Jilid 1 ¦ Chapter 03 - Bertemu dengan tiga petualang.
Senja telah berganti menjadi malam gelita. Di atas awan berubah menjadi gelap kelabu, dan angin malam menyambut terasa menembusi kulit. Saat malam hari, dunia ini benar-benar terasa begitu gelap, dingin namun juga tenteram.
Kami hanya berjalan lurus ke arah barat. Mengikuti jalur yang berada di rerumputan. Gelap gulita jalan yang kami tempuh, hanya bisa melihat jalan yang ada di bawah kaki.
Elizabeth yang tadinya berjalan jauh mendahuluiku, kini tengah berhimpitan tanpa alasan tertentu. Jarak antara aku dan Elizabeth bisa dikatakan sangat dekat 0,4 cm sampai-sampai tubuh bagian tengahnya (dada) menyentuh kaki tanganku.
Sepertinya orang ini sangat anti akan kegelapan. Aku hanya bisa menyerah dalam keadaan, dan situasi dimana berusaha tidak memikirkan hal yang rumit jika orang yang kamu sukai kini sangat dekat dengan dirimu. Dan dia tidak menyadari kalau tubuh bagian tengahnya telah menyentuhku beberapa kali.
Aku tidak bisa melihat wajah cantiknya karena tertutup oleh bayangan gelap. Namun aroma harum dari shampoo nya masih bisa kurasakan.
Terlebih yang lain kurasakan adalah jantung yang berdetak begitu kencang. Aku tidak bisa mengatur detaknya ketika seperti Resonant breathing. Bernapas dalam, menahannya lalu mengeluarkannya—aku tidak mungkin bisa melakukannya di hadapan Elizabeth.
Sinar bulan mulai menyinari seluruh tempat ini dengan gemerlap cahaya. Cahaya tersebut merupakan suatu keberuntungan bagi kami berdua agar tetap bisa meneruskan perjalanan.
Di tengah perjalanan, aku memutuskan untuk memulai obrolan.
"Sepertinya kita akan tidur di luar."
"Tidak mau. Aku sudah katakan sebelumnya,'kan? Aku tidak suka di tempat yang gelap." Jawabnya gerun.
"Tapi, apa boleh buat. Kita tidak mempunyai pilihan."
Bahkan ekspresinya tertutup oleh bayangan awan yang terkena sinar bulan.
"Pokoknya, kita harus mencari tempat tinggal."
"Bagaimana caranya coba."
Aku berkata dengan nada sedikit agak kesal. Setiap kali aku membujuknya dia selalu saja menyangkal dengan alasannya. Dia semacam orang yang keras kepala atau mungkin terlalu jujur.
Dia sama sekali tidak memikirkan keadaan sekitarnya.
Untuk beberapa menit kemudian situasi kami menjadi canggung dan terdiam. Kesenyapan ini mengeluarkan aura yang mencekam menggermang seluruh tubuh. Aku mendengar beberapa kali bunyi menggeletuk dari belakang.
Aku pun berhenti sejenak bersamaan Elizabeth juga mendengarkannya. Itu terdengar seperti bunyi hentakan seperti langkah kaki kuda.
"Sepertinya ada orang yang ingin menuju ke sini."
"Benar..."
Kami berdua segera berbalik badan kebelakang untuk melihat apa itu sebenarnya.
Tidak lama kemudian datang sebuah gerabak kereta dengan cahaya lampu yang mengerlap. Suara bunyi menggeletak itu terdengar lebih jelas di telinga.
Cahaya lampu terang tersebut tengah menyinari kami berdua dan seluruh area rerumputan ini.
Kami pun meminggir ke tepi jalan yang merupakan jalurnya. Bukannya lewat begitu saja, gerobak kereta itu berhenti di depan kami.
"Hei kalian, naiklah."
Seorang lelaki dewasa berbaju zirah coklat berbicara menatap kami.
"Ayo."
"Ya."
Elizabeth mengangguk paham. Kami pun bergegas menaiki gerobak tersebut, lalu melanjutkan perjalanan.
Beberapa menit dimulainya perjalanan, aku mengucapkan terima kasih pada orang itu.
"Terima kasih atas tumpangannya."
"Sama sekali! Tidak masalah. Lagipula, apa kalian juga seorang petualang?"
"Petualang?"
Petualang adalah orang yang bertualang.
Mengembara dari suatu tempat ke tempat yang lain; tidak punya mempunyai tempat tinggal tetap; berbuat secara nekat, atau senang melakukan sesuatu yang menarik dan menantang. Itulah yang dinamakan bertualang.
"Apa? Jadi, kalian bukan seorang petualang? Apa aku mengganggu kencan kalian?"
Lelaki seperti paman-paman itu mengucapkannya dengan nada tinggi. Suaranya begitu jelas terdengar di dalam gerobak kereta. Elizabeth yang kian diam dari tadi, tiba-tiba menunjukkan reaksi yang agak kikuk dan terdengar mengeluarkan suara "cihuk" pelan tapi aneh.
"K-kencan!?"
Matanya berkedip-kedip melirik kemana-mana dan wajahnya begitu memerah.
"Eehh... jadi itu benar, kalian sedang kencan malam."
Aku tidak mengerti apa yang sedang dibicarakan. Akan tetapi, aku merasa sangat gelisah jika diam saja. Itu sangat mengganggu pikiranku.
"Anu begini, sebenarnya kami berdua tersesat."
Aku tidak boleh mengatakan; kalau kami sebenarnya tersesat dari dunia lain. Jika kutanyakan itu kepadanya, kemungkinan paman itu tidak bisa menjawabnya.
Paman itu memelankan pergerakan kudanya. Dan melanjutkan pembicaraan.
