Dalam waktu kurang dari sepuluh menit, buket bunganya sudah selesai. Yani memang handal. Buket bunganya berhiaskan pita kuning dan sentuhan emas di sisinya, terlihat cantik sekali. Mawarnya berwarna oranye, daisy-nya berwarna kuning, dan lilinya pink, begitu senada dengan baby breath yang berwarna putih.
Selesai membayar, Nick dan Milly berjalan keluar toko. Nick menyerahkan buket bunga itu ke tangan Milly. Wanita itu terkejut.
"Nick... Bagaimana kamu tahu warna kesukaanku? Ini... cantik sekali. Terima kasih." Milly menatap bunga itu dengan penuh kekaguman, seolah ia baru saja melihatnya. Padahal sejak tadi ia menunggu di depan konter sementara Yani merangkai buket bunga itu.
Gawat. Milly salah paham. Maksudnya Nick ingin agar Milly memegang bunga itu sementara ia menyetir motor.
Nick sama terkejutnya. Ia bingung harus berkata apa.
Oh maaf, Mil bunga itu bukan untukmu. Terlalu biasa. Kamu terlalu percaya diri, itu bukan untukmu. Terlalu kasar. Tolong pegang bunganya ya, itu untuk ibuku. Terlalu kurang ajar.
Ia tidak ingin mengecewakan Milly. Jadi ia hanya bisa tersenyum. Semoga ia terlihat tulus.
"Sama-sama."
Nick menatap Milly. Wanita itu masih memandang buket bunga itu dengan terpesona. Senyum Milly begitu cantik dan tulus. Bagaimana bisa ia merebut kembali bunga itu dan kemudian meletakannya di atas makam? Pada akhirnya bunga itu akan layu. Ibunya telah berada di Surga. Sebenarnya ibunya sama sekali tidak membutuhkan buket bunga itu. Ia bisa ke makam ibunya lain kali.
"Kamu suka?"
"Suka sekali. Sekali lagi terima kasih, Nick."
Kali ini Nick tersenyum jauh lebih tulus.
Mereka kembali naik motor. Tujuan selanjutnya adalah bertemu klien di restoran Jepang.
"Halo Darius! Evina!" Milly menjabat tangan kedua calon pengantin itu.
"Siapa ini, Sis?" tanya Evina sambil menatap buket bunga di tangan Milly. "Aku pikir kamu belum punya pacar."
Wajah Milly memerah. "Bukan. Ini Nicholas, teman SMP-ku."
Tanpa ragu pria bernama Darius itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Nick. Begitu pula sang calon istri, ikut berjabat.
Mengapa Nick tidak mengiyakan saja anggapan semua orang? Nick tertawa dalam hati. Apa memang ia sudah cocok menjadi kekasihnya Milly?
Mereka kemudian duduk. Milly menceritakan tentang pesanan bunga yang sesuai seperti yang kliennya harapkan. Milly mengeluarkan ponselnya lalu menunjukkan foto-foto bunga.
"Sis, boleh tidak kalau bunganya diganti saja?" tanya Evina. Matanya berbinar-binar menatap buket bunga Milly yang diletakkan di meja.
"Kamu yakin, Vin? Ini untuk yang keempat kalinya."
"Iya aku tahu. Maaf ya. Tapi aku suka sekali dengan buket bunga milikmu. Warnanya cerah, kelihatan sangat sederhana tapi elegan."
"Maksudmu ini?" Milly mengambil buket bunganya lalu menunjukkannya pada Evina.
"Ya benar sekali." Evina meraih buket bunga itu lalu mengaguminya. "Selama ini aku hanya melihat gambarnya saja dan sekarang setelah melihat aslinya, aku jadi suka dengan yang ini." Evina memejamkan matanya sambil menghirup aroma bunga dalam-dalam.
"Baiklah. Kalau kamu lebih suka yang ini, aku akan merubah lagi desainnya. Apa kamu mau sekalian merubah konsep dekorasinya agar senada dengan buket bunganya?"
"Ya ya. Boleh." Evina menghirup bunganya sekali lagi, lalu dengan enggan mengembalikannya ke Milly. "Kamu beruntung sekali bisa memiliki kekasih seperhatian Nicholas. Selama ini Darius tidak suka membelikanku bunga."
"Apa?" kata Milly dan Darius bersamaan.
"Kalau kamu memang suka dengan bunga, aku akan membelikannya. Tolong jangan merendahkan aku di depan Sis Milly." Darius tampak marah.
"Aku tidak bermaksud merendahkan. Habis kamu tidak peka kalau aku mengode. Jadi lebih baik aku bilang terus terang saja."
Dan sekarang kedua calon mempelainya bersitegang. Nick memutar bola mata. Milly hanya menyeringai dan tampak agak lesu.
"Untuk apa kamu mengode? Kamu kan bisa bilang baik-baik tanpa harus membicarakan aku pada orang lain." Darius mengerutkan alisnya. Evina menatap Darius sambil cemberut, jelas merasa tidak terima.
