. Segera Milly mengelapnya dengan tangan. Semoga saja Nick tidak menyadarinya. Matanya menatap tuts piano saat bernyanyi, sesekali melirik Milly.

Oh dasar tidak bisa diajak kerja sama. Air mata lainnya kembali menyusul deras. Sekarang hidungnya jadi basah dan berlendir. Cepat-cepat ia mengambil tisu di meja, lalu mengelap pipinya yang sekarang sudah basah sekali.

Ia benci dirinya sendiri karena tidak bisa mengontrol emosi. Setiap kali jika ia menangis, pasti air matanya akan keluar banyak sekali dan tidak mudah untuk berhenti.

Nick menghentikan lagunya, lalu menghampiri Milly, duduk di sebelahnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Nick khawatir. Ia memaksa Milly untuk memandangnya. Padahal Milly berusaha mengelak, tapi ia tak kuasa menahan serangan tatapan Nicholas.

"Lagunya... indah sekali..." Suara Milly bergetar. Air mata kembali membasahi pipinya. Sulit sekali melihat wajah Nick dengan jelas. Jadi Milly menutulkan tisu yang sudah basah ke matanya.

Nick mengambilkan tisu yang baru. Milly langsung meraihnya, lalu menutup wajahnya dengan tisu. Tisu itu langsung mengkerut menyerap air mata di pipi dan matanya. Nick menarik tisu itu agar bisa menatap Milly.

Dengan lembut Nick menyelipkan rambut Milly yang berantakan ke kupingnya. Aliran listrik menyengat kepala dan wajah Milly. Tangannya menghapus air mata di pipi Milly.

"Jangan menangis, Milly." Suara Nick begitu dalam dan mempesona.

Wajah mereka dekat sekali. Milly bisa merasakan napas Nick yang cepat mengenai pipinya. Nick terus mendekat, memiringkan kepalanya, matanya memandangi bibir Milly. Bibirnya terbuka sedikit.

Tiba-tiba tangan Nick menekan kepala Milly, lalu mendekatkan wajah Milly ke wajahnya, sehingga mereka saling berciuman.

Bibirnya dengan lembut mengecup bibir Milly, hingga Milly nyaris tak sadarkan diri.

Ia lupa bernapas. Jantungnya sudah tidak karuan, bertalu-talu di dadanya, nyaris membuat rusuknya sakit. Kepalanya berputar dan berdenyut-denyut. Seketika kupingnya berdenging dan ruangan berubah menjadi gelap.