"Tersesat? Aku kira kalian sedang bertualang."
Aku tidak bisa menyebut diriku sebagai orang yang senang berpetualang dengan bepergian kemana-mana untuk mencari pengalaman baru; atau orang yang suka melakukan sesuatu (pekerjaan) yang menantang yang mempunyai mengalami kecelakaan diri sendiri.
"Kenapa paman berpikir kalau kami ini terlihat seperti seorang petualang?"
"Itu sudah jelas, dari cara kalian berpakaian dan terlihat membawa pedang masing-masing. Siapapun akan menganggap kalian sebagai petualang."
"Memang benar."
Aku Ksatria yang bodohnya kelewat batas baru sadar akan hal itu.
Di dalam gerobak kereta terdapat beberapa karung yang saling bertumpang tindih. Aku mencoba menyentuhnya dan mengira-ngira di dalamnya terdapat sebuah benda apa.
Saat kucoba sentuh, terasa sedikit lembut, kenyal-kenyal, dan juga sedikit keras.
Indra frasaku mengatakan ini adalah semacam paha hewan. Karena aku juga merasakan sesuatu yang keras di dalamnya. Untuk lebih jelasnya, aku mencoba bertanya pada paman itu.
"Paman, aku ingin bertanya satu hal. Yang ada di dalam karung itu apa?"
"Oh itu adalah babi hutan dan beberapa barang untuk dijual nanti. Aku berencana membawakannya kepada teman-temanku. Saat ini pasti mereka sedang menunggu."
"Begitu rupanya."
"Jika kalian mau, ikutlah makan bersama kami nanti." "Oh? satu hal lagi, jangan memanggilku sebutan paman, karena aku tidak terlalu tua tetapi juga tidak terlalu muda. Jadi, panggil saja aku Zain."
"Kalau begitu, Zain-san? Apa di daerah sini ada semacam area permukiman?"
"Ah, ada! Kota Anastasia. Kebetulan kami besok ingin pulang ke sana. Apa kalian juga mau ikut sekalian?"
"Jika di perbolehkan, kami benar-benar akan sangat berterima kasih."
Tawaran yang datang tidak terduga dari Zain-san itu kini membuatku lega menyeluruh. Hatiku seakan merasakan kegembiraan yang sebenarnya. Aku pun mengalihkan pandangan dari menuju kesamping untuk membagi kegembiraan kepada Elizabeth.
Aku pun tersenyum lebar menatapnya—
"Mmmm..."
"Rupanya tertidur..." kupelankan suaraku kini wajahnya terlihat memelas.
Elizabeth tertidur pulas menyandar di punggung kursi gerobak kereta.
Dia mungkin saat ini merasa kelelahan setelah berperang sebelum tiba di dunia ini dan habis bertarung melawan satu monster hari ini.
Kemampuan teknik pelepasan sihir miliknya memang tidak seharusnya di gunakan secara berkala. Apalagi dia menggunakannya 2 kali dalam sehari ini. Meskipun aku berasal dari kekaisaran, di dunia sana aku termasuk orang yang suka belajar dan sering pergi ke perpustakaan umum kota Netral untuk mempelajari tentang banyak hal di sana.
Kota Netral merupakan wilayah perkotaan di luar kekuasaan antara kekaisaran dan Kedaulatan yang tentram, tenang dan damai tanpa adanya peperangan. Di luar kekuasaan antar wilayah ini, mereka saling menjaga satu-kesatuan sesama makhluk sosial. Karena itulah di namakan kota Netral.
Memang kalau letak kota Netral sangat jauh di ujung selatan, akan tetapi begitu sampai di sana, kebebasan dan kesegaran alam sekitar dapat di rasakan sepenuhnya. Bagaikan surganya dunia.
Di dalam gerobak kereta, tiba-tiba terguncang seperti terjadi hal gempa bumi. Rupanya salah roda kereta menabrak sesuatu. Tubuhnya ikut bergeser dan menyandar di bahuku. Aku bahkan sempat terkejut dan tubuhku menjadi beku seketika.
Bukan membeku akibat sihir es di keluarkan Elizabeth . Akan tetapi, aku memang terpaksa untuk diam tidak bisa bergerak.
"Kita sampai."
Gerobak kereta berhenti.
Lokasi kami berada sekarang mungkin terasa sama seperti kami sedang berada di sekitar rerumputan. Aku sedikit merasa lebih baikan jika di sini terdapat beberapa seorang petualang yang baik.
Aku pun segera membangunkan Elizabeth yang tengah tertidur.
"Hei, bangun. Kita sampai,'loh."
"Hn? Baiklah, tunggu sebentar. Kamu duluan saja."
Elizabeth masih mengumpulkan nyawanya. Jadi, aku menunggunya di luar.
Ketika menunggu Elizabeth keluar dari kereta, aku melihat mereka bertiga sedang mengobrol bersama.
"Zain... apa kau baik-baik saja?"
"Tentu!"
"Aku pikir kamu tidak akan kembali. Tapi, syukurlah kamu selamat."
"Tidak perlu khawatir! Sumire-chan. Begini-begini aku orang yang kuat!"
"Hahaha, seperti biasa Zain orang yang lucu."
Beberapa selang menit kemudian, Elizabeth menyapaku.
"Kitarou."
"Ada apa?"
"Tidak ada. Omong-omong kita sekarang dimana?"
"Masih berada di area rerumputan. Menunggu pagi, kita akan beristirahat di sini terlebih dahulu. Besok kita akan melanjutkan perjalanan menuju kota, begitu kata Zain-san."
Wajahnya menatap kosong.
"Zain-san?"