"Ya sudah. Aku minta maaf. Aku tidak akan mengulanginya lagi." Sekarang Evina melembut. Wajahnya memelas seperti anak kecil.
"Kamu tidak perlu bilang maaf. Aku sudah memaafkanmu." Darius tersenyum sambil mengusap rambut Evina, lalu mencium puncak kepalanya.
Ya ampun. Nick tidak ingin melihatnya.
"Oke. Apa kita bisa lanjutkan meetingnya?" tanya Milly.
"Iya. Bisa. Maaf ya, Sis." Evina tersenyum malu-malu, jelas merasa puas setelah dicium oleh Darius. Dasar wanita.
"Sis, untuk foto preweddingnya sepertinya kami tidak akan pakai rekomendasi dari kamu," kata Darius. "Kebetulan kakak iparku juga fotografer, jadi aku akan pakai yang kakak iparku saja. Kebetulan dia baru pulang dari Singapura. Jadwalnya minggu depan kami mau langsung pemotretan."
"Oh. Jadi mau langsung foto minggu depan?"
"Iya, Sis. Maaf ya. Kami tidak bermaksud menolak tawarannya."
"Tidak apa-apa. Kalau memang sudah punya fotografer yang cocok sih ya tidak masalah."
"Nah paling untuk band-nya. Mama Papanya Evina ini memang seleranya agak berbeda. Aku pikir orkestra lagu mandarin saja sudah cukup, tapi calon mertuaku ini maunya lagu jazz. Untuk biaya foto prewedding-nya dialihkan ke tambahan band musik jazz saja. Bagaimana?"
"Musik jazz ya? Boleh. Nanti aku carikan band yang bagus ya."
"Temanku punya band musik jazz yang bagus," celetuk Nick.
"Kamu yakin?" tanya Milly.
"Ya. Mereka teman-temanku sejak kecil. Kakakku pernah menjadi vokalis di band itu. Mereka sudah tampil di berbagai acara di kota-kota lain."
"Wah boleh juga itu," sahut Evina. "Nanti kapan kita bisa janjian dengan mereka? Sepertinya aku akan mengajak Mamaku."
"Oke. Nanti kita jadwalkan." Milly membuat catatan di bukunya.
"Nah ada satu lagi, Sis." Darius menghela napas dengan berat. "Aku itu sudah capek sekali mengurus pernikahan ini. Kita semua sudah usaha kerja keras selama ini. Tiba-tiba Papaku maunya acara pernikahannya dipindah ke Hotel Golden Ring. Bagaimana ya? Aku jadi merasa tidak enak. Kemarin ini kita sudah sama-sama tes makanan di Hotel Grand Kawaluyaan."
Milly tersenyum, tapi wajahnya berubah tegang. "Selama belum masuk uang DP, seharusnya tidak apa-apa. Tapi kita harus cek juga di Golden Ring-nya, apa tanggal itu bisa untuk kita pakai gedungnya. Karena yang aku tahu hotel itu baru, tapi sangat ramai sekali mengadakan acara pernikahan."
Nick hanya bisa tersenyum dalam hati. Bagaimana tidak, hotel itu milik kakak iparnya. Pemasaran hotel itu benar-benar luar biasa. Walaupun baru berjalan selama dua tahun, tapi debutnya memang sangat hebat.
Nick mengenal kepala koki andalannya. Namanya Delia. Wanita itu bertubuh kecil dengan kacamata yang kelewat besar untuk wajahnya. Delia telah menikah dan memiliki seorang anak. Mereka sekeluarga pindah ke Batam untuk memimpin dapur Golden Ring.
Acara meeting hari ini cukup berat menurut Nick. Karena ia tidak pernah berurusan dengan hal semacam itu. Dunianya hanya seputar makanan. Jika memang selera dan rasa bisa menjadi sebuah permasalahan, ya berarti hanya itu saja masalahnya. Tapi selama ia menjadi koki kepala di Malaysia, hasil masakannya tidak pernah ada yang komplain. Justru sebaliknya, ia yang komplain atas masakan orang lain. Ia menjadi juri dan menilai pekerjaan orang lain.
"Selanjutnya kita ke mana?" tanya Nick.
"Aku mau pulang." Milly menghela napas panjang.
"Kamu yakin?"
"Tidak. Kita masih harus ke tempat band temanmu itu, lalu sepertinya kita harus ke tempat Yani lagi. Ah tidak usah lah. Aku kirim Whatsapp saja. Lalu... apa lagi ya?"
"Kita harus ke hotel," ujar Nick. Untuk cek in dan kemudian bersenang-senang di sana. Nick tidak akan berani mengungkapkan isi kepalanya saat ini. Tapi seandainya iya, apa Milly akan berkata ya?
"Oh ya kamu benar. Hotel Grand Kawaluyaan agak jauh dari sini."
"Tidak masalah. Aku akan mengantarmu ke mana saja hari ini. Jadi sebaiknya sebelum kamu pingsan, sebaiknya kita makan siang dulu."