"Itulho, paman yang memberi kita tumpangan. Namanya Zain. Karena dia lebih tua dariku, jadi aku memanggilnya Zain-san."
"Oh. Jadi, Zain-san ada di mana dia sekarang?"
"Dia sekarang sedang mengobrol dengan teman-temannya."
Elizabeth mengalihkan pandangannya ke arah mereka bertiga berdiri di dekat api unggun.
"Haha! Ketika kamu terkejut, wajahmu terlihat ngelawak, Zain."
"Omong-omong, Zain? Mereka berdua di sana itu siapa?"
"Oh benar juga. Saat di tengah perjalanan, aku menemukan mereka sedang tersesat. Jadi, kuputuskan untuk membawanya."
"Ajak juga mereka bergabung, Zain."
"Benar, benar itu Zain. Akan lebih bagus dan menyenangkan jika kita melakukan party menambah lebih banyak orang di dalamnya."
"Baik, tunggu sebentar aku akan panggilkan mereka."
Zain-san berjalan menghampiri kami berdua di dekat gerobak kereta. Aku langsung melihat kearahnya dengan wajah datar seperti biasa.
"Teman-temanku mengajak kalian untuk bergabung dalam party. Jadi, terima saja ya. Kami akan sangat senang jika kalian mau menerimanya."
"Tentu saja, kami akan menerimanya dengan senang hati." Elizabeth yang berbicara.
Setelah mengatakan itu, Zain-san berjalan melewati kami berdua dan masuk kedalam gerobak kereta untuk mengambil sesuatu. Sepertinya Zain-san mengambil karung yang katanya berisi daging babi.
Keretanya bergoyang ketika dia melompat keluar sambil membawa karung di sandangnya di bahu.
"Ayo ikut kami."
Zain-san berjalan mendahului kami di depan sedangkan aku dan Elizabeth mengikutinya dari belakang.
"Aku mendapatkan daging babinya, Klein."
Di kejauhan Zain-san menurunkan karungnya di hadapan salah satu temannya. Dan melanjutkan pembicaraan.
"Mereka menerima tawaran kita. Dan segera menuju ke sini."
"Baguslah."
Tidak lama kami telah berada di perkumpulan mereka mengelilingi api unggun.
"Duduklah."
"Baik, terima kasih."
Kami pun langsung berduduk di atas rerumputan menghadapi api unggun.
Rasanya suasana tenang sekali saat mendengar suara retikan kayu yang terbakar. Dan suhu di sekitarnya menjadi hangat dan membuat tubuhku jauh lebih baik dripda sebelumnya.
Seorang laki-laki berambut panjang menatap ke arahku. Dan seperti ingin mengucapkan sesuatu.
"Aku mendengar ini dari Zain. Katanya, kalian tersesat apa itu benar?"
"Iya, itu benar."
Orang itu memiliki postur tubuh yang tinggi. Ketika dia sedang berduduk, posisi tubuhnya menjadi lurus sejajar dengan dada. Juga memilki wajah yang agak menyeramkan. Mungkin itu karena rambutnya terlihat panjang terurai mirip seperti seorang preman pasar. Akan tetapi, tidak seperti Zain-san nada bicara orang itu lumayan halus dan lembut.
"Kalian berasal dari mana?"
Kali ini bukan orang yang bertubuh panjang yang menanyakannya. Melainkan seorang gadis berambut pendek dan tinggi badannya juga pendek. Terlihat sedang memegangi tongkat «Sihir» kulihat seperti yang di gunakan para penyihir dari kedaulatan.
"Eng…"
Aku melihat ke arah Elizabeth karena bingung ingin menjawab apa.
"Hn?"
Wajahnya juga terlihat kaku sama sepertiku. Elizabeth tertunduk.
"Yah, semua orang pasti mempunyai hal yang tidak bisa di bicarakan ke orang lain. Tidak apa, maaf aku menanyakan hal yang aneh-aneh."
Aku mengangkat wajahku melihat gadis itu dan tersenyum pahit. Begitu Pula dengan Elizabeth.
"Maaf, kami tidak tahu harus memulainya dari mana."
"Jangan terlalu di paksakan, lakukan secara perlahan saja." Gadis itu tersenyum lebar.
Gadis itu berjalan membelakangi kami ke suatu tempat. Aku tidak tahu apa yang di lakukannya, dia terlihat mengambil sesuatu di dalam kotak.
"Dia adalah Sumire, hanya dia satu-satunya wanita yang merupakan rekan guild kami. Dia terlihat masih bocah sih."
Pandanganku beralih ke api unggun dan tengah meratapi apinya.
Guild, ya...?
Aku merasa seperti pernah mendengar ini atau semacam mengingatnya. Di dalam dunia ini ternyata ada banyak hal yang masih belum kuketahui. Aku semakin percaya ini seperti sedang berada di Dunia VR[1] yang pernah kumainkan sebelumnya di kota Netral.
Setengah tahun lalu, game ini (yang mulai di rilis pada Mei 2066) berhasil mendapatkan tanggapan baik oleh penduduk Netral. Perusahaan elektronik yang membuat perangkat keras tipe Console "monitor layar datar" dikendalikan secara langsung "stick controller".
"Kalau boleh tahu, nama kalian siapa?"
Pertama kali memainkannya (Fantasy Four), aku langsung di pandu untuk membuat sebuah »Created Guild« akan tetapi tidak ada satupun player yang ingin bergabung kedalam Guild[2] yang sudah kuolah.
Secara tidak sadar, aku terlihat melamun sedang meratapi api unggun.
Debukk!—Seseorang menampar tubuh bagian belakangku sangat keras. Aku terkejut minta kepalang yang menggebu ku ternyata Elizabeth. Kini dia tengah menatap tajam ke arahku dengan bibir yang mengerut.
"Apa sih?" Nada kesal keluar dari mulutku karena merasa jantungku hampir ingin copot.
Aku mengerti apa yang dia maksud. Ketika bersama teman sejolinya, jika seseorang menanyakan identitasnya, maka di antara mereka harus mewakilinya. Karena aku seorang laki-laki, jadi akulah yang harus menjawabnya.
"A—Ah!? Aku Kitarou. Sedangkan, orang di sebelahku bernama Elizabeth."
"Kalau nama aku...Kleinkert, biasanya mereka berdua memanggil namaku 'Klein'. Kalian juga bisa memanggilku dengan panggilan itu."
"Kalau begitu, Klein-san?"
"Benar. jadi aku harus memanggilmu Kitarou-kun, ya?"
Tidak lama Zain-san datang menghampiri kami bertiga dalam ikut bergabung dalam obrolan.
"Sepertinya kalian berdua juga seorang petualang?"
Klein-san menanyakannya padaku. Bukan aku yang menjawabnya. Akan tetapi, Zain-san lah yang menjawab nya untukku..
"Mereka berdua lain seorang petualang. Apa benar begitu, Kitarou?"
"Apa yang di katakan Zain-san itu benar. Kami berdua bukanlah petualang seperti kalian."
Alasannya adalah baju dan pedang ini, mengapa kami terlihat seperti seorang petualang. Kami berdua juga memakai sepatu panjang both hitam dan mengenakan kaos kaki agar bebatuan kerikil atau tanah tidak dapat masuk kedalam kaki. Karena hal itu merupakan yang terpenting sebelum berperang.
"Jadi, kalian bukan petualang, ya? Tapi, baju dan pedang kalian itu terlihat mirip—jangan-jangan…!? Kalian berdua memang bukan seorang petualang, melainkan seorang ksatria!?"
Klein-san mengangkat kedua bahunya yang wajahnya sedikit berkerut.
Mungkin inilah kata yang sangat kuharapkan, tapi apa boleh membicarakan hal ini kepada orang yang berbeda dunia. Aneh rasanya kalau menceritakan diriku dan Elizabeth dari dunia yang berbeda ke dunia ini.
Status bahwa kami berdua merupakan Ksatria pedang dalam medan pertempuran tidak bisa kami lupakan.
Ada alasan lain mengapa aku mempertimbangkan hal ini. Di dunia lain, status seorang Ksatria merupakan yang paling terhormat. Aku bukan tipe orang yang suka menyombongkan diri dengan sesuatu yang melekat pada diriku. Ini seperti aku menganggap diriku; hanyalah seorang pendekar yang membela dirinya sendiri. Aku pernah mengatakannya begitu pada Elizabeth.
"Itu tidak sepenuhnya benar, bisa di katakan ini semua hanyalah untuk membela diri kami masing-masing."
"Uhm?"
Elizabeth terlihat membuka bibirnya sedikit seperti mengingatkan sesuatu. Dia pasti mengerti apa yang kumaksud. Setiap perkataan yang dikeluarkan memiliki makna tersendiri. Inilah yang menjadi alasan yang tepat untuk membuktikan jati diri kami sebenarnya.
"Kau benar juga! Senjata merupakan hal yang utama, agar dapat melindungi diri dari bahaya."
"Seperti, tongkat ini yang terus berjalan bersamaku, melindungiku dan memberikanku kekuatan." Gadis yang bernama 'Sumire' itu datang sambil berbicara. Rupanya Sumire mendengarkan pembicaraan kami barusan.
"Jadi, begitu. Aku baru saja mendapat pembelajaran baru di sini." Klein-san memahaminya.
"Sebentar, aku akan melakukan sesuatu." Klein-san berdiri.
Obrolan kami berhenti sejenak.
Klein-san mengambil beberapa kayu bakar yang berada di samping lalu melemparkannya ke tengah api unggun. Saat kayu mendarat di atas api muncullah percikan kobaran api yang meluap.
Zain-san terlihat mengambil alat pemanggang yang terbuat dari besi. Sedangkan, Sumire terlihat sedang mengayun-ayunkan tongkatnya kesana kemari.
"Apa kau baik-baik saja?" Aku menanyakannya pada Elizabeth .
"Iya begitulah, bagaimana denganmu?" Tanyanya balik.
"Aku juga merasa lebih baik dripada sebelumnya."
Elizabeth mengalihkan pandangannya ke api unggun. Dan sinar api menerangi wajahnya yang terlihat memelas. Matanya begitu indah, rambut pendeknya sedikit terurai.
Aku mengerti sekali perasaannya. Saat ini kami memiliki kekhawatiran yang sama. Di Dunia kami seharusnya jauh berbeda dari apa yang dilihat sekarang. Di sisi lain, aku merasa cemas dan gelisah ketika sedang memikirkan kondisi kekaisaran saat ini. Aku berfikir kalau Elizabeth juga memikirkan hal yang sama denganku.
"Untuk malam ini, kita akan makan sate babi panggang!"
Zain-san mengatakannya sangat jelas sekali. Terlihat membawa beberapa piring berisi bilah lurus yang terdapat susunan daging yang tertusuk. Itu merupakan daging babi yang dibicarakan Zain-san.
"Sebelum fajar tiba, semuanya perut harus terisi penuh." Sumire bicara.
Aku menyadari satu hal. Sumire merupakan gadis kecil terlihat polos bertubuh pendek yang memiliki karakteristik kalem seperti orang dewasa. Gaya bicara begitu lurus dan juga lembut ketika dia sedang berbicara pada seseorang.
Cara berpakaiannya terlihat seperti seorang putri bangsawan tengah memakai rok setengah paha. Dan juga mengenakan topi berupa 'baret' berwarna putih.
"Nama kamu... Sumire,'kan? Apa aku benar?"
"Benar, aku Sumire. Kalau boleh tahu, nama kalian siapa?"
Sebelumnya aku, Elizabeth dan Sumire belum saling berkenalan. Karena waktu itu, Sumire meninggalkan kami sebentar untuk melakukan sesuatu di tempat lain.
Jadi, aku harus mengulanginya sama seperti sebelumnya.
"Nama aku, Kitarou. Sedangkan orang di sebelahku, namanya Elizabeth ."
"Kitarou... Elizabeth... entah kenapa, aku merasa nama kalian berdua itu terdengar asing. Apa kalian berdua sepasang kekasih?"
"Kalian? Eh, kami!? Apa kami ini memang terlihat seperti itu?"
Elizabeth terkejut dengan mata terbuka lebar. Wajahnya terlihat memerah dan karakter kikuknya sedikit menonjol.
"Elizabeth, wajahmu terlalu memerah." Aku mengatakannya dengan tatapan biasa.
"Eh? T—Tidak sama sekali!"
"Jelas kelihatan tahu."
"Hihi... tuh,kan. Kalian terlihat bermesraan. Tidak salah lagi, kalian berdua merupakan sepasang kekasih."
Dengan senyuman yang di jadi-jadikan nya, Sumire tertawa kecut mengarah kami berdua.
"Sebenarnya dia itu adalah musuhku."
Elizabeth mengatakannya dengan jari telunjuknya tertuju padaku.
"Itu benar, Sumire. Aku dan Elizabeth saling bermusuhan." Responku cepat.
Aku tidak mungkin memiliki hubungan semacam itu dengan Elizabeth Lou Felix IV, merupakan seorang putri berasal dari Kedaulatan. Meskipun kami di katakan sebagai 'teman' padahal itu salah. Terlebih, jika kami dikatakan sebagai 'Sepasang kekasih' kurasa itu sangat menyimpang. Karena kami sama-sama hidup di bawah perintah dan takdir untuk bertarung dan saling membenci satu sama lain. Jadi, terdengar lebih cocok jika kami dikatakan sebagai 'Saingan atau Musuh bebuyutan'.
Sumire memiringkan kepalanya terlihat ingin mengatakan sesuatu.
"Pertengkaran suami istri?"
"Bukan!" "Bukan!"
Refleks kami menyangkalnya bersamaan dengan nada tinggi.
"Woah! Kalian serasi."
"Ayolah Sumire-chan, jangan tunjukkan sikap aslimu begitu sama mereka. Itu tidak terlalu sopan saat berbicara seperti itu dengan orang yang kamu baru kenal. Perlakukanlah mereka dengan baik."
Zain-san mengatakannya sambil melemparkan kayu bakar di atas api unggun.
Sumire mendengarnya, arah matanya tertuju pada Zain-san sekarang.
"Ya, ya. Aku tahu."
Sejujurnya aku sedikit kesal, juga penuh pertanyaan. Sumire hanyalah gadis kecil yang polos. Tapi, bagaimana gadis kecil polos ini sangat mengetahui tentang percintaan dan suami istri.
Aku tidak habis pikir dari gaya bicaranya yang santai, lembut dan cepat beradaptasi, itu merupakan suatu bakat alami seseorang. Apa aku salah menilai dirinya sebagai gadis kecil yang polos? Mungkin itu benar.
Sumire kembali melihat ke arah kami di rias wajahnya yang tersenyum kecil. Kami juga membalas Sumire dengan senyuman pula.
"Daging bakarnya masih setengah matang. Jadi, aku minta kalian untuk bersabar sebentar lagi." Klein-san mengatakan itu.
"Bagus!" Zain-san mengangguk semangat.
Saat ini mereka terlihat sibuk membakar daging babi itu di atas api unggun.
Sesekali aku melihat Zain-san, tangan dan tubuhnya menyingkir ke belakang seperti tersengat listrik tak sengaja tanganya terkena api yang tertiup oleh angin malam.
"Panas!"
Ekspresi Zain-san berubah 90° derajat terlihat agak konyol. Alisnya terangkat, kedua mata yang tetap terbuka, dan rahangnya yang terbuka.
Dia memindahkan bilah kayunya ke tangan sebelah kiri, sehabis itu tangan kanannya menari-nari turun naik. Efek dari terpapar hamparan api sepertinya masih bisa dirasakan oleh Zain-san.
Aku mendorong mulut bagian bawah keatas dengan mata menyipit, aku berusaha menahan rasa ingin tertawa. Karena aku juga merasa kasihan padanya. Jadi, aku memutuskan untuk berpura-pura seakan tidak melihat wajah konyolnya barusan.
Dan beralih hadapan ke arah Elizabeth .
"Hoam..."
Saat hendak menoleh ke arahnya, suara menggerutu keluar dari mulut Elizabeth . Setelah aku memandangnya, dia selesai membuka mulutnya lebar dengan kedua tangan yang mengubur wajahnya.
Matanya menjadi tajam mengarah kedepan dan tidak tahu apa yang membuatnya terlihat menyeramkan seperti itu.
"Kamu lihat apa?" Suaranya datar.
Elizabeth mengatakannya sedang tidak melihat ke arahku. Ketika mataku sedang meliriknya sedari ternyata dia sadar bahwa aku melihatnya.
"T—Tidak."
Refleks bahuku terangkat bersamaan kedua tangan membeku. Aku menjadi gugup dan ragu untuk menjawabnya.
"Ya sudahlah. Selain itu, aku ingin berbicara sesuatu denganmu nanti."
Kali ini Elizabeth mengatakannya dengan tatapan serius ke arahku. Aku bisa menebak sesuatu kalau pembicaraan itu mengarah ke sesuatu yang penting. Tidak mungkin seorang putri bangsawan akan bercanda sesuatu yang tidak penting untuk dibicarakan.
"Begitu."
"Kamu punya waktu sebentar,'kan? Untuk itu."
"Kau mengira aku ini sesibuk apa sih—? Ya begitulah, aku punya waktu meskipun itu lama."
"Baiklah sudah diputuskan." Elizabeth mengangguk paham.
"Daging babi panggangnya sudah matang! Silahkan di nikmati semuanya!"
Zain-san datang menghampiri kami dengan membawakan sebuah ceper plastik berukuran panjang berisi beberapa daging panggang di atasnya. Zain-san menyodorkan ceper itu ke arah kami.
"Ambillah semau kalian."
Aku bisa mencium aroma wangi yang menyedapkan dari daging panggang tersebut. Kelihatannya daging babi yang dipanggang itu terasa begitu enak.
"Terima kasih."
Aku dan Elizabeth bersamaan mengambil satu bilah satenya. Akupun membuka lebar kedua rahang mulut dan mulai menggigit satu potongan daging panggangnya.
Saat daging panggang itu mengenai ujung lidahku, aku bisa merasakan tekstur lembut agak kenyal. Pada saat makanan menuju punggung lidah, indra pengecap ku merasakan manis dari kecap hitam dan bercampur rasa umami atau gurih pada Monosodium glutamat[3].
"Enak?"
Sensasi saat memakan ini hanya dapat di rasakan oleh seseorang yang mencoba mencicipi nya. Aku tidak dapat mendeskripsikan rasa yang sebenarnya dari makanan tersebut.
Seharian penuh aku tidak pernah makan sesuatu. Sedari menjelang sore, perutku sudah menggorok kelaparan.
Ketika perut seseorang sedang kosong, makan rasa gairah untuk makan pun akan muncul. Tidak peduli enak atau tidaknya makanan tersebut. Jika perut manusia sudah merasa kelaparan, makanan tersebut yang seharusnya tidak enak untuk dimakan, akan menjadi enak setelah mencobanya.
Pada saat peradaban komunal primitif, bahan makanan disediakan oleh alam, karena itu hanya dengan bekerja pada alam, manusia dapat sejahtera dengan hasil makanan yang dihasilkan oleh alam. Mereka bekerja dengan berpindah-pindah tempat, mencari bahan makanan yang masih ada.
Saat terjadi seleksi alam, hanya manusia kreatiflah yang sanggup mempertahankan eksistensi hidupnya. Manusia bertahan hidup dengan mereproduksi pangan melalui bercocok tanam. Pada saat itulah "manusia menetap tidak berpindah-pindah lagi".
Jua seperti, seseorang Survivor yang bertahan hidup di sebuah pulau tak berpenghuni. Bagi seorang Survivor, makanan dan minuman merupakan hal terpenting untuk bertahan hidup di dalam hutan. Mereka akan memakan apapun dan siapapun itu agar bisa bertahan hidup.
Ini adalah pertaruhan hidup atau mati, selain bertarung.
"Tentu! Daging panggang yang terbaik disini. Jadi, kalian tidak perlu sungkan-sungkan untuk mengambilnya lagi."
Zain-san menempatkan kedua tangan di pinggang seperti sedang berkacak pinggang. Di rias wajah yang tersenyum lebar dalam menanggapinya.
"Terima kasih."
Sekali lagi aku mengucapkan rasa hormatku dengan mengucapkan kata 'terima kasih'.
"Besok pagi buta kita akan melanjutkan perjalanan menuju Kota Ana." Klein-san mengatakan itu.
Mungkin yang dimaksud ('Kota Ana') oleh Klein-san itu adalah ('Kota Anastasia').
"Itu benar, karena perjalanan kali ini lumayan cukup jauh."
Mendengar itu, aku tergemap.
"Sejauh apa itu?"
"Jarak tempuhnya mungkin, 10 kilometer lagi dari sini. Membutuhkan waktu 2 jam di perjalanan untuk tiba di Kota Anastasia." Zain-san menjawabnya.
Di Duniaku berasal, jarak 10 kilometer itu sangat dekat jika menggunakan Transportasi mesin. Wajar saja, alat transportasi yang mereka gunakan adalah Daya kuda.
Daya kuda atau tenaga kuda adalah salah satu unit pengukuran daya yang pada umumnya setara dengan 735.5 hingga 745.7 watt. Pada awalnya, istilah daya kuda digunakan untuk membandingkan performa antara mesin uap dengan kemampuan tarikan kuda (draft horse). Setelah itu, satuan ini diadopsi untuk mengukur daya keluaran dari piston, turbin, motor listrik, dan mesin lainnya.
Definisi Daya kuda mereka berupa Daya kuda mekanis (mechanical horsepower) adalah nilai yang besarnya setara dengan 550 kaki-pound per detik atau 33000 kaki-pound per menit atau setara dengan 745.7 watt.
Ketika Daya kuda melebihi batas kemampuan, kuda memerlukan waktu untuk beristirahat dan mengisi beberapa energi. Karena kuda juga termasuk makhluk hidup; Hewan. Sehingga itu menjadikan pembatas waktu bagi seorang pengembara dalam perjalanannya.
"Begitu ya." Aku mengangguk paham.
"Sebelum pagi tiba, sementara kita semua akan bermalam di sini. Tidak perlu khawatir, wilayah ini aman dari bahaya kok." Sumire bercakap.
"Ini hanya untuk jaga-jaga saja. Bagaimana kalau, kita membagi giliran jaga setiap 2 jam?"
"Aku setuju!" Zain-san mengatakannya dengan antusias, tangan yang diangkat ke atas.
"Aku juga setuju." Sumire juga menyetujuinya.
Sekarang keputusan yang tersisa hanya kami berdua, aku dan Elizabeth. Mata kami saling tertuju satu sama lain. Matanya menunjukkan adanya kekhawatiran, sedangkan aku menunjukkan rasa dinamis.
Aku mengangguknya pelan, bahwa aku baru saja setuju dengan saran yang di berikan oleh Klein-san.
Elizabeth menatapku intens dan mendapatkan tanggapan bahwa dia juga setuju.
"Kami setuju dengan saranmu, Klein-san."
"Baiklah, aku akan mengatur waktunya. Pertama yang akan berjaga adalah aku, dari jam 9 sampai jam 11. Berganti yang kedua adalah Sumire dan Zain dari jam 11 sampai jam 1 besok, dan selanjutnya yang ketiga adalah kalian berdua dari jam 1 sampai jam 3. Terakhir sisanya adalah aku yang nanti berjaga sampai menjelang fajar."
"Berarti, Klein-san berjaga 2 kali?"
"Itu benar."
Klein-san mengangguk cepat perkataanku.
Jadwal yang diberikan oleh Klein-san untuk aku dan Elizabeth dari jam 1 hingga pagi buta jam 3.
Ini merupakan kesempatan yang bagus untuk melakukan pembicaraan dua mata dengan Elizabeth .
Aku tidak tahu apa yang ingin dibicarakan. Jika seorang putri yang memintanya sendiri, itu artinya ada hal penting yang ingin untuk dibahasnya. Aku menebak-nebak kalau pembahasannya akan mengarah pada dunia ini, dan tentang pertarungan terakhir kami. Sebenarnya, dewan Kaisar telah memberiku perintah untuk menangkap hidup-hidup Putri Kehancuran, Elizabeth dibawa ke tanah Kekaisaran.
Sekarang apa gunanya? Kini aku sedang berada di Dunia lain yang jauh dari tanah Kekaisaran. Perintah merupakan misi bagiku sebagai seorang Ksatria. Tidak mungkin aku melupakannya, dan meninggalkannya begitu saja.
Akan tetapi, aku sedikit tidak menyukai dengan cara yang diberikan oleh dewan Kaisar. Kehormatanku sebagai seorang Ksatria Black Steel hanya untuk menculik Putri bangsawan?
Selain itu, Putri Lou bangsawan Elizabeth merupakan satu-satunya orang yang sangat kuhormati sebagai pesaing dalam medan pertempuran. Selama ini aku tidak pernah bertarung seserius itu sebelumnya. Namun, pertemuanku dengan Elizabeth telah mengubah cara berpikirku untuk pertarungan yang bersungguh-sungguh.
Impian kami berdua sama, yaitu menciptakan dunia dimana hanya ada perdamaian antarpihak. Kami yang hidup di bawah perintah kekuasaan, membuat impian itu terhalang saling bentrok dengan metode masing-masing.
"Kalau begitu kalian tidurlah duluan. Nanti, aku akan berjaga-jaga selagi kalian beristirahat."
"Baiklah, Klein." Sumire melambaikan tangan kanannya bersamaan berbalik badan.
"Jika, situasinya benar-benar gawat, segeralah meminta bantuan padaku." Zain-san mengatakan.
"Ya sudahlah, tenang saja."
Aku menghadapi ke arah Klein-san ingin mengucapkan rasa terima kasih atas makanan yang di berikannya.
"Klein-san terima kasih untuk makanannya."
"Kamu tidak perlu berterima kasih. Ini juga merupakan hal biasa bagi kami dalam menolong seseorang."
Namun, aku merasa kurang enak dengan mereka. Kami tersesat telah ditolong oleh Zain-san dan Klein-san memberikan kami makanan, karena dia tahu kami berdua sedang kelaparan.
"Sekali lagi, terima kasih. Kalau begitu, kami akan tidur duluan."
"Baik, kalian beristirahatlah." Klein-san tersenyum kecil.
Dengan berbalik badan, kami pun berjalan ke arah mereka terlihat sedang menyiapkan beberapa alas tempat tidur. Jumlah tersedianya ada empat alas tempat tidur terletak di atas rerumputan.
Aku sangat mengetahui dan mengenal jenis alas tempat tidur ini di dalam buku sejarah.
Alas berwarna hijau yang dinamakan sebagai «Korai paai» itu sangat mirip seperti samak[4].
Wujud Korai paai hampir serupa dengan samak batangnya tegak, tidak bercabang, dengan warna hijau mengkilat sepanjang 50 sampai 200 centimeter.
Korai paai merupakan tikar tradisional dari masyarakat Tamil Nadu, India Selatan. Bahan bakunya berasal dari tanaman bernama Cyperus pangorei (Korai dalam bahasa Tamil).
Masyarakat india biasanya memberi warna merah, hijau atau ungu pada hasil anyaman tikar mereka. Tikar yang mereka hasilkan dari tanaman korai ini memiliki tekstur lentur, halus dan memiliki harga jual yang tinggi.
Sebagian besar tikar bermotif geometris dan memiliki daya tahan yang cukup tinggi, karena dibuat dari tanaman purun yang batangnya berserat,yang memiliki kemiripan dengan pandan, tumbuhan ini merupakan tumbuhan rumput yang hidup liar di dekat air atau rawa -rawa.
Yah, setidaknya begitu.
Zain-san dan Sumire selesai melakukan pekerjaannya. Dan menghadap ke arah kami sambil berduduk di atas tikar korai itu.
Aku berinisiatif membuka obrolan sebelum tidur. Tidak tahu topik apa yang cocok untuk suasana seperti ini.
"Korai?"
"Ko..rai? Apa itu?" Sumire meresponku. Kepalanya termiring sebelah dengan wajah bertanya-tanya.
"Kumaksud itu adalah tikar yang kalian gunakan sekarang."
"Ini tikar purun."
Sumire mengangkat jari telunjuk diletakannya samping bahu dengan wajah riang tersenyum dan matanya terpejam seakan ingin menjelaskan sesuatu yang panjang.
"Salah satu tanaman yang tumbuh liar di dekat air atau rawa gambut adalah purun. Tanaman ini sejenis dengan daun pandan yang hidup di sekitar rawa. Lebarnya adalah sebesar 1,5 meter x 200 sentimeter. Purun ini merupakan kerajinan tradisi turun-temurun yang biasa dilakukan oleh penduduk desa di wilayah Astral sejak 10 tahun. Aku membuat kerajinan ini sebagai alas tempat tidur. Meski kalian keberatan, terpaksa kalian harus tidur dengan memakai alas itu. Manfaatnya dari tikar purun agar kalian tidak kedinginan."
"Hm.. begitu. Jadi, bukan korai ya...?, karena desainnya terlihat mirip, aku mengira itu tikar korai."
"Sumire sangat hebat dalam hal itu." Zain-san mengucapkannya dengan posisi berebah.
Ketika mendengar Zain-san berbicara, aku refleks memindahkan arah penglihatanku menghadapmya.
"Benarkah!? Sungguh luar biasa, Sumire!" Ucapku terkesima kembali mengarah Sumire.
Membuat sebuah tikar dari anyaman merupakan hal tersulit untuk di lakukan sebagian banyak orang bahkan termasuk diriku. Ketika mendengar Sumire bisa mengolahnya membuatku terkejut.
"Haha... itu sudah biasa." Sumire tertawa lebar.
Aku merasa seperti hidupku sedang berada di surga. Senyuman yang tiba-tiba terbentuk dari ekspresi terlihat jelas di wajahku yang lumayan tampan.
"Kalau begitu, aku akan segera tidur." Aku mengatakannya pada Sumire.
"Aku juga, selamat malam."
Kami pun segera menuju tikar itu.
Sebelum merebahkan diri ke atas tikar, aku melepaskan ikatan sarung kedua pedangku terus menempel pada punggung. Ku letakkan kedua pedang itu di samping tubuhku.
Sementara itu, aku sempat memikirkan sesuatu ketika melihat kedua pedang suci itu. Pedang kembar berwarna perak dan hitam itu seakan memberitahukan kepadaku tentang bagaimana cara mengubah dunia. Sebagai seorang Ksatria suci termuda penerus «Black Steel» aku mempunyai ambisi besar dalam mewujudkan impianku, yaitu Negosiasi Perdamaian Dunia.
Namun, setelah kejadian misterius menimpa diriku baru-baru ini, justru membuat kekhawatiran yang ada di benakku. Hal itu juga berlaku pada Elizabeth. Tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya antara Kekaisaran Shin dan Kedaulatan Felix saat ini.
Aku sangat yakin, selain diriku yang sudah tiada. Maka terlahirlah pahlawan baru sebagai Ksatria suci yang berperan dalam menciptakan perdamaian dunia.
"Hari-hari yang melelahkan..." aku mulai merelaksasikan pikiran.
Kejadian misterius itu benar-benar membuatku kepala pusing. Dunia tiba-tiba berubah secara drastis menuju ke dunia lain. Selain menyebut itu adalah kejadian misterius. Spekulasi juga menyebutkan itu sebagai kejadian distorsi[5]. Dunia yang sekarang ini benar-benar terasa asing dan berbeda bagi kami, karena itulah aku menyebutnya sebagai distorsi.
Kemudian perlahan aku mulai merebahkan tubuh ke atas tikar purun. Hal yang sama juga di lakukan olehnya, Elizabeth. Terlihat sedang membenarkan posisi tidurnya.
Jarak antara aku dengannya hampir berdamping. Klein-san dan Sumire sudah dalam keadaan tertidur, jaraknya agak sedikit berjauhan dari kami dalam satu tikar yang panjang ini.
Setelah terbaring di atas tikar, aku bisa memandang langit yang agak kebiruan malam. Awan di atasnya tetap sama berwarna kelabu, dan di iringi oleh desik gemuruh angin yang saling menempuh dan bergesekan pada rerumputan.
Kedua kelopak mataku mulai tertutup pelan. Kesadaran seakan terbawa hanyut oleh angin. Aku sekarang merasa lebih tenang, meskipun bercampur keresahan dalam hati.
Berlanjut...
[1] VR, (Virtual reality/ Realistis Maya suatu lingkungan sebenarnya yang ditiru atau benar-benar suatu lingkungan yang hanya ada dalam imajinasi).
[2] Guild, (sebuah perkumpulan atau organisasi pekerja untuk mencari pendapatan keuntungan berupa uang).
[3] Monosodium glutamat, (garam yang sering digunakan sebagai penyedap rasa makanan).
[4] samak, (tikar pandan dalam masyarakat Sunda dikenal dengan istilah "samak").
[5] distorsi, (pemutarbalikan fakta bahwa dunia telah berubah).
Note; selalu berikan dukungan pada Authornya, dengan cara memberikan «vote» kalian. Agar si Author lebih bersemangat dalam melanjutkan ceritanya!